Pluralisme Agama dalam Al-Quran
Inti agama dari semua rasul adalah sama : QS. 42:13, dan umat serta agama agama seluruhnya adalah umat dan agama yang tunggal QS.
21:92 dan QS. 23:52
31
Sementara din atau agama itu sama kepada setiap golongan dari kalangan umat manusia dan Allah menetapkan syir’ah atau syari’ah
jalan dan minhaj cara yang berbeda-beda, sebab Allah tidak menghendaki umat manusia itu satu dan sama. Allah menhendaki agar
mereka saling berlomba-lomba menuju kebaikan. Seluruh umat manusia akan kembali kepada-Nya kelak, dan Dialah yang akan membeberkan
hakikat perbedaan antara manusia itu QS. 5:48
32
. Al-Quran juga menjelaskan bahwa untuk setiap umat telah
ditetapkan uapacara keagamaan atau mansak jamak : manasik QS. 22:67-68
33
. Berkaitan dengan hal ini adalah keterangan dalam al-Quran bahwa setiap golongan atau umat mempunyai wijhah titik “orientasi”
membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan hanya kepada-Nya-lah kami menyerahkan diri. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.90
31
QS. 42:13 : Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa
yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.Amat berat bagi orang- orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya.Allah menarik kepada agama itu orang
yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada agama-Nya orang yang kembali kepada- Nya. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.785
QS. 23:52 : Sesungguhnya agama tauhid ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah Rabbmu, maka bertaqwalah kepada-Ku. Al-Qur’an dan terjemahnya...,
h.532 QS. 21:92 : Sesungguhnya agama tauhid ini adalah agama kamu semua; agama
yang satu dan Aku adalah Rabbmu, maka sembahlah Aku. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.507
32
QS. 5:48 : Dan Kami telah turunkan kepadamu al-Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya
dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan
kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat
saja, tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba- lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-
Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.168
33
QS. 22:67 : Bagi tiap-tiap umat telah Kami tetapkan syariat tertentu yang mereka lakukan, maka janganlah sekali-kali mereka membantah kamu dalam urusan syariat ini dan
serulah kepada agama Rabbmu. Sesungguhnya kamu benar-benar berada pada jalan yang lurus. QS. 22:68 : Dan jika mereka membantah kamu, maka katakanlah :Allah lebih mengetahui
tentang apa yang kamu kerjakan. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya…, h.522
tempat mengarahkan diri yang dilambangkan dalam konsep tentang tempat suci seperti Ka’bah dan Masjidil Haram untuk kaum Muslim.
Setiap golongan tidak perlu mempersoalkan wijhah tersebut, yang terpenting adalah bagaimana mereka dapat saling berlomba menuju
kebaikan. Dimanapun manusia berada, Allah akan mengumpulkan mereka menjadi satu jami’an QS. 2:148
34
. Terdapat pebedaan pendapat dikalangan para ulama tentang,
apakah Ahli Kitab yang dimaksudkan didalam al-Quran hanyalah untuk golongan dari Yahudi dan Nasrani serta keturunan Israel, ataukah
bangsa-bangsa lainnya? Dalam konteks ini, apakah golongan dari kaum Majusi Zoroaster, Shabi’iin atau penganut agama Hindu, Budha, Kong
Hu Cu dan penganut Confusius termasuk dalam Ahli Kitab? Rasyid Ridho membahas masalah ini dalam ulasan dan tafsirnya
mengenai QS. 5:5 berkenaan dengan hukum perkawinan dengan wanita Ahli Kitab. Rasyid Ridho menegaskan bahwa diluar kaum Yahudi dan
Nasrani juga terdapat Ahli Kitab, pembahasan ini dapat ditemukan dalam tafsir al-Manar yang isinya adalah sebagai berikut:
“Para ahli fiqih berselisih mengenai kaum Majusi dan Shabi’in. karena kaun Shabi’in bagi Abu Hanifah adalah sama dengan
