Kutub-kutub Pluralisme Agama; Motif dan Orientasi

meyakini adanya perbedaan dalam agama-agama. Bila dalam inklusivisme diniscayakan adanya pemahaman tentang yang lain yang mana selalu ada dimensi substansi dan nilai, tapi dalam pluralisme justru mengakui adanya perbedaan-perbedaan. Pluralisme dianggap sebagai lompatan praksis dari sekedar inklusivisme pemahaman keagamaan. Pluralisme telah menjadi realitas dari agama-agama itu sendiri 87 Pluralisme sebenarnya mengajak kita agar lebih realistis, bahwa pada hakikatnya agama-agama adalah berbeda. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari segi penghayatan terhadap agama syariat, dan yang lebih penting adalah dimensi simbolik dan sosiologisnya. Kendatipun ada kesamaan dalam ranah ritual sekalipun. Disinilah pluralisme menunjukkan relevansi dan signifikansinya. Pluralisme hadir dalam rangka membangun toleransi ditengah perbedaan dan keragaman tersebut. Pluralisme menjadikan perbedaan sebagai potensi untuk bersatu memajukan masyarakat dari keterbelakangan dan keterpurukan 88 Dalam hal ini, Diana L. Eck, Pimpinan Pluralism Project, Harvard University memberikan pemahaman terhadap pluralisme yang relatif distingtif. Setidaknya ada tiga poin yang terkandung dalam pluralisme, Pertama, pluralisme adalah keterlibatan aktif ditengah keragaman dan perbedaan. Pluralisme sesungguhnya berbicara pada tataran fakta dan realitas, bukan pada tatar teologis sebagaimana inkusivisme, oleh sebab itu pluralisme dalam tataran sosial lebih dari sekedar mengakui keragaman dan perbedaan, melainkan merangkai keragaman untuk tujuan kebersamaan. Kedua, pluralisme lebih dari sekedar toleransi. Dalam toleransi akan lahir sebuah kesadaran tentang pentingnya menghargai orang lain. Tapi 87 Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi; Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme, Jakarta : Penerbit FITRAH, 2007, Cet.1, h.204-205 88 Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi; Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme..., h.206 pluralisme ingin melampaui capaian tersebut, yaitu menjadi sebuah upaya memahami yang lain melalui sebuah pemahaman yang konstruktif. Pluralism mengakui bahwa setiap entitas dalam masyarakat selalu mempunyai perbedaan dan persamaan, oleh karena itu setiap entitas harus memahami dengan baik setiap perbedaan dan persamaan tersebut. Ketiga, pluralisme bukan relativisme, pluralisme adalah upaya menemukan komitmen bersama diantara berbagai komitmen. Komitmen yang dimaksudkan adalah komitmen kemanusiaan. Disini keragaman dalam pluralisme tetap dipertahankan, tidak dihilangkan. Sedangkan relativisme berada pada posisi menafikan komitmen, bahkan menafikan kebenaran itu sendiri 89 Peter L. Berger mempunyai pandangan lain yang lebih praksis perihal pluralisme. Ia menyebutnya sebagai “pluralisme baru”. Yaitu pluralisme yang lahir dari rahim globalisasi. Pada zaman ini pluralisme hampir seperti pasar keagamaan. Dimana-mana agama dan keberagamaan tumbuh dengan pesat. Upaya sekularisasi harus diakui telah gagal, karena agama justru telah berkembang dengan pesat di era globalisasi. Itulah wujud dari fenomena pluralisme. Karena pluralisme adalah pasar keagamaan, maka yang terjadi adalah determinasi untuk memilih, bukan determinasi untuk meyakini. Karena itu menurut Berger, yang menarik dari pluralisme model ini adalah kehendak institusi keagamaan