Kesatuan Teologis Islam dan Tinjauan Kritis Pluralisme Agama

Bagi kita umat Islam, yang telah sampai kepada kita ajaran tauhid, maka semestinya kita dapat memahami dan membedakan bentuk penyembahan yang benar dan yang salah, apa yang dikatakan musyrik dan kafir, bukan menjatuhkan vonis negatif kepada umat lain hanya dengan alasan berbeda keyakinanagama. Dengan demikian sesungguhnya banyak diantara umat Islam yang belum memahami dengan benar dan utuh inti ajaran tauhid ; yang berarti pembebasan kepada Tuhan dari berbagai hal yang dapat membatasinya, dan tanpa kita sadari, mungkin hingga saat ini kita masih membatasi keesaan Tuhan dengan pengetahuan yang relatif tentang-Nya. Pengakuan pada keesaan Tuhan kesatuan ketuhanan berarti juga pengakuan terhadap kesatuan penciptaan dan kesatuan kemanusiaan. Dalam hal ini tauhid mencakup tiga aspek yakni aspek teologis ketuhanan, kosmologis kealaman, dan antropo-sosiologis kemanusiaan. Tiga elemen pokok ini bukan hanya dibahas oleh Islam tetapi juga oleh agama-agama lainnya 60 Ismail Raji al-Faruqi menyatakan. Ismail Raji al-Faruqi menjelaskan bahwa asal semua agama adalah satu, karena bersumber pada yang satu, Tuhan. Agama yang menjadi asal semua agama ini disebut Ur-Religion, atau agama fitrah din al-Fithrah yang bersifat meta-religion, sebagaimana firman Allah “Maka hadapkanlah wajahmu kepada Allah dengan lurus; tetaplah pada fitrah Allah yang telah menciptakan manusia diatas fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang benar, akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” QS. 30: 20. Islam mengidentikkan dirinya dengan “agama fitrah” ini. tetapi kemudian, sejalan dengan tingkat perkembangan sejarah, peradaban dan lokasi umat yang menerimanya, “agama fitrah” 60 Mohammad Irfan dan Mastuki HS, Teologi Pendidikan, Tauhid Sebagai Paradigma Pendidikan Islam..., h.28 atau Ur-Religion tersebut berkembang menjadi agama historis atau tradisi agama yang spesifik dan beraneka plural 61 Ia juga menyatakan bahwa mengakui Tuhan dan keesaanNya berarti mengakui kebenaran QS. 11: 14, 14: 52, 16:2, 23:23,116, 39:5 dan kesatu-paduannya 62 . Kebenaran yang banyak pluralitas kebenaran itu didapatkan secara beragam pula oleh manusia untuk memahami kebenaran yang satu, atau kebenaran mutlak. Kebenaran yang mutlak adalah Tuhan itu sendiri, sumber dan pemilik kebenaran. Keesaan Tuhan dan kesatuan kebenaran tidak dapat dipisahkan, keduanya merupakan aspek-aspek dari satu realitas yang sama. Ini menjadi jelas karena kebenaran adalah satu sifat dari pernyataan tauhid, bahwa Tuhan itu tunggal. Ini berarti bila kita memahami kebenaran itu satu, berarti kita telah mengakui adanya kesatuan kebenaran, dan memahami Tuhan itu satu, berarti mengakui adanya kesatuan Tuhan 63 . Dengan tauhid seorang muslim diarahkan untuk memiliki pengetahuan yang benar dan positif tentang realitas yang ada alam dan yang adanya wajib ada Tuhan, menolak segala bentuk kontradiksi dan paradoks dan sebaliknya mengakui keteraturan dan keharmonisan agar tidak terjebak dalam skeptisisme, mengakui adanya kebenaran absolut- relatif dan relatif-absolut; absolut-relatif, yakni memahami kebenaran mutlak