Wahdat al-adyan dan relevansinya dengan pluralisme Agama

(1)

Skripsi

:

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Pendidikan Islam ( S.Pd.I)

Oleh:

FAJRI KHOIRULLAH

105011000053

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2010


(2)

(3)

(4)

Latar belakang pemilihan judul tersebut adalah karena ketertarikan penulis pada dua konsep pemikiran yang kerap menuai polemik dan kontroversi yakni wahdat al-Adyan dan Pluralisme agama, yang keduanya sama-sama membahas tentang titik temu agama-agama. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan deskripsi yang jelas, sistematis, obyektif, dan komperehensif tentang kedua konsep tersebut, melalui pendekatan sosio-historis dan menganalisis landasan epistemologisnya sehingga dapat diketahui relevansi teologis dan relevansi sosio-humanis yang terkandung pada masing-masing konsep tersebut. Disamping itu, penulis juga menyertai penelitian ini dalam perspektif syariat (fikih), agar diperoleh keseimbangan (proporsionalitas) antara tasawuf, filsafat dan syariat. Metode pembahasan dalam penelitian ini bersifat deskriptif analisis dengan teknik analisis komparasional. Selain itu metode pembahasan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan sosio-historis dan epistemologis yakni Al-Hallaj, Ibn Araby dan John Hick.

Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh adanya relevansi sosiologis-historis berdasarkan tujuannya dalam meminimalisir konflik yang terjadi pada masa dilahirkannya kedua konsep tersebut. Adapun relevansi epistemologisnya, maka kedua konsep ini bertemu pada teori filsafat monisme Plato dan Aristoteles. Monisme adalah keyakinan, bukan hanya bahwa segala yang ada merupakan suatu kesatuan, melainkan pada akhirnya segala-galanya adalah satu, segenap kemajemukan dan perkembangannya adalah kosong (ilusi/maya), eksistensi-eksistensi zahir tersebut merupakan emanasi dari yang satu. Monisme berdasarkan kesadaran filosofis bahwa pada akhirnya realitas harus merupakan kesatuan. Kemudian relevansi teologis keduanya adalah Unity of God yakni segala sesuatu bersumber dan menuju pada Yang Satu yaitu Tuhan, sementara dari sudut pandang eskatologisnya maka agama sebagai jalan yang memberikan keselamatan dan kebahagiaan kelak di akhirat adalah bagi pemeluknya yang tunduk, pasrah, berserah diri, tidak menyekutukan Tuhan dan senantiasa berbuat baik selama hidupnya didunia. Sedangkan relevansi sosio-humanis adalah nilai-nilai etika universal untuk mewujudkan toleransi, demokrasi dan perdamaian.

Dalam konteks keindonesiaan, maka tulisan ini bertujuan untuk menyegarkan ide-ide demokrasi, hak asasi kemanusiaan, dan perdamaian berdasarkan nilai-nilai keislaman, untuk selanjutnya dapat menyadarkan kita tentang pentingnya integritas bangsa kita (Indonesia) yang majemuk / plural. Sedangkan dalam konteks keislaman, hendaknya kita tidak memahami ajaran-ajaran Islam secara parsial dan sebaiknya memandang segala sesuatu dari substansinya ketimbang dari beragam bentuk yang berbeda. Sebagai hamba-Nya yang mencari kebenaran, hendaknya kita kembalikan kebenaran itu kepada Yang Mutlak, Sang Pemilik Kebenaran. Wallahu A’lam.


(5)

Assalamu’alaikum wr.wb.

Puji syukur kehadirat Allah. Pemilik segala pujian, Maha Suci lagi Maha Sempurna, Penggerak Utama segala daya, cipta, rasa dan karsa pada hamba-Nya. Dengan Kehendak, Ilmu dan Cahaya-Nya jualah, penulis mampu menggenapi huruf per huruf, kata per kata, kalimat per kalimat hingga tertunaikannya penulisan ini. Salawat dan salam senantiasa tercurah atas utusan-Nya Muhammad SAW, pembawa risalah dan keselamatan, penyempurna semesta alam, revolusioner teragung untuk setiap kelahiran dan seluruh sejarah kehidupan.

Demi setiap tetes keringat dan air mata, setiap untaian senyum dan doa, segenap harap yang membekali jiwa, maka penulis persembahkan karya ini untuk kedua orangtua tercinta (Ayahanda Sahir dan Ibunda Rokayah), dan kedua adik tersayang (Ridwan Habibullah dan Arsyilah Pangastuti). Semoga Allah merahmati dan senantiasa memberikan yang terbaik untuk mereka.amin.

Tak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang turut membantu selama proses penulisan hingga terselesaikannya skripsi ini, atas segala kesediaan, ketulusan, semangat, motivasi dan inspirasi merekalah penulis dapat terus menumpahkan tinta-tinta pikiran diatas kertas-kertas kewajiban ini. Terima kasih yang sedalam-dalamnya penulis haturkan, karena mereka telah menjadi bagian dari kausalitas dan rotasi jalan kehidupan penulis.

Ucapan terima kasih ini penulis sampaikan kepada :

1. Dekan Fakultas Ilmu Tabiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak. Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A. 2. Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam, Bapak. Bahrissalim M.Pd. 3. Dosen Pembimbing Skripsi, Bapak. Dr. Khalimi, M.Ag.