pada akhirnya bukan melayani agama, melainkan melayani umat. Institusi agama akan berubah menjadi asosiasi pelayanan umat. Hal ini merupakan lompatan yang baik dari sekedar sekulariasi menjadi lembaga-lembaga yang konsern pada aksi-aksi kemanusiaan 90 89 Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi; Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme..., h.207-208 90 Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi; Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme..., h.209 Berdasarkan pemaparan diatas, terdapat beberapa bentuk orientasi pluralisme yaitu; 1. Orientasi moral, yaitu ajakan untuk menyebarkan toleransi antar penganut agama. Dalam istilah Muhammad legenhausen sebagai ”pluralisme religius yang berifat normatif” yaitu himbauan dan kewajiban moral serta etis untuk menghargai para pemeluk agama yang berbeda-beda dan mencegah arogansi dalam beragama. 2. Pluralisme religius soteriologis 91 soteriological religious pluralism, yaitu bahwa umat selain Kristen juga bisa memperoleh keselamatan Kristiani. Tesis pluralisme soteriologi mula-mula diketengahkan John Hick untuk setidaknya mengefektifkan pluralisme normatif secara psikologis. 3. Pluralisme religius epistemologi epistemological religious pluralism, yaitu pemahaman atau kesadaran setiap pengikut agama-agama didunia memiliki kedudukan yang sama dalam konteks justifikasi keyakinan religius. 4. Pluralisme religius aletis alethic religious pluralism, yaitu penegasan bahwa kebenaran religius harus ditemukan dalam semua agama-agama dengan posisi dan derajat yang sama 5. Pluralisme religius deontis 92 deontic religious pluralism, yaitu pluralisme yang menyangkut kehendak atau perintah Tuhan untuk mengikuti suatu tradisi agama. Pluralisme jenis ini berupaya memberikan pemahaman dan tanggung jawab manusia dihadapan keragaman tradisi agama didunia. Menurut pluralisme religius deontis, pada beberapa daur sejarah tertentu diachronic, Tuhan memberikan wayu pada umat manusia melalui seorang nabi dan rasul, sampai ditetapkan rasul muhammad sebagai sebagai risalah terakhir 93 Dalam paham pluralisme agama sendiri yang berkembang saat ini terdapat dua aliran yang berbeda: yaitu paham yang dikenal dengan program teologi global global theology dan paham kesatuan transenden agama-agama Transcendent Unity of Religions. Kedua 91 Soteriologi merupakan bidang kajian dalam teologi Kristiani yang mempelajari penderitaan Yesus kristus. 92 Kata deon bermakna kewajiban, sehingga jenis pluralisme ini didasari oleh kewajiban untuk memenuhi kehendak Tuhan 93 Amir Mahmud ed., Islam dan Realitas Sosial di Mata Intelektual Muslim Indonesia…, 210-211 aliran ini telah membangun gagasan, konsep dan prinsip masing- masing yang akhirnya menjadi paham yang sistemik 94 . Munculnya kedua aliran diatas juga disebabkan oleh dua motif yang berbeda, meskipun keduanya muncul di Barat dan menjadi tumpuan perhatian masyarakat Barat. Bagi aliran pertama yang umumnya diwarnai oleh kajian sosiologis motif terpentingnya adalah karena tuntutan modernisasi dan globalisasi. Karena pentingnya agama di era globalisasi ini maka hubungan globalisasi dan agama menjadi tema sentral dalam sosiologi agama. Tentang hubungan antara agama dan globalisasi, nampaknya agama dianggap sebagai kendala bagi program globalisasi. Berbeda dari motif aliran pertama yang diwarnai pendekatan sosiologis, motif aliran kedua