Tidak seperti musyrik, orang munafik menyembunyikan pengingkarannya dan berselimut agama, sedangkan orang-orang
musyrik dengan terang-terangan berpaling dari keimanannya. Musyrik diartikan sebagai tindakan men-dua-kan Tuhan.
Lalu bagaimana membedakan antara syirik dengan kafir. Syirik lebih spesifik lagi dari kafir, syirik adalah pengingkaran terhadap
keesaan Allah, sementara kafir adalah pengingkaran terhadap kebenaranayat-ayat Allah. Kafir lebih umum atau lebih luas
pengertiannya dari syirik. Orang-orang syirik termasuk orang-orang kafir, perbuatan syirik dilakukan karena hatinya telah ingkarkafir.
Sehingga kata kafir lebih menunjukkan kepada “kata sifat” sementara kata syirik lebih menunjukkan kepada “kata kerja”.
Sedangkan kata “muslimin” dan “ahlul kitab” adalah pembeda, ini dikarenakan derajat Islam dan Al-Quran lebih tinggi sempurna
dibandingkan agamakitab sebelumnya. Dalam hal ini al-quran menegaskan tentang adanya keberadaan ahlul-kitab yang masih
berpegang teguh pada ajaran-ajaran nabikitab-nya selain atau sebelum ajaran Nabi Muhammad Saw. Titik tekan pembedaan ini;
mereka yang disebut ahlul kitab adalah yang masih berpegang teguh menjalankan perintah kitab sucinya atau ajaran agamanya, serta
mengakui kebenaran Islam dan kerasulan Muhammad SAW. Golongan ini sudah beriman sehingga tidak ada anjuran bagi mereka
untuk masuk agama Islam. Bila diantara golongan Ahlul kitab tidak mengimani nabi Muhammad dan al-Quran maka mereka termasuk
golongan orang-orang kafir. Golongan ahlul kitab yang kafir tdak mengimani al-Quran dan Nabi Muhammad -inilah yang diserukan
kepada mereka untuk memeluk agama Islam agar kembali kepada keimanannya.
Pengertian ahlul kitab sebagai “penerima kitab suci atau mereka yang diberi al-kitab”, adalah pengertian yang dangkal. Bila
pengertiannya seperti itu maka kemungkinannya adalah; pada saat ini tidak ada lagi ahlul-kitab, karena hanya al-quran-lah yang terjaga
keasliannya hingga akhir zaman sementara kitab-kitab yang lain telah mengalami perubahan, tidak otentik lagi.
Semestinya ahlul-kitab dipahami sebagai orang-orang yang mengamalkan dan menjaga ajaran-ajaran kitab sucinya
72
. Kenyataan saat ini kitab suci mereka telah mengalami penyimpangan, namun
ada beberapa ajaran yang tetap sama dan itu tetap mereka pegang teguhjalankan. Jadi secara lengkap ahlul kitab diartikan sebagai
golongan penerima kitab suci, mengakui kerasulan Muhammad dan kitab al-quran, serta menjalankan ajaran kitab sucinya masing-
masing. Mereka inilah termasuk kedalam golongan orang-orang yang beriman.
Definisi seperti ini yang nampak lebih sesuai dengan permaksudan al-quran tentang ahlul-kitab, disamping menyatakan
masih adanya ahlul-kitab, pengertian ini juga mendukung kebenaran tentang relevansi ayat al-quran disepanjang zaman.
Pluralisme dan wahdat al-adyan tentang batas toleransi beragama dalam hal ini ahlul-kitab adalah adanya pengakuan atau
penerimaan terhadap kitab-kitab suci beserta ajaran-ajaran kebenarankebaikannya serta pengakuan atau penerimaan terhadap
para pembawa risalah agama yang kita yakini sebagai nabi atau rasul. Lebih jauh lagi dalam hal akidah, mengapa ahlul kitab yang
sebenarnya tidak diserukan masuk Islam dikarenakan dalam kitab
72
Bagaimana menurut Anda bila ada istilah “Ahlul-Quran”, nampaknya kita akan sepakat bahwa yang disebut ahlul-quran adalah yang mengamalkan ajaran-
ajaran al-quran, atau artinya bukan sembarang muslim saja dapat disebut ahlul- quran. Begitupun dengan ahlul-kitab. Kita juga sering mendengar istilah
ahlussunnah wal jamaah, lalu siapakah ahlussunnah wal jamaah itu? Ada dua jawaban, pertama; seluruh umat Islam sebagai penerima sunnah, kedua; hanya
umat Islam yang benar-benar menjalankan sunnah rasulullah saw. Dan lagi-lagi kita akan lebih sepakat pada pengertian yang kedua.
suci mereka telah disampaikan ajaran untuk menyembah Tuhan yang Esa
73
. Sementara dalam hal penyembahan kepada Tuhan, maka hanya Tuhan lah yang mengetahui hambanya tersebut telah
mengesakan-Nya atau tidak.
