“…Though all the Names of God refer to a single Reality, none denotes Its true nature.From this point of view even
the Name of Allah, which is called the all-comprehensive Name al-ism al-jami since it is the referent of all other
Names, is said to denote that Reality only in as much as It makes It self known…”
65
Allah sebagai Dzat Yang Absolut dan Maha Gaib, seperti kata Ibn al-Arabi, sesungguhnya tidak memerlukan nama.
Sekalipun Dzat Yang Absolut diberikan nama, kata Lao-tze, maka nama apapun tak ada yang tepat sebab jika yang Absolut
bisa didefinsikan maka ia tidak lagi absolut. Bukankah definisi berarti juga sebuah pembatasan dan penciutan dari sebuah
realitas? Karena Allah itu Serba-Maha, dan sungguh tidak mudah, bahkan tidak mungkin, memberikan penjelasan secara
mutlak tentang Tuhan, maka filosof Yunani Kuno menyebutnya sebagai aktus purus, yaitu Substansi hidup yang suci yang
keberadaan-Nya tidak memerlukan siapapun di luar diri-Nya. pada manusia. Tetapi karena terdapatnya jarak yang jauh antara
Tuhan dan manusia, maka jarak itu lalu dijembatani dengan nama-nama serta tanda-tanda yang dalam bahasa Arab juga
disebut asma, ayat dan alam. Asmd biasanya muncul dalam wacana filsafat dan teologi, ayat biasa dipahami sebagai informasi
dan pengenalan diri Tuhan melalui wahyu kitab suci, sedangkan alam ialah tanda-tanda kekuasaan dan kehadiran Tuhan melalui
ciptaan-Nya berupa alam raya ini. Secara semiotik ketiga istilah itu memiliki kesamaan bahwa ketiganya berfungsi sebagai me-
dium komunikasi untuk menghadirkan Tuhan dengan berbagai pesannya agar Tuhan bisa dikenal manusia
66
.
65
Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan, Perspektif Filsafat Perennial… h.23
66
Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, agama Masa Depan, Perspektif Filsafat perennial… h.33
2. Bentuk dan Substansi
Sebagaimana telah diuraikan di sebelumnya, pembicaraan mengenai substansi dan bentuk sudah dikenal sejak zaman Yunani Kuno,
terutama pada Plato dan dikembangkan kemudian oleh Aristoteles. Meskipun substansi keberadaannya bersifat primer sementara bentuk
adalah sekunder, namun tanpa bentuk atau suatu atribut sebuah substansi tidak bisa dikenal. Demikian juga halnya dengan keberadaan agama.
Substansi dan misi agama akan menjadi aktual ketika agama tampil dalam bentuk yang nyata, bisa dikenali manusia dan lebih jauh lagi
adalah dengan bentuk itu substansi agama menjadi fungsional dan operasional.
Ketika substansi agama hadir dalam bentuk yang terbatas. maka sesungguhnya agama pada waktu yang sama bersifat
universal dan sekaligus juga partikular. Dalam konteks inilah barangkali Schuon mengatakan bahwa, Setiap agama memilik:
satu bentuk dan satu substansi
1
Bentuk agama adalah relatif. namun di dalamnya terkandung muatan substansial yang mutlak.
