88
baik kasus penodaan agama ataupun tindak pidana lain seperti menyebabkan keresahan di masyarakat. Hal ini nampak dalam ka-
sus yang ditimpakan kepada Tajul Muluk. Sebagai korban kerusu- han Sampang, ia justru dipersalahkan menjadi penyebab terjadi-
nya kerusuhan, yaitu menyebarkan ajaran Syah. Pola menjadikan komunitas korban sebagai tersangka, menjadi pola penanganan
konfl ik dengan menggunakan asumsi ‘seimbang’, dalam artian jika
dari kelompok penyerang terdapat yang dijadikan tersangka, maka harus ada pula dari kelompok korban yang dijadikan tersangka.
Menjadikan korban sebagai tersangka, menunjukkan lemahnya perlindungan bagi kelompok minoritas. Dan pengkriminalan kor-
ban memiliki resiko sosial lebih rendah dibandingkan jika harus mengkriminalkan para pelaku.
Bab IV: PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari berbagi uraian dalam bab-bab terdahulu dapat di- sampaikan kesimpulan sebagai berikut.
1. Pasal 156 a KUHP adalah pasal yang diberlakukan berdasarkan Penetapan Presiden Penpres Nomor 1 Tahun 1965 tentang
Pencegahan Penyalahgunaan danatau Penodaan Agama, yang kemudian ditingkatkan menjadi Undang-Undang berdasarkan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai
Undang-Undang. Undang-Undang Nomor 1PNPS1965 ten- tang Pencegahan Penyalahgunaan danatau Penodaan Agama
adalah “undang-undang kondisional”, yang seharusnya segera diganti atau direvisi.
2. Secara konseptual pasal 156 a mengandung banyak persoalan. Secara substantif pasal tersebut bertentangan dengan UUD
1945, konvensi internasional yang juga telah diratifi kasi oleh pemerintah ataupun undang-undang lain yang menjamin ke-
bebasan beragama. Selain itu, mengatur penambahan suatu pasal ke dalam Undang-Undang lain KUHP adalah sesuatu
yang tidak lazim dalam teknik penyusunan peraturan perun-
90
dang-undangan. Penempatan pasal 156 a diantara pasal 156 dan pasal 157 KUHP dapat menimbulkan masalah tersendiri. Pasal
156 dan 157 KUHP adalah pasal-pasal yang dapat dikategorikan sebagai “haatzaai artikelen”, sehingga dalam pelaksanaan pasal-
pasal tersebut sering diterapkan secara sewenang-wenang.
3. Pasal 156a diterapkan sejak orde baru dan mengalami pening- katan pasca reformasi 1998. Hal ini menunjukkan, bahwa pe-
rubahan yang terjadi di era reformasi tidak banyak mengubah kebijakan terkait dengan penodaan agama. Justru pada saat
reformasi, kasus-kasus penodaan agama tercatat mengalami peningkatan di mana ada terdapat 34 kasus penodaan agama.
4. Penerapan pasal 156a tidak sesuai dengan prinsip-prinsi dalam proses peradilan pidana. Pasal 156a diterapkan oleh hakim
dalam keadaan yang berbeda-beda, dan umumnya diterapkan untuk tindakan-tindakan yang seharusnya dilindungi karena
terkait dengan kebebasan berekpresi. Selain itu, pasal 156 a banyak diterapkan terhadap tindakan-tindakan yang sebenar-
nya tidak terpenuhi unsur kesengajaan untuk menodai agama tertentu. Pada hakekatnya pasal 156a ditujukan untuk mence-
gah terjadinya gangguan ketertiban umum, faktanya hampir semua kasus yang terkait dengan pasal tersebut dinyatakan
bersalah walaupun tidak ada gangguan ketertiban yang terjadi.
5. Independensi dan imparsialitas hakim dalam persidangan ka- sus penodaan agama di pengaruhi perspektif aparat penegak
hukum, keyakinan keagamaannya dan tekanan dari kelompok- kelompok intoleran.
6. Aparat penegak hukum ber- sikap diskriminatif karena
dengan tegas menindak se-se- orang yang diduga melakukan
penodaan agama, pada sisi lain membiarkan para pelaku
ujaran kebencian berdasar- kan agama. Bahkan kerapkali,
korban ujaran kebencian dari kelompok minoritas dijadikan tersangka untuk kasus penodaan agama ataupun kasus lain;