Kutub-kutub Pluralisme Agama; Motif dan Orientasi
meyakini adanya perbedaan dalam agama-agama. Bila dalam inklusivisme diniscayakan adanya pemahaman tentang yang lain yang
mana selalu ada dimensi substansi dan nilai, tapi dalam pluralisme justru mengakui adanya perbedaan-perbedaan. Pluralisme dianggap
sebagai lompatan praksis dari sekedar inklusivisme pemahaman keagamaan. Pluralisme telah menjadi realitas dari agama-agama itu
sendiri
87
Pluralisme sebenarnya mengajak kita agar lebih realistis, bahwa pada hakikatnya agama-agama adalah berbeda. Perbedaan
tersebut dapat dilihat dari segi penghayatan terhadap agama syariat, dan yang lebih penting adalah dimensi simbolik dan sosiologisnya.
Kendatipun ada kesamaan dalam ranah ritual sekalipun. Disinilah pluralisme menunjukkan relevansi dan signifikansinya. Pluralisme
hadir dalam rangka membangun toleransi ditengah perbedaan dan keragaman tersebut. Pluralisme menjadikan perbedaan sebagai potensi
untuk bersatu memajukan masyarakat dari keterbelakangan dan keterpurukan
88
Dalam hal ini, Diana L. Eck, Pimpinan Pluralism Project, Harvard University memberikan pemahaman terhadap pluralisme
yang relatif distingtif. Setidaknya ada tiga poin yang terkandung dalam pluralisme, Pertama, pluralisme adalah keterlibatan aktif
ditengah keragaman dan perbedaan. Pluralisme sesungguhnya berbicara pada tataran fakta dan realitas, bukan pada tatar teologis
sebagaimana inkusivisme, oleh sebab itu pluralisme dalam tataran sosial lebih dari sekedar mengakui keragaman dan perbedaan,
melainkan merangkai keragaman untuk tujuan kebersamaan. Kedua, pluralisme lebih dari sekedar toleransi. Dalam toleransi akan lahir
sebuah kesadaran tentang pentingnya menghargai orang lain. Tapi
87
Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi; Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme, Jakarta : Penerbit FITRAH, 2007, Cet.1, h.204-205
88
Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi; Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme..., h.206
pluralisme ingin melampaui capaian tersebut, yaitu menjadi sebuah upaya memahami yang lain melalui sebuah pemahaman yang
konstruktif. Pluralism mengakui bahwa setiap entitas dalam masyarakat selalu mempunyai perbedaan dan persamaan, oleh karena
itu setiap entitas harus memahami dengan baik setiap perbedaan dan persamaan tersebut. Ketiga, pluralisme bukan relativisme, pluralisme
adalah upaya menemukan komitmen bersama diantara berbagai komitmen. Komitmen
yang dimaksudkan adalah
komitmen kemanusiaan. Disini keragaman dalam pluralisme tetap dipertahankan,
tidak dihilangkan. Sedangkan relativisme berada pada posisi menafikan komitmen, bahkan menafikan kebenaran itu sendiri
89
Peter L. Berger mempunyai pandangan lain yang lebih praksis perihal pluralisme. Ia menyebutnya sebagai “pluralisme baru”. Yaitu
pluralisme yang lahir dari rahim globalisasi. Pada zaman ini pluralisme hampir seperti pasar keagamaan. Dimana-mana agama dan
keberagamaan tumbuh dengan pesat. Upaya sekularisasi harus diakui telah gagal, karena agama justru telah berkembang dengan pesat di era
globalisasi. Itulah wujud dari fenomena pluralisme. Karena pluralisme adalah pasar keagamaan, maka yang terjadi adalah determinasi untuk
memilih, bukan determinasi untuk meyakini. Karena itu menurut Berger, yang menarik dari pluralisme model ini adalah kehendak
institusi keagamaan pada akhirnya bukan melayani agama, melainkan melayani umat. Institusi agama akan berubah menjadi asosiasi
pelayanan umat. Hal ini merupakan lompatan yang baik dari sekedar sekulariasi menjadi lembaga-lembaga yang konsern pada aksi-aksi
kemanusiaan
90
89
Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi; Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme..., h.207-208
90
Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi; Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme..., h.209
Berdasarkan pemaparan diatas, terdapat beberapa bentuk orientasi pluralisme yaitu;
1. Orientasi moral, yaitu ajakan untuk menyebarkan toleransi antar penganut agama. Dalam
istilah Muhammad legenhausen sebagai ”pluralisme religius yang berifat
normatif” yaitu himbauan dan kewajiban moral serta etis untuk menghargai para pemeluk agama yang berbeda-beda
dan mencegah arogansi dalam beragama.
