Epistemologi Pluralisme Agama John Hick
Menurut Hick pluralisme agama mengimplikasikan pengakuan terhadap fondasi bersama bagi seluruh varitas pencarian agama dan
konvergensi agama-agama dunia. Bagi sebagian lainnya pluralisme agama mengimplikasikan saling menghargai diantara berbagai
pandangan dunia world view dan mengikuti sepenuhnya perbedaan tersebut. Jika yang pertama menekankan kebebasan beragama
individu, maka yang kedua menekankan pengakuan atas denominasi sebagai pemberi jawaban khas
78
. Landasan epistemologi yang sangat kuat mempengaruhi
pluralisme agama datang dari pemikiran Immanuel Kant 1724-1804 M, seorang pemikir dan filosof berkebangsaan Jerman. Inti pemikiran
Kant yang digunakan dalam pluralisme agama adalah pemisahan nomen dengan phenomen dalam dimensi membedakan antara makrifat
agama dengan substansi agama. Dengan kata lain terdapat jurang pemisah yang dalam antara pengetahuan agama dan realitas agama.
Pandangan ini kemudian menyebabkan pemisahan agama dengan pengetahuan agama, serta menafikan parameter kebenaran dan
kesalahan dari proposisi-proposisi agama
79
. John Hick, dengan menggunakan pemisahan nomen dengan
phenomen dalam maktab Kant, pada awalnya mengisyaratkan kepada wajah Tuhan yang sama dalam berbagai syariat agama. Dengan
mengambil ilham dari pemisahan nomen dengan phenomen Kant, Hick kemudian membedakan antara Tuhan, “ maqam lâ isma dan
rasm” maqam tak dikenal dan tak terdeskripsi, Tuhan dalam nisbahnya dengan kita, dan mengambil manifestasi Haq dalam
mazhar-mazhar yang beragam sebagai rahasia perbedaan agama- agama dan sekaligus sebagai dalil kebenaran semua agama-agama.
Dia menyatakan, agama-agama ini mungkin merupakan manifestasi,
78
Tonang, Dialog Antar Umat Beragama, dalam Jurnal FARABI, Volume 3, Jakarta : 2007, h.95
79
Ruhullah Syams, Landasan Epistemologi dan Teologi Pluralisme Agama, dari www.al- Shia.com, didownload pada tgl 03 Agustus 2010
wajah, gambaran, dan tajalli satu Tuhan, mungkin merupakan sisi-sisi dan jalan-jalan yang berbeda-beda, di mana Tuhan menampakkan diri-
Nya kepada manusia. Baik itu Yehova Yahudi, Allah Islam, dan Tuhan Langit kaum Nasrani, masing-masing merupakan adalah
pribadi ketuhanan dalam kesejarahan, yang pada hakikatnya merupakan hasil yang sama dari manifestasi universal Ilahi dan
campur tangan kekuatan konsepsi manusia dalam syarat-syarat khusus kesejarahan
80
John Hick, dalam salah satu bukunya khusus membahas masalah pluralisme agama. Ia mengatakan bahwa semua itu
gambaran beragam dari pengetahuan dan kesadaran agama mengambil bentuk dikarenakan kehadiran realitas hakikat Ilahi,
kehadiran seluruh sisi yang berasaskan kumpulan yang beragam dari definisi, konsepsi, dan struktur makna keagamaan yang berpengaruh
dalam internal tradisi-tradisi kegamaan yang beragam, yang masuk dalam kesadaran dan pengetahuan kita
81
Apa yang menjadi sandaran penegasan dalam hal ini adalah membedakan antara sesuatu sebagaimana dia adanya hakikatnya dan
sesuatu sebagaimana dia memanifestasi zuhurnya, di mana ia berperan dalam membentuk landasan epistemologi agama yang
melahirkan teori pemisahan pengetahuan keagamaan dari dzat agama. Dan ini adalah suatu bentuk relativisme dalam makrifat keagamaan
tanpa pengingkaran terhadap keberadaan substansi agama. Berdasarkan teori Kant bahwa sesuatu sebagaimana hakikatnya
bukanlah sesuatu itu di sisi kita, karena itu realitas dan hakikat sesuatu yang tak terjamah tidak akan pernah sampai ke tangan kita, sebab ia
tidak terjangkau oleh kemampuan persepsi kita. Akan tetapi apa yang
80
Ruhullah Syams, Landasan Epistemologi dan Teologi Pluralisme Agama, dari www.al- Shia.com
81
Ruhullah Syams, Landasan Epistemologi dan Teologi Pluralisme Agama, dari www.al- Shia.com,
kita persepsi di dalam sistem persepsi adalah sejumlah lokus-lokus yang ada sebelumnya dan telah terwarnai, karena itu manusia tidak
pernah sampai kepada realitas sebagaimana ia adanya. Hukum dan kaidah ini pasti berlaku juga bagi para nabi.
Mereka dalam menjelaskan syuhud dan mukasyafahnya tentang wujud mutlak terpengaruh oleh faktor-faktor tertentu dan ini memestikan
terjadinya perbedaan hasil mukasyafah di antara mereka satu sama lain. Dan dari jalan inilah muncul kejamakan agama, di mana pakaian
hak dan batil tidak terkenakan pada salah satu pun dari mereka; sebab setiap
dari mereka
mengungkapkan penemuan
dan hasil
mukasyafahnya dalam maqam pengalaman keagamaan. John Hick, berkata dalam hal ini: Immanuel Kant tanpa punya
maksud melakukan ini telah menyediakan kerangka filosofis, yang mana asumsi seperti ini dapat mendapatkan pengembangan dan
kesempurnaan. Dia membedakan antara alam sebagaimana dia fii nafsihi hakikatnya dan alam sebagaimana zahir atas pengetahuan
dan kesadaran manusia zuhurnya
82