Agama dan Sikap Keagamaan

bertumpuk dan berkembang terus menerus-menerus dalam apa yang disebut tradisi kumulatif” 10 . Bila kita melangkah lebih jauh lagi pada arah ini, untuk melihat perbedaannya antara din dalam arti obyektif umum dengan din arti tradisi akan kita temukan dalam ayat yang berbunyi “Hari ini telah Kusempurnakan agamamu dan Aku ridhoi Islam sebagai agamamu 11 ”, dengan ayat lainnya yang berbunyi “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu sehingga kamu mengikuti millah agama mereka 12 ” kata din tampaknya bermakna “agama” yang objektif dan umum yang mengarah pada suatu ketaatan. Bila kita melangkah lebih jauh lagi pada arah ini, yakni arah yang umum, maka konsep tersebut berubah menjadi millah, yang merupakan agama sebagai sesuatu yang objektif dalam arti kata yang sesungguhnya, suatu sistem kepercayaan dan ritual formal yang merupakan prinsip-prinsip kesatuan bagi suatu masyarakat religius dan karya sebagai asas bagi kehidupan sosialnya. Tidak seperti kata din yang masih mempertahankan konotasi personal, betapapun jauhnya kita menuju kearah pengertian umum, millah mengandung arti sesuatu yang tegas, objektif dan formal dan ia selalu mengingatkan kita akan eksistensi suatu masyarakat yang berlandaskan pada suatu agama yang lazim 13 . 10 Tradisi kumulatif, adalah istilah yang ia gunakan – disebutkan oleh Willfred Cantwell Smith sendiri, dalam tradisi kumulatif, menurutnya; setiap person dihadapkan pada tradisi kumulatif dan tumbuh ditengah person-person yang lain yang memandang tradisi mereka penuh makna. Dari tradisi itu, dari person-person lain, dan dari kapasitas batiniah person yang bersangkutan serta lingkungan kehidupan lahiriahnya, si person sampai kepada suatu iman yang adalah miliknya sendiri. Tradisi itu, dalam aktualitasnya yang terindera dan person-person lain yang berada dalam tradisi itu – berpartisipasi secara mirip dengannya – mengasuh serta menumbuhkembangkan imannya dan memberinya bentuk. Sebaliknya, iman si person itu memberikan kepada tradisi konkrit yang bersangkutan, lebih dari sekedar signifikansi intrinsik dan menggalakkan sesama warga tradisi untuk tekun melanjutkan keterlibatannya dalam tradisi itu. Lihat : Wilfred Cantwell Smith, Memburu Makna Agama, terj. The Meaning and End of Religion, Bandung : PT. Mizan Pustaka, 2004, Cet.1 h.321-322 11 Q.S Al-Miadah 5 : 3 12 Q.S. Al-Baqarah 2 : 120 13 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia…, h.254 Din berasal dari “kepatuhan” yang sangat personal, yang bersifat umum; pada tahap akhir perkembangannya semakin menuju konsep millah tersebut. Persoalan ini akan menjadi jelas bila kita membandingkan Surah Ali Imran 3, ayat 73 yang telah kita kutip diatas dengan surat al-Baqarah 2, ayat 120, tempat situasi yang sama disebutkan dengan millah, bukannya din. ﺭﺎﺼﻨﻟﺍ ﹶﻻﻭ ﺩﻮﻬﻴﹾﻟﺍ ﻚﻨﻋ ﻰﺿﺮﺗ ﻦﹶﻟﻭ ﻢﻬﺘﱠﻠﻣ ﻊﹺﺒﺘﺗ ﻰﺘﺣ ﻯ ﺓﺮﻘﺒﻟﺍ ١٢٠ “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama millah mereka” . Q.S . Al-Baqarah, 2 : 120 14 Sinonim antara din dengan millah tampak lebih jelas pada Surat al- An’am 6, ayat 161 yang berbunyi: ﹶﺔﱠﻠﻣ ﺎﻤﻴﻗ ﺎﻨﻳﺩ ﹴﻢﻴﻘﺘﺴﻣ ﻁﺍﺮﺻ ﻰﹶﻟﹺﺇ ﻲﺑﺭ ﻲﹺﻧﺍﺪﻫ ﻲﹺﻨﻧﹺﺇ ﹾﻞﹸﻗ ﻦﻣ ﹶﻥﺎﹶﻛﺎﻣﻭ ﺎﹰﻔﻴﹺﻨﺣ ﻢﻴﻫﺍﺮﺑﹺﺇ ﲔﻛﹺﺮﺸﻤﹾﻟﺍ ﻡﺎﻌﻧﻷﺍ ١۶۱ “Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan lurus, yaitu agama din yang benar; agama millah Ibrahim yang lurus; dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang musyrik” Q.S. An’am, 