2. Pluralisme religius soteriologis
91
soteriological religious pluralism, yaitu bahwa umat selain Kristen juga bisa
memperoleh keselamatan Kristiani. Tesis pluralisme soteriologi mula-mula diketengahkan John Hick untuk
setidaknya mengefektifkan pluralisme normatif secara psikologis.
3. Pluralisme religius epistemologi epistemological religious pluralism, yaitu pemahaman atau kesadaran setiap
pengikut agama-agama didunia memiliki kedudukan yang sama dalam konteks justifikasi keyakinan religius.
4. Pluralisme religius aletis alethic religious pluralism, yaitu penegasan bahwa kebenaran religius harus ditemukan
dalam semua agama-agama dengan posisi dan derajat yang sama
5. Pluralisme religius deontis
92
deontic religious pluralism, yaitu pluralisme yang menyangkut kehendak atau perintah
Tuhan untuk mengikuti suatu tradisi agama. Pluralisme jenis ini berupaya memberikan pemahaman dan tanggung
jawab manusia dihadapan keragaman tradisi agama didunia. Menurut pluralisme religius deontis, pada beberapa daur
sejarah tertentu diachronic, Tuhan memberikan wayu pada umat manusia melalui seorang nabi dan rasul, sampai
ditetapkan rasul muhammad sebagai sebagai risalah terakhir
93
Dalam paham pluralisme agama sendiri yang berkembang saat ini terdapat dua aliran yang berbeda: yaitu paham yang dikenal dengan
program teologi global global theology dan paham kesatuan transenden agama-agama Transcendent Unity of Religions. Kedua
91
Soteriologi merupakan bidang kajian dalam teologi Kristiani yang mempelajari penderitaan Yesus kristus.
92
Kata deon bermakna kewajiban, sehingga jenis pluralisme ini didasari oleh kewajiban untuk memenuhi kehendak Tuhan
93
Amir Mahmud ed., Islam dan Realitas Sosial di Mata Intelektual Muslim Indonesia…, 210-211
aliran ini telah membangun gagasan, konsep dan prinsip masing- masing yang akhirnya menjadi paham yang sistemik
94
. Munculnya kedua aliran diatas juga disebabkan oleh dua motif
yang berbeda, meskipun keduanya muncul di Barat dan menjadi tumpuan perhatian masyarakat Barat. Bagi aliran pertama yang
umumnya diwarnai oleh kajian sosiologis motif terpentingnya adalah karena tuntutan modernisasi dan globalisasi. Karena pentingnya agama
di era globalisasi ini maka hubungan globalisasi dan agama menjadi tema sentral dalam sosiologi agama. Tentang hubungan antara agama
dan globalisasi, nampaknya agama dianggap sebagai kendala bagi program globalisasi.
Berbeda dari motif aliran pertama yang diwarnai pendekatan sosiologis, motif aliran kedua yang didominasi oleh pendekatan
filosofis dan teologis Barat justru kebalikan dari motif aliran pertama. Kalangan filosof dan teolog justru menolak arus modernisasi dan
globalisasi yang cenderung mengetepikan agama itu dengan berusaha mempertahankan tradisi yang terdapat dalam agama-agama itu. Yang
pertama memakai pendekatan sosiologis, sedangkan yang kedua memakai pendekatan religious filosofis.