Ahli Kitab. Begitu pula kaum Majusi bagi Abu Tsaur, berbeda dari banyak kalangan yang berpendapat bahwa mereka itu
diperlakukan sebagai Ahli Kitab hanya dalam urusan jizyah saja, dan mereka meriwayatkan sebuah hadis dalam hal ini,
“Jalankanlah sunnah kepada mereka seperti sunnah kepada Ahli Kitab, tanpa memakan sesembelihan mereka dan menikahi
wanita mereka”. Tetapi pengecualiaan ini tidak benar, sebagaimana diterangkan oleh para ahli hadis, namun hal itu
terkenal dikalangan para ahli fiqih. Dan dikatakan bahwa kedua kelompok itu adalah kelompok Ahli Kitab yang mereka
kehilangan kitab suci oleh lamanya waktu. Pendapat para ahli fiqih itu pula yang dahulu pernah menjadi pendirian saya
sebelum saya menemukan kutipan dari salah seorang kaum salaf kita dan ulama-ulama ahli agama dan sejarah dari kalangan kita,
34
QS. 2:148 : Dan bagi tiap-tiap ummat ada kiblatnya sendiri yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu dalam membuat kebaikan. Di mana saja kamu
berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian pada hari kiamat. Seungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.38
dan telah pula saya sebutkan dalam al-Manar beberapa kali. Kemudian saya temukan dalam kitab al-Farq bain al-Firaq
karangan Abu Manshur ‘Abd-al-Qahir ibn Thahir al-Baghdadi w.426 H dalam konteks pembahasan tentang kaum Bathiniyah
: “Kaum Majusi itu mempercayai kenabian Zaratustra dan turunnya wahyu kepadanya dari Allah, kaum Sabiin
mempercayai kenabian Hermes Idris, Plato dan sejumlah filsuf serta para pembawa syariat yang lain. Setiap kelompok dari
mereka mengaku turunnya wahyu dari langit kepada orang- orang yang mereka percayai kenabian mereka, dan mereka
katakana bahwa wahyu itu mengandung perintah, larangan, berita tentang akibat kematian, tentang pahala dan siksa, serta
tentang surge dan neraka yang disana ada balasan bagi perbuatan yang telah lewat”. Kemudian dia al-Baghdadi
menyebutkan bahwa kaum Bathiniyah mengingkari itu semua. Yang nampak bahwa al-Quran menyebut para penganut agama-
agama terdahulu, kaum Majusi dan Sabiin, dan tidak menyebut kaun Brahma Hindu, Buddha dan para pengikut Konfusius
karena kaum Majusi dan Sabiin dikenal oleh bangsa Arab yang menjadi sasaran mula-mula alamat al-Quran, kaum Majusi dan
Sabiin itu berada berdekatan dengan mereka di Irak dan Bahrain, dan mereka orang-orang Arab belum melakukan
perjalanan ke India, Jepang dan Cina sehingga mereka mengetahui golongan yang lain. Dan tujuan ayat suci telah
tercapai dengan menyebut agama-agama yang dikenal oleh bangsa Arab, sehingga tidak perlu membuat keterangan yang
terasa asing ighrab dengan menyebut golongan yang tidak dikenal oleh orang yang menjadi alamat pembicaraan itu dimasa
turunnya al-Quran, berupa penganut agama-agama yang lain. Dan setelah itu tidak diragukan bagi mereka orang Arab yang
menjadi alamat pembicaraan wahyu itu bahwa Allah juga akan membuat keputusan perkara antara kaum Brahma, Buddha dan
lain-lain”
35
. Berdasarkan keterangan diatas, konsep Ahli Kitab merupakan
kemajuan yang luar biasa dalam sejarah agama-agama sepanjang zaman. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa keunggulan konsep-konsep al-
Quran dan sunnah perlu dipahami secara komprehensif dan dalam kaitan sistemiknya yang lengkap. Konsep Ahli Kitab sebagaimana halnya
dengan ajaran prinsipil lainnya yang memerlukan penjabaran operasional
35
Nurcholis Madjid, et,al, Fiqih Lintas Agama : Membangun Masyarakat Inklusif Pluralis…, h. 51-52
dan praktis dalam konteks ruang dan waktu
36
. Dalam konteks penjabaran tersebut ditujukan guna memberikan respon yang tepat terhadap kaum
Ahli kitab sepanjang waktu. Hal ini sesuai dengan pernyataan al-Quran QS. 42:15 tentang perintah bersikap umat Islam kepada Ahli Kitab
37
Dalam kacamata kaum sufi, seluruh umat manusia dipandang sebagai kesatuan makhluk yang bernaung dibawah kasih sayang Tuhan.
