Agama dan Sikap Keagamaan
bertumpuk dan berkembang terus menerus-menerus dalam apa yang disebut tradisi kumulatif”
10
. Bila kita melangkah lebih jauh lagi pada arah ini, untuk melihat
perbedaannya antara din dalam arti obyektif umum dengan din arti tradisi akan kita temukan dalam ayat yang berbunyi “Hari ini telah Kusempurnakan
agamamu dan Aku ridhoi Islam sebagai agamamu
11
”, dengan ayat lainnya yang berbunyi “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada
kamu sehingga kamu mengikuti millah agama mereka
12
” kata din tampaknya bermakna “agama” yang objektif dan umum yang mengarah pada
suatu ketaatan. Bila kita melangkah lebih jauh lagi pada arah ini, yakni arah yang umum, maka konsep tersebut berubah menjadi millah, yang merupakan
agama sebagai sesuatu yang objektif dalam arti kata yang sesungguhnya, suatu sistem kepercayaan dan ritual formal yang merupakan prinsip-prinsip
kesatuan bagi suatu masyarakat religius dan karya sebagai asas bagi kehidupan sosialnya. Tidak seperti kata din yang masih mempertahankan
konotasi personal, betapapun jauhnya kita menuju kearah pengertian umum, millah mengandung arti sesuatu yang tegas, objektif dan formal dan ia selalu
mengingatkan kita akan eksistensi suatu masyarakat yang berlandaskan pada suatu agama yang lazim
13
.
10
Tradisi kumulatif, adalah istilah yang ia gunakan – disebutkan oleh Willfred Cantwell Smith sendiri, dalam tradisi kumulatif, menurutnya; setiap person dihadapkan pada tradisi
kumulatif dan tumbuh ditengah person-person yang lain yang memandang tradisi mereka penuh makna. Dari tradisi itu, dari person-person lain, dan dari kapasitas batiniah person yang
bersangkutan serta lingkungan kehidupan lahiriahnya, si person sampai kepada suatu iman yang adalah miliknya sendiri. Tradisi itu, dalam aktualitasnya yang terindera dan person-person lain
yang berada dalam tradisi itu – berpartisipasi secara mirip dengannya – mengasuh serta menumbuhkembangkan imannya dan memberinya bentuk. Sebaliknya, iman si person itu
memberikan kepada tradisi konkrit yang bersangkutan, lebih dari sekedar signifikansi intrinsik dan menggalakkan sesama warga tradisi untuk tekun melanjutkan keterlibatannya dalam tradisi itu.
Lihat
: Wilfred Cantwell Smith, Memburu Makna Agama, terj. The Meaning and End of Religion,
Bandung : PT. Mizan Pustaka, 2004, Cet.1 h.321-322
11
Q.S Al-Miadah 5 : 3
12
Q.S. Al-Baqarah 2 : 120
13
Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia…, h.254
Din berasal dari “kepatuhan” yang sangat personal, yang bersifat umum; pada tahap akhir perkembangannya semakin menuju konsep millah
tersebut. Persoalan ini akan menjadi jelas bila kita membandingkan Surah Ali Imran 3, ayat 73 yang telah kita kutip diatas dengan surat al-Baqarah 2,
ayat 120, tempat situasi yang sama disebutkan dengan millah, bukannya din.
ﺭﺎﺼﻨﻟﺍ ﹶﻻﻭ ﺩﻮﻬﻴﹾﻟﺍ ﻚﻨﻋ ﻰﺿﺮﺗ ﻦﹶﻟﻭ ﻢﻬﺘﱠﻠﻣ ﻊﹺﺒﺘﺗ ﻰﺘﺣ ﻯ
ﺓﺮﻘﺒﻟﺍ ١٢٠
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama millah mereka” .
Q.S
.
