dari harapan. Oleh sebab itu, munculnya keinginan dari kelompok pedatang untuk membentuk sebuah desa administratif menimbulkan pertanyaan kritis seputar
praktek dan wacana adat selama ini. Wacana kebangkitan adat Ambon secara perlahan-lahan berkembang ke arah pembentukan keistimewaan hak-hak
penduduk lokal yang berpotensi nyata menjadi arena kontestasi kekuasaan politik di Ambon.
Bahkan pembentukan dewan adat justru semakin menegaskan dominasi wacana kekuasaan adat yang bekerja secara efektif melalui sarana, teknik, dan
prosedur-prosedur penerapannya. Pembentukan majelis adat hadir sebagai manifestasi institusi kekuasaan yang mendorong intensitas pembicaraan
masyarakat mengenai adat, Serta mengawasi adat agar tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan. Dalam konteks inilah, wacana kekuasaan hadir
secara produktif membentuk rezim dogmatisme kebenaran adat. Konstruksi wacana kekuasaan semacam ini pada akhirnya membentuk struktur kegiatan
manusia yang termanifestasi dalam aturan-aturan, hukum atau larangan-larangan.
3.1.5. Penguatan Kelembagaan Adat
Desakan pembentukan peraturan daerah mengenai adat dilatarbelakangi oleh keresahan para raja. Keresahan ini berdasar pada asumsi akan bahaya
penghancuran pranata adat akibat sistem penyeragaman budaya. Penerapan model pemerintahan desa berdampak pada penghancuran adat istiadat karena seakan-
akan tidak sesuai dengan cita rasa hukum adat yang berlaku. Untuk itu desakan
pembentukan serangkaian peraturan daerah PERDA mengenai adat di Ambon dalam arti tertentu mencerminkan penolakan tegas terhadap kekuasaan negara.
“Ancaman terbesar yang dihadapi oleh masyarakat adat di Maluku adalah proses Jawanisasi Maluku baik dalam bentuk kebijakan nasional mengenai
pemerintahan desa, program transmigrasi bahkan perkawinan yang terjadi antar etnis”
126
Oleh sebab itu pembentuan lembaga adat dan penetapan kembali “negeri” adat dinilai sebagai langka tepat untuk menyelamatkan masa depan
masyarakat beserta adat istiadatnya. Dalam lokalitas Ambon istilah penetapan kembali merujuk pada upaya kongkrit penduduk lokal Ambon menolak
pemberlakuan sistem pemerintahan desa di Ambon dengan menerapkan kembali model pemerintahan “negeri” adat. Meski yang dimaksudkan di sini adalah
kembalinya kepemimpinan lokal berdasarkan hukum adat, akan tetapi patut dipertimbangkan bersama adalah penetapan kembali “negeri” adat sesungguhnya
merujuk pada kondisi macam apa? Atau istilah penetapan kembali sebenarnya kembali ke kondisi semacam apa?
Upaya para raja untuk memperjuangkan penetapan kembali “negeri” di Ambon mendapat dukungan positif dari berbagai pihak. Salah satunya adalah
Early Warning System Conflic EWSC. EWSC merupakan sebuah lembaga swadaya masyarakat berfungsi untuk mengidentifikasi, mendeteksi dan
menganalisis bahaya terjadinya konflik-konflik baru.
127
jaringan pengamatan dini
126
Hans Suitela, Raja negeri Suli, Wawancara, 23 Januari 2014, Suli Atas-Ambon
127
“Institut Tifa Damai Maluku” diakses dari http:tifadamaimaluku.blogspot.com
, pada 15 Februari 2015. Perlu diketahui bersama bahwa Early Warning System Conflic EWSC sebetulnya
merupakan embrio bagi kelahiran Institut Tifa Damai Maluku ITDM yang dibentuk pada 14 April 2008. ITDM merupakan badan hukum yang bertugas untuk melanjutkan tugas-tugas EWSC.
konflik, sebuah lembaga swadaya masyarakat LSM menggelar pertemuan di Kantor Desa Batumerah, Kecamatan Sirimau dengan tujuan untuk mendesak
segera ditetapkannya peraturan daerah mengenai adat oleh pemerintah kota Ambon dan DPRD, sekaligus rancangan peraturan daerah mengenai proses
pemilihan raja.
128
Keseriusan para raja memperjuangkan pembentukan tata aturan hukum mengenai adat menjadi bukti kongkrit komitmen para raja menyelamatkan
adat istiadatnya dari kehancurannya. Hasilnya pada 2005, Pemerintahan Provinsi Maluku menerbitkan Peraturan daerah No.14 tahun 2005 tentang penetapan
kembali sistem pemerintahan “negeri” di Maluku. Peraturan tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan diterbitkannya
Peraturan Daerah Nomor 03 tahun 2006 pemerintahan “negeri” adat di Kabupaten Maluku Tengah. Peraturan ini kemudian dijadikan sebagai payung hukum bagi
serangkaian peraturan daerah lainnya mengenai adat di kota Ambon. Beberapa peraturan daerah tentang adat yang muncul setelah Peraturan Daerah Nomor 3
tahun 2006 adalah sebagai berikut:
Identitas PERDA Topik Utama PERDA
PERDA No.3 Tahun 2008 Peraturan tentang negeri di kota
Ambon PERDA No.13 Tahun 2008
Peraturan tentang tata cara pencalonan, pemilihan,
pengangkatan dan pelantikan serta pemberhentian raja
PERDA No. 14 Tahun 2008 Peraturan tentang pedoman
Dalam perkembangannya sekarang ITDM lebih banyak dikenal oleh masyarakat Ambon dari pada EWSC.
128
Abubakar Riry Oieter G. Manoppo 2007, Menatang Badai, Menabur Damai, Hlm. 221-222
umum anggaran pendapatan dan belanja negeri
PERDA No.15 Tahun 2008 Peraturan tentang kedudukan
keuangan raja dan saniri negeri lengkap
PERDA No.16 Tahun 2008 Peraturan tentang pedoman
umum administrasi negeri PERDA No. 17 Tahun 2008 Peraturan tentang pedoman
umum penetapan batas wilayah negeri di kota Ambon
PERDA No.18 Tahun 2008 Peraturan tentang pedoman
umum pembiayaan dan pengawasan penyelenggaraan
pemerintah negeri
Tabel: Peraturan Daerah Kota Ambon tentang adat di Ambon
Rangkaian PERDA adat sebagaimana tercantum dalam tabel di atas menegaskan kemunculan adat dalam keseluruhan perjuangan para raja atas nama
adat; terutama antusiasme para raja se-kota Ambon untuk menghidupkan hukum adat di wilayah kepulauan Ambon. Namun patut disayangkan bahwa dalam
perkembangannya justru menimbulkan persoalan tersendiri. Produk hukum mengenai adat tidak hanya melindungi eksistensi hukum adat melainkan ikut
melegitimasi wacana kekuasaan adat dan menjadikan adat sebagai arena negosiasi kekuasaan dalam dinamika kontestasi kekuasaan politik lokal di Ambon. Di sisi
lain gerakan perkembangan wacana adat di Ambon munculnya isu seputar provokatif terkait wacana anak adat atau putra daerah. Akibatnya kehadiran warga
pendatang dalam lokalitas Ambon cenderung dipandang sebelah mata.
3.2. Perluasan Wacana Kebangkitan Adat Ambon