Karena agama merupakan gabungan antara substansi dan bentuk, maka agama kemudian menjadi sesuatu yang absolut
tetapi relatif. Inilah yang seperti telah disebut dalam bab terdahulu bahwa agama bisa disebut sebagai sesuatu yang relatively-
absolute. Kepicikan dan kesempitan sebuah agama akan terjadi jika kebenarannya diidentikkan hanya dengan bentuknya
67
. Walaupun substansi semua agama itu sama, tapi karena
kehadiran substansi selalu dibatasi oleh, dan fungsinya berkaitan dengan, bentuknya, maka walaupun substansi setiap agama semua
sama, tetapi secara eksoterik dan operasional sekaligus berbeda dari agama yang lain. Oleh karenanya setiap agama selalu otentik
67
Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, agama Masa Depan, Perspektif Filsafat perennial… h.54
untuk zamannya meskipun secara substansial kebenarannya bersifat perennial, tidak dibatasi oleh ruang dan waktu
68
. Untuk pemisahan bentuk dan substansi, bukan berarti
penafian terhadap bentuk sebuah agama, karena memang karakteristik formal agama adalah keharusan yang tak
terejawantahkan dalam sejarah agama dan sejarah manusia dalam pelestarian agamanya. Bila dapat kita katakan, bahwa formalitas
sebuah agama adalah identitas, maka substansi sebuah agama adalah entitas. Formalitas tersebut suatu saat dapat saja berubah
sesuai dengan situasi, kondisi dan yang terpenting adalah manusia itu sendiri yang senantiasa berkembang pemikirannya. Namun
ada hal-hal yang tidak berubah dalam agama adalah substansinya, karena ia merupakan nilai-nilai dasar kehendak Ilahiah yang
permanen dalam setiap jantung agama-agama. Kiranya hal inilah yang dapat membuka pintu inklusivitas dan pemahaman yang
benar ditengah berbagai pluralitas agama dan kemanusiaan. Bilapun dikatakan bahwa Islam adalah agama mutakhir
yang mencakup ataupun meliputi ajaran agama sebelumnya, maka pengertiannya adalah kebenaran Islam pada level substansinya.
Membicarakan kehadiran agama dalam sekuens waktu, sehingga ada agama klasik dan agama mutakhir, memang sulit dihindari
karena baik agama maupun para pemeluknya hidup dalam rentang waktu sejarah. Jadi kalaupun keberadaan Tuhan Yang Absolut
berada di luar waktu empiris, begitupun substansi agama bersifat trans-historis, namun manusia yang meresponi seruan Tuhan
berada dalam ruang dan waktu yang empiris. Oleh karena itu dunia manusia. mengenai kategori masa lalu, sekarang, dan esok,
68
Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, agama Masa Depan, Perspektif Filsafat perennial… h.54
sedangkan bagi Yang Maha Absolut kategori waktu seperti itu tidak berlaku
69
. Melihat kenyataan di atas maka kesadaran adanya aspek
substansi dan bentuk, adanya wahyu tertulis, tercipta, dan materi dalam kalbu, akan membuka banyak jalan alternatif menuju Jalan
Lurus, tanpa kita mengingkari adanya orang yang yang mengingkari agama ataupun yang menyimpang dari jalan yang
benar. Meminjam ungkapan Schuon; Inwardly, or in terms of substance, the claims that a
religion makes are ibsolute, but outwardly, or in terms of form, and so on the level of human contingency, they are
necessarily relative. Secara esoteris, atau dalam pengertian substansi, klaim ataupun pernyataan-
pernyataan yang d ibuat oleh suatu agama bersifat mutlak. Tetapi, secara eksoterik, atau dalam pengertian
bentuk, atau pada tingkat keberagamaan manusiawi, pernyataan-pernyataan tersebut mau mau menjadi
relatif
70
3. Relatif dan Absolut
Paul Knitter dalam bukunya No Other Name?; A Critical Survey of Christian Attitudes, Toward the World Religion 1985
mengatakan, “Anda tidak dapat mengatakan bahwa agama yang satu lebih baik dari yang lain.
You cant say that one is better than another…, All religions are relative that is, limited, partial, incomplete, one way of
looking at thing. To hold that any religion is intrinsically better than another is felt to be somehow wrong, offensif,
narrowminded.’’…Anda tidak bisa mengatakan bahwa agama yang satu lebih baik dari agama yang lain. Semua agama pada
dasarnya semua relative-yaitu terbatas, parsial, tidak lengkap- sebagai jalan dalam melihat segala sesuatu. Menganggap
bahwa sebuah agama secara intrinsik lebih baik dari yang lain, sekarang oleh ahli agama-agama dirasakan sebagai sebuah
69
Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, agama Masa Depan, Perspektif Filsafat perennial… h.54-55
70
Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, agama Masa Depan, Perspektif Filsafat perennial… h.5