Penerapan Pasal 156 a di Semua Era Pemerintahan

71 sejak tahun 2003-2012 sebanyak 34 kasus. Dari data dan pemaparan tersebut diatas menunjukkan be- berapa hal; Pertama, bahwa pasal 156 a diberlakukan dan diterapkan dalam semua rezim pemerintahan, baik sejak era Soekarno yang mengawali kebijakan dalam bentuk peraturan perundang-unda- ngan, di era Soeharto, dan semakin meningkat pada era reformasi dibawah kepemimpinan Presiden Megawati Soekarno Putri, dan Susilo Bambang Yudhoyono. Belum ditemukan adanya kasus yang di bawa ke Pengadilan pada masa Presiden BJ Habibie 1998 – 1999 dan Abdurrahman Wahid 1999-2002. Kedua, di era reformasi perlindungan terhadap kebeba- san beragama melemah. Banyaknya kasus penodaan agama yang terjadi setelah tahun 2003 menunjukkan semakin melemahnya pemenuhan, dan perlindungan kebebasan beragama. Perubahan konstitusi sejak tahun 1999-2003, dan upaya memperkuat jaminan perlindungan kebebasan beragama melalui konstitusi tidak diikuti dengan konsistensi dalam pelaksanaanya, sehingga pelanggaran TAHUN JUMLAH KASUS Era Sekarno - Era Soeharto 3 kasus 1998-2002 2003 1 kasus 2004 2 kasus 2005 4 kasus 2006 5 kasus 2007 3 kasus 2008 1 kasus 2009 7 kasus 2010 3 kasus 2011 2 kasus 2012 6 kasus 72 kebebasan beragama tetap banyak terjadi. Pada sisi lain, kran saluran kebebasan yang dibuka sejak reformasi, khususnya kebebasan berekpresi menimbulkan dam- pak bagi tumbuh dan berkembangnya kelompok-kelompok into- leran yang secara agresif melakukan intervensi terhadap berbagai kebijakan negara, bahkan menggunakan cara-cara kekerasan. Suburnya kelompok-kelompok intoleran tidak diimbangi dengan kepemimpinan yang kuat yang dapat menjadi pelindung bagi se- tiap warga negara, dan menjamin pemenuhan hak-hak setiap war- ga negara dalam menganut agama dan kepercayaan. Ketiga, ada korelasi yang kuat antara karakteristik kepem- impinan seorang Presiden dengan penerapan pasal 156 a dalam penyelesaian kasus penodaan agama. Presiden memegang otori- tas yang kuat dalam mengarahkan kebijakan negara, termasuk politik pemidanaan terkait dengan kasus penodaan agama. Presi- den seyogyanya mampu mengelola segala bentuk perbedaan yang terjadi di tengah masyarakat secara baik, adil, dan bermartabat. Tidak ditemukannya kasus penodaan agama sampai di Pengadilan pada era Abdurrahman Wahid menjadi salah satu indikatornya. Presiden Abdurrahman Wahid adalah satu-satunya Presiden yang memiliki visi yang kuat dalam memberikan perlindungan kepada kelompok minoritas termasuk agama. Bahkan pada era Kepem- impinannya, Abdurrahman Wahid mencabut pelarangan Saksi Yehova yang sebelumnya dilarang oleh Kejaksaan.

3. Penerapan Pasal 156 a KUHP oleh Hakim di Pengadilan

Seperti telah diuraikan dalam pembahasan terdahulu, bahwa berdasarkan pasal 156 a terdapat 4 empat hal yang dian- cam pidana apabila dilakukan di muka umum yaitu: 1. Mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang ber- sifat permusuhan terhadap suatu agama; 2. Mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang ber- sifat penyalahgunaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; 3. Mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang ber- sifat penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indo- nesia; 73 4. Perbuatan dengan maksud agar supaya orang tidak menga- nut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa Dalam teori pemidanaan dikenal adanya unsur-unsur yang diperlukan agar seseorang dapat diproses dalam sistem peradilan pidana. Dalam praktik pemidanaan dikenal dua unsur yaitu unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur objektif melipu- ti tindakan yang dilarang atau diharuskan, akibat dari keadaan atau masalah tertentu, sedangkan unsur subyektif meliputi ke- salahan dan kemampuan bertanggung jawab dari pelaku. Berkaitan dengan unsur obyektif dan subyektif, Lamintang 37 menyebutkan bahwa unsur subyektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri pelaku atau yang berhubungan dengan diri pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang ter- kandung dalam hatinya. Sedangkan unsur-unsur obyektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan. Lebih lanjut, Lamintang merinci unsur subyektif dari per- buatan pidana sebagai berikut: a. Kesengajaan atau ketidaksengajaan dolus atau culpa; b. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan seperti yang di- maksud dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP; c. Macam-macam maksud seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain; d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seper- ti yang misalnya terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP; e. Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP. 37 Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti, 1997, Cet. III, hh. 193-194.