6 : 161 15 Disini penting sekali kita melihat tiga konsep penting yang memiliki kesejajaran antara satu dengan lainnya : jalan yang lurus = din yang benar = millah Ibrahim. Tetapi bila kita kembali ke titik awal keberangkatan kita din dan millah menjadi semakin berbeda satu sama lain, sehingga kita tidak saling tukar. Misalnya, dalam surah Az-Zumar 39, ayat 2 dapat kita baca : ﺤﹾﻟﺎﹺﺑ ﺏﺎﺘﻜﹾﻟﺍ ﻚﻴﹶﻟﹺﺇ ﺂﻨﹾﻟﺰﻧﹶﺃ ﺂﻧﹺﺇ ﻦﻳﺪﻟﺍ ﻪﱠﻟ ﺎﺼﻠﺨﻣ َﷲﺍ ﺪﺒﻋﺎﹶﻓ ﻖ ﺮﻣﺰﻟﺍ ٢ 14 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya, Jakarta : Yayasan Penyelenggara Penterjemah Pentafsir Al-Quran, 1971. 15 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.216 “Sesunggunhya kami menurunkan kepadamu kitab al-Quran dengan membawa kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan din kepada-Nya” Q.S. Az-Zumar, 39: 2 16 Disini Tuhan menggunakan kata-kata tersebut secara langsung kepada Nabi Muhammad Saw dan meneru beliau sebagai seorang hamba untk menyembah Tuhan. Dalam konteks ini, persoalan tersebut menyangkut setiap religious masing-masing individu, dan secara objektif bukan merupakan sistem agama yang formal. Millah pada hakikatnya merupakan persoalan ummah, sedangkan din menurut asal-usulnya merupakan persoalan masing- masing individu yang beriman. Berbagai istilah agama dan artinya telah melahirkan berbagai macam definisi, namun pendifinisian agama hingga saat ini masih belum berlaku dan dapat diterima disepakati. Hal ini dikarenakan agama memenuhi berbagai lingkupnya untuk didefinisikan 17 , selain agama menyangkut batin dan pengalaman rohani manusia, ia juga meliputi berbagai formalitasnya sebagai agama; baik dari segi ajaran dogma dan doktrin, tradisi, institusi dan sejarahnya, kebudayaan dan peradaban yang masing-masing agama berbeda atau bahkan berlawanan. Namun demikian, meski sulit terwakilkan oleh satu definisi saja, karena agama menyangkut masalah yang berhubungan dengan batin manusia. Secara garis besar dapat diperoleh kesimpulan bahwa keyakinan terhadap agama didorong oleh keyakinan manusia terhadap kekuatan Adi-Kodrati yang mengatur hidup manusia. Bila kita generalisir berdasarkan perspektif etimologinya, definisi agama din atau religi memiliki dua kutub penekanan pengertian, pertama, agama didefinisikan sebagai perihal yang menekankan rasa iman dan kepercayaan, kedua, agama didefinisikan sebagai aturan tentang cara hidup 18 . 16 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h. .745 17 Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2005, h.213 18 Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, Jakarta : PT. Remaja Rosdakarya, 2003, Cet.11, h.8 Sebagaimana dikatakan diatas, bahwa agama menyangkut kehidupan batin manusia. Oleh karena itu, kesadaran agama dan pengalaman agama seseorang lebih menggambarkan sisi batin dalam kehidupan yang ada kaitannya dengan sesuatu yang sakral dan gaib. Dari kesadaran agama dan pengalaman agama ini pula kemudian muncul sikap keagamaan yang ditampilkan seseorang Lebih lanjut, Prof. Komaruddin Hidayat juga menjelaskan lima tipologi sikap keagamaan, yaitu ekslusivisme, inklusivisme, pluralisme, eklektivisme, dan universalisme. Ekslusivisme adalah sikap keagamaan yang memandang bahwa ajaran yang paling benar adalah agama yang dipeluknya, yang lainnya sesat. Insklusivisme adalah sikap keagamaan yang berpandangan bahwa di luar agama yang dipeluknya, juga terdapat kebenaran, meskipun