Solusi yang ditawarkan kedua aliran inipun berbeda. Berdasarkan motif sosiologisnya, aliran pertama menawarkan konsep
dunia yang tanpa batas geografis cultural, ideologis, teologis, kepercayaan dan lain-lain. Artinya identitas kultural, kepercayaan dan
agama harus dilebur atau disesuaikan dengan zaman modern. Kelompok ini yakin bahwa agama-agama itu berevolusi dan nanti akan
saling mendekat yang pada akhirnya tidak akan ada lagi perbedaan antara satu agama dengan lainnya. Agama-agama itu kemudian akan
melebur menjadi satu. Berdasarkan asumsi itu maka John Hick, salah satu tokoh terpentingnya, segera memperkenalkan konsep pluralisme
94
M. Dawam Rahardjo, Agama Masa Depan, www.korantempo.com
agama dengan gagasannya yang ia sebut global theology teologi global.
Sedangkan solusi yang ditawarkan oleh aliran kedua dengan pendekatan religious filosofisnya yakni lebih mengedepankan
eksistensi agama-agama. Bagi kelompok ini agama tidak bisa di rubah begitu saja dengan mengikuti arus globalisasi, liberalisasi, modernisasi
ataupun post-modern yang telah memarjinalkan peran dan fungsi agama-agama. Agama tidak bisa dilihat hanya dari perspektif sosilogis
ataupun historisnya saja, dan tidak pula dapat dihilangkan identitasnya. Kelompok ini lalu memperkenalkan pendekatan tradisional dan
mengangkat konsep-konsep yang diambil secara parallel dari tradisi agama-agama. Salah satu konsep utama kelompok ini adalah konsep
sophia perrenis atau dalam bahasa Hindu disebut Sanata Dharma atau dalam Islam disebut “al-Hikmah al-Khalidah”. Konsep ini
mengandung pandangan bahwa di dalam setiap agama terdapat tradisi- tradisi sakral yang perlu dihidupkan dan dipelihara secara adil, tanpa
menganggap salah satunya lebih superior dari pada yang lain. Agama bagi aliran ini adalah bagaikan beberapa jalan yang pada akhirnya
mengantarkan ke puncaktujuan yang sama all paths lead to the same summit. Tokoh pencetus dan pendukung paham ini adalah Rene
Guenon m. 1951, T. S. Eliot m. 1965, Titus Burckhardt m. 1984, Fritjhof Schuon m.1998, Ananda K. Coomaraswamy m. 1947,
Martin Ling, Seyyed Hossein Nasr, Huston Smith, Louis Massignon, Marco Pallis m. 1989, Henry Corbin, Jean-Louis Michon, Jean
Cantein, Victor Danner, Joseph E. Brown, William Stoddart, Lord Northbourne, Gai Eaton, W. N. Perry, G. Durand, E. F. Schumacher, J.
Needleman, William C. Chittick dan lain-lain
95
. Pluralisme pada akhirnya melampaui fundamentalisme yang
berkutat pada setiap agama. Fundamentalisme yang mempunyai
95
M. Dawam Rahardjo, Agama Masa Depan, www.korantempo.com
keyakinan taken for grantedness yang hanya berkutat pada dimensi hukum dan ritualistik. Maka pluralisme mencoba membuka ruang
baru bagi agama, yaitu ruang kemanusiaan yang menekankan aspek pelayanan secara sukarela.