4. Dosen Penasehat Akademik, Ibu. Sururin, M.Ag.

5. Dosen Pembimbing Praktik Profesi Keguruan Terpadu, Bapak. Abdul Haris M.Ag, dan Ibu. Heny Narendrani Hidayati, M.Pd.


(6)

7. Pe’ Gayung dan istri “Ci’ Embun” (penulis menganggap keduanya seperti kakek dan nenek sendiri, meski keduanya beragama Kong Hu Cu dan Kristen), Panjul dan keluarga (adalah teman penulis semasa SD, dirumahnyalah penulis mengenal kasih sayang dari agama lain, Kristen), Bu’ Beth dan Pa’ Usman (adalah guru penulis semasa SD, mereka adalah keluarga dengan perbedaan agama, Islam dan Kristen. Orangtua penulis memiliki hubungan persahabatan yang erat sehingga penulis sering berkunjung kerumah mereka). Mereka semua menginspirasi penulis untuk mencintai oranglain apapun agamanya, karena dari mereka penulis juga dapat merasakan ketulusan, kedamaian dan kasih sayang.

8. Teman-teman terbaik Sweeter Land; Depi “Tholob” Arisandi, Yudha “Chamielz” Hadi, Roup “Kunyin” Abdul, Somad “Dhuby” Abdul, dan Yusuf “Uchuf” Muhamad. Mereka adalah teman-teman yang selalu ada disegala suasana dalam suka dan duka, khususnya dimeja kehidupan dengan 52 lembar persegi tempat bermula dan berakhir, tanpa akhir sebuah persahabatan.

9. Temen-teman F4 beserta keluarga, Andri Yann Cheng Xu (A-She), Eko Wu Jian Hao (Ei-Chuo) dan Ardi Zhu Xiao Tien (Xi-men), dan “Si Orang Kaya Baru” Hendrik “Idunk” Zhen Qing He.

10.My Senorita Cihuyy Partner, “hum hain rahin pyar ke, phir milenge, chalte...chalte….

11.Teman-teman seperjuangan, Kelas.B PAI angkatan 2005; Dedi, Arul, Fathur, Maman, Syukron, Juned, Bang Aji, Yayan, Away, John, Icad, Ibay, Irul, Akhsay, Tulus, Asep, Ridwan, Rubi, Uchay dan Uci.


(7)

Emin, Kong Cilim, Bapa’ Warjoz dan Emak Kosan. Merekalah yang selama ini menampung penulis.

14.Mimi Sayur Asin, Cici Geboy, Tika Madam Sahara, Bibi Mira Uni,

Nurul uyunk, Neng Sya-sya, Neng Yuni, Neng Rini, Ade’ Putri (Dhessy Anita Dyah Saputri), Laita, Sera, Fisti Resti, Lila dan Ikrimah.

15.Angga Prasetya, Asep Awaludin, Dziky Jauharul Fikri, Ryna Resnawati, Nova Amalia, Hani Nuraida, Ika Satriani, Murysida, dan Nursyidah.

16.Encep “si bontot”, Ipang, Raden Oji, Nk-Cost, Time, Oya, Jecky, Subur, Ade, Samsul, Jaja, Ijar, dan Mahrudin.

17.Tak lupa pula penulis ucapkan terima kasih kepada “Bapak dan Ibu

Warjos” yang menjadi kelas kuliah dari “kampus kehidupan”, tempat berbagi rasa, bertukar pikir, mempelajari tiap gejala kerancuan realita dari dosen-dosen kami yang bernama “alam sekitar”.

Semoga Allah memberi kebaikan bagi mereka didalam agama, di dunia dan akhirat. Amin.

Akhirnya, dengan segala kerendahan hati, penulis meminta maaf atas segala kekurangan, kealfaan dan kekhilafan dalam diri penulis, karena tak ada yang sempurna maka penulis mohonkan kritik dan sarannya. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua. Amin. Wa Allahu al-Mawafiq ila aqwami al-Thoriq.

Wassalamualaikum, wr.wb.

Jakarta, 06 Desember 2010


(8)

LEMBAR PENGESAHAN KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

BAB I. PENDAHULUAN……… 1

A. Latar Belakang Masalah……… 1

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah………… 11

C. Metodologi Penelitian……… 14

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian……… 17

BAB II KONTEKSTUALITAS MAKNA AGAMA……… 18

A. Agama dan Keberagamaan……… 18

B. Agama dan Sikap Keagamaan……… 21

C. Agama dan Gagasan Tentang Tuhan……… 30

D. Agama dan Tauhid……… 38

E. Agama dalam Pendekatan Perspektif Perenial……… 43

F. Kesatuan Transenden Agama-agama……… 44

1. Mono dan Multi……… 47

2. Bentuk dan Substansi……… 50

3. Relatif dan Absolut……… 52

4. Partikular dan Universal……… 54

5. Monoteisme Ibrahim……… 56

6. Makna Al-Islam, Titik Temu Agama-agama Semitik…… 61

BAB III WAHDAT AL-ADYAN DAN PLURALISME AGAMA………… 72

A. Wahdat al-Adyan……… 73

1. Pengertian Wahdat al-Adyan……… 74

2. Sosio-historis Wahdat al-Adyan……… 75

a. Al-Hallaj Pencetus Wahdat al-Adyan……… 76


(9)