yang didominasi oleh pendekatan filosofis dan teologis Barat justru kebalikan dari motif aliran pertama. Kalangan filosof dan teolog justru menolak arus modernisasi dan globalisasi yang cenderung mengetepikan agama itu dengan berusaha mempertahankan tradisi yang terdapat dalam agama-agama itu. Yang pertama memakai pendekatan sosiologis, sedangkan yang kedua memakai pendekatan religious filosofis. Solusi yang ditawarkan kedua aliran inipun berbeda. Berdasarkan motif sosiologisnya, aliran pertama menawarkan konsep dunia yang tanpa batas geografis cultural, ideologis, teologis, kepercayaan dan lain-lain. Artinya identitas kultural, kepercayaan dan agama harus dilebur atau disesuaikan dengan zaman modern. Kelompok ini yakin bahwa agama-agama itu berevolusi dan nanti akan saling mendekat yang pada akhirnya tidak akan ada lagi perbedaan antara satu agama dengan lainnya. Agama-agama itu kemudian akan melebur menjadi satu. Berdasarkan asumsi itu maka John Hick, salah satu tokoh terpentingnya, segera memperkenalkan konsep pluralisme 94 M. Dawam Rahardjo, Agama Masa Depan, www.korantempo.com agama dengan gagasannya yang ia sebut global theology teologi global. Sedangkan solusi yang ditawarkan oleh aliran kedua dengan pendekatan religious filosofisnya yakni lebih mengedepankan eksistensi agama-agama. Bagi kelompok ini agama tidak bisa di rubah begitu saja dengan mengikuti arus globalisasi, liberalisasi, modernisasi ataupun post-modern yang telah memarjinalkan peran dan fungsi agama-agama. Agama tidak bisa dilihat hanya dari perspektif sosilogis ataupun historisnya saja, dan tidak pula dapat dihilangkan identitasnya. Kelompok ini lalu memperkenalkan pendekatan tradisional dan mengangkat konsep-konsep yang diambil secara parallel dari tradisi agama-agama. Salah satu konsep utama kelompok ini adalah konsep sophia perrenis atau dalam bahasa Hindu disebut Sanata Dharma atau dalam Islam disebut “al-Hikmah al-Khalidah”. Konsep ini mengandung pandangan bahwa di dalam setiap agama terdapat tradisi- tradisi sakral yang perlu dihidupkan dan dipelihara secara adil, tanpa menganggap salah satunya lebih superior dari pada yang lain. Agama bagi aliran ini adalah bagaikan beberapa jalan yang pada akhirnya mengantarkan ke puncaktujuan yang sama all paths lead to the same summit. Tokoh pencetus dan pendukung paham ini adalah Rene Guenon m. 1951, T. S. Eliot m. 1965, Titus Burckhardt m. 1984, Fritjhof Schuon m.1998, Ananda K. Coomaraswamy m. 1947, Martin Ling, Seyyed Hossein Nasr, Huston Smith, Louis Massignon, Marco Pallis m. 1989, Henry Corbin, Jean-Louis Michon, Jean Cantein, Victor Danner, Joseph E. Brown, William Stoddart, Lord Northbourne, Gai Eaton, W. N. Perry, G. Durand, E. F. Schumacher, J. Needleman, William C. Chittick dan lain-lain 95 . Pluralisme pada akhirnya melampaui fundamentalisme yang berkutat pada setiap agama. Fundamentalisme yang mempunyai 95 M. Dawam Rahardjo, Agama Masa Depan, www.korantempo.com keyakinan taken for grantedness yang hanya berkutat pada dimensi hukum dan ritualistik. Maka pluralisme mencoba membuka ruang baru bagi agama, yaitu ruang kemanusiaan yang menekankan aspek pelayanan secara sukarela. Dari beberapa pernyataan diatas, apa yang sebenarnya ingin dicapai pluralisme? Maka sesungguhnya, pluralisme hendak mewujudkan masyarakat yang dialogis, toleran dan dinamis. Dengan demikian, fatwa mengenai haramnya pluralisme