absolut adalah kesatuan pengetahuan yang bertebaran dialam semesta dalam pola kerja sunnatullah hukum kehidupan, hukum alam 61 Muhammad Qorib, Pluralisme Agama dalam Perspektif Sufi…, h.156 62 Mohammad Irfan dan Mastuki HS, Teologi Pendidikan, Tauhid Sebagai Paradigma Pendidikan Islam..., h.32 63 Kita sering terjebak dengan kata “kesatuan” atau wahdat, yang sesungguhnya dimaksud bukanlah menyamakan atau mencampuradukkan kebenaran, perbedaan-perbedaan yang ada itu tetap pada porsinya masing-masing sebagai identitas yang mandiri namun disisi lain, identitas- identitas mandiri tersebut memiliki hubungan yang tidak terpisahkan antara satu dengan yang lainnya. Pandangan yang menyamakan atau mencampuradukkan kebenaran menurut penulis jelas sangat keliru. Karena bagaimana kita mengatakan kesatuan tanpa adanya keragaman, kesatuan berarti memelihara keragaman. Inilah poros dan sistem yang berlaku dan tidak berubah. Begitupun sebaliknya, kata keragaman atau plural baca : pluralisme berarti menunjukkan adanya kesatuan dalam perbedaankeragaman. Yang satu tersebut muncul aktualaktif secara berlainan sebagai unsur dalam suatu sistem, kesatuan bukan berarti kesamaan. Karena “sama” yang dimaksud dalam hal sumber dan tujuan, tetapi wajib berbeda dalam hal fungsi dan eksistensinya. sehingga kebenaran tersebut secara absolut berasal dari Tuhan untuknya seseorang, kelompok atau yang lainnya yang harus diimani secara mutlak akan tetapi itu akan menjadi relatif bagian dari pada kebenaran yang lain, dengan pemahaman inilah maka prinsip sunnatullah hukum alam tetap terjaga. sedangkan relatif-absolut, yakni kebenaran relatif yang diperoleh manusia itu akan tetap berada dalam pola Ilahiah selama ia tidak dipengaruhi oleh keinginan nafsu dan sangkaan dzan yang negatif, atau dapat dikatakan nilai-nilai substansinya adalah mutlak dan tidak hilang, karena Tuhan lah yang menghendaki dan mengatur pola kerja kehidupan dan alam, hal ini dalam ilmu tasawuf kita kenal dengan istilah tajalli pancaran Tuhan 64 . Lebih lanjut dikatakan bahwa yang benar tersebut tidak mutlak, karena yang mutlak adalah Tuhan dan hanya ada dalam pengetahuan-Nya sedangkan manusia hanya menangkap tajalli Tuhan sesuai dengan kemampuannya memahami ilmu Tuhan. Sehingga ia kebenaranpengetahuan manusia tentang Tuhan adalah mutlak pada tataran esoteris dan relatif pada tataran eksoteris. Apa yang dimaksud dengan kesatuan? Pertama kita harus membedakan antara dua macam kesatuan yang mengikuti Thomas Aquinas dapat disebut “satu pada diri sendiri” unum in se dan “satu karena keterarahan” unum ordinis. Yang kedua terdapat apabila beberapa unum in se terarah pada satu tujuan, misalnya kesatuan sekelompok orang. Unum ordinis kita biarkan saja. Yang primer adalah unum per se. sesuatu merupakan “satu pada dirinya sendiri” apabila sesuatu itu sedemikian bersatu sehingga dapat bertindak sendiri dan bagiannya hanya dapat ada dan bertindak dalam kesatuan yang satu itu. Manusia dan binatang merupakan “kesatuan pada dirinya sendiri”. Kesatuan itu juga disebut “substansial” yang mandiri. 