Integrasi Fiqh Syariat dengan Tasawuf Hakikat Konsep al-Ghazali

bawah derajatnya. Dengan anggapan punya nilai lebih atau dikhawaskan ini tentu sulit diikat oleh aturan-aturan syari’at secara ketat 16 . Menyinggung perbedaan ilmu fiqh dengan ilmu tasawuf, Ibnu Khaldun berkomentar sebagai berikut: “Ilmu agama itu menjadi dua bagian, yang satu berkaitan dengan fuqaha dan para pemberi fatwa, yaitu mengenai hukum-hukum ibadah yang umum, adat istiadat, ataupun niaga. Dan satunya lagi berkaitan dengan kelompok maksudnya, para sufi yang melakukan latihan ruhaniah, introspeksi diri, memperbincangkan rasa dan intuisi yang ditempuh dalam perjalanannya, dan cara peningkatan diri dari satu rasa ke rasa yang lain, atau pun menerapkan terminologi-terminologi yang berkaitan dengan hal itu semua.” 17 Al-Ghazali sendiri dalam kitabnya, Ihya’ Ulum al- Din, menyebutkan kedua jenis ilmu ini sebagai ‘ilm syar’iyyah dan ghair syar’iyyah 18 namun karena mereka menggunakan konsep ilmu yang integral dan menemukan basis yang menyatukan keduanya, dikotomi yang mereka lakukan hanyalah sekedar penjenisan bukan pemisahan apalagi penolakan validitas yang satu terhadap yang lain sebagai bidang atau disiplin ilmu yang sah. Sekalipun al-Ghazali lebih condong pada ilmu-ilmu agama dengan menganggapnya fardhu ain bagi setiap Muslim untuk menuntutnya, dibandingkan dengan ilmu-ilmu umum, yang menurutnya fardhu kifayah untuk menuntutnya, paling tidak dia menganggap fardhu untuk menuntut kedua kelompok ilmu tersebut, yang sekaligus merupakan pengakuan terhadap validitas ilmu-ilmu umum tersebut sebagai ilmu atau sains. Bahkan untuk cabang-cabang ilmu umum tertentu, seperti logika dan matematika, dia menganjurkan agar umat Islam mempelajarinya dengan seksama. Al-Ghazali lebih lanjut mengatakan dalam kitab Ihya’, “Akal memerlukan Syara’ dan Syara’ membutuhkan akal. Orang yang mengajak kepada taklid murni dengan mengesampingkan akal secara total adalah bodoh. Dan orang yang mencukupkan hanya dengan akal, tidak melihat cahaya al-Qur’an dan Al-Sunnah, dia adalah orang yang tertipu. Hati-hatilah jangan sampai anda menjadi salah 16 Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam…, h.169 17 Al-Taftazani,Abu al-Wafa, Sufi Dari Zaman Ke Zaman…, h. 92. 18 Kartanegara, Mulaydhi, Integrasi Ilmu, Bandung, Mizan, 2005, h. 45 satu dari keduanya. Jadilah orang yang mampu menyatukan akal dan syara’, yang menjadi sumber dasar. Sebab ilmu-ilmu aqliyah bagaikan makanan, sedang ilmu syara’ bagaikan obat-obatannya. Sebagian orang mengira bahwa ilmu-ilmu aqliyah itu bertentangan dengan ilmu-ilmu syar’iyah dan keduanya tidak dapat dipadukan. Ketahuilah, dugaan semacam itu adalah dugaan orang yang buta hatinya, bahkan bisa jadi orang tersebut menganggap bahwa sebagian ilmu syari’ah bertentangan dengan ilmu syariah yang lain, sehingga keduanya tidak dapat dipadukan, lantas dia menyangka bahwa terdapat pertentangan dalam agama yang membuatnya bingung dan akhirnya keluar dari agama sebagaimana keluarnya bulurambut dari adonantepung yang dicampur dengan air. Kami mohon perlindungan kepada Allah dari perilaku seperti itu.” 19 Sejak masa itu dan masa-masa selanjutnya, para sufi mulai mengemukakan terminologi-terminologi khusus tentang ilmu mereka. Al- Thusi dalam karyanya, al-Luma’, mengomentari perbedaan ilmu lahir dan ilmu batin atau antara ilmu riwayah dan dirayah, sebagai berikut: “Syari’at adalah suatu ilmu. Dan itu adalah suatu nama yang mengandung dua pengertian: riwayah dan dirayah. Jika keduanya terhimpun, maka jadinya adalah ilmu syari’at yang menyerukan amal-amal lahir dan batin. Amalan- amalan lahir, sebagai amal-amal tubuh luar, terkadang merupakan ibadah dan terkadang merupakan