Korelasi Fiqh Syariat dengan Tasawuf Hakikat

diperintahkan. Sementara hakikat ialah penyaksian terhadap apa yang telah ditetapkan dan ditentukan atau pun yang disembunyikan dan ditampakkan.” 12 Sementara itu, dalam pandangan al-Sarraj, tasawuf dan kaum sufi mempunyai hubungan yang erat dengan para fuqaha dan ahli hadits. Tiga komunitas ini merupakan ahli-ahli ilmu yang mempunyai keutamaan. Oleh karenanya, dalam pandangan al-Sarraj ilmu agama itu terdiri dari tiga unsur : ilmu al-Qur’an, ilmu Sunnah dan Bayan, dan ilmu tentang hakikat iman. Dan secara garis besar, ilmu-ilmu agama tak akan keluar dari tiga hal: ayat-ayat dari kitab Allah, khabar hadis dari Rasulullah SAW, dan hikmah yang memancar dari kalbu para wali Allah. Pandangan di atas, berasal dari hadis tentang iman, ketika Jibril alaihissalam bertanya kepada Nabi saw tentang tiga macam pondasi: tentang Islam dan iman, ihsan zahir dan batin dan hakikat. Maka Islam adalah zahir, iman adalah zahir batin, sedang ihsan merupakan gabungan antara hakikat zahir dan batin. Selanjutnya, ia juga berpendapat bahwa pokok-pokok agama, cabang-cabangnya, hak-hak, batasan-batasan, dan hukum-hukmnya secara lahir dan batin, tidak bisa tidak hendaknya merujuk kepada tiga komunitas ini: ahli hadis, para fuqaha, dan kaum sufi. Jadi jelaslah bahwa tasawuf merupakan sub dari syari’ah, jika syari’ah di sini diartikan sama dengan agama. Jika syari’ah secara spesifik diartikan dengan fiqh, terjadi perbedaan secara epistemologis, metodologis, dan aksiologis. Singkat kata, secara garis besar, syari’ah memayungi dua elemen besar yang menjadi jalan untuk mengamalkan agama secara benar, yakni ilmu lahir riwayah dan ilmu batin dirayah. 13 Demikian hubungan yang erat antara syariat fiqh dengan hakikat tasawuf yang tergambar dari beberapa ungkapan dan pendapat di atas. 12 Al-Taftazani, Abu al-Wafa, Sufi Dari Zaman Ke Zaman…, h. 94 13 Bahri, Zaenal, Menembus Tirai Kesendirian-Nya, Jakarta, Prenada, 2005, h. 23-26. Memang diakui ada tokoh-tokoh tertentu dari kalangan sufi yang berfaham bahwa pada tingkat tertentu di saat seorang bersatu dengan Tuhannya, di saat dia adalah Tuhan dan Tuhan adalah dia, maka syari’ah dalam artian fiqh tidak lagi diperlukan karena ia telah sampai kepada hakikat syari’ah tersebut. Pemahaman seperti inilah yang dengan keras ditolak oleh al-Qusyairi dan al-Ghazali. Tidak ada syari’ah tanpa hakikat dan tidak ada hakikat tanpa syari’ah.

