Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
agama yang dianutnya, namun demikian komitmen terhadap agama juga dapat menumbuhkan dua sikap yang berbeda, yakni inklusif dan ekslusif
3
Adanya pendistorsian
ajaran-ajaran agama
sampai kepada
ekslusivisme terhadap ajaran-ajaran tersebut telah berlangsung seiring dengan munculnya agama-agama di dunia. Bila kita melihat sejarah tentang agama-
agama khususnya Yahudi, Kristen dan Islam, memang selalu identik dan kontras dengan kekerasan dan peperangan. Sejarah mencatat keterlibatan tiga
agama samawi tersebut dalam berbagai konflik dan pertikaian yang hingga saat ini masih membiuskan kebencian diantara sebagian penganutnya.
Mungkin dapat dikatakan sebagai suatu “warisan historis” yang bersifat sentimentil, kondisi yang sangat memprihatinkan, karena bila keadaan ini
dibiarkan terus berlanjut maka layaknya sebuah “kanker universal” yang bukan hanya merusak tatanan hidup sosio-budaya dan politik melainkan juga
berimplikasi pada kehidupan manusia baik secara nasional dan internasional dalam bingkai yang ekslusif.
Perlu dipahami bahwa pendistorsian nilai-nilai kebenaran yang dianut sampai kepada ekslusivitas pembenaran suatu agama terhadap kebenaran
agama lain dapat menyebabkan terhapusnya substansi ajaran yang dimiliki agama itu sendiri, juga dapat menjauhkan kita dari nilai-nilai humanis serta
menjauhkan kita terhadap universalitas kehendak Tuhan. Sikap ekslusivisme teologis dalam memandang perbedaan dan
pluralitas agama semacam ini sesungguhnya merugikan diri sendiri, karena mempersempit bagi masuknya kebenaran-kebenaran baru yang dapat
membuat hidup ini lebih lapang dan kaya. Kita tidak bisa mengingkari adanya kemungkinan bahwa dalam perkembangannya sebuah agama mengalami
3
Bagi para pemeluk agama yang cenderung menempuh jalan ekslusif, mereka menunjukkan sikap “keras” terhadap orang lain karena adanya klaim kebenaran pada agamanya
sendiri. Mereka menganggap bahwa agamanyalah yang paling benar dan sempurna, sedang agama lain dianggap salah dan menyeleweng, atau ostilah apa saja yang menimbulkan permusuhan.
Sebaliknya, komitmen terhadap ajaran sendiri dapat pula menumbuhkan sikap inklusif, yang pengalamannya lebih fleksibel, akomodatif dan kondusif, dengan tanpa mengorbankan nilai-nilai
ajaran agama tersebut. Sikap ini lebih manusiawi karena siapapun mengakui karena ajaran agama diberikan oleh Tuhan kepada manusia agar lebih mengakui derajat mereka, bukan untuk
permusuhan. Lihat : Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan : Dialog Pluralisme Agama, Yogyakarta : LKiS, 2002, Cet.1, h.1
deviasi atau penyimpangan dalam hal doktrin dan prakteknya
4
. Tetapi arogansi teologis yang memandang agama lain sesat dan tidak akan
memperoleh jalan keselamatan, sebaliknya justru menjauhkan kita dari substansi sikap keberagamaan yang serba kasih dan mengajak kepada jalan
kebenaran. Konflik-konflik teologis yang terjadi pun bukan hanya notabene berbeda tetapi juga terjadi dalam suatu komunitas seagama
5
Nampaknya kita perlu menelaahi bahwa terjadinya konflik diantara pemeluk agama tidak berlandaskan pada akidah semata, tetapi juga adanya
latar belakang politis, budaya dan ekonomi yang menjadi pemicunya. Unsur- unsur politik itu dapat kita analisis berdasarkan sejarah pemerintahan dan
kondisi keagamaan masyarakat pada masa itu
6
Walau bagaimanapun, penggunaan agama sebagai tameng untuk kepentingan dan tujuan politis ini telah mengorbankan kesucian agama,
dimana setiap agama mengajarkan untuk hidup dan membawa perdamaian universal bagi umat manusia.