B. Pluralisme Agama……… 101

1. Pengertian Pluralisme Agama……… 102

2. Sosio-historis Pluralisme Agama……… 105

3. Epistemologi Pluralisme Agama John Hick……… 110

4. Kutub-kutub Pluralisme Agama, Motif dan Orientasi… 114 BAB IV WAHDAT AL-ADYAN DAN PLURALISME AGAMA DALAM PERSPEKTIF SYARIAT……… 125

A. Korelasi Fikih (Syariat) dan Tasawuf (Hakikat)……… 129

B. Integrasi Fikih (Syariat) dan Tasawuf (Hakikat)……… 133

C. Islam dan Tinjauan Kritis Pluralisme Agama dalam Al-Quran……… 139

a) Pluralisme dalam Masyarakat Islam……… 139

b) Pluralisme Agama dalam Al-Quran……… 140

c) Kesatuan Teologis……… 156

d) Ahlul Kitab……… 165

BAB V WAHDAT AL-ADYAN DAN RELEVANSINYA DENGAN PLURALISME AGAMA……… 171

A. Relevansi Historis……… 171

B. Relevansi Epistemologis……… 172

C. Relevansi Teologis……… 173

D. Relevansi Sosio-humanis……… 175

E. Orientasi Logis……… 177

F. Orientasi Etis……… 180

BAB VI PENUTUP……… 188

Kesimpulan……… 188

Saran……… 191


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah

Agama merupakan bagian kehidupan sebagian besar umat manusia. Oleh karena itu kehidupan beragama akan tetap menjadi bagian yang tak terpisahkan bagi kehidupan umat manusia dari zaman ke zaman.

Agama bukan sekedar keyakinan hasil refleksi intelektual semata, melainkan juga sebagai suatu jalan dan cara hidup. Dengan kata lain, agama menyangkut seluruh hidup manusia. Jadi agama bukan hanya mengenai kebenaran melainkan juga mengenai perasaan dan suasana hidup manusia.

Menurut A.M Romly (1999 :1), agama merupakan kiprah manusia yang bersumber pada sikap percaya kepada Tuhan. Sikap percaya kepada Tuhan tersebut disertai dengan penyerahan diri secara menyeluruh, yang diwujudkan antara lain dengan kepatuhan terhadap ajaran-ajarannya1. Oleh sebab itu agama bukanlah sekedar pengetahuan melainkan suatu pendirian eksistensial yang juga berhubungan dengan perasaan dan perbuatan. Dengan demikian kita dapat melihat bahwa agama berdasarkan fungsinya membimbing manusia kearah kehidupan rohaniahnya. Istilah fungsi yang dimaksudkan disini ialah sumbangan dan peran agama (lewat

1

A.M Romly, Fungsi Agama Bagi Manusia : Suatu Pendekatan Filsafat, (Jakarta : Bina Rena Pariwara, 1999), h.1


(11)

ajarannya yang bersifat normatif) yang diberikan kepada manusia dalam meniti kehidupannya di dunia ini2.

Agama sebagai jalan hidup, hal ini diyakini bahwa ajaran agama adalah satu-satunya yang memiliki kebenaran holistik, absolut dan abadi karena bersumber dari Tuhan. Oleh sebab itu, agama diyakini pula sebagai jalan keselamatan dan kebahagiaan hidup manusia baik di dunia maupun di akhirat, selain sebagai jalan menuju kehadirat Tuhan. Sehingga dapat dikatakan bahwa agama memberi dan menjamin kepastian hidup manusia.

Namun demikian, sebagaimana kita ketahui bahwa di dunia ini telah tumbuh dan berkembang berbagai agama yang sudah barang tentu setiap agama memilki konsepsinya tentang Tuhan serta tentang ajaran-ajaran kebenaran dan jalan keselamatan. Sehingga pergumulan intelektual manusia dari zaman ke zaman hanya berkutat pada perdebatan tentang konsep teologis agama-agama.

Diantara banyaknya agama-agama di dunia, agama manakah yang paling benar dan menunjukkan jalan keselamatan? Bila setiap agama memiliki tuhannya masing-masing, maka banyak agama berarti banyak tuhan, lalu tuhan manakah yang sebenarnya (The Real Ultimate / Tuhan) itu? Apa yang mendasari pluralitas keagamaan dan pengenalan Tuhan terhadap agama-agama? Mengapa terjadi eksistensi keberagamaan yang beragam, serta apa dibalik tujuan Tuhan mengenai keberanekaan yang dikehendaki-Nya? Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan tersebut, dalam hal ini manusia dihadapkan pada kebingungan teologis antara harus menerima atau menolaknya.