Para sufi mengajarkan tentang landasan cinta dalam memandang segala ciptaan Tuhan. Landasan cinta merupakan titik berpijak bagi mereka
untuk melihat orang lain. Melalui cinta ini, para sufi meyakini bahwa mereka berada dalam naungan cinta Tuhan. Tuhan tidak membeda-
bedakan agama manusia. Terkait dengan wacana ini, Kabir Helminski menyatakan bahwa “mereka yang hidup dengan bimbingan pesan al-
Quran harus mengakui bahwa kasih sayang, kemurahan dan rahmat yang dilimpahkan Tuhan melalui semua agama, dan setiap yang ada. Sifat-sifat
Tuhan mengalir tidak hanya kepada mereka yang beriman, namun juga kepada mereka yang beriman”
38
Bagi para sufi, cinta pada hakikatnya adalah tujuan aktivitas seorang hamba. Cinta merupakan kekuatan yang sangat vital dalam
berlari menuju Tuhan. Menurut Jalaludin Rumi, “kematian terburuk adalah hidup tanpa cinta”. Dalam sebuah syairnya ia berkata : “Betapa
lama percakapan ini, figur-figur ini bicara metafora ini? Aku ingin membakar, membakar mendekati diri-Mu sendirian ke kobaran itu.
Kobarkan api cinta dalam jiwa-Mu dan bakarlah semua pikiran dan segala konsep”
39
36
Nurcholis Madjid, et,al, Fiqih Lintas Agama : Membangun Masyarakat Inklusif Pluralis…, h.52-53
37
QS. 42:15 : “Maka karena itu serulah mereka kepada agama itu dan tetaplah sebagaimana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan
katakanlah:Aku beriman kepada semua Kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan supaya berlaku adil di antara kamu. Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal
kamu.Tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nyalah kembali kita. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.785
38
Muhammad Qorib, Pluralisme Agama dalam Perspektif Sufi…, h.146-147
39
Muhammad Qorib, Pluralisme Agama dalam Perspektif Sufi…, h.149
Rumi meyakini melalui ajaran tentang cinta inilah yang dapat menembus sekat-sekat perbedaan diantara manusia, dan tugas utama
manusia adalah kembali pada rahmat baca : cinta yang telah menyatukan keragaman kedalam kesatuan. Hal senada juga dikatakan
Javad Nurbakhsh, bahwa hanya dengan cinta lah umat manusia dapat meninggalkan perbedaan menuju pada tujuan yang satu baca : Tuhan,
melalui cinta kita dapat menghayati aktivitas ibadah ketika ditampilkan dengan hati yang tulus, menuju sebuah tujuan, dan yang datan dari
sumber yang sama
40
Dalam al-Quran 2: 213 dijelaskan bahwa manusia diciptakan dari umat yang satu, namun disebabkan oleh faktor-faktor yang meliputi
manusia itu sendiri menjadi berbeda. Kesatuan manusia dapat dipahami dalam lingkup yang luas. Pertama; kesatuan asal-usul kejadian awal
manusia pertama asal penciptaan dan kedua; kesatuan ketuhanan atau keagamaan.
41
ﻢﻬﻌﻣ ﹶﻝﺰﻧﹶﺃﻭ ﻦﻳﹺﺭﺬﻨﻣﻭ ﻦﻳﹺﺮﺸﺒﻣ ﲔﻴﹺﺒﻨﻟﺍ ُﷲﺍ ﹶﺚﻌﺒﹶﻓ ﹰﺓﺪﺣﺍﻭ ﹰﺔﻣﹸﺃ ﺱﺎﻨﻟﺍ ﹶﻥﺎﹶﻛ ﻨﻟﺍ ﻦﻴﺑ ﻢﹸﻜﺤﻴﻟ ﻖﺤﹾﻟﺎﹺﺑ ﺏﺎﺘﻜﹾﻟﺍ
