bentuk agama-agama diabaikan
77
. Dalam hal ini, yang perlu .dikritik bukannya adanya eksoterisme itu sendiri, melainkan
otokrasi dan berbagai ekses negatifnya yang merasuki seluruh bidang kehidupan, sehingga menimbulkan keyakinan hanya
pahamnyalah yang paling benar.
5. Monoteisme Ibrahim
ﻦﺴﺣﹶﺃ ﻦﻣﻭ ﻢﻴﻫﺍﺮﺑﹺﺇ ﹶﺔﱠﻠﻣ ﻊﺒﺗﺍﻭ ُﻦِﺴﺤﻣ ﻮﻫﻭ ِﷲ ﻪﻬﺟﻭ ﻢﹶﻠﺳﹶﺃ ﻦﻤﻣ ﺎﻨﻳﺩ
ﹰﻼﻴﻠﺧ ﻢﻴﻫﺍﺮﺑﹺﺇ ُﷲﺍ ﹶﺬﺨﺗﺍﻭ ﺎﹰﻔﻴﹺﻨﺣ ﺀﺎﺴﻨﻟﺍ
:
١٢٥
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang
diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi
kesayanganNya”. QS. An-Nisaa 4:125
78
ﹶﻛ ﻰﹶﻟﹺﺇ ﺍﻮﹶﻟﺎﻌﺗ ﹺﺏﺎﺘﻜﹾﻟﺍ ﹶﻞﻫﹶﺃﺎﻳ ﹾﻞﹸﻗ ﹶﻻﻭ َﷲﺍ ﱠﻻﹺﺇ ﺪﺒﻌﻧ ﱠﻻﹶﺃ ﻢﹸﻜﻨﻴﺑﻭ ﺎﻨﻨﻴﺑ ٍﺀﺁﻮﺳ ﺔﻤﻠ
ﺍﻮﹸﻟﻮﹸﻘﹶﻓ ﺍﻮﱠﻟﻮﺗ ﻥﹺﺈﹶﻓ ِﷲﺍ ﻥﻭﺩ ﻦﻣ ﺎﺑﺎﺑﺭﹶﺃ ﺎﻀﻌﺑ ﺎﻨﻀﻌﺑ ﹶﺬﺨﺘﻳ ﹶﻻﻭ ﺎﹰﺌﻴﺷ ﻪﹺﺑ ﻙﹺﺮﺸﻧ
ﹶﻥﻮﻤﻠﺴﻣ ﺎﻧﹶﺄﹺﺑ ﺍﻭﺪﻬﺷﺍ ﻥﺍﺮﻤﻋ ﻝﺍ
: ٦٤
Katakanlah:Hai Ahli Kitab, marilah berpegang kepada suatu kalimat ketetapan yang tidak ada perselisihan antara
kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak
pula sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Ilah selain Allah.Jika mereka berpaling maka katakanlah
kepada mereka:Saksikanlah, bahwa kami adalah orang- orang yang berserah diri kepada Allah. QS. Ali Imran
3:64
79
77
Proses pelembagaan perilaku keagamaan jelas diperlukan antara lain berfungsi untuk mengawetkan ajaran agama dan juga berfungsi bagi pembentukkan karakter pemeluknya dalam
rangka membangun masyarakat ideal menurut pesan dasar agama. Tetapi ketika tradisi agama secara sosiologis mengalami reifikasi atau pengentalan, maka bisa jadi spirit agama yang paling
hanif
7
lalu terkubur oleh simbol-simbol yang diciptakan dan dibakukan oleh para pemeluk agama itu sendiri. Pada tarap ini sangat mungkin orang lalu tergelincir menganut dan meyakini agama
yang mereka buat sendiri, bukan lagi agama yang asli, meskipun yang bersangkutan tidak menyadari. Lihat : Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, agama Masa Depan,
Perspektif Filsafat perennial…, h.6
78
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.142
79
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.86
Kita akan
membahas secara
menyeluruh masalah
homogenitas rohani dan siklus perkembangan agama monoteisme yang mencakup Yahudi, Kristen dan Islam, yang pada hakikatnya
didasarkan pada konsepsi dogmatis tentang keesaan Ilahi. Jika kita katakan bahwa konsepsi ini bersifat dogmatis, pernyataan itu
bermaksud menunjukkan konsepsi tadi disertai sikap yang menolak pandangan lain. Tanpa sikap tersebut, yang merupakan pembenaran
bagi semua dogma, tidak mungkin ada penerapan eksoteris. Dari segi berbagai bentuk konsepsi itu saling bertentangan,
namun dari segi ajaran metafisik atau kerohanian murni, rumusan- rumusan yang kelihatannya saling bertentangan sebenarnya tidak
dapat dipisahkan satu sama lain atau saling terkait. Agama monoteistis pada mulanya merupakan agama orang
semit, yang berasal dari Ibrahim, berkembang lebih lanjut menjadi dua cabang, yakni keturunan Ishak dan keturunan Ismail
80
. Baru pada zaman Musa monoteisme ini mengambil bentuk Yahudi. Pada
saat agama Ibrahim mulai luntur dikalangan keturunan nabi Ismail, Musa lah yang terpanggil mengembangkan monoteisme tersebut.