tidak seutuh dan sesempurna agama yang dianutnya. Pluralisme adalah sikap keagamaan yang berpandangan bahwa secara teologis, pluralitas agama dipandang sebagai realitas niscaya yang masing- masing berdiri sejajar sehingga semangat misionaris dan dakwah dianggap “tidak relevan”. Eklektivisme adalah sikap keagamaan yang berusaha memilih dan mempertemukan berbagai ajaran agama yang dipandang baik dan cocok untuk dirinya sehingga format akhir dari sebuah agama menjadi semacam mozaik eklektik. Universalisme adalah sikap keagamaan yang berpandangan bahwa pada dasarnya semua agama adalah satu dan sama, hanya karena faktor historis yang menyebabkan agama tampil dalam format yang plural 19 . Sikap keagamaan merupakan suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya terhadap agama. Sikap keagamaan tersebut oleh adanya konsistensi antara kepercayaan terhadap agama sebagai unsur kognitif, perasaan terhadap agama sebagai unsur afektif dan perilaku terhadap agama sebagai unsur konatif. Jadi sikap keagamaan merupakan interaksi secara 19 “Dialog: Cara Baru Beragama, Sumbangan Hans Kung bagi Dialog antar-Agama,” dalam Seri DIAN ITahun I: Dialog Kritik dan Identitas Agama Yogyakarta: Dian, 1994, hal. 69 kompleks antara pengetahuan agama, perasaan agama serta tindak keagamaan dalam diri seseorang 20 Dalam studi keagamaan sering dibedakan antara istilah “religion” dengan “religiousity”. Kata religion yang biasa dialih-bahasakan menjadi “agama” pada mulanya kata ini lebih berkonotasi sebagai kata kerja yang mencerminkan sikap keberagamaan atau kesalehan hidup berdasarkan nilai- nilai ketuhanan 21 Agama sebagai kata kerja, berkenaan dengan perwujudan moral ketuhanan dan kemanusiaan. Perwujudan moral ketuhanan dapat diartikan sebagai wujud sifat-sifat ilahiah dalam diri manusia yang termanifestasikan dalam sikap dan tingkah laku atau sering kita sebut dengan akhlak. Perwujudan moral hadir dari rasa kesadaran moral bahwa manusia adalah bagian dari alam semesta yang tidak terpisahkan sehingga kesadaran tersebut mengambil peran dan tanggung jawabnya terhadap dunia ini. Perwujudan moral ketuhanan tersebut yang kemudian termanifestasikan oleh manusia, maka dengan sendirinya akan melahirkan suatu prinsip universal tentang nilai-nilai etis kebaikan hidup manusia. Hal ini senada dengan pendapat A.M. Romly bahwa agama merupakan pelajaran mewujudkan rasa kemanusiaan setinggi-tingginya dalam susunan yang teratur, agar bisa bermanfaat sebanyak-banyaknya untuk kehidupan manusia. Oleh karena itu, tujuan tiap-tiap agama pada hakekatnya adalah sama, yaitu perwujudan prikemanusiaan setinggi-tingginya 22 Dalam Islam, sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW “Tidaklah aku diutus, kecuali untuk menyempurnakan akhlak”. Hal ini sangatlah jelas bahwa agama Islam bertujuan untuk mengembangkan dan membentuk akhlak manusia, sehingga agama dengan seperangkat aturan yang terkandung didalamnya syariat adalah jalan atau cara untuk menumbuhkembangkan akhlak tersebut. Sebagaimana yang dikehendaki agama adalah yang 20 Jalaluddin, Psikologi Agama …, h.239 21 Komarudin Hidayat, The Wisdom of Life, Menjawab Kegelisahan Hidup dan Agama, Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 2008, h.3 22 A.M Romly, Fungsi Agama Bagi Manusia…, h. 85 dikehendaki Tuhan, agar manusia memahami jati dirinya dan eksistensinya untuk berbakti kepada Tuhan, manusia dan alam