ﻦﻳﺬﱠﻟﺍ ﱠﻻﹺﺇ ﻪﻴﻓ ﻒﹶﻠﺘﺧﺍ ﺎﻣﻭ ﻪﻴﻓ ﺍﻮﹸﻔﹶﻠﺘﺧﺍ ﺎﻤﻴﻓ ﹺﺱﺎ ﺍﻮﹸﻔﹶﻠﺘﺧﺍ ﺎﻤﻟ ﺍﻮﻨﻣﺍَﺀ ﻦﻳﺬﱠﻟﺍ ُﷲﺍ ﻯﺪﻬﹶﻓ ﻢﻬﻨﻴﺑ ﺎﻴﻐﺑ ﺕﺎﻨﻴﺒﹾﻟﺍ ﻢﻬﺗَﺀﺂﺟﺎﻣ ﺪﻌﺑ ﻦﻣ ﻩﻮﺗﻭﹸﺃ
ﺮﺻ ﻰﹶﻟﹺﺇ ُﺀﺂﺸﻳ ﻦﻣ ﻱﺪﻬﻳ ُﷲﺍﻭ ﻪﹺﻧﹾﺫﹺﺈﹺﺑ ﻖﺤﹾﻟﺍ ﻦﻣ ﻪﻴﻓ ﹴﻢﻴﻘﺘﺴﻣ ﻁﺍ
ﺓﺮﻘﺒﻟﺍ
:
٢١۳
“Manusia itu adalah umat yang satu. Setelah timbul perselisihan, maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi
kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di
antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang
telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena
dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang
merekaperselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah
40
Muhammad Qorib, Pluralisme Agama dalam Perspektif Sufi…, h.151
41
Said Agil Husain Al-Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama…, h.201
selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus”. QS. 2:213
42
Setiap individu bertanggung jawab untuk dirinya sendiri, demikian pula setiap bangsa atau umat. Jika mereka membiarkan diri mereka
berlaku tidak adil, mereka akan celaka. Namun, jika mereka memilih jalan keadilan dan pengetahuan, mereka akan terselamatkan. Meskipun
karakter setiap individu atau bangsa berbeda-beda, tetapi hukum-hukum yang mengatur nasib mereka sama. Jika semua individu bertanggung
jawab dan berperilaku sesuai dengan tuntunan Tuhan, maka akibatnya segala permasalahan bangsa akan ditangani dengan baik oleh orang-
orang yang dituntun Tuhan; orang-orang yang layak menjadi penjaga kebenaran dan keadilan dimuka bumi ini
43
. Kecenderungan tertinggi manusia adalah menuju realitas, petunjuk
kebenaran sejati tidak akan datang dengan bergabung pada satu kelompok atau memeluk suatu agama yang didefinisikan secara khusus
oleh para penyebarnya. Petunjuk kebenaran tergantung pada kecenderungan seseorang menggapai pengetahuan tauhid. Ini sama
dengan Ibrahim, dimana dia tidak menduakan perjalanan menuju Tuhan
44
Jika hanya sekedar terlahir dalam keluarga Islam, atau menyebut dirinya muslim, maka ia tidak akan diubah oleh Islam. Muslim sejati
adalah orang yang dengan sadar dan rendah hati tunduk kepada sang pencipta. Dia adalah hamba yang ikhlas dalam menjunjung kehendak dan
hukum Allah dalam menegakkan keadilan Allah. Dia penuh belas kasih serta tidak mengenal takut disetiap tempat dan waktu. Inilah 99 Tuhan
menjaga setiap orang yang menyerahkan diri kepada-Nya. Dia merahmati mereka. Dia menuruti segala prasangka hamba-Nya. Hanya Dialah satu-
satunya sumber kedamaian
45
42
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.51
43
Faadhullah Haeri, Jiwa Al-Qur’an : Tafsir Surat al-Baqarah…, h.95
44
Faadhullah Haeri, Jiwa Al-Qur’an : Tafsir Surat al-Baqarah…, h.96
45
Faadhullah Haeri, Jiwa Al-Qur’an : Tafsir Surat al-Baqarah…, h.111
Menyikapi makna Islam diatas Munthahhari membagi Islam kepada Islam al-Jughrafy dan Islam al-waqi’i. Menurutnya, Islam al-