65 64 Mohammad Irfan dan Mastuki HS, Teologi Pendidikan, Tauhid Sebagai Paradigma Pendidikan Islam..., h.32-35 65 Frans Magnis Suseno, Menalar Tuhan, Jakarta : Kanisius, 2006, Cet.5, h.198 Berdasarkan teori Aquinas mengenai kesatuan diatas, maka kita bisa memberikan analogi kesatuan pada agama-agama. Agama merupakan unum in se atau satu pada dirinya sendiri, dalam hal ini agama merupakan bentuk kesatuan dari unsur-unsur yang membangunnya, agama merupakan bentuk kesatuan berdasarkan unsur historis, ajaran, tradisi, simbol dan lain sebagainya yang membentuk identitas sebuah agama. Sebuah agama merupakan kesatuan pada unsur- unsurnya yang tidak terpisahkan sebagai identitas. Unsur-unsur dalam agama, kita katakan saja sebagai “satuan pengada”, semakin tinggi tingkat kemengadaan suatu pengada maka semakin jelasterang kesatuannya, dan semakin rendah tingkat kemengadaannya maka semakin kabur kesatuannya 66 . Inilah yang disebut sebagai kesatuan berdasarkan kualitas 67 . Unsur atau satuan pengada pada agama merupakan “kualitas” yang dengan sendirinya mengokohkan identitas agama. Bila unsur-unsur tersebut dipisahkan maka, agama tetaplah agama, hanya saja tingkat kualitasnya memudar dan identitasnya akan semakin kabur. Inilah yang menguatkan landasan pluralisme tidak menisbikan realitas agama, atau menghilangkan kualitas dan identitas suatu agama. 66 Frans Magnis Suseno, Menalar Tuhan…, h.199 67 Berdasarkan sifatnya, kesatuan dibedakan secara kuantitatif dan kualitatif. Kesatuan dalam kategori kualitatif, yakni apabila satuan pengada unsur nya terlepas maka kesatuan tersebut menjadi rendah kualitasnya. Misalnya manusia, manusia terdiri dari kemajemukan seperti kepala, tangan, kaki dan lain sebagainya bila unsur pengadanya semakin berkurang, maka manusia secara kualitas menjadi lemahrendah. Lebih jauh lagi bila keterpecahan unsur bagian tubuh dari manusia tersebut melampaui ukuran, maka manusia akan mati. Begitupun agama, bila nilai-nilai sejarah, ajaran, simbol dan tradisi nya hilang maka agama tidak akan dikenal atau bahkan mati…, itulah sebabnya formalitas agama tetap dibutuhkan dan harus dipertahankan karena ia adalah identitas yang membedakan dari agama yang satu dengan agama yang lain. Kategori kedua adalah kesatuan berdasarkan sifat kuantitatif, pada kesatuan kuantitatif, apabila terjadi keterpisahan maka keterpisahan itu hanya pada kuantitas, penyatuan yang terjadipun diukur berdasarkan kuantitas. Misalnya pada sebuah batu bata sebagai unum in se, bila batu bata tersebut dipatahkan menjadi dua, maka nilai kualitasnya adalah sama sebagai batu-bata tidak ada pengaruh hanya kuantitasnya yang berubah dari 500 gr misalnya menjadi 250 gr. Lihat : Frans Magnis Suseno, Menalar Tuhan, Jakarta : Kanisius, 2006, Cet.5, h.198 Selanjutnya, selain agama merupakan unum in se, sekaligus juga sebagai satuan pengada dalam satu keterarahan. agama-agama yang terarah pada tujuan yang satu. Kesatuan agama merupakan unum ordinis, dalam hal ini keterarahankesatuan yang dimaksud adalah kualitas-kualitas, substansi-substansi, dan identitas-identitas agama akan mengarah pada sebuah kesatuan, dimana keterarahan menuju yang satu kesatuan itu, menjadi satu kualitas, satu substansi dan satu identitas. Disebut kesatuan