merupakan cerminan dari ketidakmampuan kaum agamawan untuk memahami pluralisme dengan baik dan tepat. Setidaknya ada kecurigaan untuk menerima diskursus baru yang berkaitan dengan toleransi 96 . Fatwa mengenai haramnya pluralisme adalah suatu kelemahan memandang nilai-nilai obyektivitas pluralisme, fatwa tersebut masih mengindikasikan paham keagamaan yang ekslusif dan rentan pada intoleransi, maka dalam hal ini dibutuhkan sudut pandang positif dalam menilai suatu gagasan baru, perlunya ketelitian, kesungguhan, kemenyeluruhan dan kejujuran dalam membedah sebuah persoalan. Setiap masalah 96 Menurut hemat penulis, tanpa bermaksud “menyalahkan” keputusan MUI bagi kemaslahatan umat Islam, pengharaman pluralisme terkesan “buru-buru” dan minim dialog dengan para tokoh penganut pluralis di Indonesia. Sebenarnya hal ini mungkin terjadi tanpa harus dikeluarkannya fatwa haram bagi pluralisme bila ada ruang dialog yang konstruktif, sehingga selain pluralisme menjadi solusi bagi keragaman teologis-sosiologis, pluralisme juga menjadi solusi akademis dalam cara bagaimana umat Islam memahaminya dengan baik dan tepat. Sifat kehati-hatian MUI mengenai konsekuensi logis pluralisme sebaiknya dapat dijembatani dengan dialog akademis, sehingga baik MUI maupun kaum elit-pluralis dapat mengarahkan umat Islam untuk memahami pluralisme secara tepat-menyeluruh. Hal inipun hanya mungkin terjadi bila MUI sendiri telah meneliti dengan baik pluralisme itu sendiri, terlebih pluralisme memiliki banyak definisi bahkan mazhabnya tersendiri. Kajian akademik terhadap pluralisme yang intens dan mendalam sangatlah perlu sebagai standar pluralisme yang sesuai dengan nilai-nilai syariatajaran Islam. Lebih tepatnya inilah yang seharusnya dilakukan MUI yang juga memiliki fungsi kontrol terhadap pemikiran keislaman. Karena pada kenyataannya di- beberapa- kalangan MUI, pluralisme masih dianggap kebaikan negatif yang mengindikasikan misi orientalisme kaum Liberal-Kristiani, memandang pluralisme dari sisi historis tanpa epistemologisnya akan melahirkan pandangan sempit, selain itu pluralisme juga harus disepadankan dengan sinyalemen ayat-ayat al-Quran yang mengedepankan pada pentingnya sikap toleran terhadap berbagai aspek keragaman yang hanya mengarahkan manusia untuk berlomba-lomba dalam hal kebaikan. Pengharaman pluralisme, secara tidak langsung telah “mengekang intelektual” Muslim dalam menyelami samudera hikmah ajaran Islam dan mengubur mutiara-mutiara keilmuan yang disampaikan para arif-sufi. Bahwa sesungguhnya dengan berpijak pada ajaran Islam, pluralisme sendiri adalah keniscayaan yang ajarkan oleh Islam. sejatinya diselesaikan melalui mekanisme dialog yang bersifat konstruktif, utamanya dalam hal-hal yang menimbulkan kemusykilan akademis untuk mencapai pemahaman yang komprehensif. Disamping itu, dialog diperlukan untuk memecahkan masalah-masalah riil yang muncul ditengah-tengah masyarakat 97 Imam al-Razi menakwil “tidak ada paksaan dalam agama” bahwa Tuhan telah menggarisbawahi sebuah landasan, bahwa keimanan tidak dibangun diatas paksaan, melainkan atas dasar pengetahuan dan pertimbangan matang untuk memilih agama tertentu. Disamping dunia merupakan tempat ujian dan cobaan yang mana memberikan kebebasan kepada oranglain sekalipun untuk menentukan pilihan. Pentingnya ajaran tidak ada paksaan dalam agama juga diperkuat oleh ayat lain QS. 10:99 yang berbunyi : “Dan