semesta. Menurut Prof.Dr. Komarudin Hidayat, keberagamaan atau religiusitas lebih mengarah pada kualitas penghayatan dan sikap hidup seseorang berdasarkan nilai-nilai keagamaan yang dianutnya 23 Dengan demikian dapat diartikan bahwa keberagamaan adalah penyikapan atau pemahaman para penganut agama terhadap doktrin, kepercayaan dan ajaran-ajaran Tuhan. Pandangan penganut agama terhadap nilai dan ajaran agama yang parsial memunculkan keberagamaan yang ekstrinsik, hal ini disebabkan pemahaman agama yang literalis dan tekstualis terutama pada teks-teks suci yang mengandung makna ambigu sering dipahami dengan pengertian yang bias dan absurd. Pada sisi ini rekonstruksi terhadap pemahaman agama perlu diupayakan secara sistematis, kontekstual, otentik serta dijadikan komitmen bagi seluruh umat beragama. Untuk memulainya nilai-nilai teologi pembebasan perlu dihadirkan dan melihat relevansinya dengan nilai-nilai kemanusiaan, fakta sosial dan perkembangan zaman. Karena sebenarnya kelahiran agama yang dibawa para rasul Tuhan tidak lain adalah untuk pembebasan terhadap kaum tertindas serta upayanya menegakkan hak-hak asasi manusia 24 Dengan faham dan penghayatan agama yang benar, mestinya seseorang dan masyarakat tumbuh menjadi semakin manusiawi dan beradab. Disisi lain secara diakletis nilai-nilai dan praktek luhur keagamaan juga harus dijaga dan dihormati karena agama merupakan sumber dan pedoman luhur yang sakral untuk kebaikan manusia sendiri 25 Kerukunan dan dialog antar agama harus dijaga dan terus dikembangkan. Semuanya tetap menjaga prinsip yang telah diyakini sebagai inti dari kepercayaan sebuah agama. Dalam hal ini, W. Montgomery Watt menyatakan dalam pengantar bukunya, Islamic Revelation in the Modern 23 Komarudin Hidayat, The Wisdom of Life…, h.4 24 Irwan Suhanda ed, Damai Untuk Perdamaian, Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 2006, Cet.1, …, h.17 25 Irwan Suhanda ed, Damai Untuk Perdamaian, h.xii World 1969, dialog agama melibatkan kesediaan untuk menjawab secara positif pernyataan agama lain tanpa maksud mengubah kesetiaan orang itu terhadap agamanya 26 . Jadi tujuan dialog agama bukan mengajak umat lain masuk agama kita, tetapi mengungkapkan keyakinan yang kita imani agar dapat memperkaya pengetahuan umat lan tentang agama kita sehingga menghindarkan kesalahpahaman dan buruk sangka. Tujuan dialog agama juga bukan untuk mencapai pandangan ideal yang satu, tetapi mencari simpul-simpul ajaran universal yang harus diperjuangkan bersama, seperti keadilan dan perdamaian 27 Dari berbagai pemaparan diatas, agama dipahami dalam bentuk kata kerjanya tentu ia lebih menekankan pada substansi dan nilai-nilai luhur yang aktual didalamnya. Oleh karena itu, pada tataran ini, setiap agama memiliki persamaan tujuan terhadap kemanusiaan. Tetapi kemudian, pada saat yang bersamaan dan dalam perkembangannya agama bergeser menjadi semacam kata benda, yakni sebagai institusi kelembagaan yaitu himpunan doktrin dan ajaran serta hukum-hukum yang telah dibakukan. Proses pembakuan ini berlangsung antara lain melalui proses sistematisasi nilai dan semangat agama, sehingga sosok agama lalu hadir sebagai himpunan sabda Tuhan yang terhimpun dalam literatur keagamaan karangan para tokoh agama 28 . Ketika ajaran agama telah dibungkus menjadi paket-paket informasi ilmiah, maka sesungguhnya telah berlangsung proses obyektivikasi dan rasionalisasi