adalah ; adanya kesatuan historis asal agama adalah satu, agama fitrah atau meta-religion, nilai-nilai kesatuan ajaran agama- agama yang bersifat orisinil dan perennial, kesatuan simbol dan tradisi pada agama-agama menjadi satu yang dipahami secara tujuan esensi dibalik simbol-simbol dan tradisi-tradisi. Sementara itu, baik kesatuan dalam wahdat al-Adyan dan pluralisme, bila agama-agama unsur pengadanya dipisahkan secara kualitas terpisah mandiri dan identitas agama-agama dihilangkan maka dengan sendirinya melemahkan kesatuan dalam kualitassubstansinya tersebut. Sehingga tidak akan terbentuk kesatuan yang mapan, yang artinya juga tidak akan terbentuk suatu keterarahan tujuan, Yakni Tuhan inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Kesatuan utuh dapat terjadi bila unsur-unsur pengadanya berada pada posisi pertemuan yang menghimpun bukan keterpisahan yang menjauh. Sekarang mari kita analogikan kesatuan agama dengan kesatuan individu, misalnya pada pernikahan. Mereka masing-masing individu yang menikah mengatakan “kami telah menyatu”. Tentunya kita dapat memahami dengan jelas bahwa yang dimaksud “kesatuan” dari dua individu itu bukanlah kesatuan lahiriahfisik melainkan kesatuan rasabatin atau cinta. Karena walau bagaimanapun mereka tetaplah dua yang berbeda, namun dapat menyatu pada tujuan dan perasaan yang samasatu. Bahkan pada aktivitas seksual yang dilakukan manusia tetaplah bukan merupakan kesatuan karena mereka tetap terpisah dan tidak ada persatuan fisik yang permanen terlebih lagi mereka tetap pada peran dan fungsinya untuk pasangannya masing-masing, namun bila dikatakan aktivitas seksual sebagai cara penyatuan rasa cinta adalah benar, karena kebersamaan akan penyatuan itu hanya dirasakan dan ditemukan oleh mereka saja. Titik temu agama-agama adalah seperti pernikahan pada manusia, bila boleh penulis mengatakan; titik temu tersebut sebagai perkawinan esoteris agama-agama. Manusia dan agama mencari cinta, kebersamaan dan keparipurnaan. Namun yang harus dipertegas adalah, keparipurnaan tersebut dalam perspektif yang diinginkan manusia baru terwujud denganmelalui pasangannya yang dianggap sebagai pelengkap dan yang menyempurnakannya.pandangan seperti ini adalah pandangan yang keliru, karena sejatinya manusia telah utuh dan paripurna, namun hal itu belum aktual tanpa eksistensi orang lain. Keparipurnaan tersebut justru teraktualisasikan dengan adanya pernikahan, sehingga seseorang dapat melihat dirinya yang utuh pada orang lain, menyadari keutuhan masing- masing dan menyadari keutuhan dari kesatuan mereka. Begitupun agama, agama adalah utuh dan paripurna, memiliki esensi, substansi dan identitasnya masing-masing. Aktualisasi terlihat dengan adanya penyatuan kesatuan, dimana fungsi kesatuan adalah mengokohkan yang satu-mandiri dan yang jamak secara bersamaan. Agama yang satu secara fungsional akan saling mengaktualisasikan agama yang lain dengan eksistensinya sendiri. Kesatuan agama-agama menjamin keutuhan dan keparipurnaan setiap agama, kesadaran inilah yang ingin dicapai oleh wahdat al-Adyan dan pluralisme agama. Dan Supreme Tertinggi dari cinta, satu dan paripurna itu sendiri adalah Tuhan.