jikalau Rabbmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kau hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya”. Ayat ini secara eksplisit memperkuat dan meneguhkan larangan paksaan dalam agama, karena tidak sesuai dengan kehendak Tuhan yang memberikan kebebasan dalam iman 98 . Tidak ada paksaan dalam agama dapat dipahami sebagai sikap akomodatif dan adaptif Islam terhadap agama-agama dan budaya- budaya pada umumnya. Karena tujuan agama adalah tegaknya keadilan dan kemanusiaan, maka dalam hal penyebaran agama diperlukan landasan etis yang kuat, yaitu dengan tidak mempertentangkan antara agama yang satu dengan yang lain. Dalam hal membangun toleransi, Tuhan juga menggaris- bawahi pentingnya amal saleh. Bila ditanya apa ada korelasi antara keadilan dengan amal saleh? Secara cepat harus dikatakan, bahwa ada 97 Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi; Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme..., h.211 98 Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi; Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme..., h.253 hubungan yang kuat diantara keduanya. Amal saleh merupakan salah- satu bentuk konkrit keadilan. Amal saleh memberikan perhatian yang besar terhadap realitas sosial. Amal saleh mendorong ajaran Islam yang melangit agar lebih membumi lagi. Karena itu amal saleh sangat penting dalam rangka membumikan toleransi. Konsep amal saleh diharapkan dapat menjawab berbagai klaim fundamentalis, bahwa sebuah kebenaran hanya mengacu pada dimensi tekstualnya. Dalam paradigma amal saleh, sebuah agama akan dianggap membawa ajaran yang agung bilamana mampu memberikan spirit dan motivasi bagi gerakan praksis. Karena pentingnya dimensi sosial didalam Islam, maka Tuhan pun menjadikan amal saleh sebagai salah satu tiket yang bisa mengantarkan pelakunya kedalam surga 99 . Hal ini pulalah yang menjadi paradigma ajaran pluralisme, dalam paradigma pluralisme bahwa ketakwaan menjadi inti dari agama-agama. ﺍﺪﻳﺪﺳ ﹰﻻﻮﹶﻗ ﺍﻮﹸﻟﻮﹸﻗﻭ َﷲﺍ ﺍﻮﹸﻘﺗﺍ ﺍﻮﻨﻣﺍَﺀ ﻦﻳﺬﱠﻟﺍ ﺎﻬﻳﹶﺃﺎﻳ . ﻢﹸﻜﹶﻟﺎﻤﻋﹶﺃ ﻢﹸﻜﹶﻟ ﺢﻠﺼﻳ َﷲﺍ ﹺﻊﻄﻳ ﻦﻣﻭ ﻢﹸﻜﺑﻮﻧﹸﺫ ﻢﹸﻜﹶﻟ ﺮﻔﻐﻳﻭ ﺎﻤﻴﻈﻋ ﺍﺯﻮﹶﻓ ﺯﺎﹶﻓ ﺪﹶﻘﹶﻓ ﻪﹶﻟﻮﺳﺭﻭ ﺏﺍﺰﺣﻷﺍ : ۷۱ - ۷۰ “ Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar”. QS. Al-Ahzab, 33 : 70-71 100 Dijelaskan pula pada ayat lain, bahwa kebaikan dan ketakwaan bersumber atau dilandasi dengan keimanan. Apapun agamanya, keimanan dan ketakwaan adalah kebenaran suci ketulusan seorang hamba kepada Tuhannya, mereka adalah orang-orang yang berjalan diatas kebenaran di jalan Tuhan. 99 Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi; Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme..., h.460-461 100 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.680 ﻦﻣﺍَﺀ ﻦﻣ ﺮﹺﺒﹾﻟﺍ ﻦﻜﹶﻟﻭ ﹺﺏﹺﺮﻐﻤﹾﻟﺍﻭ ﹺﻕﹺﺮﺸﻤﹾﻟﺍ ﹶﻞﺒﻗ ﻢﹸﻜﻫﻮﺟﻭ ﺍﻮﱡﻟﻮﺗ ﹾﻥﹶﺃ ﺮﹺﺒﹾﻟﺍ ﺲﻴﹶﻟ ﻱﹺﻭﹶﺫ ﻪﺒﺣ ﻰﹶﻠﻋ ﹶﻝﺎﻤﹾﻟﺍ ﻰﺗﺍَﺀﻭ ﻦﻴﹺﺒﻨﻟﺍﻭ ﹺﺏﺎﺘﻜﹾﻟﺍﻭ ﺔﹶﻜﺌﹶﻠﻤﹾﻟﺍﻭ ﹺﺮﺧَﻷﹾﺍ ﹺﻡﻮﻴﹾﻟﺍﻭ ِﷲﺎﺑ ﺑﺮﹸﻘﹾﻟﺍ ﻡﹶﺎﻗﹶﺃﻭ ﹺﺏﺎﹶﻗﺮﻟﺍ ﻲﻓﻭ ﲔﻠﺋﺎﺴﻟﺍﻭ ﹺﻞﻴﹺﺒﺴﻟﺍ ﻦﺑﺍﻭ ﲔﻛﺎﺴﻤﹾﻟﺍﻭ ﻰﻣﺎﺘﻴﹾﻟﺍﻭ ﻰ ِﺀﺂﺳﹾﺄﺒﹾﻟﺍ ﻲﻓ ﻦﻳﹺﺮﹺﺑﺎﺼﻟﺍﻭ ﺍﻭﺪﻫﺎﻋ ﺍﹶﺫﹺﺇ ﻢﻫﺪﻬﻌﹺﺑ ﹶﻥﻮﹸﻓﻮﻤﹾﻟﺍﻭ ﹶﺓﺎﹶﻛﺰﻟﺍ ﻰﺗﺍَﺀﻭ ﹶﺓﻮﹶﻠﺼﻟﺍ ﺻ ﻦﻳﺬﱠﻟﺍ ﻚﺌﹶﻟﻭﹸﺃ ﹺﺱﹾﺄﺒﹾﻟﺍ ﲔﺣﻭ ِﺀﺁﺮﻀﻟﺍﻭ ﹶﻥﻮﹸﻘﺘﻤﹾﻟﺍ ﻢﻫ ﻚﺌﹶﻟﻭﹸﺃﻭ ﺍﻮﹸﻗﺪ ﺓﺮﻘﺒﻟﺍ ۱۷۷ ”Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah Timur dan Barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu ialah beriman kepada Allah, Hari Kemudian, malaikat- malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir yang memerlukan pertolongan dan orang- orang yang