dalam dunia agama, sehingga sangatlah mungkin ruh dan misteri agama akan surut menghilang. Manusia akan lebih memandang bentuk formalitas suatu agama dan semakin jauh dari esensi dasar dan tujuan agamanya. Tentu saja hal ini tidak dapat kita pungkiri, karena setiap agama dari masa-masa lahir dan perkembangannya telah menciptakan tradisi-tradisi yang melekat dengan agama itu sendiri. Namun setidaknya untuk memahami agama yang murni, selain menjaga tradisi positif yang dapat mempertahankan 26 Irwan Suhanda ed, Damai Untuk Perdamaian…, h. 40 27 Irwan Suhanda ed, Damai Untuk Perdamaian…, h. 41 28 Komarudin Hidayat, The Wisdom of Life, …, h.4 eksisitensi agama, harus disertai dengan penghayatan agar kita juga tidak kehilangan spirit semangat pesan dasar agama dan tujuan agama bagi manusia. Dalam menyikapi pluralitas agama tersebut, lahirlah konsep-konsep mengenai sikap keagamaan yang diusung oleh beberapa tokoh. Misalnya, Hans Kung yang mempromosikan ide global ethics, John Hick mengusulkan global theology. Pemikiran eksklusif dari agama-agama diglobalkan dan dilebur agar dikenal dengan gagasan yang disebut teologi inklusif. Teologi ini menekankan bahwa semua agama pada esensinya adalah sama, semuanya benar karena tanpa kecuali seluruhnya mengajarkan kebaikan dan ketundukan kepada Yang Mahakuasa dan Mahabenar. Oleh sebab itu, tidak ada satu pun di antara agama yang ada pada saat ini, lebih superior dibandingkan yang lain.

C. Agama dan Gagasan tentang Tuhan

Umat manusia sejak awal kehadirannya dipentas sejarah telah memberikan nama yang berbeda-beda, sesuai dengan bahasa yang digunakan masing-masing, kepada “Kausa Prima” alam keberadaan. Orang Persia menyebutnya “Yazdan” atau “Khoda”. Orang Inggris menyebutnya “God” atau “Lord”, kita menyebutnya Tuhan atau “Sang Hyang” 29 . Dialah Tuhan Maha Sempurna. Kepercayaan pada “Yang Adi Kodrati”, merupakan bagian integral dari kehidupan manusia, baik terbentuk dalam sebuah lembaga transsendental yang disebut “agama” maupun tidak di-agamakan. Kendati demikian, konsep dan keyakinan tentang Tuhan telah berkembang dan terpecah dalam beberapa aliran ketuhanan. Demikianlah, Tuhan, sejak dulu hingga sekarang telah menjadi obyek perdebatan, pengimanan sekaligus juga penolakan. 29 Kata “tuhan” dalam bahasa Indonesia, misalnya, hampir memiliki arti yang berdekatan dengan “tuan” yang berarti “majikan” atau “pemilik”, atau kata “Hyang” yang memliki kedekatan arti dengan “eyang” yang berarti kakek atau nenek…., Lihat : Ja’far Subhani, Sang Pencipta Menurut Sains dan Filsafat, Jakarta : Penerbit Lentera, 2004, Cet.1, h.11-12 Dari beberapa konsepsi atau pandangan ketuhanan yang amat mendasar yang diterangkan dengan jelas oleh Imam Ja’far ash-Shadiq, guru dari para imam dan tokoh keagamaan besar dalam sejarah Islam, baik untuk kalangan ahlusunnah maupun syi’ah. Dalam sebuah penuturannya ia menjelaskan nama “Allah” dan bagaimana menyembah-Nya secara benar sebagai jawaban atas pertanyaan Hisyam bin Hakam : “Dia Yang Esa itu bukanlah Nama-Nya, melainkan Dzat atau Esensi- Nya, sebab Dia mempunyai banyak nama. Karena itu, al-Baidhawi menegaskan paham Tauhid bukanlah ditujukan kepada nama, melainkan kepada esensi, maka tauhid yang benar ialah “Tauhid al- Dzat” bukan “Tauhid al-Ism” Tauhid Esensi, bukan Tauhid Nama”. “Sesungguhnya kata “Allah” kadang-kadang dieja “Al-Lah” berasal dari kata “ilah”, dan “ilah” mengandung makna “ma’luh” yang disembah, dan nama ism tidaklah sama dengan yang dinamai al- musamma. Maka barangsiapa menyembah nama tanpa makna, ia sungguh telah kafir dan tidak menyembah apa-apa. Barangsiapa menyembah nama dan makna sekaligus, maka ia sungguh telah musyrik dan menyembah dua hal. Barangsiapa menyembah makna tanpa nama, maka itulah Tauhid. Engkau mengerti wahai Hisyam? Hisyam menyatakan lagi, “tambahilah aku ilmu”. Imam Ja’far al- Shadiq menambahkan : “Bagi Allah yang Maha Mulia dan Maha Agung ada 99 nama. Kalau seandainya nama itu sama dengan yang dinamai, maka setiap nama itu adalah suatu Tuhan. Tetapi Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung adalah suatu Makna Esensi yanh diacu oleh nama-nama itu, sedangkan nama-nama itu seluruhnya tidaklah sama dengan Dia… 30 ” Gagasan ketuhanan lainnya yang dapat kita temui, misalnya Plato yang menyatakan ide ketuhanannya melalui apa yang ia sebut dengan Idea Tertinggi, gagasannya tentang Idea tersebut adalah “Idea yang tertinggi adalah idea kebaikan, sebagai Tuhan yang membentuk dunia”, plato menyamakannya dengan matahari yang menyinari semuanya. Idea kebaikan tidak saja sebab timbunya pengetahuan dalam dunia yang lahir, tetapi juga sebab tumbuh dan berkembang segala-galanya. Dengan demikian, idea adalah pokok dan merupakan sumber dari yang ada dan sumber pengetahuan. Selain itu, ia juga mengemukakan bahwa karena sinar yang memancar dari idea kebaikan, semuanya tertarik padanya dank arena itu ia jadi sebab dan tujuan 30 Ja’far Subhani, Sang Pencipta Menurut Sains dan Filsafat…, h.22-23 dari segala-galanya. Dengan kata lain, dalam istilah agama, semua berasal dari idea tertinggi dan segalanya akan kembali kepada-Nya 31 Sedangkan dalam metafisika aristoteles, ide ketuhanan dapat dilihat dari pandangannya tentang gerak dalam pembentukan materi. Menurut Aristoteles, gerak bukan dalam arti tempat, tetapi dalam arti perubahan. Gerak itu ada yang menyebabkannya dan sebab gerak itu sendiri ada pula sebabnya dan seterusnya. Akhirnya sampai pada sebab yang pertama yang immaterial. Tidak bertubuh, tidak bergerak dan, serta cerdas. Sebab gerak pertama itu ialah Tuhan. Dia adalah tetap selama-lamanya, tidak berubah- ubah, terpisah dari yang lain tetapi sebab dari segala-galanya 32 Adapun agasan ketuhanan Konfusius yakni adanya nilai-nilai susila sebagai kehendak dari yang Adi Susila yang disebut Alam Ketuhanan. Ia percaya ahwa dengan menyadari adanya Alam Ketuhanan ia percaya bahwa yang dikerjakannya selaras dengan kehendak Alam Ketuhanan. Konfusius berkeyakinan bahwa ia mengikuti Alam Ketuhanan dan memperoleh dukungan Alam Ketuhanan 33 Gagasan ketuhanan dalam Taoisme adalah dasar ajaran Tao itu sendiri tentang dua konsep, Yang Ada Yu dan Bukan- Yang Ada Wu. “Yang Ada” dan “Bukan Yang Ada” tidak diartikan sebagai dua hal yang bertentangan, melainkan berada dalam hukum sebab-akibat. Yang Ada sebagai akibat dari Yang Bukan Ada sebagai sebabnya. Sebab adanya Yang Ada timbul ada-ada lainnya. “Segala sesuatu di dunia menjadi ada dari Yang Ada Yu; dan Yang Ada menjadi dari Bukan Yang Ada Wu”. Bukan-Yang Ada sebenarnya tidak dapat diberi nama, sehingga tidak dapat dimuat dalam kata-kata 34 31 A.M Romly, Fungsi Agama Bagi Manusia…, h.29 32 A.M Romly, Fungsi Agama Bagi Manusia…, h.30 33 A.M Romly, Fungsi Agama Bagi Manusia…, h.37 34 A.M Romly, Fungsi Agama Bagi Manusia…, h.38