4. Ahl-al-Kitab

Dan sesungguhnya diantara ahli kitab ada orang yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu dan yang diturunkan kepada mereka sedang mereka berendah hati kepada Allah dan mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. Mereka memperoleh pahala di sisi Tuhannya. Sesungguhnya Allah amat cepat perhitungan-Nya. QS. Ali-Imran [3] : 199 Dalam tradisi Islam, para mufassir senantiasa berpendapat, bahwa istilah Ahlul Kitab merujuk pada dua komunitas: Yahudi dan Nasrani. Dalam perkembangannya, sebagian kalangan mengembangkan pengertian Ahlul Kitab hingga semakin jauh dari apa yang telah dikaji oleh para ulama di masa lalu. Kata mereka, Ahlul Kitab dapat mencakup semua agama yang memiliki kitab suci; atau umat agama-agama besar dan agama kuno yang masih eksis sampai sekarang; seperti golongan Yahudi, Nasrani, Zoroaster; Yahudi, Nasrani, Majusi, Shabi’un, Hindu, Budha, Konghucu, dan Shinto 68 . Istilah Ahlul Kitab sendiri berasal dari dua kata bahasa Arab yang tersusun dalam bentuk Idhafah yaitu ahlu dan Al-kitab. Ahlu berarti pemilik , ahli, sedangkan Al- kitab berarti kitab suci. Jadi, Ahlul Kitab berarti, “Pemilik Kitab Suci”, yakni para umat nabi yang diturunkan kepada mereka kitab suci wahyu Allah 69 . Term Ahlul Kitab disebutkan secara langsung di dalam al-Qur’an sebanyak 31 kali dan tersebar pada 9 surat yang berbeda. Kesembilan surat tersebut adalah al-Baqarah, Alu ‘Imran, al-Nisa’, al-Maidah, al-Ankabut, al-Ahzab, al-Hadid, al-Hasyr, dan al-Bayyinah. Dari kesembilan surat tersebut hanya al-Ankabut lah satu-satunya yang termasuk dalam surat Makkiyah dan selebihnya termasuk dalam surat-surat Madaniyah 68 Lihat, misalnya, Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, 1992, dan Huston Smith, kata pengantar dalam Frithjof Schuon, The Trancendent Unity of Religions, 1984 69 Klaim ini disandarkan atas argumen bahwa setiap kaum telah diutus bagi mereka nabi- nabi yang membawa risalah tauhid; umat-umat terdahulu berasal dari satu kesatuan kenabian; setiap kaum memiliki sirath, sabil, syari’ah, thariqoh, minhaj, mansakhnya masing-masing.. Siapa ahlul kitab? Dari : www.nsistnet.com, didownload pada 18 Desember2011 Ini mengisyaratkan bahwa interaksi dengan Ahlul Kitab baru berjalan intensif tatkala Nabi Muhammad SAW berada di Madinah. Ini dikarenakan bahwa di Kota Makkah sendiri pada waktu itu periode Makkah penganut agama Yahudi sangat sedikit. Adapun yang dihadapi Nabi SAW dalam dakwahnya adalah kaum musyrik penyembah berhala. Muhammad Galib Mattola, Ahl al-Kitab: Makna dan Cakupannya 70 Al-Quran juga menyebutkan bahwa kaum ahli kitab Yahudi dan Nasrani memang tidak sama. Ada yang kemudian beriman kepada kenabian Muhammad saw. Jumlahnya sedikit QS 2:88. Tetapi sebagian besar fasik. QS 3:110. ”Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud sembahyang. Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan mereka menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada mengerjakan pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang saleh. Dan apa saja kebajikan yang mereka kerjakan, maka sekali-kali mereka tidak dihalangi menerima pahala nya; dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang bertakwa.” 