hukum. Bersuci, shalat, zakat dan lainnya adalah ibadah. Bahkan hukum, misalkan pidana, thalaq dan lain-lain, dikaitkan pada tubuh luar. Sementara amal-amal batin, sebagai amal kalbu, adalah mengenai tingkatan dan keadaan, misalkan iman, yakin, jujur, ikhlas, dan lain sebagainya. Jika disebut ilmu batin, maksudnya ialah ilmu tentang amal-amal batin yang berkaitan dengan anggota tubuh dalam, yaitu kalbu. Sebaliknya jika disebut ilmu lahir, maksudnya ialah ilmu tentang amal-amal lahir yang berkaitan dengan anggota tubuh luar.” 20 19 Al-Ghazali, Ihya’Ulum al-Din…, h. 16-17. 20 Al-Taftazani, Abu al-Wafa, Sufi Dari Zaman Ke Zaman…, h. 92. Dengan uraian al-Thusi di atas tampak jelas bahwa para sufi, dalam menyebut ilmunya dengan ilmu batin atau dirayah ataupun sebutan lain yang serupa, membedakan adanya dua ilmu: ilmu teoritis, yang berkaitan dengan hukum, serta ilmu yang membahas cara-cara merealisasikan hukum-hukum tersebut, baik dalam kalbu ataupun dalam tingkah laku. Yang pertama ialah fiqh atau lahir, sementara yang kedua adalah tasawuf atau batin. Namun keduanya tetap dalam bingkai syari’ah sebagai sebuah ilmu. Tegasnya, tasawuf –seperti juga halnya fiqh- merupakan bagian belaka dari syari’ah. Antara keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat, tak terpisahkan, dan saling membutuhkan, karena keduanya tetap berada pada frame syari’ah, sebagai sebuah narasi besar dalam Islam. Pembedaan kedua ilmu itu tentu saja relatif. Pada hakikat dan kenyataannya, kedua ilmu tersebut tidaklah berbeda. Sebab yang satunya ilmu batin adalah buah dari yang lainnya ilmu lahir. Ketika seorang hamba Allah secara sempurna melaksanakan hukum- hukum agamanya, di mana kalbunya menghadap Allah serta menempuh jalan lurus dalam perjalanannya, secara otomatis dia meraih ilmu batin. Dan pada statemen al-Ghazali di atas nampak jelas bahwa kedudukan akal yang menjadi salah satu komponen utama dalam menggali dan memproduk hukum syara’:fiqh tidak kalah pentingnya dengan syara’. Bahkan orang yang menyangka bahwa terdapat pertentangan antara sebagian ilmu aqliyah dengan ilmu syara’ atau justru ilmu syara’ dengan ilmu syara’ yang lainnya adalah keliru. Mengesampingkan totalitas akal dan bersandar hanya dengan al-Qur’an dan Sunnah adalah kebodohan, sementara mencukupkan akal tanpa landasan al-Qur’an dan Sunnah adalah orang yang tertipu dan bisa menyebabkan keluar dari agama ini. 21 21 Penulis mengutip dan memaparkan pendapat al-Ghazali di atas dalam kaitannya dengan masalah integralitas ilmu, karena; fiqh tergolong ilmu syar’iyah melalui pendekatan ijtihad rasio dan berarti juga tergolong ilmu aqliyah dilihat dari sisi penggunaannya, sedang tasawuf tergolong ilmu syar’iyah namun lebih cenderung melalui pendekatan intuitif. Terlihat jelas bahwa kedua disiplin ilmu ini terintegrasi dalam prinsip dan sumber dan tujuan utama, yaitu Allah, atau sebagaimana pendapat yang diutarakan oleh Mulyadhi Kartanegara yaitu Tauhid. Konsep tauhid tentu saja diambil dari formula konvensional Islam “La Ilaha Illallah” yang artinya “tidak ada tuhan melainkan Allah” yang juga telah menjadi prinsip yang paling utama sehingga ia juga telah menjadi asa pemersatu atau dasar integrasi ilmu pengetahuan manusia. 22

C. Islam dan Tinjauan Kritis Pluralisme Agama

1. Pluralisme dalam masyarakat Islam