Dari beberapa pernyataan diatas, apa yang sebenarnya ingin dicapai pluralisme? Maka sesungguhnya, pluralisme hendak
mewujudkan masyarakat yang dialogis, toleran dan dinamis. Dengan demikian, fatwa mengenai haramnya pluralisme merupakan cerminan
dari ketidakmampuan kaum agamawan untuk memahami pluralisme dengan baik dan tepat. Setidaknya ada kecurigaan untuk menerima
diskursus baru yang berkaitan dengan toleransi
96
. Fatwa mengenai haramnya pluralisme adalah suatu kelemahan memandang nilai-nilai
obyektivitas pluralisme, fatwa tersebut masih mengindikasikan paham keagamaan yang ekslusif dan rentan pada intoleransi, maka dalam hal
ini dibutuhkan sudut pandang positif dalam menilai suatu gagasan baru, perlunya ketelitian, kesungguhan, kemenyeluruhan dan
kejujuran dalam membedah sebuah persoalan. Setiap masalah
96
Menurut hemat penulis, tanpa bermaksud “menyalahkan” keputusan MUI bagi kemaslahatan umat Islam, pengharaman pluralisme terkesan “buru-buru” dan minim dialog
dengan para tokoh penganut pluralis di Indonesia. Sebenarnya hal ini mungkin terjadi tanpa harus dikeluarkannya fatwa haram bagi pluralisme bila ada ruang dialog yang konstruktif, sehingga
selain pluralisme menjadi solusi bagi keragaman teologis-sosiologis, pluralisme juga menjadi solusi akademis dalam cara bagaimana umat Islam memahaminya dengan baik dan tepat. Sifat
kehati-hatian MUI mengenai konsekuensi logis pluralisme sebaiknya dapat dijembatani dengan dialog akademis, sehingga baik MUI maupun kaum elit-pluralis dapat mengarahkan umat Islam
untuk memahami pluralisme secara tepat-menyeluruh. Hal inipun hanya mungkin terjadi bila MUI sendiri telah meneliti dengan baik pluralisme itu sendiri, terlebih pluralisme memiliki banyak
definisi bahkan mazhabnya tersendiri. Kajian akademik terhadap pluralisme yang intens dan mendalam sangatlah perlu sebagai standar pluralisme yang sesuai dengan nilai-nilai syariatajaran
Islam. Lebih tepatnya inilah yang seharusnya dilakukan MUI yang juga memiliki fungsi kontrol terhadap pemikiran keislaman. Karena pada kenyataannya di- beberapa- kalangan MUI,
pluralisme masih dianggap kebaikan negatif yang mengindikasikan misi orientalisme kaum Liberal-Kristiani, memandang pluralisme dari sisi historis tanpa epistemologisnya akan
melahirkan pandangan sempit, selain itu pluralisme juga harus disepadankan dengan sinyalemen ayat-ayat al-Quran yang mengedepankan pada pentingnya sikap toleran terhadap berbagai aspek
keragaman yang hanya mengarahkan manusia untuk berlomba-lomba dalam hal kebaikan. Pengharaman pluralisme, secara tidak langsung telah “mengekang intelektual” Muslim dalam
menyelami samudera hikmah ajaran Islam dan mengubur mutiara-mutiara keilmuan yang disampaikan para arif-sufi. Bahwa sesungguhnya dengan berpijak pada ajaran Islam, pluralisme
sendiri adalah keniscayaan yang ajarkan oleh Islam.
sejatinya diselesaikan melalui mekanisme dialog yang bersifat konstruktif, utamanya dalam hal-hal yang menimbulkan kemusykilan
akademis untuk mencapai pemahaman yang komprehensif. Disamping itu, dialog diperlukan untuk memecahkan masalah-masalah riil yang
muncul ditengah-tengah masyarakat
97
Imam al-Razi menakwil “tidak ada paksaan dalam agama” bahwa Tuhan telah menggarisbawahi sebuah landasan, bahwa
keimanan tidak dibangun diatas paksaan, melainkan atas dasar pengetahuan dan pertimbangan matang untuk memilih agama tertentu.