Jughrafy atau disebut Islam fisik adalah mereka yang lahir, hidup dan mati dalam lingkungan Islam. Meskipun mereka tidak memeluk Islam
dengan sebenar-benarnya namun mereka tetap dikatakan Islam. Muslim seperti ini hanyalah muslim tradisional dari latar geneologi Islam dan
muslim geografi dari kalanganwilayah yang mayoritas beragama Islam. Kemudian, yang kedua adalah Islam al-waqi’i, Islam seperti ini
adalah Islam aktual. Inilah Islam yang memikul nilai ruhiyyah samawiyyah. Menurut Munthahhari, Islam aktual adalah Islamnya orang
yang sedah pasrah kepada kebenaran dengan hatinya. Ia meyakini dan menerima kebenaran melalui penelitian dan tanpa fanatisme. Bila ada
orang yang telah berusaha mencari kebenaran, lalu ia menerima kebenaran itu dengan sepenuh hati, tetapi ia tidak memeluk agama Islam,
Tuhan tidak akan mengazabnya, mustahil Tuhan menghukum orang diluar kemampuannya. Bila seseorang hanya mampu mengetahui
kebenaran Kristen dan mengikutinya dengan setia, pada hakikatnya ia sudah menerima Islam dalam pengertian kepasrahan yang tulus
46
. Agama adalah satu keinginan akan suatu cara hidup yang benar
dan melakukan pemerataan cara hidup yang demikian. Keinginan tersebut merupakan desakan dari rasa kesadaran terhadap kebenaran yang
diyakini, sekaligus sebagai tuntutan kesemestaannya. Sumber agama itu sendiri adalah kosmos dan dan dunia metafisis. Keinginan yang timbul
dari dunia metafisis itulah inti ajaran semua agama. Dalam hal ini agama bersifat pribadi sekaligus universal. Dikatakan pribadi karena agama
merupakan pengalaman seseorang, namun hal itu sesuai pula dengan kebutuhan dan keinginan umum universal dari hati manusia.
Berdasarkan kerangka ini, maka harus disusun suatu agama universal yang memenuhi kebutuhan segala suku bangsa dengan cara rekonsepsi.
46
Jalaludin Rakhmat, Islam dan Pluralisme, Akhlak Quran Menyikapi Perbedaan, Jakarta : PT. Serambi Ilmu Semesta,2006, h. 48-51
Ajaran-ajaran agama digali, diambil dan dituangkan untuk kemudian diberlakukan secara universal. Dalam hal ini setiap pemeluk agama tetap
tinggal pada agamanya masing-masing, tetapi dalam agama tersebut harus dihidupkan unsur-unsur yang baik dari agama lain sehingga tercipa
“koeksistensi religius” bagaikan sungai-sungai besar mengalir menjadi satu
47
Maka dalam konteks agama-agama, yang harus menjadi pijakan adalah kesadaran tentang keragaman syariat. Sebagai jalan menuju
Tuhan, syariat disebutkan dalam al-Quran tidak hanya satu. Setiap umat mempunyai syariat yang bertujuan untuk menguji mereka dan berpacu
dalam kebaikan. Tuhan sebenarnya mempunyai kekuasaan untuk menjadikan syariat dalam satu bentuk. Tapi Dia memilih untuk
menjadikan anekaragam syariat agar setiap hamba-Nya memilih yang sesuai dengan kehendak hati nurani dan akal budinya QS. Al Maidah, 5:
48
ﻨﹾﻟﺰﻧﹶﺃﻭ ﻪﻴﹶﻠﻋ ﺎﻨﻤﻴﻬﻣﻭ ﹺﺏﺎﺘﻜﹾﻟﺍ ﻦﻣ ﻪﻳﺪﻳ ﻦﻴﺑ ﺎﻤﱢﻟ ﺎﹰﻗﺪﺼﻣ ﻖﺤﹾﻟﺎﹺﺑ ﺏﺎﺘﻜﹾﻟﺍ ﻚﻴﹶﻟﹺﺇﺂ
