agama, satu semangat dan satu tujuan. Persamaan-persamaan ini harus diketengahkan, sementara itu perbedaan-perbedaan harus diakui, dihargai dan
dihormati. Dalam prinsip ini, kepercayaan kepada Tuhan adalah ikatan yang menyatukan persaudaraan antar umat beragama. Agree in different setuju
didalam perbedaan,ditemukan adanya doktrin-doktrin yang disepakati oleh berbagai pemeluk agama kendatipun dalam perbedaannya. Islam mengakui
keberadaan Injil dan Taurat serta penghormatan yang istimewa bagi pemeluknya.persetujuan umat Islam terhadap Taurat dan Injil dipahami
sebagai suatu pengakuan, namun juga disadari adanya perbedaan tentang memahami eksistensinya. Demikian juga umat Yahudi dan Kristiani harus
menyadari bahwa umat Islam mengimani Musa dan Isa, kendatipun dalam pengertian kedudukan berbeda dengan pemahaman Yahudi dan Kristen
tersebut
7
. Memahami agama dengan pemahaman teologis selain memperkokoh
keyakinan terhadap agamanya sekaligus juga mengakui koeksistensi agamateologi lain sehingga otoritas kebenaran bukanlah justifikasi manusia.
Selain itu, memahami agama dengan pemahaman etis nilai-nilai ajarannya yakni keterlibatan aktif manusia dalam membangun perdamaian dan
kerjasama karena adanya kesadaran prinsip moral universal dalam tiap-tiap agama.
B. Agama dan Sikap Keagamaan
Dalam pembahasan ini, penulis akan mendeskripsikan beberapa pengertian agama secara definitif tekstual serta indefinitif kontekstual
serta menjelaskan hubungan antara agama dengan sikap keagamaan. Sehingga dapat terlihat jelas bahwa agama yang tidak terwakilkan dengan
definisi tersebut dapat kita pahami dari sikap keagamaan yang tercermin – dan mencerminkan agama itu sendiri.
Kata “agama” setara dan sepadan dengan kata “religion” dalam bahasa Inggris, dan “din” dalam Bahasa Arab. Kata “agama” itu sendiri berasal
dari bahasa Sansekerta a = tidak dan gama = kacau. Jadi, agama berarti
7
Said Agil Husain Al-Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama…, h.209-210
“tidak kacau”. Hal ini dipahami, bahwa agama adalah seperangkat aturan Tuhan yang mengatur kehidupan manusia. Sehingga mereka yang ber-agama,
berarti tidak mengalami kekacauan dalam hidupnya, baik itu kekacauan akal maupun hati atau lahir maupun batin.
Dalam al-Quran, kata din memiliki dua makna penting yang dapat dibedakan : 1 agama dan 2 pengadilan. Menurut para ilmuwan, dari dua
makna dasar tersebut, pertama “agama” berasal dari Persia. “Den” menurut bahasa Persia Zaman Pertengahan artinya kira-kira “agama yang
sistematik”. Kedua, pengadilan berasal dari bahasa Ibrani; kata Ibrani din bermakan “pengadilan“; disamping itu , dengan kombinasi tertentu “Hari
Pengadilan” yaumul din merupakan cirri khas Yahudi. Pengkajian teradap literatur pra-Islam menjelaskan tiga makna akar berikut : 1 adat istiadat,
kebiasaan, 2 kebangkitan dan 3 kepatuhan
8
. Menurut Dr. Wilfred Cantwell Smith kata Agama secara umum dapat
diartikan dengan dua pengertian yang berbeda, sekalipun sangat berkaitan erat; satunya adalah “agama” sebagai persoalan pribadi yang dalam, sebagai
tindakan eksistensial tiap-tiap- orang yang mempercayai sesuatu, singkatnya “iman” dan yang lainnya adalah “agama” dalam pengertian umum, yakni
sesuatu yang dikenal oleh suatu masyarakat, suatu persoalan komunal yang yang objektif meliputi semua kepercayaan dan praktek ritual yang dilakukan
oleh semua anggosa masyarakat itu
9
. ”Religi itu bekerja didalam sejarah manusia. Ia merupakan suatu proses
dialektis antara yang duniawi dan yang transenden; suatu proses yang lokusnya adalah iman yang personal, kehidupan manusia itu sendiri,
lebih dari sekedar yang bisa diamati dan lebih dari sekadar yang dapat dipahami. Tentang hasil-hasil apa yang tidak bisa diamati secara
publik dan apa saja yang bukan duniawi dari proses dialektis ini yang ditemukan dalam iman orang-orang yang berpartisipasi dalam tradisi
ini, mereka bisa mengatakannya dengan berbagai cara mereka sendiri. Sesuatu yang dapat diamati secara publik oleh oleh para sejarawan-
8
Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia; Pendekatan Semantik Terhadap Al-Quran, Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 2003, Cet.2, h. 245
9
Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia…, h.252
bertumpuk dan berkembang terus menerus-menerus dalam apa yang disebut tradisi kumulatif”
10
. Bila kita melangkah lebih jauh lagi pada arah ini, untuk melihat
perbedaannya antara din dalam arti obyektif umum dengan din arti tradisi akan kita temukan dalam ayat yang berbunyi “Hari ini telah Kusempurnakan
agamamu dan Aku ridhoi Islam sebagai agamamu
11
”, dengan ayat lainnya yang berbunyi “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada
kamu sehingga kamu mengikuti millah agama mereka
12
” kata din tampaknya bermakna “agama” yang objektif dan umum yang mengarah pada
suatu ketaatan. Bila kita melangkah lebih jauh lagi pada arah ini, yakni arah yang umum, maka konsep tersebut berubah menjadi millah, yang merupakan
agama sebagai sesuatu yang objektif dalam arti kata yang sesungguhnya, suatu sistem kepercayaan dan ritual formal yang merupakan prinsip-prinsip
kesatuan bagi suatu masyarakat religius dan karya sebagai asas bagi kehidupan sosialnya. Tidak seperti kata din yang masih mempertahankan
konotasi personal, betapapun jauhnya kita menuju kearah pengertian umum, millah mengandung arti sesuatu yang tegas, objektif dan formal dan ia selalu
mengingatkan kita akan eksistensi suatu masyarakat yang berlandaskan pada suatu agama yang lazim
13
.
10
Tradisi kumulatif, adalah istilah yang ia gunakan – disebutkan oleh Willfred Cantwell Smith sendiri, dalam tradisi kumulatif, menurutnya; setiap person dihadapkan pada tradisi
kumulatif dan tumbuh ditengah person-person yang lain yang memandang tradisi mereka penuh makna. Dari tradisi itu, dari person-person lain, dan dari kapasitas batiniah person yang
bersangkutan serta lingkungan kehidupan lahiriahnya, si person sampai kepada suatu iman yang adalah miliknya sendiri. Tradisi itu, dalam aktualitasnya yang terindera dan person-person lain
yang berada dalam tradisi itu – berpartisipasi secara mirip dengannya – mengasuh serta menumbuhkembangkan imannya dan memberinya bentuk. Sebaliknya, iman si person itu
memberikan kepada tradisi konkrit yang bersangkutan, lebih dari sekedar signifikansi intrinsik dan menggalakkan sesama warga tradisi untuk tekun melanjutkan keterlibatannya dalam tradisi itu.
Lihat
: Wilfred Cantwell Smith, Memburu Makna Agama, terj. The Meaning and End of Religion,
Bandung : PT. Mizan Pustaka, 2004, Cet.1 h.321-322
11
Q.S Al-Miadah 5 : 3
12
Q.S. Al-Baqarah 2 : 120
13
Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia…, h.254