meminta-minta; dan memerdekakan hamba sahaya, mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan orang- orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang- orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar imannya; dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa”. QS.Al-Baqarah, 2:177 101 Komitmen dalam pluralisme adalah adalah komitmen untuk menancapkan bendera ketuhanan dan kemanusiaan. Keduanya harus menjadi garapan agama-agama. Dan sekali lagi, tidak ada tempatnya bila substansi agama-agama dipertentangkan. Dalam pluralisme justru ajaran yang secara substansi sejalan dengan apa yang terkandung dalam ayat diatas menjadi perhatian yang dapat membangun pluralisme, toleransi, keadilan dan kedamaian dimuka bumi ini. 101 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.43

BAB IV WAHDAT AL ADYAN DAN PLURALISME AGAMA

DALAM PERSPEKTIF SYARIAT Sebagaimana kita ketahui bahwa fenomena keagamaan dalam Islam tidak terlepas antara dua dimensinya yakni syariat fikih dan hakikat tasawuf, keduanya merupakan dua ilmu yang saling berhadapan secara vis a vis. Perseteruan panjang antara para penganut keduanyapun hingga kini masih terasa 1 . Syariat, seperti yang banyak dipahami, sebagai hukum asli formal yang 1 Pada masyarakat miliu-tadisional, fanatisme syaria’ah baca : fuqaha memandang “haram” atas praktik tasawuf dengan berbagai dalil dan argumentasinya, baik secara naqli maupun aqli. Sementara itu, para pelaku tasawuf juga mengkritik para fuqaha yang hanya melihat hitam diatas putih formalisme keagamaan, tanpa menangkap esensi atau substansi yang diharapkan oleh kaum sufi. Masyarakat Jawa dalam rumor mereka sedikit banyak mengisyaratkan tentang perseteruan itu, masyarakat Jawa sering menyebut syariat dalam dialog Jawa disebut “syaringat” sebagai nek sare njengat kalau tidur nungging. Sedangkan tasawuf disimbolkan sebagai jalan meniti ke kota “Mekah” dengan ungkapan nek turu mekakah kalau tidur telentang. Lain halnya dengan masyarakat miliu-modern, fenomena spiritualismetasawuf sebenarnya mulai dirasakan ”’lumrah” dan dapat diterima, hanya pada hal-hal tertentu saja, misalnya dalam hal ritualistik para penganut tasawuf dianggap ”tidak lazim” bukan menyimpang, – bagi para penganut syariat. Hal inipun sebenarnya disadari oleh kaum syariat, karena pendekatan tasawuf yang menggunakan daya batin seringkali tidak dapat dijelaskan dengan daya nalar. Meskipun demikian, syariat bukan tanpa ”masalah” yang dihadapinya sendiri, justru pertentangan internal lebih banyak terjadi pada kaum pengikut syariat, sebagaimana kita tahu bahwa syariat fiqh memiliki keragaman mazhab, yang pada akhirnya pula memiliki keragaman ijtihad dari para ulama fikih tersebut. Dalam hal ini penulis tidak bermaksud mengangkat permasalahanperbedaan dalam hukum fikih, melainkan mengemukakan bahwa pemahaman kaum sufi dalam menyikapi perbedaan lebih arif dan bijaksana karena mereka senantiasa menilai segala sesuatu dengan cinta, ketulusan dan kerendahan hati. Hal inilah yang menunjukkan bahwa kaum sufi adalah kaum yang paling toleran dalam menyikapi perbedaan dan keanekaragaman… Lihat : Hasan M. Noor ed., Agama di Tengah Kemelut, Jakarta : Media Citra, 2001, Cet.2, h.136 dengannya seluruh aspek kehidupan seorang muslim harus berlandaskan pada al- Quran dan hadis Nabi SAW. Berbeda dengan tasawuf , tasawuf tariqat hingga kini masih dipandang ekslusif