Disamping dunia merupakan tempat ujian dan cobaan yang mana memberikan kebebasan kepada oranglain sekalipun untuk menentukan
pilihan. Pentingnya ajaran tidak ada paksaan dalam agama juga diperkuat oleh ayat lain QS. 10:99 yang berbunyi : “Dan jikalau
Rabbmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kau hendak memaksa manusia
supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya”. Ayat ini secara eksplisit memperkuat dan meneguhkan larangan paksaan
dalam agama, karena tidak sesuai dengan kehendak Tuhan yang memberikan kebebasan dalam iman
98
. Tidak ada paksaan dalam agama dapat dipahami sebagai sikap
akomodatif dan adaptif Islam terhadap agama-agama dan budaya- budaya pada umumnya. Karena tujuan agama adalah tegaknya
keadilan dan kemanusiaan, maka dalam hal penyebaran agama diperlukan
landasan etis
yang kuat,
yaitu dengan
tidak mempertentangkan antara agama yang satu dengan yang lain.
Dalam hal membangun toleransi, Tuhan juga menggaris- bawahi pentingnya amal saleh. Bila ditanya apa ada korelasi antara
keadilan dengan amal saleh? Secara cepat harus dikatakan, bahwa ada
97
Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi; Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme..., h.211
98
Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi; Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme..., h.253
hubungan yang kuat diantara keduanya. Amal saleh merupakan salah- satu bentuk konkrit keadilan. Amal saleh memberikan perhatian yang
besar terhadap realitas sosial. Amal saleh mendorong ajaran Islam yang melangit agar lebih membumi lagi. Karena itu amal saleh sangat
penting dalam rangka membumikan toleransi. Konsep amal saleh diharapkan dapat menjawab berbagai klaim fundamentalis, bahwa
sebuah kebenaran hanya mengacu pada dimensi tekstualnya. Dalam paradigma amal saleh, sebuah agama akan dianggap membawa ajaran
yang agung bilamana mampu memberikan spirit dan motivasi bagi gerakan praksis. Karena pentingnya dimensi sosial didalam Islam,
maka Tuhan pun menjadikan amal saleh sebagai salah satu tiket yang bisa mengantarkan pelakunya kedalam surga
99
. Hal ini pulalah yang menjadi paradigma ajaran pluralisme, dalam paradigma pluralisme
bahwa ketakwaan menjadi inti dari agama-agama.
ﺍﺪﻳﺪﺳ ﹰﻻﻮﹶﻗ ﺍﻮﹸﻟﻮﹸﻗﻭ َﷲﺍ ﺍﻮﹸﻘﺗﺍ ﺍﻮﻨﻣﺍَﺀ ﻦﻳﺬﱠﻟﺍ ﺎﻬﻳﹶﺃﺎﻳ .
ﻢﹸﻜﹶﻟﺎﻤﻋﹶﺃ ﻢﹸﻜﹶﻟ ﺢﻠﺼﻳ َﷲﺍ ﹺﻊﻄﻳ ﻦﻣﻭ ﻢﹸﻜﺑﻮﻧﹸﺫ ﻢﹸﻜﹶﻟ ﺮﻔﻐﻳﻭ
ﺎﻤﻴﻈﻋ ﺍﺯﻮﹶﻓ ﺯﺎﹶﻓ ﺪﹶﻘﹶﻓ ﻪﹶﻟﻮﺳﺭﻭ ﺏﺍﺰﺣﻷﺍ
:
۷۱ -
۷۰
“ Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya
Allah memperbaiki
bagimu amalan-amalanmu
dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati
Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar”. QS. Al-Ahzab, 33 : 70-71
100
Dijelaskan pula pada ayat lain, bahwa kebaikan dan ketakwaan bersumber atau dilandasi dengan keimanan. Apapun agamanya,
keimanan dan ketakwaan adalah kebenaran suci ketulusan seorang hamba kepada Tuhannya, mereka adalah orang-orang yang berjalan
diatas kebenaran di jalan Tuhan.
