Lemahnya Penegakan Hukum terhadap Ujaran Kebencian atas Dasar Agama

87 mengarah kepada ujaran kebencian kepada kelompok tersebut. Hanya saja, sangat minim tindakan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum menghentikan ujaran kebencian untuk mencegah terjadinya tindakan-tindakan kekerasan lebih lanjut. Dari hasil pemantauan, hanya satu kasus ujaran kebencian yang dibawa ke pengadilan oleh aparat penegak hukum APH, yaitu dalam kerusuhan Masohi-Maluku pada tahun 2009. Keru- suhan dipicu dengan penyebaran selebaran dan rasa permusu- han terhadap penganut nasrani. Selebaran menginformasikan di- antaranya tuduhan bahwa Wilhelmina Holle, seorang guru SD telah menghina Islam dan Nabi Muhammad di depan murid-muridnya. Asmara Washua melakukan penyebaran selebaran, penggalangan tanda tangan dan ajakan demonstrasi yang dilakukan oleh. Asmara adalah koordinator Forum Komunikasi Islam Maluku Tengah, dan caleg yang diusung Partai Keadilan Sejahtera PKS, untuk daerah pemilihan Kecamatan Saparua-Haruku. Asmara Washua, dipidana 1 tahun karena menyebarkan rasa permusuhan dengan mendistri- busikan selebaran-selebaran dan tanda tangan. Hal-hal yang menyebabkan penindakan terhadap tindakan ujaran kebencian atas dasar agama lemah. Yaitu : Pertama, kurangnya pemahaman aparat penegak hukum terhadap pasal ujaran kebencian atas dasar agama dan pentingnya pasal tersebut bagi perlindungan hak-hak warga negara. Untuk mence- gah terjadinya konfl ik berbasiskan agama, maka negara, khusus- nya aparat kepolisian perlu mengantisipasi dengan menindak pelaku yang menyebarkan kebencian. Kedua, pelaku ujaran kebencian umumnya adalah tokoh masyarakat atau agama yang memiliki pengikut. Hal itu menyebab- kan kegamangan bagi aparat untuk menindak pelaku, khawatir menimbulkan gejolak atau penolakan dari para pengikutnya.

3. Pengkriminalan Korban Tindak Pidana Ujaran Kebencian atas Dasar Agama

Para pelaku yang menyampaikan ujaran kebencian tidak ditindak, namun sebaliknya para korban dari kelompok minori- tas agama ditindak dengan menjadikan mereka sebagai tersangka, 88 baik kasus penodaan agama ataupun tindak pidana lain seperti menyebabkan keresahan di masyarakat. Hal ini nampak dalam ka- sus yang ditimpakan kepada Tajul Muluk. Sebagai korban kerusu- han Sampang, ia justru dipersalahkan menjadi penyebab terjadi- nya kerusuhan, yaitu menyebarkan ajaran Syah. Pola menjadikan komunitas korban sebagai tersangka, menjadi pola penanganan konfl ik dengan menggunakan asumsi ‘seimbang’, dalam artian jika dari kelompok penyerang terdapat yang dijadikan tersangka, maka harus ada pula dari kelompok korban yang dijadikan tersangka. Menjadikan korban sebagai tersangka, menunjukkan lemahnya perlindungan bagi kelompok minoritas. Dan pengkriminalan kor- ban memiliki resiko sosial lebih rendah dibandingkan jika harus mengkriminalkan para pelaku.