73
Bahkan dualitas, trinitas atau polities sekalipun meyakini adanya Tuhan sebagai Yang Tertinggi dan Ia Yang Satu. Penyembahan politeis
terhadap tuhan-tuhan mereka tidak lebih dari sekedar simboloknum dari sifat-sifat Tuhan Yang Tertinggi. Dualitas sebagai baik dan buruk yang saling berperang
hanyalah manifestasi untuk menunjukkan sifat penyayang dan murka Tuhan. Doktrin trinitas pada awalnya tidak lebih sebagai upaya penjabaran ke-Tunggal-an.
BAB V KONSEP
WAHDAT AL-ADYAN DAN RELEVANSINYA DENGAN PLURALISME AGAMA
A. Relevansi historis
Berdasarkan analisis historis pada bab sebelumnya, wahdat al-Adyan dicetuskan al-Hallaj pada masa pemerintah Abbasiyah di bawah dominasi
kekuasaan bangsa Turki tahun 847-945 M 232-334 H. Wahdat al-Adyan kemudian menemukan menemukan momentumnya melalui ajaran-ajaran
Ibn ‘Araby yang merupakan murid al-Hallaj. Ibn ‘Araby hidup pada masa Dinasti Muwahiddin al-Mohad yang sedang dipimpin oleh Khalifah Abu
Ya’qub Yusuf bin Abdul Mu’min 551-580 H lalu Khalifah Ya’qub bin Yusuf Al-Manshur 580-595 H. Keduanya merupakan tokoh sentral
pencetus wahdat al-Adyan. Sedangkan pluralisme agama lahir dari gerakan reformasi pemikiran agama atau liberalisasi agama yang
dilancarkan oleh Gereja Kristen pada abad ke-19. Kemudian pada awal abad ke-20, seorang teolog Kristen Jerman bernama Ernst Troeltsch
mengungkapkan perlunya bersikap pluralis ditengah berkembangnya konflik internal agama Kristen maupun antar agama. Namun konsep ini
baru terlihat jelas, setelah John Hick menggagas pluralisme agama dengan teologi globalnya. Hick merupakan tokoh terbesar dan terpenting dalam
wacana pluralisme agama. Dialah orang yang paling banyak menguras
tenaga dan
fikiran untuk
mengembangkan, menjelaskan
dan menginterpretasikan wacana pluralisme agama melalui gagasan dan
teorinya teologi global ini secara masif. Dari aspek historis, wahdat al-Adyan dan pluralisme agama tidak
memiliki geneologi yang sama, dalam arti kedua konsep ini tidak terkait satu sama lain dari sisi historisitasnya, keduanya tidak memiliki
keterlibatan–keberlangsungan waktu dan tempat yang saling berkaitan. Dengan demikian, secara historis kita bisa melihat bahwa wahdat al-Adyan
lahir terlebih dahulu sebelum pluralisme agama. Salah satu relevansi yang dapat ditemukan adalah apabila kita
melihat aspek sosiologis lahirnya kedua paham tersebut yang diorientasikan untuk menghilangkan konflik dan sekaligus menghilangkan
perbedaan dan identitas agama-agama yang ada. Namun itupun memiliki perbedaan dari kekhususannya, apabila wahdat al-Adyan merupakan
gagasan yang lahir dari diskriminasi politik pemerintahan, maka pluralisme agama lahir dari semangat liberalisme dan globalisasi.
B. Relevansi epistemologis
Bila dilihat dari sudut pandang epistemologi para tokoh-tokoh penggagasnya, baik wahdat al-Adyan dan pluralisme agama juga tidak
memiliki epistemologi yang berkaitan; dalam arti keduanya berlainan dari hujjah atau natijah keilmuan. Namun, bila mengacu pada relevansi
filosofisnya, baik wahdat al-Adyan dan pluralisme agama, keduanya memiliki kesamaan, berkaitan dengan teori filsafat emanasi. Hal ini
tertuang dalam ajaran Ibn ‘Araby tentang kesatuan wujud yang juga serupa dengan teori emanasi. Ajaran al-Hallaj tentang Nur Muhammad yang juga
serupa dengan teori emanasi atau biasa diistilahkan dengan kata “tajalli” dalam kajian tasawuf. Lebih lanjut, gagasan epistemologi John Hick yang
diilhaminya dari teori nomen dan phenomen Emanuel Kant, juga serupa dengan ajaran Ibn ‘Araby tentang al-Wahid wa al-Katsir Yang Satu dan
Yang Banyak. Dengan demikian, penulis menyimpulkan bahwa relevansi
epistemologis tidak ditemukan dalam wahdat al-Adyan dan pluralisme agama.