Sebagaimana dalam agama Islam, pada dasarnya seluruh agama mengajarkan kepada pemeluknya tentang doktrin kebenaran dan jalan keselamatan, untuk kemudian ajaran-ajaran tersebut menjadi misi bagi para pemeluk agama dalam menyampaikan dan menyebarkan ajaran-ajaran agamanya. Melalui ajaran-ajaran inilah manusia berkomitmen terhadap

2


(12)

agama yang dianutnya, namun demikian komitmen terhadap agama juga dapat menumbuhkan dua sikap yang berbeda, yakni inklusif dan ekslusif3

Adanya pendistorsian ajaran-ajaran agama sampai kepada ekslusivisme terhadap ajaran-ajaran tersebut telah berlangsung seiring dengan munculnya agama di dunia. Bila kita melihat sejarah tentang agama-agama (khususnya Yahudi, Kristen dan Islam), memang selalu identik dan kontras dengan kekerasan dan peperangan. Sejarah mencatat keterlibatan tiga agama samawi tersebut dalam berbagai konflik dan pertikaian yang hingga saat ini masih membiuskan kebencian diantara sebagian penganutnya. Mungkin dapat dikatakan sebagai suatu “warisan historis” yang bersifat

sentimentil, kondisi yang sangat memprihatinkan, karena bila keadaan ini dibiarkan terus berlanjut maka layaknya sebuah “kanker universal” yang bukan hanya merusak tatanan hidup sosio-budaya dan politik melainkan juga berimplikasi pada kehidupan manusia baik secara nasional dan internasional dalam bingkai yang ekslusif.

Perlu dipahami bahwa pendistorsian nilai-nilai kebenaran yang dianut sampai kepada ekslusivitas pembenaran suatu agama terhadap kebenaran agama lain dapat menyebabkan terhapusnya substansi ajaran yang dimiliki agama itu sendiri, juga dapat menjauhkan kita dari nilai-nilai humanis serta menjauhkan kita terhadap universalitas kehendak Tuhan.

Sikap ekslusivisme teologis dalam memandang perbedaan dan pluralitas agama semacam ini sesungguhnya merugikan diri sendiri, karena mempersempit bagi masuknya kebenaran-kebenaran baru yang dapat membuat hidup ini lebih lapang dan kaya. Kita tidak bisa mengingkari adanya kemungkinan bahwa dalam perkembangannya sebuah agama mengalami

3

Bagi para pemeluk agama yang cenderung menempuh jalan ekslusif, mereka menunjukkan sikap “keras” terhadap orang lain karena adanya klaim kebenaran pada agamanya sendiri. Mereka menganggap bahwa agamanyalah yang paling benar dan sempurna, sedang agama lain dianggap salah dan menyeleweng, atau ostilah apa saja yang menimbulkan permusuhan. Sebaliknya, komitmen terhadap ajaran sendiri dapat pula menumbuhkan sikap inklusif, yang pengalamannya lebih fleksibel, akomodatif dan kondusif, dengan tanpa mengorbankan nilai-nilai ajaran agama tersebut. Sikap ini lebih manusiawi karena siapapun mengakui karena ajaran agama diberikan oleh Tuhan kepada manusia agar lebih mengakui derajat mereka, bukan untuk permusuhan. (Lihat : Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan : Dialog Pluralisme Agama, Yogyakarta : LKiS, 2002, Cet.1, h.1)


(13)

deviasi atau penyimpangan dalam hal doktrin dan prakteknya4. Tetapi arogansi teologis yang memandang agama lain sesat dan tidak akan memperoleh jalan keselamatan, sebaliknya justru menjauhkan kita dari substansi sikap keberagamaan yang serba kasih dan mengajak kepada jalan kebenaran. Konflik-konflik teologis yang terjadi pun bukan hanya notabene berbeda tetapi juga terjadi dalam suatu komunitas seagama5

Nampaknya kita perlu menelaahi bahwa terjadinya konflik diantara pemeluk agama tidak berlandaskan pada akidah semata, tetapi juga adanya latar belakang politis, budaya dan ekonomi yang menjadi pemicunya. Unsur-unsur politik itu dapat kita analisis berdasarkan sejarah pemerintahan dan kondisi keagamaan masyarakat pada masa itu6

Walau bagaimanapun, penggunaan agama sebagai tameng untuk kepentingan dan tujuan politis ini telah mengorbankan kesucian agama, dimana setiap agama mengajarkan untuk hidup dan membawa perdamaian universal bagi umat manusia.

Sedangkan dari sudut pandang sosiologis, konflik antar agama lahir dari sentimen publik yang merasa kecewa terhadap penindasan, kesewenang-wenangan dan hegemoni politik terhadap kaum lemah (miskin) dan minoritas. Sehingga dapat dikatakan bahwa kemiskinan sangat rentan terhadap arogansi individu dan kelompok, tindakan-tindakan radikal bahkan pemberontakan. Hal ini didasari karena adanya rasa ketidakberdayaan menghadapi ketidak-adilan (merasa terdiskriminasi) yang akhirnya memicu pemberontakan yang

4

Komarudin Hidayat, Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Perenial, (Jakarta : Paramadina, 1995), Cet.1, h.9

5

Sejarah membuktikan kepada kita bagaimana kerasnya bentrokan yang terjadi antara satu aliran dengan aliran lain. Bentrokan semacam ini semakin menjadi ironi, ketika ternyata yang muncul dan yang menjadian isu secara kuat adalah kepentingan politiknya. Simbiose pandangan politik teologis ini selalu cenderung mengarah pada konspirasi ekslusif dan potensial bagi munculnya tindakan kekerasan dengan mengatasnamakan kebenaran. (Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, agama Masa Depan, Perspektif Filsafat perennial…, h.9-10)

