saat seseorang dihadapkan dengan teologi atau agama lain, disatu sisi ia berpegang teguh pada teologi agamanya, namun disisi lain ia menyadari
dan secara proporsional menempatkan paradigma teologi universal untuk berhadapan dengan teologiagama lain.
Karena agama adalah satu keinginan akan suatu cara hidup yang benar dan melakukan pemerataan cara hidup yang demikian. Keinginan tersebut
merupakan desakan dari rasa kesadaran terhadap kebenaran yang diyakini, sekaligus sebagai tuntutan kesemestaannya. Sumber agama itu sendiri
adalah kosmos dan dan dunia metafisis. Keinginan yang timbul dari dunia metafisis itulah inti ajaran semua agama. Dalam hal ini agama bersifat
pribadi sekaligus universal. Dikatakan pribadi karena agama merupakan pengalaman seseorang, namun hal itu sesuai pula dengan kebutuhan dan
keinginan umum universal dari hati manusia. Berdasarkan kerangka ini, maka harus disusun suatu agama universal yang memenuhi kebutuhan
segala suku bangsa dengan cara rekonsepsi. Ajaran-ajaran agama digali, diambil dan dituangkan untuk kemudian diberlakukan secara universal.
Dalam hal ini setiap pemeluk agama tetap tinggal pada agamanya masing- masing, tetapi dalam agama tersebut harus dihidupkan unsur-unsur yang
baik dari agama lain sehingga tercipa “koeksistensi religius” bagaikan sungai-sungai besar mengalir menjadi satu
2
F. Orientasi Etis Mencitakan Agama Masa Depan
Secara empiris adalah suatu kemustahilan jika kita mengidealisasikan munculnya kebenaran tunggal yang tampil dengan format dan bungkus
tunggal, lalu ditangkap oleh manusia dengan pemahaman serta keyakinan yang seragam dan tunggal pula.
Namun begitu setidaknya kita akan sependapat bahwa selama perbedaan agama merupakan pilihan pribadi dan tidak mendatangkan
gangguan sosial, maka kita seyogyanya bersikap toleran. Hanya saja jika pandangan dan perilaku keagamaan seseorang atau kelompok sudah
2
Said Agil Husain Al-Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama…, h.202
menjurus pada tindakan dan provokasi anti-sosial, maka ekses- ekses itu tidak bisa lagi ditolerir. Istilah bersikap toleran tetapi
harus berpegang teguh pada etika dan tata-krama sosial serta tetap menghargai hak-hak individu untuk menentukan pilihan hidupnya
masing-masing secara su ka rela, sebab pada hakikatnya hanya di tangan
Tuhanlah pengadilan
atau penilaian
sejati akan
dilaksanakan. perlu kiranya kita memperhatikan dan membangun iklim dialogis bagi hubungan antar pemeluk agama yang ada.
Untuk itu, setiap agama paling tidak diisyaratkan memiliki tiga prinsip dasar, sebagai acuan dasar dialog dan landasan akan adanya
tantangan pluralisme. Pertama, bahwa Yang Satu bisa dipahami dan meyakini dengan berbagai bentuk dan tafsiran. Bahwa dalam semua
agama terdapat keyakinan dan pengalaman mengenai suatu Realitas yang mengatasi konsepsi yang dibangun oleh manusia. Pikiran dan bahasa
agama berusaha mewadahi dan menjelaskan, tetapi tidak mungkin bisa menerangkan sampai, tuntas. Kedua, yaitu bahwa banyaknya bentuk dan
tafsiran mengenai Yang Satu itu harus dipandang hanya sebagai alat atau jalan menuju ke Hakikat Yang Absolut. Ketiga, yaitu bahwa karena
keterbatasan dan sekaligus kebutuhan kita akan komitmen terhadap suatu pengalaman partikular mengenai realitas yang transenden dan absolut,
maka pengalaman partikular kita, meskipun terbatas, akan berfungsi dalam arti yang sepenuhnya sebagai kriteria yang mengabsahkan pengalaman
keagamaan pribadi kita sendiri
3
. Secara historis-sosiologis, agama-agama besar yang berkembang
dewasa ini lahir pada satu masyarakat parokhial atau regional, bukannya masyarakat terbuka open society sebagaimana yang kita temukan
sekarang ini Bagi masyarakat tradisional agama parokhial itu sangat besar fungsinya untuk memelihara kohesi, integritas, dan sumber makna hidup
bagi mereka di saat nilai-nilai baru yang asing secara ekspansif merembes
3
Komarudin Hidayat, Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Perenial…, h.77-79