Sedangkan dari sudut pandang sosiologis, konflik antar agama lahir dari sentimen publik yang merasa kecewa terhadap penindasan, kesewenang-
wenangan dan hegemoni politik terhadap kaum lemah miskin dan minoritas. Sehingga dapat dikatakan bahwa kemiskinan sangat rentan terhadap arogansi
individu dan kelompok, tindakan-tindakan radikal bahkan pemberontakan. Hal ini didasari karena adanya rasa ketidakberdayaan menghadapi ketidak-
adilan merasa terdiskriminasi yang akhirnya memicu pemberontakan yang
4
Komarudin Hidayat, Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Perenial, Jakarta : Paramadina, 1995, Cet.1, h.9
5
Sejarah membuktikan kepada kita bagaimana kerasnya bentrokan yang terjadi antara satu aliran dengan aliran lain. Bentrokan semacam ini semakin menjadi ironi, ketika ternyata yang
muncul dan yang menjadian isu secara kuat adalah kepentingan politiknya. Simbiose pandangan politik teologis ini selalu cenderung mengarah pada konspirasi ekslusif dan potensial bagi
munculnya tindakan kekerasan dengan mengatasnamakan kebenaran. Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, agama Masa Depan, Perspektif Filsafat perennial…, h.9-10
6
Menurut sudut pandang penulis, setidaknya ada dua unsur politik, pertama karena adanya keinginan legitimasi keagamaan oleh kaum mayoritas sehingga melahirkan sikap
mengintimidasi, mengintervensi bahkan mengekspansi kaum minoritas. Kedua, karena adanya kekhawatiran dari kaum minoritas terhadap hegemoni politik dalam suatu masyarakat atau
pemerintahan yang berlandaskan pada suatu agama tertentu sehingga melahirkan pemberontakan untuk menjatuhkan dan merubah pemerintahan
dilakukan dalam bentuk teror-teror. sementara itu, bila kita telusuri lebih jauh lagi, pertikaian yang terjadi beberapa abad belakangan ini cenderung dipenuhi
arus kecurigaan dari konflik-konflik sejarah yang terjadi dimasa lalu, sebagaimana yang marak terjadi di kawasan Timur Tengah Irak, Palestina
dan Afganistan, Asia Selatan India dan Pakistan, Maupun di kawasan Asia Tenggara Indonesia, Malaysia, Filipina dan Thailand. karena memang
negara-negara tersebut diatas memiliki sejarah kelam konflik politik, sosial dan budaya, yang kemudian berimbas pada konflik antar agama
7
. Pertikaian antar agama yang terjadi di masa lalu khususnya Yahudi,
Kristen dan Islam, kini telah menampakkan wujudnya dalam sebuah formalitas dan legalitasnya sebagaimana yang sering kita dengar dengan
istilah “The Holy War” atau perang suci
8
. Istilah perang suci inilah yang dijadikan landasan pembenaran untuk mengintervensi dan mengintimidasi
agama lain. Setidaknya hal ini membuktikan bahwa pertikaian antar agama telah
menjelmakan bentuknya sebagai momok yang menakutkan dan meresahkan, apalagi diiringi dengan penindasan dan teror yang akan menggoreskan trauma
mendalam pada kehidupan umat manusia. Kiranya inilah yang penulis maksudkan dengan ”warisan historis”
9
yang dipenuhi kebencian, prasangka buruk dan kecurigaan yang melekat pada
7
Menurut pandangan penulis, meski agama bukanlah sumber konflik, tetapi memang agama memiliki potensi konflik, dikarenakan agama memiliki kekuatan massa dengan berbagai
doktrinnya. Maka dalam hal ini, mereka yang bertikai sengaja menjual memanfaatkan semangat perjuangan umat penganut agama untuk meraih simpati, dukungan kekuatan dan kekuasaan.
Sedangkan mereka yang menjadi obyek sasaran adalah para pemeluk agama yang memiliki pandangan ekslusif. oleh karena itu, inilah yang penulis maksud, bahwa ekslusivisme beragama
dapat menimbulkan potensi konflik.
8
Perang suci atau Holy War adalah istilah yang dulu digunakan pada peristiwa perang salib. Saat ini istilah perang suci digunakan untuk misi penyelamatan diluar gereja agama Kristen
karena klaim kebenaran mutlak yang dimilikinya, secara terorganisir dan sistematis adalah upaya para orientalis kristiani. Istilah perang suci juga digunakan umat islam untuk mengabsurdkan nilai-
nilai dan makna jihad.
9
Sebagai contoh warisan historis pertentangan antar agama yang paling dikenal dalam sejarah adalah pertentangan antara Islam dan Kristen. Pertentangan ini pada tahap
perkembangannya telah memecah dunia pada garis imajinatif Timur dan Barat. Timur identik dengan Islam, yang berarti pula Negara-negara terbelakang, bodoh, miskin, biadab dan teroris.
