Pengingkaran terhadap unsur kesengajaan dalam melaku- kan tindak pidana

76 sangkutan tidak mengetahui bahwa foto yang digunakan untuk mendesain cover buku itu adalah sebuah Al Quran. Dalam kedua kasus tersebut, sama sekali tidak ada unsur kesengajaan sehingga tidak layak, jika yang bersangkutan harus dihukum atas tindakannya.

d. Penerapan pasal 156 a tidak memerlukan adanya ancam- an terhadap ketertiban umum

Pasal 156 a ditempatkan ke dalam bab V tentang Kejaha- tan terhadap Ketertiban Umum. Mengikuti pengertian ketertiban umum pasal-pasal BAB V tersebut, maka bisa diambil pengertian bahwa, delik agama yang dimaksud adalah kejahatan terhadap agama yang melanggar atau yang merupakan kejahatan terhadap ketertiban umum. Yaitu, suatu kejahatan yang secara nyata se- bagai kejahatan terhadap ketertiban umum. Hal itu sejalan dengan konvensi internasional yang memungkinkan adanya pembatasan jika ekpresi keagamaan itu mengancam ketertiban umum. Dengan demikian, segala bentuk tindakan yang mengan- cam ketertiban umum perlu ada penindakan tegas. Namun keny- ataan menunjukkan, pasal 156 a diterapkan walaupun sama sekali tidak ada ancaman terhadap ketertiban umum. Dari berbagai ka- sus proses pengadilan hampir tidak ada kaitan dengan kejahatan terhadap ketertiban umum, misalnya kasus cerpen Ki Panji Kus- min dengan tersangka H.B. Yassin, kasus Tabloid Monitor dengan tersangka Arswendo Atmowiloto, kasus Lia Eden dengan tersangka Lia Aminuddin, kasus YKNCA dengan tersangka M Hussen, dan se- bagainya. Dalam kasus-kasus tersebut tidak ada kaitan antara pe- langgaran yang disangkakan dengan gangguan ketertiban umum. Seharusnya suatu ajaran ataupun ekpresi keyakinan baru dapat diproses secara pidana jika yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang sudah mengganggu orang lain yang ber- implikasi kepada ketertiban sosial. Bahkan sebaliknya, keterti- ban umum itu terganggu setelah sekelompok orang tidak setuju dengan ajaran atau kelompok tertentu. Jadi penyebab terjadinya gangguan ketertiban bukan oleh penganut agama tertentu, tetapi orang yang tidak setuju terhadap ajaran tersebut. 77

e. Problem profesionalisme aparat penengak hukum

Profesionalisme juga menjadi persoalan tersendiri dari penerapan pasal 156 a. Tidak profesionalnya aparat penegak hu- kum terjadi pada kasus Sensen Komara, dimana Majelis Hakim menjatuhkan vonis bersalah terhadap Presiden Negara Islam In- donesia NII, atas tuduhan telah berbuat makar dan penistaan a- gama. Namun demikian, Sensen terbukti menderita penyakit keji- waan paranoid sehingga diputuskan untuk di kirim ke bagian jiwa Rumah Sakit dr Hasan Sadikin RSHS Bandung. Seharusnya, ke- tika yang bersangkutan terbukti mengalami gangguan jiwa, maka harus dibebaskan dari segala tanggungjawab termasuk menjalani proses persidangan. Kasus yang lain adalah adanya copy paste un- tuk kasus yang berbeda, yaitu dalam kasus Tajul Muluk yang meng- gunakan dasar dakwaan dari kasus penodaan agama yang lain. Ini menunjukkan tidak profesionalnya aparat penegak hukum.

4. Pola-Pola Penerapan Pasal 156 a KUHP

Penerapan pasal 156 a umumnya tidak hanya melibatkan aparat penegak hukum dan pelaku, tetapi juga melibatkan be- berapa aktor atau elemen yang ada di masyarakat. Ada pola yang umum terjadi dalam proses pemidanaan seseorang dalam kasus penodaan agama. a. Tekanan KelompokOrmas Intoleran Dalam kenyataan, aparat penegak hukum tidak serta mer- ta langsung melakukan penangkapan terhadap seseorang yang diduga melakukan tindakan penodaan agama. Dalam berbagai kasus, tindakan aparat penegak hukum diawali dengan adanya protes atau tekanan yang dilakukan oleh kelompokormas terten- tu terhadap penganut atau kelompok agama yang mereka anggap menodai agama tertentu. Bahkan dalam beberapa kasus, faktor kelompok penekan ini lebih dominan dibandingkan dengan unsur- unsur yuridis yang perlu dipertimbangkan dalam proses peradilan pidana. Kelompokormas intoleran yang tidak setuju adanya ajaran tertentu melakukan serangkaian aktivitas yang bernuansa kebencian yang mengarah pada tindakan diskriminatif terhadap