Al-Baqarah, 2 : 120
14
Sinonim antara din dengan millah tampak lebih jelas pada Surat al- An’am 6, ayat 161 yang berbunyi:
ﹶﺔﱠﻠﻣ ﺎﻤﻴﻗ ﺎﻨﻳﺩ ﹴﻢﻴﻘﺘﺴﻣ ﻁﺍﺮﺻ ﻰﹶﻟﹺﺇ ﻲﺑﺭ ﻲﹺﻧﺍﺪﻫ ﻲﹺﻨﻧﹺﺇ ﹾﻞﹸﻗ ﻦﻣ ﹶﻥﺎﹶﻛﺎﻣﻭ ﺎﹰﻔﻴﹺﻨﺣ ﻢﻴﻫﺍﺮﺑﹺﺇ
ﲔﻛﹺﺮﺸﻤﹾﻟﺍ ﻡﺎﻌﻧﻷﺍ
١۶۱
“Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan lurus, yaitu agama din yang benar; agama millah Ibrahim yang
lurus; dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang musyrik” Q.S. An’am, 6 : 161
15
Disini penting sekali kita melihat tiga konsep penting yang memiliki kesejajaran antara satu dengan lainnya : jalan yang lurus = din yang benar =
millah Ibrahim. Tetapi bila kita kembali ke titik awal keberangkatan kita din dan millah menjadi semakin berbeda satu sama lain, sehingga kita tidak
saling tukar. Misalnya, dalam surah Az-Zumar 39, ayat 2 dapat kita baca :
ﺤﹾﻟﺎﹺﺑ ﺏﺎﺘﻜﹾﻟﺍ ﻚﻴﹶﻟﹺﺇ ﺂﻨﹾﻟﺰﻧﹶﺃ ﺂﻧﹺﺇ ﻦﻳﺪﻟﺍ ﻪﱠﻟ ﺎﺼﻠﺨﻣ َﷲﺍ ﺪﺒﻋﺎﹶﻓ ﻖ
ﺮﻣﺰﻟﺍ ٢
14
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya, Jakarta : Yayasan Penyelenggara Penterjemah Pentafsir Al-Quran, 1971.
15
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.216
“Sesunggunhya kami menurunkan kepadamu kitab al-Quran dengan membawa kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan
memurnikan din kepada-Nya” Q.S. Az-Zumar, 39: 2
16
Disini Tuhan menggunakan kata-kata tersebut secara langsung kepada Nabi Muhammad Saw dan meneru beliau sebagai seorang hamba untk
menyembah Tuhan. Dalam konteks ini, persoalan tersebut menyangkut setiap religious masing-masing individu, dan secara objektif bukan merupakan
sistem agama yang formal. Millah pada hakikatnya merupakan persoalan ummah, sedangkan din menurut asal-usulnya merupakan persoalan masing-
masing individu yang beriman. Berbagai istilah agama dan artinya telah melahirkan berbagai macam
definisi, namun pendifinisian agama hingga saat ini masih belum berlaku dan dapat diterima disepakati. Hal ini dikarenakan agama memenuhi berbagai
lingkupnya untuk didefinisikan
17
, selain agama menyangkut batin dan pengalaman rohani manusia, ia juga meliputi berbagai formalitasnya sebagai
agama; baik dari segi ajaran dogma dan doktrin, tradisi, institusi dan sejarahnya, kebudayaan dan peradaban yang masing-masing agama berbeda
atau bahkan berlawanan. Namun demikian, meski sulit terwakilkan oleh satu definisi saja, karena agama menyangkut masalah yang berhubungan dengan
batin manusia. Secara garis besar dapat diperoleh kesimpulan bahwa keyakinan terhadap agama didorong oleh keyakinan manusia terhadap
kekuatan Adi-Kodrati yang mengatur hidup manusia. Bila kita generalisir berdasarkan perspektif etimologinya, definisi
agama din atau religi memiliki dua kutub penekanan pengertian, pertama, agama didefinisikan sebagai perihal yang menekankan rasa iman dan
kepercayaan, kedua, agama didefinisikan sebagai aturan tentang cara hidup
18
.
16
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h. .745
17
Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2005, h.213
18
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, Jakarta : PT. Remaja Rosdakarya, 2003, Cet.11, h.8
Sebagaimana dikatakan diatas, bahwa agama menyangkut kehidupan batin manusia. Oleh karena itu, kesadaran agama dan pengalaman agama
seseorang lebih menggambarkan sisi batin dalam kehidupan yang ada kaitannya dengan sesuatu yang sakral dan gaib. Dari kesadaran agama dan
pengalaman agama ini pula kemudian muncul sikap keagamaan yang ditampilkan seseorang
Lebih lanjut, Prof. Komaruddin Hidayat juga menjelaskan lima tipologi sikap
keagamaan, yaitu
ekslusivisme, inklusivisme,
pluralisme, eklektivisme, dan universalisme. Ekslusivisme adalah sikap keagamaan
yang memandang bahwa ajaran yang paling benar adalah agama yang dipeluknya, yang lainnya sesat. Insklusivisme adalah sikap keagamaan yang
berpandangan bahwa di luar agama yang dipeluknya, juga terdapat kebenaran, meskipun tidak seutuh dan sesempurna agama yang dianutnya.