ke dunia kognitif mereka. Namun begitu, buat lapisan atau kelompok masyarakat tertentu yang berada dalam jalur dan strata peradaban mondial
sangat mungkin yang tengah berlangsung adalah sebaliknya, yaitu terjadinya proses eklektisasi nilai-nilai agama yang universal dan
humanistik yang diambil dari agama-agama parokhial. Proses ini pada gilirannya akan mengantarkan bagi lahirnya agama atau setidaknya sikap
keberagamaan baru dengan semangat serta teologi yang baru pula. Bisa saja seseorang mempertahankan nama sebuah agama tradisional dengan
bangunan teologinya yang telah mapan. Tetapi, kita sulit mengelak suatu kenyataan bahwa pemikiran dan pemahaman orang tentang agama itu
selalu berkembang dalam sejarah. Bahkan tidaklah terlalu salah untuk mengatakan bahwa agama yang kita pahami dan anut sekarang ini adalah
agama produk sejarah
4
. Menurut para ahli psikologi, kapasitas penalaran manusia yang
teraktualisasikan belum mencapai 13 persen. Bahkan mayoritas manusia masih di bawah 5 persen
5
, itu artinya, cara pandang manusia terhadap alam, terhadap dirinya, terhadap warisan sejarah serta paham agama yang
dianutnya akan selalu mengalami evolusi dan bahkan lompatan paradigma.
6
Oleh karenanya, salah satu kerja nalar adalah merobohkan tembok “frontier” yang menghadangnya, tetapi perburuan nalar manusia
tidka pernah mencapai garis limit. Ketika umur dan prestasi keilmuan jutaan generasi manusia dijumlah, manusia semakin sadar bahwa
“wilayah”kosmik yang ditemuinya jauh lebih besar ketimbang “peta” yang disusunnya.
Ketika nalar tidak sampai untuk memahami misteri dan kompleksitas realitas semesta untuk memahami misteri dan kompleksitas realitas
semesta maka disitulah Tuhan dihadirkan untuk menentramkan kebingungan kita. Namun, ketika sebagian teka-teki tersebut terpecahkan,
4
Komarudin Hidayat, Wisdom of Life…, h.51
5
Komarudin Hidayat, Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Perenial…, h.115
6
Komarudin Hidayat, Wisdom of Life…, h.52
maka posisi Tuhan lalu digeser lagi. Menurut Ibnu Arabi, sufi kenamaan, Tuhan akan hadir dan menyapa manusia sesuai dengan persepsi manusia
tentang Dia. Bagi para mistikus, jalan masuk pada Tuhan yang dipilihnya adalah pintu Kasih, sehingga tuhannya para mistikus adalah Tuhan Sang
Kekasih. Adapun para filosuf Tuhan hadir sebagai Dia Yang Maha Cerdas dan Kreatif.
Demikianlah seterusnya pluralitas persepsi dan keyakinan orang tentang Tuhan akan selalu bertahan sepanjang zaman yang pada urutannya
akan melahirkan dan mengawetkan pluralitas agama, pluralitas teologi dan pluralitas ideologi keagamaan.
Manusia memiliki potensi kreatif yang tak terhingga untuk merancang hari depannya, maka hendaknya kita membebaskan diri dari keberagaman
yang mekanistik dan manipulatif sebagaimana cara kerja ilmu pengetahuan modern memanipulasi alam.
Seringkali tanpa disadari kita memposisikan Tuhan sebagai sumber kekuatan yang dieksploitasi untuk memuaskan ego kita, bukannya Tuhan
sebagai sumber inspirasi dan kekuatan yang menumbuhkan dan membebaskan manusia dari rutinitas perintah kredo agama dan kredo
tradisi yang memenjarakan. Keberagamaan seperti ini cenderung melahirkan konflik antara iman dan ilmu pengetahuan modern yang
senantiasa melesat ke depan. Meminjam pendapatnya Arnold bahwa agama yang cocok untuk dunia modern adalah keberagamaan kaum sufi
atau esoterisme Tao, karena keduanya dinilai sangat humanis, inklusif. dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip antropis dan hukum alam.
Dengan ungkapan lain, agama masa depan yang ditawarkan adalah agama yang memperjuangkan prinsip-prinsip antropik-spiritualisme
7
., yaitu madzhab filsafat agama yang menempatkan manusia sebagai subyek
sentral dalam jagad raya, tetapi inheren dalam kemanusiaannya itu tumbuh kesadaran spiritual yang senantiasa berorientasi pada Tuhan.
7
Komarudin Hidayat, Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Perenial…, h.116-117