Menurut Ricoeur, ada tiga langkah pemahaman, yaitu yang berlangsung dari penghayatan atas simbol-simbol ke gagasan tentang “
berpikir dari” simbol-simbol. Langkah pertama ialah langkah simbolik, atau pemahaman dari simbol ke simbol. Langkah kedua adalah pemberian
makna oleh simbol serta ‘penggalian’ yang cermat atas makna. Langkah ketiga adalah langkah yang benar-benar filosofis, yaitu berpikir dengan
menggunakan simbol sebagai titik tolaknya. Ketiga langkah tersebut berhubungan erat dengan langkah-langkah
pemahaman bahasa yaitu : semantik, refleksif, serta eksistensial atau ontologis. Langkah semantik adalah pemahaman pada tingkat ilmu bahasa
yang murni; pemahaman refleksif adalah pemahaman pada tingkat yang lebih tinggi, yaitu yang mendekati ontologi; sdang langkah pemahaman
eksistensial atau ontologis adalah pemahaman pada tingkat being atau keberadaan makna itu sendiri.
17
Selain metode pembahasan yang bertumpu pada titik tolak hermeneutik, metode pembahasan yang digunakan juga bertumpu pada
titik tolak fenomenologi
17
, yaitu analisis yang berusaha memberi makna dari berbagai peristiwa dan interaksi manusia dalam situasinya yang
khusus. Metode ini digunakan agar pembahasan ini tidak terjebak pada pendekatan yang hanya bersifat historis-empiris semata, sehingga dapat
memperoleh gambaran yang lebih utuh dan yang lebih fundamental tentang keberagamaan manusia. Dalam penelitian ini, mencakup peristiwa-
peristiwa hal-hal lain, seperti kondisi sosio-kultural dan makna etisnya. Dengan cara ini akan terpenuhi prinsip koherensi internal yang
menghimpun unsur-unsur struktural secara konsisten, sehingga benar- benar merupakan internal structuirs atau internal relations yang menjamin
pemaknaan atau pemahaman yang benar
18
. Maka, analisis data dari penelitian ini juga akan menukik jauh sampai menjangkau pada data-data
ontologis dan epistemologis serta pemikiran logis yang menjadi tiang
17
Sumaryono, E, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, Kanisisus, Yogyakarta, 1999, h. 111
18
Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan : Dialog Pluralisme Agama…, h.10
penyangga bangunan pemikiran-pemikiran konsep wahdat al-Adyan dan pluralisme agama.
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.
Tujuan Penelitian
Upaya penelitian yang dilakukan dalam penulisan ini lebih diorientasikan pada satu tujuan pokok, yaitu untuk mendapatkan
deskripsi yang jelas, sistematis, obyektif, dan komperehensif tentang konsep relevansi antara konsep wahdat al-Adyan dan pluralisme
agama
2. Manfaat Penelitian
a. Untuk memenuhi persyaratan penyelesaian studi tingkat strata satu S.1, memperoleh gelar sarjana pendidikan Islam S.Pd.I pada
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Jurusan Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Negeri UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
b. Sebagai sumbangsih intelektual dalam bentuk tulisan yang bersifat ilmiah dan dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak yang
memerlukannya, dalam rangka menggali khazanah pemikiran Islam, bahwa pemahaman yang benar dan tepat mengenai wahdat
al-Adyan dan pluralisme agama akan turut memperkokoh komitmen keyakinan terhadap agama yang kita anut.
c. Penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan bagi penulis sebagai calon guru pada khususnya dan
pembaca umumnya, serta dapat memberikan informasi dan pemahaman terhadap konsep wahdat al-Adyan dan pluralisme
agama dalam kajian filsafat, fiqh dan tasawuf terlebih mengenai makna dasar dan tujuan agama untuk kemudian dikejawantahkan
dalam hidup dan kehidupan, di tengah arus globalisasi, sekularisasi dan modernisasi dewasa ini, yang harus pula diimbangi dengan
keimanan dan ketakwaan.
BAB II KONTEKSTUALITAS MAKNA AGAMA
1
Dalam konteks wacana agama-agama, kita sering mendengar istilah “titik temu agama-agama”
2
, beberapa diantara tawaran alternatif dalam mencari titik temu agama-agama adalah konsep pluralisme agama dan wahdat al-Adyan.