khususistimewa – karena diperuntukkan bagi mereka yang menempuh jalan menuju Tuhan baca : Allah dengan pendekatan batiniah, sehingga terkadang nilai-nilai amaliah terkesan formalistik dan masih jauh dalam upaya mencapai esensinya Fiqih sebagai dimensi syariat menjadi pokok sentral dalam kehidupan beragama terutama dalam hal ibadah, peran fiqih tersebut antara lain adalah: mendorong timbulnya kesadaran beribadah kepada Allah SWT, membentuk kebiasaan melaksanakan syari’at dengan ikhlas, membentuk kebiasaan melaksanakan tuntunan akhlak yang mulia, mendorong timbulnya kesadaran mensyukuri nikmat Allah dengan mengolah serta memanfaatkan alam untuk kesejahteraan hidup, membentuk kebiasaan menerapkan disiplin dan tanggung jawab sosial di masyarakat, dan membentuk kebiasaan berbuat atau berperilaku yang sesuai dengan peraturan. Selain daripada itu, tasawuf sebagai dimensi filosofishakikat oleh banyak pihak, dianggap identik dengan kehidupan yang serba kolot, tradisionil dan ketinggalan zaman Kehidupan sufi dianggap tidak relevan dengan kemajuan zaman. Sufisme dianggap, hanya sebagai catatan sejarah zaman dulu, yang sudah kehilangan signifikansinya untuk diterapkan dalam kehidupan sekarang. Timbulnya asumsi ini, disebabkan kesalahan persepsi mereka dalam menginterpretasikan tasawuf. Tasawuf yang identik atau diasumsikan sebagai kehidupan seseorang yang berpakaian compang-camping, memakai baju lusuh, dan bercirikan kemiskinan. Tentu saja asumsi ini , kurang tepat– kalau tidak ingin dikatakan tidak – tepat sama sekali. Karena ada beberapa bahkan banyak diantara para sufi yang kaya raya. Tasawuf tidak lebih, merupakan kehidupan yang menjauhi berbagai kesenangan dunia dengan segala aspeknya. Kehidupan yang hanya berorientasi pada kedekatan diri pada Allah dengan berbagai ritus-ritus sehari-harinya. Membasahi bibir dengan bacaan tasbih dan istighfar. Mengambil kebutuhan dunia hanya sekedarnya saja 2 . Salah satu alasan kita membahas kaitan antara spiritulisme Islam tasawuf dan syariat, adalah untuk menunjukkan bahwa antara syariat dan hakikat tasawuf sesungguhnya tidak bertentangan. Jika kita ingin beragama secara lengkap, kita bersyariat dan kita pun bertariqat, bertasawuf. Syariat berasal dari kata syar’i, yang artinya jalan yang besar. Sedangkan thariqat berasal dari kata thariq yang artinya jalan yang kecil. Namun tetap saja kedua kata itu mempunyai arti yang sama, yakni jalan. Jalan disini maksudnya adalah jalan menuju Allah SWT. Syariat disebut dengan jalan besar atau jalan raya dikarenakan arti asli kata itu identik dengan agama itu sendiri. Tasawuf, setidaknya merupakan cabang otentik dari agama Islam itu sendiri. Spiritualisme Islam berbeda dengan spiritualisme- spiritualisme yang lain, dalam hal ini Islam mengontrol ajaran spiritualismenya tasawuf dengan ajaran syariatnya 3 . Lebih lanjut, tasawuf adalah jalan agar kita dapat membersihkan diri dan hati kita agar menjadi wadah untuk menampung Allah SWT. Berkenaan dengan hal ini, sebuah hadis qudsi menyatakan bahwa ”Tidak ada yang bisa menampung Allah, kecuali hati orang-orang mukmin” 4 . Tuduhan bahwa tasawuf mengabaikan syariat tidak dapat diterima, karena sesungguhnya tasawuf sangat menekankan pentingnya syariat. Tasawuf tidak dapat dipisahkan dari syariat karena bagi para penganutnya thariqat, syariat adalah jalan awal yang harus ditempuh untuk menuju tasawuf. 