Agama dan Tauhid KONTEKSTUALITAS MAKNA AGAMA
Tuhan”. Bila kita telaah lebih dalam, kalimat tersebut meniadakan “tuhan” dengan huruf “t” kecil dalam pengertian partikular yang dipahami
berbedaberlainan, selain “Tuhan” dengan huruf “T” besar dalam pengertian universal yang dipahami sebagai pokok inti dari semua
penyembahan menuju pada yang Satu. Oleh sebab ia partikular maka dari segi etimologi “tuhan ilah” berbeda dengan Tuhan “Allah”. Kata ilah
menunujukkan tuhan-tuhan sesembahan manusia dalam persepsi, pengenalan dan konsepsi manusia yang juga dipengaruhi oleh sosio-historis dan tradisi
dimana seseorangmasyarakat itu hidup, tetapi kata “Allah” menunjukkan Tuhan yang Satu, Tuhan yang wajib disembah, yang dapat diketahuidikenal
dengan peleburan persepsi dan konsepsi yang mengikat akal manusia dari berbagai belenggu sejarah dan tradisi. Oleh sebab itu, Tuhan Ia yang
sebenarnya hanya dapat diketahui dengan hati yang suci, pendekatan rohani atau pengatahuan metafisik-esoterik, bukan dengan berbagai rangkaian nama,
bentuk, persepsi, doktrin dan pengetahuan lahiriah. Menurut Nurcholis Madjid rangkaian tauhid adalah faham tertentu
tentang hakikat dan martabat manusia. Bertauhid mengimani ke-Maha Esa- an Tuhan adalah jalan hidup yang dapat mempertahankan ketinggian
martabat manusia karena semangat tauhid itu dengan sendirinya atau seharusnya membawa dampak pembebasan. Yaitu pembebasan dari suatu
yang akan membawa kepada pengingkaran harkat kemanusiaan itu sendiri. Dengan komitmen tauhid yang dimulai dari adanya keyakinan dan kesadaran
bahwa Tuhan Yang Maha Esa berada diatas manusia, maka dari sini muncullah keinsyafan akan keterbatasan dan kelemahan yang selanjutnya
melahirkan sikap kemanusiaan sehingga tidak meninggikan posisi manusia dan tidak mendudukkannya pada posisi yang lemah. Dan melalui peresapan
yang mendalam terhadap ke-Maha Esa-an Tuhan tauhid ini, akan melahirkan kehidupan yang penuh moral, yang akan termanifestasi beukan
hanya pada aspek sosio-ekonomi tapi juga dalam aspek sosio-politiknya dengan sikap penegakan keadilan diantara sesama manusia
50
Dalam perspektif tauhid Islam, semua manusia adalah sama dihadapan Tuhan baca : Allah. Manusia dicptakan Tuhan hanyalah untuk
melaksanakan kehendak Ilahi yakni sebagai khalifah dimuka bumi, yang tiada lain mengejawantahkan penghambaan ‘ubudiyah sepenuhnya kepada Tuhan
Q.S Al-Zariyat : 56
51
, maka oleh karena itu Tuhan menciptakan manusia dengan sebaik-baik bentuk Q.S Al-Tin : 4
52
serta membekali manusia dengan potensi suci untuk mengenal-Nya yakni potensi fitrah rasa
keberagamaan
53
Jadi secara natural berdasarkan fitrahnya, manusia adalah suci, tidak membawa dosa warisan. Fitrah inilah yang dideklarasikan Islam pertama kali
dalam sejarah manusia, sebagaimana sabda Rasulullah saw : “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci fitrah, maka orangtuanyalah yang
menjadikan mereka Yahudi, Nasrani atau Majusi”. Fitrah tersebut berupa kecondongan untuk mengenal Tuhan sebagai sang pencipta dalam hal ini
adalah potensi keberagamaan yang tertanam dalam jiwa manusia.fitrah tersebut yang dimaksud adalah agama yang hanif lurus agama yang
diajarkan oleh para nabi utusan Tuhan yang mengajarkan kepada tauhid atau mengesakan Tuhan. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Rasulullah saw
dalam hadis qudsi, bahwa Allah swt berfirman : “Sesungguhnya aku ciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan
suci hunafa’semua, lalu datang syetan kepada mereka yang menyesatkan mereka dari agama-agama mereka, mengharamkan
apa yang Aku halalkan dan memerintahkan mereka agar mempersekutukan-Ku dengan apa-apa yang Aku tidak menurunkan
hujjah untuk itu”
50
Junaidi Idrus, Rekonstruksi Pemikiran Nurcholis Madjid; Membangun Visi dan Misi Baru Islam, Yogyakarta : Logung Pustaka, 2004, Cet.1, h.125
51
Dan tidaklah Aku ciptakan manusia kecuali agar mereka menyembah-Ku
52
Sesungguhnya Kami menciptakan manusia dengan sebaik-baik bentuk penciptaan
53
Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama : Tinjauan Kritis, Jakarta : Perspektif, 2005, Cet.1, h.200
Bila kita analisis relevansi dalam makna kedua hadis diatas, kita tidak bisa dengan serta-merta menganggap bahwa Yahudi, Nasrani dan
Majusi seperti agama yang kita kenal sekarang melainkan nama-nama agama tersebut diatas lebih mencerminkan kondisi, sifat atau karakter
bangsa Yahudi, Nasrani dan Majusi yang membangkang dari syariatajaran para nabi mereka. Itu artinya bahwa diantara mereka terdapat pula orang-
orang yang hanif, hanya saja citra karakter disini lebih kepada paradigma historis yang telah dikenal kaum muslim terhadap bangsa atau agama
mereka, karena kebanyakan mereka adalah sesat tidak lagi meng-esa-kan tuhan.
Melalui perspektif inilah kita akan menemukan korelasi yang tepat, bahwa Islam tidak melihat non-Muslim sebagai makhluk yang salah akan
tetapi dengan potensi fitrahnya semua manusia berada dalam posisi yang sama untuk mencapai tingkat kemanusiaan yang sempurna dan tingkat
religiusitas yang hanif ; yaitu mengenal Tuhan dan memahami kehendak- Nya dialam semesta.
Dengan konsep agama fitrah ini, Islam telah meletakkan landasan universal yang lebih kuat dan humanis yang memungkinkan manusia
untuk mengakomodasi berbagai latar belakang agama dan keyakinan sehingga
seluruh umat
manusia bersaudara
dibawah payung
“kemanusiaan”. Dengan
demikian jelaslah,
bahwa perbedaan
keberagamaan menusia tidak boleh dinisbatkan kepada fitrahnya, karena seluruhnya merupakan mekanisme rancangan Tuhan untuk manusia,
apakah manusia akan kembali atau keluar dari fitrahnya
54
54
Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama : Tinjauan Kritis..., h.201