Gambaran-gambaran demikian, sangat kental dengan masyarakat Islam yang tersebar dikalangan masyarakat Barat akibat ulah para orientalis. Demikian pula sebaliknya, barat identik dengan
sebagian pemeluk agama, sehingga konflik apapun yang terjadi selalu saja dikaitkan dengan permusuhan antar pemeluk agama pada masa lampau, untuk
kemudian menganggap penganut agama lain sebagai musuh yang harus diperangi. Pola pikir seperti ini baik secara konstan maupun terstruktur
menimbulkan tindakan yang radikal terhadap pemeluk agama lain. Sebagaimana dikatakan diatas bahwa fanatisme dan eklusivisme yang
berlebihan dapat menimbulkan kebencian serta tindakan yang radikal. Selain itu, radikalisme antar pemeluk agama juga dapat disebabkan dari
ketidakpuasan terhadap suatu sistem ideologi yang dianut dan berkembang pada suatu Negara. Dewasa ini, sikap radikal menjadi lebih luas lagi, bukan
hanya dikarenakan fanatisme, kebencian dan ekslusivisme melainkan sebagai reaksi ketidakpuasan dari kegagalan modernisme, libelisme dan sekulerisme.
Hal ini terjadi karena pada kenyataannya, baik modernisme, libelisme dan sekulerisme tidak mampu memberi kesejahteraan dan ketenangan hidup,
tetapi sebaliknya hanya menyengsarakan dan menciptakan tirani global srta makin menumbuhkan tatanan-tatanan primordial yang terbelakang.
Arus globalisasi, migarsi dan multikulturalisme makin menambah persoalan hidup bersama bagi masyarakat multi budaya dan agama seperti
Indonesia. Ditambah lagi perkembangan ideologi agama-agama dan bentuk spiritualiatas baru yang muncul bak jamur di musim hujan. Disinlah mengapa
suatu paradigma baru misi agama-agama menjadi amat mendesak
10
. Perubahan paradigma yang diperlukan adalah upaya pencarian guna
memahami penyelamatan sebagaimana yang diekpresikan dalam agama- agama lain
Masing-masing penganut agama semestinya memiliki kesadaran dan kesamaan prinsip teologis “the One of Many” atau “the One God” adalah
bahwa Tuhan yang kita sembah adalah Tuhan semua manusia yang
penjajah, Kristen, arogan dan amoral. Perbedaan persepsi ini diakibatkan mis-informasi, pada akhirnya berimplikasi pada semakin melebarnya jurang dan pertikaian antara Timur dan Barat.
Lihat : Amir Mahmud ed., Islam dan Realitas Sosial di Mata Intelektual Muslim Indonesia, Jakarta : Edu Indonesia Sinergi, 2005, h.212
10
Muhammad Ali, Teologi Pluralis multikulral: Mengharagai kemejmukan menjalin kebersamaan, Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 2003, cet. 1, h.11
termanifestasi dalam berbagai nama, bukan Tuhan dalam pengetahuan manusia yang diperoleh dari sejarah dan budaya semata yang tersistematisasi
oleh doktrin melainkan pengenalan kepada Tuhan melalui penghayatan dan “cinta” yakni dengan penggalian makna keagamaan yang terkandung dalam
wahyu kitab suci sebagai pesan moral ajaran Tuhan. Inilah suatu orisinilitas ketauhidan secara kritis tanpa alih-alih dan batas ekslusif sebagai suatu
kebenaran absolut dan kekal. Semangat ajaran seperti inilah yang diterapkan oleh kaum sufi dalam tasawufnya dan kaum Sophia-perenis dalam filsafat
perenialismenya. Dalam babak baru sejarah umat manusia saat ini, kita sering
mendengar istilah “New Age” – suatu istilah yang muncul baru-baru ini memasuki millennium ketiga adalah suatu “konspirasi universal” tentang
semangat manusia mencari “romantisme mistik-spiritual” dalam menghadapi krisis sosial kehidupan umat manusia. Istilah New Age tidak lain adalah untuk
membentuk millennium baru yang menggambarkan mencita-citakan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diiringi dengan
keharmonisan hidup beragama dan bermasyarakat dalam tatanan global. Manusia pada saat ini membutuhkan agama yang humanistik dan
universal sebagaimana pada terkandung dalam ajaran agama, bukan wajah- wajah kekerasan yang menutupi substansi keramahan agama. Dalam hal ini
kita tidak boleh memahami New Age sebagai gagasan yang berupaya untuk me-relatif-kan agama-agama atau bahkan membentuk suatu agama baru
teologi global, melainkan perlu dipahami bahwa New Age berupaya untuk menghapus adanya standar ganda
11
claim of truth and claim of salvation
11
Standar ganda yaitu menerapkan standar yang berbeda untuk dirinya agamanya dan orang agama lain. Terhadap agama yang dianutnya, maka standar yang digunakan bersifat ideal
normatif, bahwa agamanyalah yang paling benar dan otentik dari Tuhan sedangkan agama lainnya salah. Hal ini dikarenakan standar yang digunakan dalam melihat agama lain berbeda dengan
standar yang digunakan untuk agamanya, maka standar yang digunakan untuk agama lain hanya berdasarkan realitas historis, bahwa agama lainnya adalah konstruksi pemikiran manusia atau telah
diselewengkan oleh manusia. Standar ganda atau standar kebenaran yang dipakai oleh sebagian pemeluk agama sebagai fundamen mengejawantah kebenaran selain kebenaran yang dimilikinya.