Jika kita ingin mempertegas lahirnya pluralisme dalam masyarakat Islam, maka prinsip pertama yang mendukung pluralisme dalam masyarakat Islam adalah bahwa pluralisme itu sendiri merupakan kebebasan. Bahwa Islam sama sekali tidak bertentangan dengan kebebasan berfikir, sebagai dasar pluralisme, dan pluralism sebagai manifestasi dari kebebasan berfikir. Pengertian keesaan Allah tauhid berarti meniscayakan pluralitas selain Dia dan kebebasan adalah suatu yang sangat diterima oleh bahasa agama. Karena kebebasan merupakan prinsip dasar, dan segala sesuatu pada dasarnya berhukum boleh, hingga ada nash al-Quran yang mengharamkannya. Apalagi kita menyadari bahwa Hikmah merupakan salah satu sumber kebijakan dalam Islam. Dengan Hikmah, manusia akan terhindar dari fanatisme, ketertutupan dan membatasi diri hanya pada apa yang didalam kitab. Nash yang mempertegas masalah ini ada dalam al-Quran itu sendiri 23 Kebebasan berfikir dan berkeyakinan didalam Islam tidak pernah dibatasi, kecuali jika kebebasan itu menciptakan kondisi negatif dan melahirkan bencana ditengah masyarakat. Seperti memperlakukan kebebasan sebagai kesempatan untuk mencaci dan menghina orang lain. Adapun kebebasan yang didasarkan pada logika dan argumentasi, maka 22 Kartanegara, Mulaydhi, Integrasi Ilmu…, h.32 23 Gamal al-Banna, Doktrin Pluralisme dalam Al-Quran, terj. Al-Ta’aduddiyyah fi al- Mujtama’ al-Islamiy, |Jakarta : Menara, 2006, h.107 tidak boleh dibatasi sama sekali. Sedang kebebasan dalam aktivitas ekonomi dan politik, maka batasannya hanya satu, yaitu keadilan. keadilan inilah yang menjadi batas bagi setiap kegiatan ekonomi dan politik, agar kebebasan itu tidak berubah menjadi kekuatan yang menindas dan mengekang rakyat 24 Selama dasar dari pluralisme adalah kebebasan, maka pluralisme yang ada didalam masyarakat Islam tidak berbeda dengan pluralisme yang ada pada masyarakat lainnya. Perbedaan hanya ada pada derajat dan kadar pluralisme itu, bukan pada bentuk dan caranya. Iman kepada nilai- nilai Islam yang tertanam dengan kuat akan menghalangi lahirnya kondisi yang tak terkendali dan penyimpangan yang kini menodai penerapan pluralisme dalam sebagian masyarakat Eropa dewasa ini. masyarakat Islam, walau ia bagian dari masyarakat manusia yang tunduk dibawah hulum-hukum obyektif, namun ia memiliki karakter khusus yang membedakannya dari masyarakat lainnya. Ini bila masyarakat Islam tidak kehilangan karakternya itu 25 .

2. Pluralisme Agama dalam Al-Quran

Al-qur’an sebagai sumber normatif bagi satu teologi inklusif- pluralis. Bagi kaum muslimin, tidak ada teks lain yang mempunyai posisi otoritas mutlak dan tak terbantahkan selain al-qur’an. Maka, al-qur’an merupakan kunci untuk menemukan dan memahami konsep pluralisme agama dalam al-qur’an. Secara normatif-doktrinal, al-qur’an dengan tegas menyangkal dan menolak sikap eksklusif dan tuntutan truth claim klaim kebenaran secara sepihak yang berlebihan, seperti biasa melekat pada diri penganut agama-agama, termasuk para penganut agama Islam. Munculnya klaim kebenaran sepihak itu pada gilirannya akan membawa kepada konflik dan pertentangan yang menurut Abdurrahman Wahid, merupakan akibat dari proses pendangkalan agama, dan ketidak mampuan penganut agama 24 Gamal al-Banna, Doktrin Pluralisme dalam Al-Quran…, h.107-108 25 Gamal al-Banna, Doktrin Pluralisme dalam Al-Quran…, h.109 dalam memahami serta menghayati nilai dan ajaran agama yang hakiki. Al-qur’an berulangkali mengakui adanya manusia-manusia yang saleh di dalam kaum-kaum tersebut, yaitu Yahudi, Kristen, dan Shabi’in seperti pengakuannya terhadap adanya manusia-manusia yang beriman di dalam Islam. Ibnu ‘Arabi salah seorang Sufi kenamaan mengatakan, bahwa setiap agama wahyu adalah sebuah jalan menuju Allah, dan jalan-jalan tersebut berbeda-beda. Karena penyingkapan diri harus berbeda-beda, semata-mata anugrah Tuhan yang juga berbeda. Jalan bisa saja berbeda- beda tetapi tujuan harus tetap sama, yaitu sama-sama menuju kepada satu titik yang sama yakni Allah swt. Pengakuan terhadap pluralisme atau keragaman agama dalam al- qur’an, banyak