Loyalitas Penduduk Lokal Ambon terhadap Adat

dalam arti tertentu dapat dikatakan bahwa adat dipakai sedemikian rupa untuk menjaga identitas orang Ambon ataukah hanya untuk kepentingan politik kelompok tertentu? Sebagai tanggapan atas pertanyaan tersebut ada dua fenomena menarik yang perlu dipertimbangkan pada kesempatan ini.

3.3.1. Loyalitas Penduduk Lokal Ambon terhadap Adat

Sebagaimana telah diungkapkan di awal bahwa antusiasme masyarakat adat Ambon yang memilih untuk menghidupkan kembali pemerintahan hukum adat dilatarbelakangi oleh keinginan mendasar agar kepemimpinan lokal tetap berada di bawah kendali kelompok masyarakat adat Ambon. Keinginan tersebut dilatarbelakangi oleh kecemasan masyarakat, terutama para raja atau tokoh adat terhadap hancurnya pranata adat dan pergeseran peran-peran penduduk lokal akibat intervensi negara secara berlebihan melalui UU No.5 Tahun 1979 tentang pemerintahan desa. Sadar bahwa meski hak dan kewajiban setiap individu pada dasarnya sama, akan tetapi mekanisme adat perlu dihormati. Ada ruang yang diperuntukan bagi tiap-tiap warga termasuk warga pendatang untuk terlibat dalam pembangunan akan tetapi tetap ada batasannya. Ada keyakinan bahwa dengan adanya kepemimpinan anak adat yakni mereka yang berasal dari anggota masyarakat adat keharmonisan hidup akan lebih mudah direalisasikan. Oleh sebab itu, meski perubahan-perubahan yang terjadi cukup beralasan akan tetapi menyimpan persoalan tersendiri. Persoalan dalam pengertian penghancuran pranata adat dan pergeseran peran-peran penduduk lokal seperti yang telah dikemukakan di atas. Dalam konteks itu perubahan-perubahan yang terjadi akhirnya terkesan bertujuan untuk membangkitkan kembali sentimen-sentimen primordial adat seperti kepemimpinan anak adat dan status quo para raja. Memilih untuk kembali ke adat sambil mempertanyakan posisionalitas menjadi sesuatu yang penting di mata para raja; “Apakah suatu ketika torang harus lihat yang bukan orang adat ini harus pimpin di daerah adat? tiap-tiap daerah sudah diberikan ruang, kesempatan untuk mengatur daerahnya…..semuanya sudah ada di situ untuk mengatur daerahnya”. 145 Konversi “negeri” menjadi desa perlu dikembalikan ke “negeri”. Peran raja dan saniri perlu direvitalisasi bukan berdasarkan kehendak negara melalui kebijakan UU No.5 Tahun 1979 tentang pemerintahan desa melainkan berdasar pada hukum adat Ambon. Melalui adat terutama kepemimpinan hukum adat keharmonisan hidup akan lebih mudah terealisasi. Dalam kehidupan bermasyarakat, masyarakat akan lebih mudah mendengarkan seorang raja atau anak adat yang ditetapkan berdasarkan mekanisme hukum adat pantas mengemban jabatan raja dan memimpin di daerah adat Ambon dari pada seorang pemimpin yang bukan berasal dari kelompok masyarakat adat yang memimpin di daerah adat. 145 “Apakah pada suatu ketika kita harus menyaksikan bahwa mereka yang bukan berasal dari kelompok masyarakat adat harus memimpin di daerah adat? tiap-tiap daerah telah diberikan ruang, telah diberikan kesempatan untuk mengatur daerahnya sendiri. Semuanya telah diberikan kewenangan untuk mengatur daerahnya masing-masing.” Aleks sitanala, Ketua Saniri Negeri Suli, Wawancara, 5 Januari 2014, Suli Bawah-Ambon. Cara pandang semacam ini kembali menegaskan urgensi dan signifikansi kebangkitan adat Ambon dan kepemimpinan lokal masyarakat adat di Ambon seperti yang