kebenaran tunggal, namun tidak mungkin diketahui secara tuntas oleh manusia sebab realitas metafisis-ontologis selalu berada di
luar jangkauan manusia. Oleh karena-nya semua agama pasti hadir menyapa manusia dengan bantuan medium sejarah dan kultur.
Dengan demikian pluralitas pemahaman agama merupakan keniscayaan teologis, psikologis, dan historis. Ini tidak berarti kita
lalu menutup mata dari kemung-kinan terjadinya penyimpangan dan pendangkalan ajaran agama yang agung itu. Hanya saja secara
apriori semua manusia sesungguhnya ingin berpartisipasi memperoleh cahaya kebenaran dan jalan keselamatan yang
ditawarkan oleh semua agama. Bahwa sejauh mana seseorang bisa mengenal dan memperoleh jalan keselamatan, secara teologis bisa
saja diduga-duga. Namun begitu sehebat-hebatnya teologi tetap tidak mampu memastikan tingkat kedekatan seorang hamba dengan
Tuhannya serta tidak mampu menyajikan laporan yang valid tentang apakah seseorang tengah menapaki ataukah menjauhi jalan
keselamatan. Pada akhirnya, kebenaran iman dan jalan keselamatan
merupakan obyek dan komitmen nurani dan akal sehat yang selalu didekati dan dipahami secara terus-menerus, bukannya sebuah
situasi yang mapan, tuntas dan selesai
73
.
4. Partikular dan Universal
Hakikat agama itu satu, tetapi karena agama muncul dalam ruang dan waktu secara tidak simultan, maka pluralitas dan
partikularitas bentuk dan bahasa agama tidak bisa dielakkan dalam realitas sejarah. Dengan ungkapan lain, pesan kebenaran yang
Absolut itu berpartisipasi dan bersimbiose dalam dialektika sejarah. Maka setiap bentuk dan bahasa keagamaan juga mengandung
muatan nilai-nilai budaya dari sebuah komunitas dan pada waktu
73
Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, agama Masa Depan, Perspektif Filsafat perennial…, h.
yang sama bahasa dan nilai agama yang terwadahi dalam lembaga budaya tertentu tersebut pada gilirannya akan melahirkan
pengelompokan ideologis
74
. Esoterisme, secara intrinsik bersifat universal dan karenanya sangat
terbuka, meniscayakan pluralitas eksistensi agama. Pluralitas eksistensi agama, yang kita sebut kemudian sebagai eksoterisme agama, karenanya
tidaklah serta merta dianggap sebagai suatu kesesatan yang terkutuk, melainkan sebagiannya merupakan keharusan penjelmaan historis dari
esensi agama yang bersifat esoterik. Kebenaran abadi yang universal akan selalu ditemukan pada setiap agama, walaupun masing-masing tradisi
agama memiliki bahasa dan bungkusnya yang berbeda-beda. Karena perbedaan bungkus inilah maka kesulitan, kesalah-
pahaman dan perselisihan antar pemeluk agama seringkali muncul ke permukaan
75
. Setiap fenomena keagamaan adalah fenomena karakter
agama itu sendiri, dan tidak bisa direduksi ke dalam kategori lain karena berbagai variable dan alasan kemunculannya juga spesifik.
Kita bisa saja membuat analogi dan mengambil beberapa pelajaran dan pesan dasar dari agama-agama yang pernah ada, tetapi pada
dimensi eksoteriknya setiap penampakkan adalah khas, unik, yang memantulkan cahaya realitas arketip dari tradisi primordial dalam
pengertian metafisis yang sejalan dengan bentangan sejarahnya
76
. Dari partikularitas menuju universalitas adalah pendekatan
yang mencurahkan perhatian pada agama dalam realitas trans- historis dan metafisis filsafat perennial, Namun demikian—perlu
ditegaskan kembali—walaupun sasaran kajian filsafat perennial adalah persoalan-persoalan metafisika, tidak berarti persoalan
74
Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, agama Masa Depan, Perspektif Filsafat perennial…, h.6
75
Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, agama Masa Depan, Perspektif Filsafat perennial…, h.69-70
76
Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, agama Masa Depan, Perspektif Filsafat perennial…,
h.14
bentuk agama-agama diabaikan
77
. Dalam hal ini, yang perlu .dikritik bukannya adanya eksoterisme itu sendiri, melainkan
otokrasi dan berbagai ekses negatifnya yang merasuki seluruh bidang kehidupan, sehingga menimbulkan keyakinan hanya
pahamnyalah yang paling benar.