ﺎﻨﹾﻠﻌﺟ ﱟﻞﱡﻜﻟ ﻖﺤﹾﻟﺍ ﻦﻣ ﻙَﺀﺂﺟ ﺎﻤﻋ ﻢﻫَﺀﺁﻮﻫﹶﺃ ﻊﹺﺒﺘﺗﹶﻻﻭ ُﷲﺍ ﹶﻝﺰﻧﹶﺃﺂﻤﹺﺑ ﻢﻬﻨﻴﺑ ﻢﹸﻜﺣﺎﹶﻓ
ﹶﻟﻭ ﺎﺟﺎﻬﻨﻣﻭ ﹰﺔﻋﺮﺷ ﻢﹸﻜﻨﻣ ﻲﻓ ﻢﹸﻛﻮﹸﻠﺒﻴﱢﻟ ﻦﻜﹶﻟﻭ ﹰﺓﺪﺣﺍﻭ ﹰﺔﻣﹸﺃ ﻢﹸﻜﹶﻠﻌﺠﹶﻟ ُﷲﺍ َﺀﺂﺷ ﻮ
ﻪﻴﻓ ﻢﺘﻨﹸﻛ ﺎﻤﹺﺑ ﻢﹸﻜﹸﺌﺒﻨﻴﹶﻓ ﺎﻌﻴﻤﺟ ﻢﹸﻜﻌﹺﺟﺮﻣ ِﷲﺍ ﻰﹶﻟﹺﺇ ﺕﺍﺮﻴﺨﹾﻟﺍ ﺍﻮﹸﻘﹺﺒﺘﺳﺎﹶﻓ ﻢﹸﻛﺎﺗﺍَﺀﺂﻣ
ﹶﻥﻮﹸﻔﻠﺘﺨﺗ ﺓﺪﺋﺎﳌﺍ
٤ ۸
“Dan Kami telah turunkan kepadamu al-Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu
kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara
mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran
yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya
Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat saja, tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-
Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu
47
Said Agil Husain Al-Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama…, h.202
diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu” QS. Al Maidah, 5: 48
48
Akal budi merupakan salah satu anugerah Tuhan kepada manusia yang tidak diberikan kepada makhluk lainnya. Keanekaragaman dalam
syariat secara sosiologis diperkuat oleh kenyataan bahwa Tuhan mengutus para nabi untuk memberikan kabar gembira dan peringatan.
Tidak hanya itu, para nabi juga dibekali kitab suci sebagai pegangan bagi tata khidupan yang lebih baik. Kitab suci tersebut diharapkan dapat
menjadi penengah diantara berbagai masalah yang dihadapi oleh setiap umat
ﻪﹺﺑ ﺎﻨﻴﺻﻭﺎﻣﻭ ﻚﻴﹶﻟﹺﺇ ﺂﻨﻴﺣﻭﹶﺃ ﻱﺬﱠﻟﺍﻭ ﺎﺣﻮﻧ ﻪﹺﺑ ﻰﺻﻭﺎﻣ ﹺﻦﻳﺪﻟﺍ ﻦﻣ ﻢﹸﻜﹶﻟ ﻉﺮﺷ ﻰﹶﻠﻋ ﺮﺒﹶﻛ ﻪﻴﻓ ﺍﻮﹸﻗﺮﹶﻔﺘﺗﹶﻻﻭ ﻦﻳﺪﻟﺍ ﺍﻮﻤﻴﻗﹶﺃ ﹾﻥﹶﺃ ﻰﺴﻴﻋﻭ ﻰﺳﻮﻣﻭ ﻢﻴﻫﺍﺮﺑﹺﺇ
ﲔﻛﹺﺮﺸﻤﹾﻟﺍ ﺐﻴﹺﻨﻳ ﻦﻣ ﻪﻴﹶﻟﹺﺇ ﻱﺪﻬﻳﻭ ُﺀﺂﺸﻳ ﻦﻣ ﻪﻴﹶﻟﹺﺇ ﻲﹺﺒﺘﺠﻳ ُﷲﺍ ﻪﻴﹶﻟﹺﺇ ﻢﻫﻮﻋﺪﺗﺎﻣ
ﻯﺭﻮﺸﻟﺍ ١۳
“Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami
wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.Amat
berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya.Allah menarik kepada agama itu orang yang
dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada agama-Nya orang yang kembali kepada-Nya”. QS. Asy- Syura, 42 :13
49
Islam tidak hanya mengakui sebagai agama yang mendahuluinya dan mendukung kebebasan beragama saja. Tetapi lebih dari itu, Islam
memiliki tujuan yang lebih jauh untuk merealisasikan manusia tertinggi. Tujuan itu adalah adanya persatuan yang menyeluruh di antara umat
beragama untuk beriman kepada Allah, tanpa membeda-bedakan para utusan Allah.
48
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.168
49
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.785
Empat konsep dasar tetralogi etika religious Al-Quran yang juga mengandung gagasan paling penting mengenai kemanusiaan idea of
hummanity, khususnya dalam masalah hubungan sosial antarumat beragama adalh iman, islam, ihsan dan taqwa
50
. Istilah iman dan kafir atau bentuk-bentuk personal yang
berhubungan, mu’min dan kafir adalah dua dari konsep religio-etis yang paling penting dan merupakan pusat dari selituh pemikiran Al-Quran.