Musa menghubungkan monoteisme dengan bangsa Israel, yang karena itu ia menjadi pelindungnya. Tetapi, betapapun pentingnya
adaptasi tadi yang juga sesuai dengan kehendak Ilahi, tindakan ini juga menyebabkan terjadinya pembatasan dalam bentuk lahiriah,
karena kecenderungan pengkhususan yang ada pada setiap bangsa. Karena itu dapat dikatakan bahwa agama Yahudi mengambil alih
monoteisme dan menjadikannya milik bangsa Israel. Akibatnya sejak saat itu warisan Ibrahim dalam bentuk ini tidak dapat
dipisahkan dari semua adaptasi lebih lanjut dan dari semua
80
Fritjhof Schuon, Mencari Titik Temu Agama-agama, terj. The Trancendent Unity of Religions, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1994, Cet.2, h.104
konsekuensi ritual dan sosial yang terkandung dalam hukum Musa
81
. Akibat tersalur dan terkristalnya monoteisme dalam agama
Yahudi, maka mulai saat itulah monoteisme memiliki ciri historis- eksoteris. Ciri historis agama Yahudi mempunyai konsekuensi
yang sebelumnya tidak ditemukan dalam monoteisme asli, paling kurang bukan dalam bentuk yang sama. Itulah paham messianis,
dan karena itu ia dikaitkan dengan tradisi Musa
82
. Beberpa tinjauan mengenai monoteisme asli beserta adaptasinya yang dilakukan nabi
Musa, penerapannya dalam agama yahudi dan perwujudannya dalam paham mesianis, cukup memungkinkan kita melangkah lebih
jauh guna membahas peranan organis yang dimainkan agama kristen dalam perkembangan monoteisme selanjutnya. Karena itu
dapat dikatakan bahwa pada gilirannya, agama Kristen menyerap semua warisan ajaran monoteisme menjadi peneguh akan messias,
karena agama Kristen adalah buah yang absah dari bentuk agama Yahudi. Karena sang messias harus mewujudkan kehendak Ilahi
yang merupakan sumber monoteisme dalam dirinya sendiri, tentu saja Ia harus mengatasi bentuk yang tidak memungkinkannya
mewujudkan kehendak Ilahi itu sepenuhnya. Telah kita katakan bahwa pribadi messias merupakan
”avataris” menyerap seluruh ajaran monoteistis. Ini berarti kristus bukan hanya akhir agama yahudi yang historis, paling tidak dari
segi dan ukuran tertentu, melainkan juga bahwa pribadi messias adalah dukungan terhadap monoteisme. Tetapi kenyataan historis
yang amat jelas tentang adanya Kristus itu pada gilirannya mengandung konsekuensi terbatasnya bentuk agama tersebut
agama kristen. Hal ini dapat dilihat dalam bentuk agama Yahudi, dimana Israel memainkan peranan yang kemudian berpindah ke
81
Fritjhof Schuon, Mencari Titik Temu Agama-agama…, h.105
82
Fritjhof Schuon, Mencari Titik Temu Agama-agama…, h.106