99
Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi; Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme..., h.460-461
100
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.680
ﻦﻣﺍَﺀ ﻦﻣ ﺮﹺﺒﹾﻟﺍ ﻦﻜﹶﻟﻭ ﹺﺏﹺﺮﻐﻤﹾﻟﺍﻭ ﹺﻕﹺﺮﺸﻤﹾﻟﺍ ﹶﻞﺒﻗ ﻢﹸﻜﻫﻮﺟﻭ ﺍﻮﱡﻟﻮﺗ ﹾﻥﹶﺃ ﺮﹺﺒﹾﻟﺍ ﺲﻴﹶﻟ ﻱﹺﻭﹶﺫ ﻪﺒﺣ ﻰﹶﻠﻋ ﹶﻝﺎﻤﹾﻟﺍ ﻰﺗﺍَﺀﻭ ﻦﻴﹺﺒﻨﻟﺍﻭ ﹺﺏﺎﺘﻜﹾﻟﺍﻭ ﺔﹶﻜﺌﹶﻠﻤﹾﻟﺍﻭ ﹺﺮﺧَﻷﹾﺍ ﹺﻡﻮﻴﹾﻟﺍﻭ ِﷲﺎﺑ
ﺑﺮﹸﻘﹾﻟﺍ ﻡﹶﺎﻗﹶﺃﻭ ﹺﺏﺎﹶﻗﺮﻟﺍ ﻲﻓﻭ ﲔﻠﺋﺎﺴﻟﺍﻭ ﹺﻞﻴﹺﺒﺴﻟﺍ ﻦﺑﺍﻭ ﲔﻛﺎﺴﻤﹾﻟﺍﻭ ﻰﻣﺎﺘﻴﹾﻟﺍﻭ ﻰ
ِﺀﺂﺳﹾﺄﺒﹾﻟﺍ ﻲﻓ ﻦﻳﹺﺮﹺﺑﺎﺼﻟﺍﻭ ﺍﻭﺪﻫﺎﻋ ﺍﹶﺫﹺﺇ ﻢﻫﺪﻬﻌﹺﺑ ﹶﻥﻮﹸﻓﻮﻤﹾﻟﺍﻭ ﹶﺓﺎﹶﻛﺰﻟﺍ ﻰﺗﺍَﺀﻭ ﹶﺓﻮﹶﻠﺼﻟﺍ
ﺻ ﻦﻳﺬﱠﻟﺍ ﻚﺌﹶﻟﻭﹸﺃ ﹺﺱﹾﺄﺒﹾﻟﺍ ﲔﺣﻭ ِﺀﺁﺮﻀﻟﺍﻭ ﹶﻥﻮﹸﻘﺘﻤﹾﻟﺍ ﻢﻫ ﻚﺌﹶﻟﻭﹸﺃﻭ ﺍﻮﹸﻗﺪ
ﺓﺮﻘﺒﻟﺍ ۱۷۷
”Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah Timur dan Barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian
itu ialah beriman kepada Allah, Hari Kemudian, malaikat- malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang
dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir yang memerlukan pertolongan dan orang-
orang yang meminta-minta; dan memerdekakan hamba sahaya, mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan orang-
orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang- orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam
peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar imannya; dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa”.
QS.Al-Baqarah, 2:177
101
Komitmen dalam pluralisme adalah adalah komitmen untuk menancapkan bendera ketuhanan dan kemanusiaan. Keduanya harus
menjadi garapan agama-agama. Dan sekali lagi, tidak ada tempatnya bila substansi agama-agama dipertentangkan. Dalam pluralisme justru
ajaran yang secara substansi sejalan dengan apa yang terkandung dalam ayat diatas menjadi perhatian yang dapat membangun
pluralisme, toleransi, keadilan dan kedamaian dimuka bumi ini.
101
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.43