Secara semantic, istilah iman ini berasal dari akar kata a-m-n yang berarti “aman”, “mempercayakan”,”berpaling kepada”, “keyakinan yang baik”,
“ketulusan”, “ketaatan”, atau “kesetiaan”
51
. Akar kata a-m-n juga berarti “damai”, “tidak menghadapi
bahaya”, atau “merasa aman dan terlindungi” serta berarti “pikiran merasa damai”. Bentuk keempatnya amanat mengandung makna
ganda, yaitu “percaya” dan “menyerahkan keyakinan”. Iman sebagai respons pribadi kepada Tuhan, tidak dapat di batasi
pada komunitas sosio-religius tertentu. Tetapi, iman sebagai keyakinan batin terdapat bersifat universal dan berlaku setiap manusia, termasuk di
luar komunitas sosio_religios mukminun. Penolakan terhadap universal iaman ini, akan mengarah kepada penolakan universal Tuhan sendiri; dan
penolakan terhadap universal Tuhan, berarti kufr
52
. Berarti bahwa iman tidak di batasi oleh komunitas formal
keagamaan, melainkan setipa individu yang menjalankan berbagai cabang keimanan tersebut, dapat di sebut sebagai seorang mukmin.
50
Hendar Riyadi, Melampaui Pluralisme, Etika Al-Quran tentang Keragaman Agama…, h.130
51
Hendar Riyadi, Melampaui Pluralisme, Etika Al-Quran tentang Keragaman Agama…, h.130
52
Hendar Riyadi, Melampaui Pluralisme, Etika Al-Quran tentang Keragaman Agama…, h.135
Istilah al-Islam dalam Al-Quran mengandung pesan universal yang ditujukan bagi siapa pun yang tunduk patuh, memahaesakan Tuhan
bertauhid, bersikap pasrah dan mengikhlaskan diri dalam beribadah kepada-Nya
53
. Dalam pemahaman ini, maka al-Islam mencakup agama- agama yang beragam dan segala bentuk kewajiban, praktik keagamaan
dan apa-apa yang telah menjadi bagian keyakinan mereka. Sehingga menurut Ridha, muslim sejati adalah orang yang tidak ternodai oleh dosa
syirik, mengikhlaskan tulus dalam tindakan atau amalnya dan memiliki iman, dari komunias agama apapun, kapanpunm dan di tempat asal mana
pun. Secara ringkas, konsep etiko-religius iman maupun islam
memiliki makna dasar yang sama, yakni “selamat: atau “memberikan keselamatan” dan “aman” atau “memberikan rasa aman”. Dalam konteks
kebinekaan agama, seseorang yang mengaku mukmin atau muslim, maka ia harus memberikan rasa aman dan keselamatan kepada yang lainnya,
termasuk terhadap kaum beriman yang berbeda agama. Ihsan adalah kebaikan “tersembunyi” yang melampaui keadilan.
Dalam pengertian ini, maka ihsan lebih tepat diartikan sebagai “kearifan”, bukan sekedar kebaikan, melainkan melampaui kebaikan-
kebaikan
54
. Dalam konteks pluralisme agama atau hubungan sosial antarumat
beragama-sebagaimana akan dijelaskan nanti—Al-Quran secara khusus memerintahkan untuk bersikap arif dalam melakukan dialog antar agama
Q.S .Al-Ankabut, 29 : 46
55
53
Hendar Riyadi, Melampaui Pluralisme, Etika Al-Quran tentang Keragaman Agama…, h.137
54
Hendar Riyadi, Melampaui Pluralisme, Etika Al-Quran tentang Keragaman Agama…, h.159
55
Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim diantara mereka, dan katakanlah:Kami telah beriman
kepada kitab-kitab yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Ilah kami dan Ilahmu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya berserah diri. Departemen Agama RI, Al-
Qur’an dan terjemahnya..., h.635
Ihsan dalam pengertian kearifan inilah yang merupakan pesan dasar atau menjadi spiritualias agama-agama. Dalam Al-Quran surat Al-
Baqarah, 2 : 112
56
, kata ihsan ini disebut dengan kata Islam sebagai logika kebajikan universal.