B. Integrasi Fiqh Syariat dengan Tasawuf Hakikat Konsep al-Ghazali

Al-Ghazali adalah ulama besar yang sanggup menyusun kompromi antara syariat fiqh dan hakikat tasawuf menjadi bangunan baru yang cukup memuaskan kedua belah pihak, baik dari kalangan syar’i fuqaha ataupun lebih-lebih kalangan sufi. Pemikiran konstruktif Al-Ghazali dalam memoderasi fiqih dan tasawuf dilakukan dalam rangka mengeliminir konflik antara syariat dan hakikat. Ia sanggup mengikat tasawuf dengan dalil-dalil wahyu ayat al-Qur’an ataupun hadis Nabi saw. Dan dari judul karyanya yang paling monumental Ihya’Ulum al-Din Nampak betapa besar jasa al-Ghazali. Yakni mampu menyusun bangunan yang dapat menghidupkan kegairahan ummat Islam mempelajari ilmu-ilmu agama, dan mengamalkan dengan penuh ketekunan. Dengan demikian apa yang dicita-citakan al-Ghazali tercapai. Yakni menghidupkan dan mendalamkan kualitas keimanan umat Islam dan memantapkannya, sehingga terpancar dalam kegairahan dalam mempelajari dan mengamalkan agama mereka. Kedalaman spiritual yang ditimbulkan oleh ajaran tasawuf bisa didayagunakan untuk mendukung kegairahan mempelajari ilmu-ilmu agama beserta pengamalannya. Sebaliknya dengan keterikatan yang ketat pengamalan tasawuf dengan syariat fiqh dan ayat-ayat suci al-Qur’an dan Hadis, tasawuf mulai mendapat hati dari pihak ulama ahli syariat fuqaha, dan diterimanya sebagai salah satu cabang ilmu keislaman yang paling kaya kerohanian dan tuntutan moral. Dengan demikian tasawuf bisa berfungsi sebagai obat yang paling mujarab untuk membebaskan ummat Islam dari kekakuan dan kekeringan rasionalisme fiqhiyah dan dari penyakit spekulatifisme ilmu kalam Dari susunan Ihya’ Ulum al-Din tergambar pokok pikiran al-Ghazali mengenai penyelarasan syari’at fiqh dan hakikat tasawuf. Yakni sebelum mempelajari dan mengamalkan tasawuf orang harus mempelajari dan memperdalam ilmu tentang syariat dan akidah terlebih dahulu. Tidak hanya itu, dia harus konsekuen menjalankan syariat secara tekun dan sempurna. Karena dalam hal syari’at seperti shalat, puasa, dan lain-lainnya, di dalam Ihya’ diterangkan tingkatan cara menjalankan shalat, puasa, dan sebagainya. Yakni sebagai umumnya para penganut tasawuf dalam Ihya’ dibedakan tingkat orang shalat antara orang awam, khawas, dan yang lebih khusus lagi’ Dapat dilihat dan dibedakan dengan melakukan penyempurnaan rukun dan sunnah-sunnah shalat. Demikian juga puasa dan sebagainya. Maka dari itu, tidak sepatutnya ilmu fiqh dipelajari semata-mata agar mampu membedakan antara yang sunnah dan yang fardhu sedemikian, sehingga tidak terbayangkan akan hal-hal yang sunnah kecuali bahwa itu semua boleh saja ditinggalkan. Pemahaman seperti itu sama saja dengan ucapan dokter bahwa membutakan mata tidak menghilangkan keberadaan seorang manusia. Yang lebih layak, tentulah, melaksanakan semua sunnah dengan penuh ketulusan seperti dilakukan si pemberi hadiah kepada Sultan dengan harapan dapat mendekatkan diri kepadanya. 14 Sesudah menjalankan syari’at dengan tertib dan penuh pengertian, baru pada jilid ketiga dimulai mempelajari tarekat. Yaitu tentang mawas diri, pengendalian nafsu-nafsu, dan kemudian laku wiridan dalam menjalankan zikir, hingga akhirnya berhasil mencapai ilmu kasyfi atau penghayatan makrifat. Kemudian untuk mempertahankan nilai-nilai luhur agama dan spiritual yang mistik ini harus awas godaan nafsu dan penyakit-penyakit yang sering menyerang dan mengotori hati, dan yang berkaitan dengan panca indera dan anggota badan serta bagaimana mengatasinya. Jadi sebagai 14 Al-Ghazali, Rahasia-Rahasia Shalat, Mizan, Bandung, cet. ke XV, h. 19, 52-54. bangunan untuk jadi sarana penyelarasan keselarasan syariat dan tasawuf Ihya’ Ulum al-Din merupakan karya monumental yang cukup lengkap, teliti,dan sistematis. Tasawuf akhirnya mendapat hati dari pihak ahlu syari’at dan diterima sebagai bagian dari system agama ilmu keislaman yang amat dibanggakan oleh umat Islam pada umumnya. Dalam pada