ditemukan dalam terminologi yang merujuk kepada komunitas agama yang berbeda seperti ahl al-kitab utu al-Kitab, utu nashiban min al-Kitab, ataytum al-Kitab, al-ladzina Hadu, al-nashara, al-Shabi’in, al-majusi dan yang lainnya. Al-qur’an disamping membenarkan, mengakui keberadaan, eksistensi agama-agama lain, juga memberikan kebebasan untuk menjalankan ajaran agamanya masing- masing. Ini adalah sebuah konsep yang secara sosiologis dan kultural menghargai keragaman, tetapi sekaligus secara teologis mempersatukan keragaman tersebut dalam satu umat yang memiliki kitab suci Ilahi. memang pada dasarnya tiga agama samawi yaitu Yahudi, Kristen dan Islam adalah bersudara, masih terikat hubungan kekeluargaan yaitu sama-sama berasal dari nabi Ibrahim as. Kita tahu bahwa salah satu pokok keimanan dalam Islam ialah percaya kepada para nabi dan rasul. Al-Quran menyebutkan bahwa Allah telah mengirimkan nabi dan rasul untuk setiap golongan umat manusia. Sebagaimana ayat yang tertera diatas. Nabi Muhammad saw pernah menjelaskan dalam hadis yang diriwayatkan olah Ahmad, bahwa berkata kepada abu dzar bahwa jumlah keseluruhan nabi dimuka bumi sepanjang masa ada 124.000 orang dan dari kalangan mereka itu 315 adalah rasul 26 . Para nabi dan rasul itu diutus dengan bahasa kaumnya masing- masing QS. 14 : 4 27 , namun semuanya dengan tujuan yang sama yakni mengajak umat manusia untuk menempuh jalan kebenaran, dengan inti pengakuan adanya Tuhan Yang Maha Esa dan kewajiban manusia untuk menghambakan diri kepada-Nya QS. 21 :25 28 . Selain ajaran tauhid mengesakan Tuhan, para rasul juga menyerukan perlawanan kepada thagut yakni kekuasaankekuatan jahat dan zalim QS. 16 :36 29 . Kaum beriman harus mempercayai nabi dan rasul tersebut tanpa membeda-bedakan seseorangpun diantara mereka dengan sikap berserah diri karena para nabi dan rasul adalah orang-orang yang berserah diri kepada Tuhan QS. 2:136 dan QS. 3:84 30 26 Jumlah tersebut adalah para nabi sejak nabi Adam as. Sampai kepada nabi Muhammad saw. Sebagian dari mereka ada yang tersebutkan nama dan kisahnya didalam al-Quran, tetapi sebagian besar tidak dikisahkan dalam al-Quran. Sebagian dari mereka yang dikisahkan al- Quran adalah para rasul atau tokoh-tokoh taurat dan Injil, dan dapat dikatakan semuanya itu yang dikisahkan al-Quran berasal dari bangsa semit. Lihat … : Nurcholis Madjid, et,al, Fiqih Lintas Agama : Membangun Masyarakat Inklusif Pluralis, Jakarta : Paramadina, 2004, Cet.5, h. 18-19 27 QS. 14 : 4 : Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petinjuk kepada siapa yang Dia kehendaki.Dan Dia-lah Rabb Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana. Departemen Agama RI, Al- Qur’an dan terjemahnya..., h.379 28 QS. 21 :25 : Dan Kami tidak mengutus seorang rasul sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya:Bahwasanya tidak ada Ilahyang hak melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.498 29 QS. 16 :36 : Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat untuk menyerukan:Sembahlah Allah saja, dan jauhilah Thagut itu, maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya.Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan rasul-rasul. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.407 30 QS. 2:136 : Katakanlah hai orang-orang mumin:Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Yakub dan anak cucunya, dan apa yang telah diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Rabb-nya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.35 QS. 3:84 : Katakanlah:Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Yaqub, dan anak- anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, Isa dan para nabi dari Rabb mereka. Kami tidak