6

Menurut sudut pandang penulis, setidaknya ada dua unsur politik, pertama karena adanya keinginan legitimasi keagamaan oleh kaum mayoritas sehingga melahirkan sikap mengintimidasi, mengintervensi bahkan mengekspansi kaum minoritas. Kedua, karena adanya kekhawatiran dari kaum minoritas terhadap hegemoni politik dalam suatu masyarakat atau pemerintahan yang berlandaskan pada suatu agama tertentu sehingga melahirkan pemberontakan untuk menjatuhkan dan merubah pemerintahan


(14)

dilakukan dalam bentuk teror-teror. sementara itu, bila kita telusuri lebih jauh lagi, pertikaian yang terjadi beberapa abad belakangan ini cenderung dipenuhi arus kecurigaan dari konflik-konflik sejarah yang terjadi dimasa lalu, sebagaimana yang marak terjadi di kawasan Timur Tengah (Irak, Palestina dan Afganistan), Asia Selatan (India dan Pakistan), Maupun di kawasan Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Filipina dan Thailand). karena memang negara-negara tersebut diatas memiliki sejarah kelam konflik politik, sosial dan budaya, yang kemudian berimbas pada konflik antar agama7.

Pertikaian antar agama yang terjadi di masa lalu (khususnya Yahudi, Kristen dan Islam), kini telah menampakkan wujudnya dalam sebuah formalitas dan legalitasnya sebagaimana yang sering kita dengar dengan istilah “The Holy War” atau perang suci8. Istilah perang suci inilah yang dijadikan landasan pembenaran untuk mengintervensi dan mengintimidasi agama lain.

Setidaknya hal ini membuktikan bahwa pertikaian antar agama telah menjelmakan bentuknya sebagai momok yang menakutkan dan meresahkan, apalagi diiringi dengan penindasan dan teror yang akan menggoreskan trauma mendalam pada kehidupan umat manusia.

Kiranya inilah yang penulis maksudkan dengan ”warisan historis”9 yang dipenuhi kebencian, prasangka buruk dan kecurigaan yang melekat pada

7

Menurut pandangan penulis, meski agama bukanlah sumber konflik, tetapi memang agama memiliki potensi konflik, dikarenakan agama memiliki kekuatan massa dengan berbagai doktrinnya. Maka dalam hal ini, mereka yang bertikai sengaja menjual (memanfaatkan) semangat perjuangan umat (penganut) agama untuk meraih simpati, dukungan kekuatan dan kekuasaan. Sedangkan mereka yang menjadi obyek sasaran adalah para pemeluk agama yang memiliki pandangan ekslusif. oleh karena itu, inilah yang penulis maksud, bahwa ekslusivisme beragama dapat menimbulkan potensi konflik.

8

Perang suci atau Holy War adalah istilah yang dulu digunakan pada peristiwa perang salib. Saat ini istilah perang suci digunakan untuk misi penyelamatan diluar gereja / agama Kristen karena klaim kebenaran mutlak yang dimilikinya, secara terorganisir dan sistematis adalah upaya para orientalis kristiani. Istilah perang suci juga digunakan umat islam untuk mengabsurdkan nilai-nilai dan makna jihad.

9

Sebagai contoh warisan historis pertentangan antar agama yang paling dikenal dalam sejarah adalah pertentangan antara Islam dan Kristen. Pertentangan ini pada tahap perkembangannya telah memecah dunia pada garis imajinatif Timur dan Barat. Timur identik dengan Islam, yang berarti pula Negara-negara terbelakang, bodoh, miskin, biadab dan teroris. Gambaran-gambaran demikian, sangat kental dengan masyarakat Islam yang tersebar dikalangan masyarakat Barat akibat ulah para orientalis. Demikian pula sebaliknya, barat identik dengan


(15)

sebagian pemeluk agama, sehingga konflik apapun yang terjadi selalu saja dikaitkan dengan permusuhan antar pemeluk agama pada masa lampau, untuk kemudian menganggap penganut agama lain sebagai musuh yang harus diperangi. Pola pikir seperti ini baik secara konstan maupun terstruktur menimbulkan tindakan yang radikal terhadap pemeluk agama lain.

Sebagaimana dikatakan diatas bahwa fanatisme dan eklusivisme yang berlebihan dapat menimbulkan kebencian serta tindakan yang radikal. Selain itu, radikalisme antar pemeluk agama juga dapat disebabkan dari ketidakpuasan terhadap suatu sistem ideologi yang dianut dan berkembang pada suatu Negara. Dewasa ini, sikap radikal menjadi lebih luas lagi, bukan hanya dikarenakan fanatisme, kebencian dan ekslusivisme melainkan sebagai reaksi ketidakpuasan dari kegagalan modernisme, libelisme dan sekulerisme. Hal ini terjadi karena pada kenyataannya, baik modernisme, libelisme dan sekulerisme tidak mampu memberi kesejahteraan dan ketenangan hidup, tetapi sebaliknya hanya menyengsarakan dan menciptakan tirani global srta makin menumbuhkan tatanan-tatanan primordial yang terbelakang.