5. Monoteisme Ibrahim
ﻦﺴﺣﹶﺃ ﻦﻣﻭ ﻢﻴﻫﺍﺮﺑﹺﺇ ﹶﺔﱠﻠﻣ ﻊﺒﺗﺍﻭ ُﻦِﺴﺤﻣ ﻮﻫﻭ ِﷲ ﻪﻬﺟﻭ ﻢﹶﻠﺳﹶﺃ ﻦﻤﻣ ﺎﻨﻳﺩ
ﹰﻼﻴﻠﺧ ﻢﻴﻫﺍﺮﺑﹺﺇ ُﷲﺍ ﹶﺬﺨﺗﺍﻭ ﺎﹰﻔﻴﹺﻨﺣ ﺀﺎﺴﻨﻟﺍ
:
١٢٥
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang
diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi
kesayanganNya”. QS. An-Nisaa 4:125
78
ﹶﻛ ﻰﹶﻟﹺﺇ ﺍﻮﹶﻟﺎﻌﺗ ﹺﺏﺎﺘﻜﹾﻟﺍ ﹶﻞﻫﹶﺃﺎﻳ ﹾﻞﹸﻗ ﹶﻻﻭ َﷲﺍ ﱠﻻﹺﺇ ﺪﺒﻌﻧ ﱠﻻﹶﺃ ﻢﹸﻜﻨﻴﺑﻭ ﺎﻨﻨﻴﺑ ٍﺀﺁﻮﺳ ﺔﻤﻠ
ﺍﻮﹸﻟﻮﹸﻘﹶﻓ ﺍﻮﱠﻟﻮﺗ ﻥﹺﺈﹶﻓ ِﷲﺍ ﻥﻭﺩ ﻦﻣ ﺎﺑﺎﺑﺭﹶﺃ ﺎﻀﻌﺑ ﺎﻨﻀﻌﺑ ﹶﺬﺨﺘﻳ ﹶﻻﻭ ﺎﹰﺌﻴﺷ ﻪﹺﺑ ﻙﹺﺮﺸﻧ
ﹶﻥﻮﻤﻠﺴﻣ ﺎﻧﹶﺄﹺﺑ ﺍﻭﺪﻬﺷﺍ ﻥﺍﺮﻤﻋ ﻝﺍ
: ٦٤
Katakanlah:Hai Ahli Kitab, marilah berpegang kepada suatu kalimat ketetapan yang tidak ada perselisihan antara
kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak
pula sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Ilah selain Allah.Jika mereka berpaling maka katakanlah
kepada mereka:Saksikanlah, bahwa kami adalah orang- orang yang berserah diri kepada Allah. QS. Ali Imran
3:64
79
77
Proses pelembagaan perilaku keagamaan jelas diperlukan antara lain berfungsi untuk mengawetkan ajaran agama dan juga berfungsi bagi pembentukkan karakter pemeluknya dalam
rangka membangun masyarakat ideal menurut pesan dasar agama. Tetapi ketika tradisi agama secara sosiologis mengalami reifikasi atau pengentalan, maka bisa jadi spirit agama yang paling
hanif
7
lalu terkubur oleh simbol-simbol yang diciptakan dan dibakukan oleh para pemeluk agama itu sendiri. Pada tarap ini sangat mungkin orang lalu tergelincir menganut dan meyakini agama
yang mereka buat sendiri, bukan lagi agama yang asli, meskipun yang bersangkutan tidak menyadari. Lihat : Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, agama Masa Depan,
Perspektif Filsafat perennial…, h.6
78
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.142
79
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.86