Pluralisme adalah sikap keagamaan yang berpandangan bahwa secara teologis, pluralitas agama dipandang sebagai realitas niscaya yang masing-
masing berdiri sejajar sehingga semangat misionaris dan dakwah dianggap “tidak relevan”. Eklektivisme adalah sikap keagamaan yang berusaha memilih
dan mempertemukan berbagai ajaran agama yang dipandang baik dan cocok untuk dirinya sehingga format akhir dari sebuah agama menjadi semacam
mozaik eklektik. Universalisme adalah sikap keagamaan yang berpandangan bahwa pada dasarnya semua agama adalah satu dan sama, hanya karena
faktor historis yang menyebabkan agama tampil dalam format yang plural
19
. Sikap keagamaan merupakan suatu keadaan yang ada dalam diri
seseorang yang mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya terhadap agama. Sikap keagamaan tersebut oleh adanya
konsistensi antara kepercayaan terhadap agama sebagai unsur kognitif, perasaan terhadap agama sebagai unsur afektif dan perilaku terhadap agama
sebagai unsur konatif. Jadi sikap keagamaan merupakan interaksi secara
19
“Dialog: Cara Baru Beragama, Sumbangan Hans Kung bagi Dialog antar-Agama,” dalam Seri DIAN ITahun I: Dialog Kritik dan Identitas Agama Yogyakarta: Dian, 1994, hal. 69
kompleks antara pengetahuan agama, perasaan agama serta tindak keagamaan dalam diri seseorang
20
Dalam studi keagamaan sering dibedakan antara istilah “religion” dengan “religiousity”. Kata religion yang biasa dialih-bahasakan menjadi
“agama” pada mulanya kata ini lebih berkonotasi sebagai kata kerja yang mencerminkan sikap keberagamaan atau kesalehan hidup berdasarkan nilai-
nilai ketuhanan
21
Agama sebagai kata kerja, berkenaan dengan perwujudan moral ketuhanan dan kemanusiaan. Perwujudan moral ketuhanan dapat diartikan
sebagai wujud sifat-sifat ilahiah dalam diri manusia yang termanifestasikan dalam sikap dan tingkah laku atau sering kita sebut dengan akhlak.
Perwujudan moral hadir dari rasa kesadaran moral bahwa manusia adalah bagian dari alam semesta yang tidak terpisahkan sehingga kesadaran tersebut
mengambil peran dan tanggung jawabnya terhadap dunia ini. Perwujudan moral ketuhanan tersebut yang kemudian termanifestasikan oleh manusia,
maka dengan sendirinya akan melahirkan suatu prinsip universal tentang nilai-nilai etis kebaikan hidup manusia.
Hal ini senada dengan pendapat A.M. Romly bahwa agama merupakan pelajaran mewujudkan rasa kemanusiaan setinggi-tingginya dalam susunan
yang teratur, agar bisa bermanfaat sebanyak-banyaknya untuk kehidupan manusia. Oleh karena itu, tujuan tiap-tiap agama pada hakekatnya adalah
sama, yaitu perwujudan prikemanusiaan setinggi-tingginya
22
Dalam Islam, sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW “Tidaklah aku diutus, kecuali untuk menyempurnakan akhlak”. Hal ini sangatlah jelas bahwa
agama Islam bertujuan untuk mengembangkan dan membentuk akhlak manusia, sehingga agama dengan seperangkat aturan yang terkandung
didalamnya syariat adalah jalan atau cara untuk menumbuhkembangkan akhlak tersebut. Sebagaimana yang dikehendaki agama adalah yang
20
Jalaluddin, Psikologi Agama …, h.239
21
Komarudin Hidayat, The Wisdom of Life, Menjawab Kegelisahan Hidup dan Agama, Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 2008, h.3
22
A.M Romly, Fungsi Agama Bagi Manusia…, h. 85
dikehendaki Tuhan, agar manusia memahami jati dirinya dan eksistensinya untuk berbakti kepada Tuhan, manusia dan alam semesta.