Arus globalisasi, migarsi dan multikulturalisme makin menambah persoalan hidup bersama bagi masyarakat multi budaya dan agama seperti Indonesia. Ditambah lagi perkembangan ideologi agama-agama dan bentuk spiritualiatas baru yang muncul bak jamur di musim hujan. Disinlah mengapa suatu paradigma baru misi agama-agama menjadi amat mendesak10. Perubahan paradigma yang diperlukan adalah upaya pencarian guna memahami penyelamatan sebagaimana yang diekpresikan dalam agama-agama lain

Masing-masing penganut agama semestinya memiliki kesadaran dan kesamaan prinsip teologis “the One of Many” atau “the One God” adalah bahwa Tuhan yang kita sembah adalah Tuhan semua manusia yang

penjajah, Kristen, arogan dan amoral. Perbedaan persepsi ini diakibatkan mis-informasi, pada akhirnya berimplikasi pada semakin melebarnya jurang dan pertikaian antara Timur dan Barat. Lihat : Amir Mahmud (ed.), Islam dan Realitas Sosial di Mata Intelektual Muslim Indonesia, (Jakarta : Edu Indonesia Sinergi, 2005), h.212

10

Muhammad Ali, Teologi Pluralis multikulral: Mengharagai kemejmukan menjalin kebersamaan, (Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 2003), cet. 1, h.11


(16)

termanifestasi dalam berbagai nama, bukan Tuhan dalam pengetahuan manusia yang diperoleh dari sejarah dan budaya semata yang tersistematisasi oleh doktrin melainkan pengenalan kepada Tuhan melalui penghayatan dan “cinta” yakni dengan penggalian makna keagamaan yang terkandung dalam wahyu (kitab suci) sebagai pesan moral ajaran Tuhan. Inilah suatu orisinilitas ketauhidan secara kritis tanpa alih-alih dan batas ekslusif sebagai suatu kebenaran absolut dan kekal. Semangat ajaran seperti inilah yang diterapkan oleh kaum sufi dalam tasawufnya dan kaum Sophia-perenis dalam filsafat perenialismenya.

Dalam babak baru sejarah umat manusia saat ini, kita sering mendengar istilah “New Age” – suatu istilah yang muncul baru-baru ini (memasuki millennium ketiga) adalah suatu “konspirasi universal” tentang semangat manusia mencari “romantisme mistik-spiritual” dalam menghadapi krisis sosial kehidupan umat manusia. Istilah New Age tidak lain adalah untuk membentuk millennium baru yang menggambarkan / mencita-citakan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diiringi dengan keharmonisan hidup beragama dan bermasyarakat dalam tatanan global.

Manusia pada saat ini membutuhkan agama yang humanistik dan universal sebagaimana pada terkandung dalam ajaran agama, bukan wajah-wajah kekerasan yang menutupi substansi keramahan agama. Dalam hal ini kita tidak boleh memahami New Age sebagai gagasan yang berupaya untuk

me-relatif-kan agama-agama atau bahkan membentuk suatu agama baru (teologi global), melainkan perlu dipahami bahwa New Age berupaya untuk menghapus adanya standar ganda11 (claim of truth and claim of salvation)

11

Standar ganda yaitu menerapkan standar yang berbeda untuk dirinya (agamanya) dan orang (agama) lain. Terhadap agama yang dianutnya, maka standar yang digunakan bersifat ideal normatif, bahwa agamanyalah yang paling benar dan otentik dari Tuhan sedangkan agama lainnya salah. Hal ini dikarenakan standar yang digunakan dalam melihat agama lain berbeda dengan standar yang digunakan untuk agamanya, maka standar yang digunakan untuk agama lain hanya berdasarkan realitas historis, bahwa agama lainnya adalah konstruksi pemikiran manusia atau telah diselewengkan oleh manusia. Standar ganda atau standar kebenaran yang dipakai oleh sebagian pemeluk agama sebagai fundamen mengejawantah kebenaran selain kebenaran yang dimilikinya. Mereka mengatakan bahwa kebenaran mereka adalah satu-satunya kebenaran dari Tuhan, Standar ganda juga dipakai untuk melegalkan legitimasi tindakan dan anarkisme terhadap agama agama


(17)

yang dijadikan landasan pengkafiran dan diperbolehkannya memerangi umat agama lain. New Age mengantarkan manusia pada pemahaman kesetaraan hak asasi manusia serta keimanannya di hadapan Tuhan, New Age merupakan suatu ideologi universal yang membangkitkan nilai-nilai humanis yang dicitrakan oleh agama.

Era kebangkitan agama-agama ini semestinya bukan hanya harapan semata, meski tidak dapat kita pungkiri bahwa hingga saat ini permasalahan mengenai agama-agama masih mencari suatu formula yang efektif bukan hanya pada tataran teoretis-konsepsional melainkan juga pada tataran yang praktis dan konkrit. Hal-hal yang jelas nyata, karena tidak semua pemeluk agama dapat dengan mudah memahami tujuan konseptual para cendikia dan pemuka agamanya. Walaupun dalam tataran praksisnya setiap umat agama mengharapkan keharmonisan beragama tetapi seringkali gagasan konseptual tersebut (saat memasuki ranah publik) menjadi “mentah” dan menuai polemik bahkan “bumerang” baik secara internal seagama maupun antar umat beragama.