2 Ada beberapa praktek disiplin spiritual dalam tradisi sufi yang dianggap oleh para penentangnya sebagai bersifat eksesif dan cenderung mengabaikan kehidupan dunia. Diantara praktek-praktek itu adalah berkhalwat selama 10 hari, 20 hari, 30 hari, atau 40 hari. Khalwat, yang di Indonesia disebut “suluk”, adalah kegiatan menyepi untuk sementara waktu dari kesibukan dunia. Selama khalwat seorang penempuh jalan spiritual makan dan minum sedikit sekali, dan tidak boleh berbicara kecuali dengan syeikhnya atau mitranya yang juga melakukan khalwat. Para salik menggunakan hampir seluruh waktu untuk berzikir dan bertakakur. Semula khalwat dilakukan secara fisik dengan menarik diri dari segala gangguan yang memalingkan seorang hamba dari mengingat Allah dan dengan menyebut nama-nama dan sifat-sifat Allah. Akhirnya, penarikan diri ini semata-mata ditujukan untuk meningkatkan kualitas spiritual untuk semakin mempermudah perjalanan spiritual untuk semakin mempermudah perjalanan menjumpai Yang Dicintai. Khalwat seperti ini yang dilakukan para salik tidak bisa dikatakan eksesif berlebihan dalam ibadah dan cenderung mengabaikan kehidupan dunia karena ia hanya dilakukan dalam waktu terbatas, paling lama 40 hari, dan setelah itu salik kembali kepada kesibukan dunia seperti biasa. 3 Hasan M. Noor ed., Agama di Tengah Kemelut..., h.104 4 Hasan M. Noor ed., Agama di Tengah Kemelut..., h.105 Dalam satu bagian al-Futuhat al Makiyah, ibn al Arabi menyatakan, “Jika engkau bertanya, ‘Apa itu tasawuf?,’ maka kami menjawab, ‘Tasawuf adalah mengikatkan diri kepada kelakuan-kelakuan baik menurut syariat secara lahir dan batin, dan itu adalah aklak mulia. Ungkapan “kelakuan-kelakuan baik menurut syariat “al-adab al-syariyyah dalam perkataan Ibn al-Arabi ini menunjukkan bahwa tasawuf harus berpedoman kepada syariat. Menurut sufi ini, sairat adalah timbangan dan pemimpin yang harus ddikuti dan ditaati oleh siapa saja yang menginginkan keberhasilan tasawuf. Sebagaimana Ibn al-Arabi, Seyyed Hossein Nasr, seorang pemikir sufi dari Iran yang membela tasawuf tipe “keadaan tidak mabuk” berulang kali menekankan bahwa tidak ada tasawuf tanpa syariat 5 . Islam sebagai agama yang sangat menekankan keserimbangan manifestasikan dirinya dalam kesatuan syariat hukum Tuhan dan thariqah jalan spiritual, yang sering disebut sufisme atau tasawuf. Apabila syariah adalah dimensi eksoterik Islam, yang lebih banyak berurusan dengan aspek lahiriah, maka thariqah adalah dimensi eksoterik Islam, yang lebih banyak berurusan dengan aspek batiniah. Pentingnya menjaga kesatuan syariah dan thariqah dituntut oleh kenyataan bahwa segala sesuatu di alam ini, termasuk manusia, mempunyai aspek lahiriah dan aspek batiniah. Menekankan salah satu aspek dan mengabaikan aspak lain akan menimbulkan ketidakseimbangan dan kekacauan 6 Landasan metafistis bagi pemeliharaan keseimbangan antara aspek lahiriah dan batiniah. Aspek lahiriah mempunyai gerak menjauh dan memisah dari Tuhan sebagai Pusat, yang tidak lain adalah Yang batin. Aspek batiniah mempunyai kecenderungan untuk bergerak kembali kepada Tuhan sebagai Sumbernya. Mengabaikan salah satu dari kedua aspek ini adalah mengingkari kodrat manusia, yang selalau cenderung berusaha untuk memenuhi lahiriah dan batiniah, material dan spiritual. 5 Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial…, h.20 6 Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial…, h.21