Menurut Prof.Dr. Komarudin Hidayat, keberagamaan atau religiusitas lebih mengarah pada kualitas penghayatan dan sikap hidup seseorang
berdasarkan nilai-nilai keagamaan yang dianutnya
23
Dengan demikian dapat diartikan bahwa keberagamaan adalah penyikapan atau pemahaman para
penganut agama terhadap doktrin, kepercayaan dan ajaran-ajaran Tuhan. Pandangan penganut agama terhadap nilai dan ajaran agama yang
parsial memunculkan keberagamaan yang ekstrinsik, hal ini disebabkan pemahaman agama yang literalis dan tekstualis terutama pada teks-teks suci
yang mengandung makna ambigu sering dipahami dengan pengertian yang bias dan absurd. Pada sisi ini rekonstruksi terhadap pemahaman agama perlu
diupayakan secara sistematis, kontekstual, otentik serta dijadikan komitmen bagi seluruh umat beragama. Untuk memulainya nilai-nilai teologi
pembebasan perlu dihadirkan dan melihat relevansinya dengan nilai-nilai kemanusiaan, fakta sosial dan perkembangan zaman. Karena sebenarnya
kelahiran agama yang dibawa para rasul Tuhan tidak lain adalah untuk pembebasan terhadap kaum tertindas serta upayanya menegakkan hak-hak
asasi manusia
24
Dengan faham dan penghayatan agama yang benar, mestinya seseorang dan masyarakat tumbuh menjadi semakin manusiawi dan beradab. Disisi lain
secara diakletis nilai-nilai dan praktek luhur keagamaan juga harus dijaga dan dihormati karena agama merupakan sumber dan pedoman luhur yang sakral
untuk kebaikan manusia sendiri
25
Kerukunan dan dialog antar agama harus dijaga dan terus dikembangkan. Semuanya tetap menjaga prinsip yang telah diyakini sebagai
inti dari kepercayaan sebuah agama. Dalam hal ini, W. Montgomery Watt menyatakan dalam pengantar bukunya, Islamic Revelation in the Modern
23
Komarudin Hidayat, The Wisdom of Life…, h.4
24
Irwan Suhanda ed, Damai Untuk Perdamaian, Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 2006, Cet.1, …, h.17
25
Irwan Suhanda ed, Damai Untuk Perdamaian, h.xii
World 1969, dialog agama melibatkan kesediaan untuk menjawab secara positif pernyataan agama lain tanpa maksud mengubah kesetiaan orang itu
terhadap agamanya
26
. Jadi tujuan dialog agama bukan mengajak umat lain masuk agama kita,
tetapi mengungkapkan keyakinan yang kita imani agar dapat memperkaya pengetahuan umat lan tentang agama kita sehingga menghindarkan
kesalahpahaman dan buruk sangka. Tujuan dialog agama juga bukan untuk mencapai pandangan ideal yang satu, tetapi mencari simpul-simpul ajaran
universal yang harus diperjuangkan bersama, seperti keadilan dan perdamaian
27
Dari berbagai pemaparan diatas, agama dipahami dalam bentuk kata kerjanya tentu ia lebih menekankan pada substansi dan nilai-nilai luhur yang
aktual didalamnya. Oleh karena itu, pada tataran ini, setiap agama memiliki persamaan tujuan terhadap kemanusiaan. Tetapi kemudian, pada saat yang
bersamaan dan dalam perkembangannya agama bergeser menjadi semacam kata benda, yakni sebagai institusi kelembagaan yaitu himpunan doktrin dan
ajaran serta hukum-hukum yang telah dibakukan. Proses pembakuan ini berlangsung antara lain melalui proses sistematisasi nilai dan semangat
agama, sehingga sosok agama lalu hadir sebagai himpunan sabda Tuhan yang terhimpun dalam literatur keagamaan karangan para tokoh agama
28
. Ketika ajaran agama telah dibungkus menjadi paket-paket informasi ilmiah, maka
sesungguhnya telah berlangsung proses obyektivikasi dan rasionalisasi dalam dunia agama, sehingga sangatlah mungkin ruh dan misteri agama akan surut
menghilang. Manusia akan lebih memandang bentuk formalitas suatu agama dan semakin jauh dari esensi dasar dan tujuan agamanya.
Tentu saja hal ini tidak dapat kita pungkiri, karena setiap agama dari masa-masa lahir dan perkembangannya telah menciptakan tradisi-tradisi yang
melekat dengan agama itu sendiri. Namun setidaknya untuk memahami agama yang murni, selain menjaga tradisi positif yang dapat mempertahankan
26
Irwan Suhanda ed, Damai Untuk Perdamaian…, h. 40
27
Irwan Suhanda ed, Damai Untuk Perdamaian…, h. 41
28
Komarudin Hidayat, The Wisdom of Life, …, h.4
eksisitensi agama, harus disertai dengan penghayatan agar kita juga tidak kehilangan spirit semangat pesan dasar agama dan tujuan agama bagi
manusia. Dalam menyikapi pluralitas agama tersebut, lahirlah konsep-konsep
mengenai sikap keagamaan yang diusung oleh beberapa tokoh. Misalnya, Hans Kung yang mempromosikan ide global ethics, John Hick
mengusulkan global theology. Pemikiran eksklusif dari agama-agama diglobalkan dan dilebur agar dikenal dengan gagasan yang disebut teologi
inklusif. Teologi ini menekankan bahwa semua agama pada esensinya adalah sama, semuanya benar karena tanpa kecuali seluruhnya mengajarkan
kebaikan dan ketundukan kepada Yang Mahakuasa dan Mahabenar. Oleh sebab itu, tidak ada satu pun di antara agama yang ada pada saat ini, lebih
superior dibandingkan yang lain.