Ditengah kenyataan pluralitas (sosio-religio) dewasa ini, perbincangan mengenai titik temu agama-agama semakin terasa menghangat. Hal ini dikarenakan pergaulan antara agama dalam kehidupan sehari-hari semakin terasa intens. Intensitas pergaulan antar agama tersebut menuntut manusia untuk dapat memposisikan eksistensi teologisnya diantara agama-agama lain. Untuk dapat hidup berdampingan kita harus memiliki pemahaman yang komprehensif tentang hakikat agama dan memandangnya secara rasional dan terbuka agar tidak terjebak dalam dikotomi dan distorsi kebenaran, memisahkan sekat-sekat perbedaan eksoteris dan menyatukan persamaan esoteris akan menuju pada sikap keberagamaan yang toleran, meredam pengakuan superior dan menyadari eksistensi agama lain adalah sikap kerendahan hati menerima rahmat Tuhan. Demikianlah Tuhan menetapkan

lain. Lihat : Adeng Muhtar Ghazaly, Ilmu Studi Agama, (Jakarta : CV. Pustaka Setia, 2005), Cet.1, h.25


(18)

keniscayaan pluralitas sebagai sunnah-Nya agar manusia dapat menjaga kemajemukan tersebut sebagai suatu kesatuan yang utuh.

Bahwa sesungguhnya lewat ajaran agama, Tuhan telah menyampaikan pesan universal-Nya, yakni pesan moral kepada seluruh umat manusia yang dirisalahkan melalui para utusan-Nya. Pesan moral ajaran Tuhan inilah yang harus kita wujudkan tanpa memandang perbedaan dan menyatukan kesamaan yang terkandung dalam setiap agama serta berupaya mencari kebenaran ajaran Tuhan yang hakiki. Dengan demikian manusia telah menjalankan fungsinya sebagai makhluk / hamba (‘abid) Tuhan. Menjaga persatuan serta perdamaian dimuka bumi dengan cara mengaktualisasikan ajaran agama tersebut dengan baik dan benar, berarti manusia telah menjalankan fungsinya sebagai wakil / pengganti (khalifah). Lebih dalam lagi, sifat tersebut akan mengantarkan manusia menemukan esensi agamanya yang secara implisit dan substansial telah mengokohkan keimanan serta kemurnian iman kepada Tuhan.

Hal inilah yang terus diupayakan para elite/pemuka agama dengan menggali landasan-landasan historis, filosofis dan epistemologis antar agama untuk kemudian memberi kesepahaman logis serta konsekuensi teknis yang diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Tren harmonisasi agama-agama dapat kita temukan dari dua konsep yang selalu menuai polemik dan kontroversi yakni konsep kesatuan agama-agama atau lebih dikenal dalam dunia tasawuf dengan wahdat al-Adyan dan konsep kemajemukan agama atau lebih dikenal dalam dunia filsafat dengan pluralism agama. Kedua konsep tersebut masing-masing lahir dari sosio-historis, landasan filosofis dan epistemologis yang berbeda, namun keduanya sama-sama bertujuan untuk mencari titik temu agama-agama.

Perlunya pemahaman yang lurus mengenai wahdat al-Adyan dan

pluralisme agama sehingga kedua konsep ini tidak lagi menjadi pro-kontra akan tetapi kita perlu memandangnya sebagai ajaran tentang sikap saling menghormati dan menghargai antar pemeluk agama sehingga mereka yang bertentengan ideologi tidak lagi saling menyalahkan atau mengkafirkan.


(19)

Adapun beberapa diantara pengertian wahdat al-Adyan dan pluralisme agama adalah :

“Wahdat al-Adyan mengajarkan bahwa pada hakikatnya agama-agama bertujuan sama dan mengabdi kepada Tuhan yang sama pula. Perbedaan yang ada hanya bentuk luar dan namanya saja. Jadi, agama apapun dapat dipahami setara karena sumbernya satu, yakni Tuhan.

wahdat al-Adyan menyalahkan orang yang menyalahkan agama orang lain sekaligus ia mengajarkan agar seseorang patuh dan konsisten pada ajaran masing-masing. Oleh karena itu konsep ini sama sekali tidak mengarahkan pada upaya menyatukan agama-agama12

“Pluralisme adalah sikap atau paham terhadap keadaan majemuk, baik dalam konteks sosial, politik, budaya maupun agama. Dengan demikian yang dimaksud dengan pluralisme keagamaan adalah terdapat lebih dari satu agama yang mempunyai eksistensi yang hidup berdampingan dan saling berinteraksi antara satu agama dengan penganut agama lainnya atau dalam pengertian lain, setiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan menghormati hak agama orang lain, guna tercapainya kerukunan dalam keragaman. Jadi pluralisme keagamaan bukan menciptakan agama baru atau sebuah ideologi alternatif yang menggantikan atau setara dengan ideologi agama yang bersifat Ilahiah13.

Dapat dikatakan bahwa dari kedua konsep tersebut eksistensi agama-agama adalah entitas yang harus diterima dan diakui oleh manusia. Manusia tidak lagi dipandang dari segi agama yang dianutnya sebagai tolak ukur dalam pencapaian kebenaran Tuhan karena yang berhak menentukan hal tersebut adalah Tuhan (sendiri).