Sebelum lebih jauh mengkaji kedua konsep tersebut, ada baiknya kita menelusuri hal-hal yang mendasari semangat kaum agamawan dalam mencari titik
temu agama-agama. Hal-hal apa sajakah yang menjadi titik temu dan titik pisah dalam agama-agama. Ini sangat penting agar kita terhindar dari relativisme
sinkretisme, dan terjebak dalam keraguan terhadap agama yang kita anut. Adanya semangat spiritual untuk mencapai kebenaran absolut dan kebaikan
universal adalah dengan menggabungkan persamaan landasan teologis normatif dan landasan etis-humanis pada agama-agama, untuk dapat mencapai titik temu
terlebih dahulu kita harus memisahkan garis eksoteris dan esoteris agama-agama.
1
Bab ini menjadi pengantar, sebelum kita memijaki zona wahdat al-Adyan dan pluralisme agama. Pada bab ini akan dibahas beberapa hal esoterisme agama-agama dan kesatuan
transenden yang juga menjadi cakup kajian wahdat al-Adyan dan pluralisme agama. Penulis merasa perlu memisahkannya menjadi bab tersendiri agar penulisan skripsi ini lebih terstruktur
dan sistematis, sehingga pembahasan mengenai wahdat al-Adyan dan pluralisme agama tidak terlalu meluas dan terfokus pada sisi historis dan epistemologisnya serta beberapa prinsip dasar
ajarannya.
2
Titik temu agama-agama atau istilah yang digunakan oleh Sayyed Hussein Nasr, istilah yang serupa dengannya seperti “Unity of Transendent Religions” yang digunakan oleh Frithjof
Schuon, “The Common Vision” yang digunakan oleh Huston Smith, dan “The Common Platform atau kalimah sawa’” yang digunakan oleh Nurcholis Madjid.
Demikianlah teori-teori yang dikemukakan selanjutnya dalam upaya mencapai titik temu agama-agama.
A. Agama dan Keberagamaan
Agama merupakan tuntunan yang menyentuh hal-hal paling prinsipil dari manusia, yaitu keyakinan, sedangkan keyakinan itu sendiri bersumber
dari hati hati “qalb” yang suci, yang berjalan sesuai dengan fitrahnya
3
. Agama merupakan wadah manifestasi fitrah manusia, dari sanalah manusia
mendapat keyakinan tentang Tuhan. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah; bagaimana manusia mendapatkan pemahaman dan keyakinan yang
benar kepada Tuhan? Untuk mendapatkan pemahaman yang benar kepada Tuhan, tentunya
manusia harus memperolah pemahaman yang benar terhadap agama yang dianutnya. Setiap agama memang memiliki konsep teologinya masing-
masing, sehingga dalam memahami makna agama harus dibicarakan satu nafas dengan pembicaraan tentang Tuhan
4
. Ajaran agama mengisyaratkan tentang hakikat tuhan, agama diyakini sebagai jalan hidup yang bersumber
dan kembali kepada tuhan. Oleh sebab itu, hakikat agama itu sendiri adalah tuhan. Pemahaman terhadap konsep teologis inilah yang menentukan
keyakinan dan konsistensi pemeluk agama dalam menjalankan ajaran agamanya. Sehingga dalam menjalankan perintah agama disertai dengan
penghayatan akan kehadiran Tuhan dalam setiap laku-aktivitas yang dilakukan karena merasa dirinya terikat langsung dengan tuhan sebagai satu-
satunya sumber kebenaran hakiki, pemberi aturan moral dan hakim atas tindakan-tindakan manusia
5
.
3
Fitrah adalah sifat dasar dan alamiah manusia. Kata ini diturunkan dari kata fathara yang memiliki arti “memecah” atau “memisahkan”. Fathara juga dapat berarti “menciptakan” keadaan
non wujud terpecah dan terbuka, sehingga terkuaklah kutub kebalikannya : penciptaan, pengetahuan sejati – pengetahuan transformatif – pengetahuan mendasar dalam diri manusia yakni
pengetahuanjalan menuju Tuhan. Lihat : Fadhullah Haeri, Jiwa Al-Qur’an : Tafsir Surat al- Baqarah, Jakarta : PT Serambi Ilmu Semesta, 2001, Cet.1, h.24-25
4
A.M Romly, Fungsi Agama Bagi Manusia : Suatu Pendekatan Filsafat…, h.11
5
Tuhan sebagai satu-satunya sumber kebenaran hakiki dan absolut, berarti meyakini bahwa agama adalah jalan menuju kebenaran, karena kebenaran itu hanya dimiliki oleh Tuhan, maka
benar dan salah secara absolut hanya ada dalam penilaian Tuhan. Olah sebab itu, fungsi agama adalah pembentukan iman. Dengan demikian manusia sebagai pencari kebenaran secara sadar