sedangkan bagi Yang Maha Absolut kategori waktu seperti itu tidak berlaku
69
. Melihat kenyataan di atas maka kesadaran adanya aspek
substansi dan bentuk, adanya wahyu tertulis, tercipta, dan materi dalam kalbu, akan membuka banyak jalan alternatif menuju Jalan
Lurus, tanpa kita mengingkari adanya orang yang yang mengingkari agama ataupun yang menyimpang dari jalan yang
benar. Meminjam ungkapan Schuon; Inwardly, or in terms of substance, the claims that a
religion makes are ibsolute, but outwardly, or in terms of form, and so on the level of human contingency, they are
necessarily relative. Secara esoteris, atau dalam pengertian substansi, klaim ataupun pernyataan-
pernyataan yang d ibuat oleh suatu agama bersifat mutlak. Tetapi, secara eksoterik, atau dalam pengertian
bentuk, atau pada tingkat keberagamaan manusiawi, pernyataan-pernyataan tersebut mau mau menjadi
relatif
70
3. Relatif dan Absolut
Paul Knitter dalam bukunya No Other Name?; A Critical Survey of Christian Attitudes, Toward the World Religion 1985
mengatakan, “Anda tidak dapat mengatakan bahwa agama yang satu lebih baik dari yang lain.
You cant say that one is better than another…, All religions are relative that is, limited, partial, incomplete, one way of
looking at thing. To hold that any religion is intrinsically better than another is felt to be somehow wrong, offensif,
narrowminded.’’…Anda tidak bisa mengatakan bahwa agama yang satu lebih baik dari agama yang lain. Semua agama pada
dasarnya semua relative-yaitu terbatas, parsial, tidak lengkap- sebagai jalan dalam melihat segala sesuatu. Menganggap
bahwa sebuah agama secara intrinsik lebih baik dari yang lain, sekarang oleh ahli agama-agama dirasakan sebagai sebuah
69
Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, agama Masa Depan, Perspektif Filsafat perennial… h.54-55
70
Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, agama Masa Depan, Perspektif Filsafat perennial… h.5
sikap yang agak salah,ofensif, dan merupakan pandangan yang sempit
71
. Sebagaimana menurut pendapat Knitter diatas, Bahwa
semua agama pada dasarnya adalah seperti dikatakan dalam filsafat perennial, relatively absolute hanya secara relative absolute, atas
klaim kebenaran yang secara tradisional memang inheren dalam agama, maka agama bisa diharapkan kembali, seperti dulunya
menggambil peranan pembebasan interior dan eksterior atas kemanusiaan. Klaim kebenaran bahwa agamanya sendirilah yang
paling benar atau lebih tinggi kebenarannya akan mendapat tantangan yang besar sekarang ini, Pluralisme keagamaan
merupakan tantangan khusus yang dihadapi agama-agama dewasa ini Tentu saja yang dimaksudkannya dengan tantangan di sini
adalah perlunya keberanian melakukan definisi ulang atas keberadaan dan kebenaran dari agama lain.
Tapi untuk mencapai maksud ini memang kita perlu memasuki suatu bidang yang disebut meta-religious language yang
termasuk dalam bidang metafisika. Karena hanya dalam bidang inilah termuat seluruh pengertian dari makna terdalam semua
struktur logis bahasa teologi agama-agama
72
. Kemampuan kita memahami makna terdalam dari setiap agama inilah yang
diharapkan bisa menjadi penghancur tembok pemisah teologis agama-agama, yang selama ini menjadi hambatan dalam dialog dan
hubungan agama-agama. Sebagaimana telah dikatakan sebelumnya, kebenaran yang
sejati itu hanya satu, bersumber dari dan bermuara pada Yang Maha Benar. Hanya saja, manifestasi dari kebenaran itu selalu
tampil dalam wujudnya yang plural. Dibalik pluralitas ini terdapat
71
Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, agama Masa Depan, Perspektif Filsafat perennial…, h.23
72
Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, agama Masa Depan, Perspektif Filsafat perennial…, h.xlii
kebenaran tunggal, namun tidak mungkin diketahui secara tuntas oleh manusia sebab realitas metafisis-ontologis selalu berada di
luar jangkauan manusia. Oleh karena-nya semua agama pasti hadir menyapa manusia dengan bantuan medium sejarah dan kultur.
Dengan demikian pluralitas pemahaman agama merupakan keniscayaan teologis, psikologis, dan historis. Ini tidak berarti kita
lalu menutup mata dari kemung-kinan terjadinya penyimpangan dan pendangkalan ajaran agama yang agung itu. Hanya saja secara
apriori semua manusia sesungguhnya ingin berpartisipasi memperoleh cahaya kebenaran dan jalan keselamatan yang
ditawarkan oleh semua agama. Bahwa sejauh mana seseorang bisa mengenal dan memperoleh jalan keselamatan, secara teologis bisa
saja diduga-duga. Namun begitu sehebat-hebatnya teologi tetap tidak mampu memastikan tingkat kedekatan seorang hamba dengan
Tuhannya serta tidak mampu menyajikan laporan yang valid tentang apakah seseorang tengah menapaki ataukah menjauhi jalan
keselamatan. Pada akhirnya, kebenaran iman dan jalan keselamatan
merupakan obyek dan komitmen nurani dan akal sehat yang selalu didekati dan dipahami secara terus-menerus, bukannya sebuah
situasi yang mapan, tuntas dan selesai
73
.
4. Partikular dan Universal
Hakikat agama itu satu, tetapi karena agama muncul dalam ruang dan waktu secara tidak simultan, maka pluralitas dan
partikularitas bentuk dan bahasa agama tidak bisa dielakkan dalam realitas sejarah. Dengan ungkapan lain, pesan kebenaran yang
Absolut itu berpartisipasi dan bersimbiose dalam dialektika sejarah. Maka setiap bentuk dan bahasa keagamaan juga mengandung
muatan nilai-nilai budaya dari sebuah komunitas dan pada waktu
73
Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, agama Masa Depan, Perspektif Filsafat perennial…, h.