itu, tergambar pokok pikiran al-Ghazali mengenai keintegralan dan keselarasan hubungan syari’at fiqh dan hakikat tasawuf. Dia menawarkan sebuah formula dalam upaya memesrakan antara kedua disiplin ilmu ini, yakni sebelum mempelajari dan mengamalkan tasawuf orang harus memperdalam ilmu tentang syari’at dan akidah terlebih dahulu. Konsepsi pemikiran yang ditawarkannya diawali dengan al-Qur’an, lalu hadis Nabi saw, meskipun dengan sanad yang dhoif, kisah hikmah dari para sahabat dan tabiin, baru kemudian dijelaskan dengan analisis pribadinya. Upaya ini cukup efektif, namun sebenarnya masih mengandung kelemahan yang mendasar. Kelemahan itu terletak kedudukan syariat fiqh yang diletakkan di bawah tarikat dan hakikat. Sehingga urutan tingkatan ketiganya jadi syari’at, tarikat, dan hakikat. Kemudian dalam perkembangannya ditambah makrifat sebagai tingkat keempat dan yang tertinggi. Dengan strata pembagian yang seperti ini terbukalah pintu untuk menilai syariat fiqh sebagai lebih rendah dibandingkan dengan tasawuf tarikat, hakikat, dan makrifat. Yakni memandang syariat terutama bagi orang-orang awam yang tidak mampu mencapai tingkat hakikat dan makrifat. Sedang bagi para sufi yang telah mampu mencapai penghayatan makrifat adalah golongan khawas yang tidak bisa dinilai dari perbuatan-perbuatan lahiriyah syari’at 15 . Para sufi adalah Islam syar’i plus tasawuf; sedang ahli syari’at adalah Islam syar’i saja. Dalam perpaduannya menurut al-Ghazali syari’at diletakkan pada tingkat di bawah tarikat dan hakikat, maka para sufi selalu punya rasa lebih atau unggulan dari muslim biasa. Bahkan kedudukan ulama biasa di 15 Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam…, h.167-168 bawah derajatnya. Dengan anggapan punya nilai lebih atau dikhawaskan ini tentu sulit diikat oleh aturan-aturan syari’at secara ketat 16 . Menyinggung perbedaan ilmu fiqh dengan ilmu tasawuf, Ibnu Khaldun berkomentar sebagai berikut: “Ilmu agama itu menjadi dua bagian, yang satu berkaitan dengan fuqaha dan para pemberi fatwa, yaitu mengenai hukum-hukum ibadah yang umum, adat istiadat, ataupun niaga. Dan satunya lagi berkaitan dengan kelompok maksudnya, para sufi yang melakukan latihan ruhaniah, introspeksi diri, memperbincangkan rasa dan intuisi yang ditempuh dalam perjalanannya, dan cara peningkatan diri dari satu rasa ke rasa yang lain, atau pun menerapkan terminologi-terminologi yang berkaitan dengan hal itu semua.” 17 Al-Ghazali sendiri dalam kitabnya, Ihya’ Ulum al- Din, menyebutkan kedua jenis ilmu ini sebagai ‘ilm syar’iyyah dan ghair syar’iyyah 18 namun karena mereka menggunakan konsep ilmu yang integral dan menemukan basis yang menyatukan keduanya, dikotomi yang mereka lakukan hanyalah sekedar penjenisan bukan pemisahan apalagi penolakan validitas yang satu terhadap yang lain sebagai bidang atau disiplin ilmu yang sah. Sekalipun al-Ghazali lebih condong pada ilmu-ilmu agama dengan menganggapnya fardhu ain bagi setiap Muslim untuk menuntutnya, dibandingkan dengan ilmu-ilmu umum, yang menurutnya fardhu kifayah untuk menuntutnya, paling tidak dia menganggap fardhu untuk menuntut kedua kelompok ilmu tersebut, yang sekaligus merupakan pengakuan terhadap validitas ilmu-ilmu umum tersebut sebagai ilmu atau sains. Bahkan untuk cabang-cabang ilmu umum tertentu, seperti logika dan matematika, dia menganjurkan agar umat Islam mempelajarinya dengan seksama. Al-Ghazali lebih lanjut mengatakan dalam kitab Ihya’, “Akal memerlukan Syara’ dan Syara’ membutuhkan akal. Orang yang mengajak kepada taklid murni dengan mengesampingkan akal secara total adalah bodoh. Dan orang yang mencukupkan hanya dengan akal, tidak melihat cahaya al-Qur’an dan Al-Sunnah, dia adalah orang yang tertipu. Hati-hatilah jangan sampai anda menjadi salah 16 Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam…, h.169 17 Al-Taftazani,Abu al-Wafa, Sufi Dari Zaman Ke Zaman…, h. 92. 18 Kartanegara, Mulaydhi, Integrasi Ilmu, Bandung, Mizan, 2005, h. 45