Taqwa merupakan pesan dasar keagamaan yang sama bagi semua komunitas pemilik Kitab Suci. Taqwa itu merupakan wasiat atau pesan
keagamaan lama yang selalu dipesankan oleh Tuhan kepada hambanya, tidak ada yang dikhususkan, karena melalui taqwa-sebagai sumber segala
kebaikan-mereka akan meraih kebahagiaan dia kesuksesan dalam hidup
57
. Dalam Al-Quran surat Al-Hujurat 49: 13, “Sesungguhnya,
orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling ber-taqwa.” Tuhan menegaskan religio etis taqwa ini sebagai
kriteria obyektif yang menjadi dasar hubungan antar bangsa, ras, suku, dan termasuk antar manusia secara keseluruhan.
Dasar kemanusiaan yang ditunjukkan dalam teks diatas, adalah visi egalitarianisme atau kesetaraan manusia dihadapan Tuhan. Dalam
konteks pluralism
dan kerukunan
antarumat beragama,
visi egalitarianism ini mendasari wawasan kesetaraan antar kaum beriman, di
mana antara mereka tidak ada yang lebih mulia atau kinasih Tuhan, kecuali jika mereka menjalankan pesan ke-taqwa-an.
Dalam konteks kebhinekaan agama dan kesetaraan kaum beriman, sekaligus yang menjadi spiritualitas agama-agama adalah
tawhid, iman, islam, ihsan dan taqwa. Seluruh konsep religio-etik ini mengajarkan pesan yang sama, yaitu pertama, menghargai adanya
kebinekaan atau pluralisme beragama; dan kedua, mengakui
egalitarianisme equality atau kesetaraan kaum beriman.
56
“Tidak demikian dan bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Rabb-nya dan tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hatil”.Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.30
57
Hendar Riyadi, Melampaui Pluralisme, Etika Al-Quran tentang Keragaman Agama…, h.161
Konsep-konsep religio-etik ini pula yang menjadi dasar falsafah etika Al-Quran, dimana konsep baik dan buruk dalam konteks hubungan
sosial antarumat beragama dapat didefinisikan, yaitu suatu hubungan sosial antarumat beragama dapat dianggap baik menurut Al-Quran
apabila sejalan atau tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar memahaesakan Tuhan tauhid, prinsip tunduk patuh dan pasrah kepada-
Nya islam, serta sejalan dengan semangat prinsip keimanan. Kesalehan dan religious ketaqwaan, yakni memberi memberikan rasa aman,
kedamaian dan perlindungan dari hubungan yang membahayakan. Sebaliknya, suatu hubungan sosial antarumat beragama dianggap buruk
apabila keluar dari kerangka tauhid prinsip memahaesakan Tuhan, prinsip tunduk patuh dan pasrah kepada-Nya Islam, serta tidak sejalan
dengan semangat prinsip keimanan, kesalehan dan religious ketaqwaan. “Dan janganlah kamu memaki sembahan yang mereka sembah
selain Allah, karena nanti mereka akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan
setiap ummat memandang baik perbuatan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekanlah tempat mereka kembali, lalu Dia
memberitahukan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan. “Q.S Al – An’am, 6 :108
58
Klaim kebenaran truth claim ini merupakan karakteristik dasar dan identitas suatu agama, tidak ada agama tanpa klaim kebenaran,
Sebab, tanpa adanya truth claim yang oleh Withead disebut sebagai dogma atau oleh Fazlur Rahman disebut sebagai normative transedent
aspect, maka agama sebagai bentuk kehidupan form of life yang distinctive tidak akan memiliki kekuatan simbolik yang menarik
pengikutnya. Ashley Montagu, salah seorang Anthropologi Barat, menamakannya sebagai emosi keagamaan religious emotional.
Menurutnya, emosi keagamaan merupakan salah satu unsur framework agama yang bersifat universal.
58
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., 205
Seseorang belumlah dikatakan memahami ajaran Islam dan menangkap intinya, jika, mengesampingkan konsep keadilan sosio-
ekonomi, persamaan jenis kelamin, ras dan kebebasan, serta menghargai harkat dan martabat manusia.
Salah satu pemikiran penting dari doktrin tauhid bukan hanya melahirkan kesadaran akan keesaan atau kesatuan ketuhanan united of
god, melainkan juga harus melahirkan kesadaran akan kesatuan kemanusiaan united of makind. Jika Tuhan adalah Esa, maka umatnya
pun dalah esa, dalam arti bahwa manusia merupakan ummat yang satu, dank arena itu memiliki derajat yang sama.