C. Relevansi Teologis
Berdasarkan relevansi epistemologis, maka relevansi teologis wahdat al-Adyan dan pluralisme agama adalah ajaran keduanya tentang
kesatuan teologis dan kesatuan Tuhan yang memandang bahwa apapun nama, simbol atau atribut teologi yang digunakan manusia untuk
mengenal Tuhan, tidak akan secara penuh dan tuntas bagi manusia untuk mengenali – pengenalannya – kepada Tuhan yang sebenarnya. Adapun
keragaman perbedaan nama, simbol dan atribut tersebut adalah sunnatullah yang merupakan kehendak Tuhan.
Karena secara esensi, keragaman manusia berasal dari Pencipta baca : Tuhan Yang Satu, sebagai umat yang satu kesatuan umat,
dimana setiap umat memiliki rasul dan kitab yang satu Kesatuan kenabian dan kitab suci – yang walaupun berbeda syariat, namun esensi wahyu
memilki nilai yang sama satu, sehingga keragaman jalan syariat agama pada dasarnya menuju satu yang sama, yaitu Tuhan, – atau kesatuan
Tuhan Unity of God. Kesatuan teologis diarahkan untuk memiliki pengetahuan yang benar
dan positif tentang realitas yang ada alam dan yang adanya wajib ada Tuhan, menolak segala bentuk kontradiksi dan paradoks dan sebaliknya
mengakui keteraturan dan keharmonisan agar tidak terjebak dalam skeptisisme, mengakui adanya kebenaran absolut-relatif dan relatif-
absolut; absolut-relatif, yakni memahami kebenaran mutlak absolut adalah kesatuan pengetahuan yang bertebaran dialam semesta dalam pola
kerja sunnatullah hukum kehidupan, hukum alam sehingga kebenaran tersebut secara absolut berasal dari Tuhan untuknya seseorang, kelompok
atau yang lainnya yang harus diimani secara mutlak akan tetapi itu akan menjadi relatif bagian dari pada kebenaran yang lain, dengan
pemahaman inilah maka prinsip sunnatullah hukum alam tetap terjaga.
sedangkan relatif-absolut, yakni kebenaran relatif yang diperoleh manusia itu akan tetap berada dalam pola Ilahiah selama ia tidak
dipengaruhi oleh keinginan nafsu dan sangkaan dzan yang negatif, atau dapat dikatakan nilai-nilai substansinya adalah mutlak dan tidak hilang,
karena Tuhan lah yang menghendaki dan mengatur pola kerja kehidupan dan alam, hal ini dalam ilmu tasawuf kita kenal dengan istilah tajalli
pancaran Tuhan. Relevansi teologis berikutnya adalah tentang pandangan eskatologi,
yakni mengenai adanya jalan keselamatan dalam setiap agama. Bahwa manusia apapun agamanya, apabila selama didunia, mereka berbuat
kebaikan dan kebenaran serta menyerahkan diri dengan tulus kepada Tuhan tanpa menyekutukannya maka sesungguhnya manusia dapat hidup
berdampingan disurga. Ajaran-ajaran inilah yang dinilai paling kontroversial dari keduanya wahdat al-Adyan dan pluralisme agama,
karena menolak doktrin yang dimiliki setiap agama sebagai satu-satunya jalan keselamatan
Salah satu yang menarik dari ajaran wahdat al-Adyan dan pluralisme agama tentang jalan keselamatan dalam setiap agama adalah
pandangan mengenai sifat Tuhan itu sendiri, bila dalam pluralisme mengacu pada prinsip keadilan Tuhan, maka pada wahdat al-Adyan
mengacu pada rahmat dan kasih sayang Tuhan. Dalam pandangan penulis, setiap agama memang dan pasti memiliki
doktrinnya sebagai satu-satunya jalan keselamatan. Dalam hal ini, apabila kita telaah lebih dalam; doktrin ini wajib dimilki oleh setiap agama agar
para pemeluknya tetap konsisten dan komitmen terhadap keyakinan agamanya. Tidak ada satu agamapun yang menganjurkan pemeluknya
untuk mencari agama lain atau melakukan konversi. Mengapa demikian? hal ini dikarenakan, agama merupakan paket-paket ajaran yang diterima
manusia dalam bentuknya yang permanen, absolut, universal meski dalam waktu dan tempat tertentu dan terbatas. Dari sini kita bisa melihat adanya
esensi yang tak berubah, sedangkan waktu dan kondisi selalu berubah,