71 Perihal pluralisme agama yang hingga saat ini masih menjadi kontroversi, puncak determinasinya adalah dalam hal penentuan siapakah mereka yang disebut sebagai ahlul kitab? dan masih adakah ahli kitab hingga saat ini?. Karena hal inilah yang kemudian menjadi dasar pengharaman pluralisme. Mereka mengatakan bahwa ahlul kitab sudah tidak ada dikarenakan kitab suci Yahudi dan Nasrani sudah terselewengkan. Dari beberapa literatur yang penulis pelajari tentang ahlul kitab baik itu yang mengatakan ahlul kitab hanya dari golongan Yahudi dan Nasrani saja ataupun ahlul kitab itu tak terbatas hanya pada dua agama tersebut, mulai dari yang mengatakan ahlul kitab itu masih ada atau sudah tidak ada lagi, maka untuk menanggapi hal ini penulis berpendapat : 70 Siapa ahlul kitab? Dari : www.nsistnet.com, didownload pada 18 Desember2011 71 QS Ali Imran ayat 113-115 Mereka yang disebut ahlul-kitab oleh al-Quran hingga saat inipun masih ada, karena tidak mungkin ayat-ayat al-Quran mengenai keberadaan ahlul kitab hanya di kurun waktu tertentu – akan menjadi tidak relevan dengan zaman . Lalu siapakah sesungguhnya ahlul kitab itu? “Ahlul kitab adalah umat terdahulu yang diturunkan kepada mereka al- kitabkitab suci sebelum datangnya nabi Muhammad saw membawa agama Islam – al-Quran kitab suci umat Islam baik itu dari golongan Yahudi dan Nasrani ataupun umat-umat terdahulu lainnya yang para nabinya tidak disebutkan dalam Al-Quran. Hal ini dikarenakan semua agama para nabi adalah agama tauhid. Untuk menjawabnya, mari kita telaah bagaimana al-Quran mengkategorikan kedudukan hati manusia. Secara garis besar manusia digolongkan pada “iman” yakni orang-orang yang menerimameyakini, dan “kufur atau kafir” yakni orang-orang yang menolakmembangkang. Beriman berarti meyakini sebagaimana yang kita ketahui dalam rukun iman, jika ada manusia yang tidak mempercayai salah satu dari rukun iman tersebut maka ia termasuk golongan orang-orang yang membangkang yakni kufur kafir. Orang-orang beriman kemudian terpecah menjadi tiga golongan yakni, “fasik, munafik, dan syirik”. orang-orang yang beriman tetapi tidak menjalankan syariat agamanya maka mereka tergolong “fasik”. Orang-orang beriman yang mengkhianati agamanya atau menjadikan agama sebagai tameng kepentingannya disebut “munafik” itulah mengapa orang-orang munafik pada zaman rasulullah ditujukan kepada mereka yang meskipun perbuatannya menjalankan agama tetapi hatinya telah meninggalkan agama bahkan merusak agama. Sementara itu, Orang-orang beriman yang kemudian berpaling dari keimanannya, maka mereka digolongkan sebagai orang-orang syirikmusyrik. Tidak seperti musyrik, orang munafik menyembunyikan pengingkarannya dan berselimut agama, sedangkan orang-orang musyrik dengan terang-terangan berpaling dari keimanannya. Musyrik diartikan sebagai tindakan men-dua-kan Tuhan. Lalu bagaimana membedakan antara syirik dengan kafir. Syirik lebih spesifik lagi dari kafir, syirik adalah pengingkaran terhadap keesaan Allah, sementara kafir adalah pengingkaran terhadap kebenaranayat-ayat Allah. Kafir lebih umum atau lebih luas pengertiannya dari syirik. Orang-orang syirik termasuk orang-orang kafir, perbuatan syirik dilakukan karena hatinya telah ingkarkafir. Sehingga kata kafir lebih menunjukkan kepada “kata sifat” sementara kata syirik lebih menunjukkan kepada “kata kerja”. Sedangkan kata “muslimin” dan “ahlul kitab” adalah pembeda, ini dikarenakan derajat Islam dan Al-Quran lebih tinggi sempurna dibandingkan agamakitab sebelumnya. Dalam hal ini al-quran menegaskan tentang adanya keberadaan ahlul-kitab yang masih berpegang teguh pada ajaran-ajaran nabikitab-nya selain atau sebelum ajaran Nabi Muhammad Saw. Titik tekan pembedaan ini; mereka yang disebut ahlul kitab adalah yang masih berpegang teguh menjalankan perintah kitab sucinya atau ajaran agamanya, serta mengakui kebenaran Islam dan kerasulan Muhammad SAW. Golongan ini sudah beriman sehingga tidak ada anjuran bagi mereka untuk masuk agama Islam. Bila diantara golongan Ahlul kitab tidak mengimani nabi Muhammad dan al-Quran maka mereka termasuk golongan orang-orang kafir. Golongan ahlul kitab yang kafir tdak mengimani al-Quran dan Nabi Muhammad -inilah yang diserukan kepada mereka untuk memeluk agama Islam agar kembali kepada keimanannya.