Mereka mengatakan bahwa kebenaran mereka adalah satu-satunya kebenaran dari Tuhan, Standar ganda juga dipakai untuk melegalkan legitimasi tindakan dan anarkisme terhadap agama agama
yang dijadikan landasan pengkafiran dan diperbolehkannya memerangi umat agama lain. New Age mengantarkan manusia pada pemahaman kesetaraan
hak asasi manusia serta keimanannya di hadapan Tuhan, New Age merupakan suatu ideologi universal yang membangkitkan nilai-nilai humanis yang
dicitrakan oleh agama. Era kebangkitan agama-agama ini semestinya bukan hanya harapan
semata, meski tidak dapat kita pungkiri bahwa hingga saat ini permasalahan mengenai agama-agama masih mencari suatu formula yang efektif bukan
hanya pada tataran teoretis-konsepsional melainkan juga pada tataran yang praktis dan konkrit. Hal-hal yang jelas nyata, karena tidak semua pemeluk
agama dapat dengan mudah memahami tujuan konseptual para cendikia dan pemuka agamanya. Walaupun dalam tataran praksisnya setiap umat agama
mengharapkan keharmonisan beragama tetapi seringkali gagasan konseptual tersebut saat memasuki ranah publik menjadi “mentah” dan menuai polemik
bahkan “bumerang” baik secara internal seagama maupun antar umat beragama.
Ditengah kenyataan pluralitas sosio-religio dewasa ini, perbincangan mengenai titik temu agama-agama semakin terasa menghangat. Hal ini
dikarenakan pergaulan antara agama dalam kehidupan sehari-hari semakin terasa intens. Intensitas pergaulan antar agama tersebut menuntut manusia
untuk dapat memposisikan eksistensi teologisnya diantara agama-agama lain. Untuk dapat hidup berdampingan kita harus memiliki pemahaman yang
komprehensif tentang hakikat agama dan memandangnya secara rasional dan terbuka agar tidak terjebak dalam dikotomi dan distorsi kebenaran,
memisahkan sekat-sekat perbedaan eksoteris dan menyatukan persamaan esoteris akan menuju pada sikap keberagamaan yang toleran, meredam
pengakuan superior dan menyadari eksistensi agama lain adalah sikap kerendahan hati menerima rahmat Tuhan. Demikianlah Tuhan menetapkan
lain. Lihat : Adeng Muhtar Ghazaly, Ilmu Studi Agama, Jakarta : CV. Pustaka Setia, 2005, Cet.1, h.25
keniscayaan pluralitas sebagai sunnah-Nya agar manusia dapat menjaga kemajemukan tersebut sebagai suatu kesatuan yang utuh.
Bahwa sesungguhnya lewat ajaran agama, Tuhan telah menyampaikan pesan universal-Nya, yakni pesan moral kepada seluruh umat manusia yang
dirisalahkan melalui para utusan-Nya. Pesan moral ajaran Tuhan inilah yang harus kita wujudkan tanpa memandang perbedaan dan menyatukan kesamaan
yang terkandung dalam setiap agama serta berupaya mencari kebenaran ajaran Tuhan yang hakiki. Dengan demikian manusia telah menjalankan
fungsinya sebagai makhluk hamba ‘abid Tuhan. Menjaga persatuan serta perdamaian dimuka bumi dengan cara mengaktualisasikan ajaran agama
tersebut dengan baik dan benar, berarti manusia telah menjalankan fungsinya sebagai wakil pengganti khalifah. Lebih dalam lagi, sifat tersebut akan
mengantarkan manusia menemukan esensi agamanya yang secara implisit dan substansial telah mengokohkan keimanan serta kemurnian iman kepada
Tuhan. Hal inilah yang terus diupayakan para elitepemuka agama dengan
menggali landasan-landasan historis, filosofis dan epistemologis antar agama untuk kemudian memberi kesepahaman logis serta konsekuensi teknis yang
diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Tren harmonisasi agama-agama dapat kita temukan dari dua konsep
yang selalu menuai polemik dan kontroversi yakni konsep kesatuan agama- agama atau lebih dikenal dalam dunia tasawuf dengan wahdat al-Adyan dan
konsep kemajemukan agama atau lebih dikenal dalam dunia filsafat dengan pluralism agama. Kedua konsep tersebut masing-masing lahir dari sosio-
historis, landasan filosofis dan epistemologis yang berbeda, namun keduanya sama-sama bertujuan untuk mencari titik temu agama-agama.