ditegaskan oleh bapak raja Abdullah Malawat, salah seorang tokoh adat terkemuka di Maluku. Menurut Malawat, “Dengan adanya tokoh adat yang dari dulunya dorang itu, secara hubungan sosial, pola panutan akan lebih kentara. Orang lain lebih hormati dorang karena dorang itu raja ko. Tapi kalo tiba-tiba dari keluarga raja ini seng jadi raja, he ose itu sapa? Sama dengan beta saja. Pandangannya seperti itu, kalo bukan keluarga raja yang jadi raja, dong malawan banyak. ose saja, beta jua bisa. Tapi kalo dari keluarga raja, dari sononya bagitu, orang akan lebih turut”. 146 Kutipan di atas secara spesifik memposisikan adat sebagai acuan dasar kehidupan berpolitik di Ambon. Terutama kepemimpinan politik yang dikhususkan kepada anggota masyarakat adat Ambon pada level negeri. Selain itu, urgensi adat sebetulnya bukan semata-mata terletak pada kuasa legitimasi jabatan raja yang secara khusus harus berasal dari turunan raja, akan tetapi terletak pada ketidaksiapan penduduk lokal Ambon memberi ruang partisipasi politik kepada orang lain yang tidak memiliki ikatan hubungan darah memimpin di Ambon. Dalam konteks itu, pilihan menghidupkan kembali “negeri” adat seakan- akan menjadi sebuah kemutlakan yang tidak dapat diabaikan. 146 “Dari sisi hubungan sosial, seorang raja yang berasal dari kelompok masyarakat adat, berasal dari turunan raja, mereka dapat menjadi pola panutan. Orang lain akan lebih menghormati karena mereka benar-benar raja. Akan tetapi jika tiba-tiba mereka yang memiliki turunan raja tidak menjadi raja, tentu akan dipertanyakan: anda siapa? Anda sama saja dengan saya ko Pandangan-pandang semacam ini akan muncul jika seorang raja bukan berasal dari keluarga turunan raja. Masyarakat akan lebih banyak melawan. Anda saja bisa, saya juga bisa seperti anda. Namun jika dari keluarga turunan raja, yang sejak dahulu sudah ditetapkan demikian, orang akan lebih patuh”. Abdullah Malawat, Raja Mamala dan mantan ketua Latupati Maluku, Wawancara, 19 Januari 2014, Mamala-Ambon. Urgensi dan signifikansi kembali ke adat pada akhirnya melahirkan persoalan baru antara penduduk lokal dan pendatang. Persoalan identitas masyarakat Ambon pada akhirnya dikontestasikan dalam formasi wacana adat. Bahkan dalam lingkup internal masyarakat Ambon, perubahan-perubahan yang terjadi ketika diikuti secara seksama justru melahirkan kejutan-kejutan baru. Di luar dugaan malah diperhadapkan dengan kenyataan bahwa di tengah-tengah antusiasme masyarakat untuk kembali ke adat atau kembali ke pemerintahan hukum adat pada level negeri justru dikejutkan dengan suara-suara yang bernada oposisi yang menghendaki agar wilayah-wilayah di bawah kewenangan “negeri adat” dimekarkan lagi menjadi desa meski berstatus sebagai desa administratif di bawah negeri. Pertanyaannya sekarang, apakah kebangkitan adat di Ambon sungguh- sungguh mencerminkan aspirasi seluruh anggota masyarakat ataukah hanya segelintir orang? Apakah kebangkitan adat di Ambon sungguh-sungguh meresistensi mekanisme kekuasaan ataukah justru melipatgandakan mekanisme kekuasaan yang sedang dikritik? Untuk mendalami persoalan-persoalan tersebut, uraian berikut ini akan lebih menitik beratkan pada posisi masyarakat pendatang, yakni mereka yang tidak berasal dari kelompok masyarakat adat yang dalam keseharian hidup berhadapan dengan praktek adat di Ambon.

3.3.2. Sikap Diam Warga Pendatang dalam Adat