Intervensi Lembaga-Lembaga Agama Pola-Pola Penerapan Pasal 156 a KUHP

80 tentu sangat tidak adil bagi kelompok yang lain. Hak setiap orang atau kelompok orang untuk menganggap kelompok lain salah, tetapi menjadi problem jika sikap itu dianut dan dijadikan oleh aparat penegak hukum atau pemerintah sebagai satu-satunya jus- tifi kasi untuk mengkriminalkan seseorang. Kedua, penyelesaian perbedaan dengan dialog. Penyesatan melalui fatwa ataupun kriminalisasi bukanlah jalan terbaik un- tuk menyelesaikan perbedaan dalam memandang ajaran agama. Dalam banyak kasus terkait dengan pasal 156 a adalah adanya per- bedaan penafsiran terhadap ajaran tertentu. Jika sebuah ajaran dianggap berbeda dengan ajaran yang mainstream, maka media yang terbaik adalah memperbanyak dialog sehingga dengan dialog itu akan diperoleh titik temu dan saling kesepemahaman antara satu pemahaman keagamaan dengan paham keagamaan yang lain. Dengan dialog itu tidak menutup kemungkinan akan mengubah pandangan seseorang.

c. Laporan Penodaan Agama ke Polisi

Tindak lanjut dari tekanan masa ataupun fatwa lembaga agama adalah laporan ke kepolisian atas dugaan tindakan peno- daan agama yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang. Laporan dibuat oleh kelompok yang tidak setuju dengan ada- nya penganut atau kelompok agama tertentu. Karena pasal 156 a adalah delik umum, dalam beberapa kasus polisi langsung men- jadikan seseorang menjadi tersangka walaupun tidak ada laporan khusus dari masyarakat. Setelah menjadikan tersangka, kepolisian kemudian mengumpulkan bukti-bukti atau saksi adanya penodaan agama.

d. Proses Peradilan Pidana

Proses yang paling krusial terkait kasus penodaan agama adalah proses di Pengadilan karena melalui proses inilah akan di- uji apakah seseorang dianggap telah melakukan penodaan agama ataupun tidak. Pengadilan akan memutuskan apakah seseorang bersalah sehingga harus masuk penjara, ataupun tidak sehingga terbebas. 81 Terkait dengan proses persidangan di pengadilan, ada be- berapa catatan penting; Pertama, kurangnya pemahaman dan perspkektif aparat penegak hukum terhadap pentingnya perlindungan terhadap kebebasan beragama. Kebebasan beragama telah dijamin dalam berbagai instrumen perundang-undangan baik pada level na- sional maupun internasional. Banyak konvensi internasional yang secara tegas menjamin kebebeasan beragama, bahkan UUD 1945 sebagai dasar bagi kebijakan nasional juga menjamin adanya ke- bebesan beragam. Sayangnya, hakim jarang mempertimbangkan berbagai ketentuan tersebut. Buktinya, kasus-kasus yang terkait dengan pasal 156 a diputus bersalah. Hakim hanya melihat dari as- pek pidana yang ada dalam KUHP dan kurang mampu mendalami secara menyeluruh dimensi kebebasan beragama dalam konteks perlindungan hak asasi manusia. Kedua, independensi hakim dalam memutus. Dalam me- mutus perkara dalam kasus penodaan agama, independensi hakim juga perlu dipertanyakan. Hakim dalam memutus perkara, selaz- imnya bersikap mandiri dan tidak terpengaruh dengan berbagai tekanan dari pihak manapun. Faktanya, dalam banyak kasus peno- daan agama tekanan masa yang terus menerus memantau proses persidangan sedikit banyak berpengaruh terhadap sikap dan inde- pendensi dari pada hakim. Ketiga, Imparsialitas hakim dalam memutus perkara. Im- parsialitas hakim dalam memutus perkara menentukan nasib seseorang menjadi bersalah ataupun tidak dalam kasus yang di- tuduhkan. Dalam beberapa persidangan dalam kasus penodaan ag- ama, terlihat hakim tidak netral dengan mengajukan pertanyaan- pertanyaan yang cenderung mendiskreditkan pelaku, dan dalam beberapa kasus tidak memberikan kesempatan kepada tersangka untuk melakukan pembelaan secara layak. Hakim di pengadilan seharusnya dapat melepaskan diri dari berbagai pandangan, khu- susnya keyakinan keagamaannya untuk mendapatkan kebenaran yang sesungguhnya, sehingga hakim dapat memutus secara adil sesuai hati nuraninya.