Perlunya pemahaman yang lurus mengenai wahdat al-Adyan dan pluralisme agama sehingga kedua konsep ini tidak lagi menjadi pro-kontra
akan tetapi kita perlu memandangnya sebagai ajaran tentang sikap saling menghormati dan menghargai antar pemeluk agama sehingga mereka yang
bertentengan ideologi tidak lagi saling menyalahkan atau mengkafirkan.
Adapun beberapa diantara pengertian wahdat al-Adyan dan pluralisme agama adalah :
“Wahdat al-Adyan mengajarkan bahwa pada hakikatnya agama- agama bertujuan sama dan mengabdi kepada Tuhan yang sama pula.
Perbedaan yang ada hanya bentuk luar dan namanya saja. Jadi, agama apapun dapat dipahami setara karena sumbernya satu, yakni Tuhan.
wahdat al-Adyan menyalahkan orang yang menyalahkan agama orang lain sekaligus ia mengajarkan agar seseorang patuh dan konsisten
pada ajaran masing-masing. Oleh karena itu konsep ini sama sekali tidak mengarahkan pada upaya menyatukan agama-agama
12
“Pluralisme adalah sikap atau paham terhadap keadaan majemuk, baik dalam konteks sosial, politik, budaya maupun agama. Dengan
demikian yang dimaksud dengan pluralisme keagamaan adalah terdapat lebih dari satu agama yang mempunyai eksistensi yang hidup
berdampingan dan saling berinteraksi antara satu agama dengan penganut agama lainnya atau dalam pengertian lain, setiap pemeluk
agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan menghormati hak agama orang lain, guna tercapainya kerukunan dalam keragaman.
Jadi pluralisme keagamaan bukan menciptakan agama baru atau sebuah ideologi alternatif yang menggantikan atau setara dengan
ideologi agama yang bersifat Ilahiah
13
. Dapat dikatakan bahwa dari kedua konsep tersebut eksistensi agama-
agama adalah entitas yang harus diterima dan diakui oleh manusia. Manusia tidak lagi dipandang dari segi agama yang dianutnya sebagai tolak ukur
dalam pencapaian kebenaran Tuhan karena yang berhak menentukan hal tersebut adalah Tuhan sendiri.
Hal yang paling menarik dari paham wahdat al-Adyan dan pluralisme agama menurut penulis adalah dari sisi persamaan sekaligus perbedaannya,
karena kedua konsep ini digunakan sebagai solusi alternatif untuk permasalahan agama-agama di dunia. Kedua konsep yang nampaknya sama
namun juga berbeda sehingga memerlukan analisis lebih jauh, apakah kandungan dari kedua ajaran tersebut ternyata memang sama, hanya saja
dikemas dalam term yang berbeda? Apakah ada keterkaitan yang saling mengilhami sehingga memungkinkan bahwa ajaran pluralisme telah
terkandung merupakan bagian dari ajaran wahdat al-Adyan, atau sebaliknya
12
Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan : Dialog Pluralisme Agama…, h.2
13
Amir Mahmud ed, Islam dan Realitas Sosial…, h.209
ajaran wahdat al-Adyan telah terkandung bagian dari ajaran pluralisme? Dalam hal ini diperlukan suatu analisis sosio-historis dan epistemologis serta
meninjau kembali orientasi dan tujuan baik dari sisi teologis maupun sosio- humanis, sehingga dapat terlihat ada atau tidaknya relevansi diantara kedua
konsep tersebut. Berdasarkan pemaparan diatas, penulis bermaksud menganalisis
kedua konsep tersebut dan mencari relevansi keterkaitan dan kesesuaian-
nya, sehingga penelitian penulisan ini diberi judul “WAHDAT AL-ADYAN DAN RELEVANSINYA DENGAN PLURALISME AGAMA”