Hal yang paling menarik dari paham wahdat al-Adyan dan pluralisme agama menurut penulis adalah dari sisi persamaan sekaligus perbedaannya, karena kedua konsep ini digunakan sebagai solusi alternatif untuk permasalahan agama-agama di dunia. Kedua konsep yang nampaknya sama namun juga berbeda sehingga memerlukan analisis lebih jauh, apakah kandungan dari kedua ajaran tersebut ternyata memang sama, hanya saja dikemas dalam term yang berbeda? Apakah ada keterkaitan yang saling mengilhami sehingga memungkinkan bahwa ajaran pluralisme telah terkandung (merupakan bagian dari) ajaran wahdat al-Adyan, atau sebaliknya

12

Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan : Dialog Pluralisme Agama…, h.2

13


(20)

ajaran wahdat al-Adyan telah terkandung (bagian dari) ajaran pluralisme? Dalam hal ini diperlukan suatu analisis sosio-historis dan epistemologis serta meninjau kembali orientasi dan tujuan baik dari sisi teologis maupun sosio-humanis, sehingga dapat terlihat ada atau tidaknya relevansi diantara kedua konsep tersebut.

Berdasarkan pemaparan diatas, penulis bermaksud menganalisis kedua konsep tersebut dan mencari relevansi (keterkaitan dan kesesuaian)-nya, sehingga penelitian / penulisan ini diberi judul “WAHDAT AL-ADYAN DAN RELEVANSINYA DENGAN PLURALISME AGAMA

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka kiranya penulis mengidentifikasikan masalah, sebagai berikut :

a. Minimnya sikap toleransi disebabkan ekslusivisme pemeluk agama terhadap ajaran agamanya

b. Penyampaian doktrin keagamaan yang dikemas secara ekslusif dan radikal serta penggunaan ajaran agama sebagai pengabsahan mengintervensi dan mengintimidasi pemeluk agama lain.

c. Adanya sejarah kelam bentrokan antar agama dimasa lalu yang hingga kini masih menyisakan benih-benih kebencian, prasangka buruk dan permusuhan.

d. Agama kerap dituduh sebagai sumber konflik dan perpecahan, yang sesungguhnya konflik, bentrokan dan perpecahan yang terjadi tidak semata disebabkan perbedaan akidah semata melainkan juga disebabkan oleh faktor politik, sosial, ekonomi dan budaya.

e. Para pemeluk agama membutuhkan formulasi tepat ditengah realitas plural kehidupan-keagamaan, guna memposisikan keyakinannya terhadap agama lain, meredam konflik dan menciptakan keharmonisan baik dalam kehidupan seagama maupun antar agama.


(21)

f. Masih kurangnya kesadaran terhadap pluralitas, bukan hanya menghormati dan menghargai tetapi juga dengan membuka diri dan menerima secara mendalam nilai-nilai kebenaran dan kebaikan dalam setiap ajaran agama. Umat beragama dituntut untuk mengedepankan prinsip-prinsip etis dan humanis sebagai bagian dari tujuan dan perwujudan agama.

g. Pentingnya upaya mencari titik temu agar sesama manusia (umat agama) dapat hidup harmonis dan berdampingan. Sayangnya upaya mencari titik temu ini masih dianggap tabu (karena berada pada level esoteris dan cenderung bersifat falsafi) dan banyak diantara umat beragama yang enggan bahkan cenderung takut untuk memahami ajaran agama-agama lain karena dianggap akan berdampak pada kegoyahan iman atau konversi agama. Padahal upaya ini selain memperkaya nilai-nilai kebenaran juga memperkokoh keimanan seseorang terhadap agama yang dianutnya.

h. Beberapa gagasan alternatif yang dikemukakan dalam tujuan harmonisasi agama-agama adalah ajaran wahdat al-Adyan dan pluralisme agama. Namun hingga saat ini, kedua gagasan tersebut masih menuai polemik baik pada tataran teoritis maupun praktisnya. Sehingga diperlukan pemahaman yang lurus mengenai kedua ajaran tersebut. Sehingga tidak lagi menjadi menjadi kontroversi dan polemik dikalangan akademis dan intra agama, agar dapat diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari.

i. Bila dilihat dari ajarannya tentang ketuhanan dan kemanusiaan (antara wahdat al-Adyan dan pluralisme agama), keduanya nampak memiliki kesamaan orientasi. Kedua konsep yang nampaknya sama, tetapi juga berbeda berdasarkan latar belakangnya tradisi intelektual dan keilmuan (antara tasawuf / Islam / dunia Timur dengan filsafat / Kristiani / dunia Barat), sehingga diperlukan


(22)

analisis yang lebih jauh, apakah kandungan nilai-nilai dasar dan prinsip ajaran dari kedua konsep tersebut memiliki relevansi dengan menganalisis sosio-historis dan epistemologis serta meninjau kembali orientasi dan tujuan baik dari sisi teologis maupun sosio-humanis.

2. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah diatas, maka penulis perlu membatasi dan merumuskan permasalahan yang akan diteliti. Adapun pembatasan dan perumusan masalah penelitian ini adalah:

a. Makna agama, substansi agama, esoterisme agama-agama, al-Islam dalam monoteisme Ibrahim, serta kesatuan transenden agama-agama,

b. Konsep Ketuhanan dari setiap agama-agama, konsep ketauhidan sebagaimana dalam Fithrat al-Ibrahim, serta Tuhan sebenarnya yang terlepas dari semua/berbagai konsep yang ada.

c. Perdebatan mengenai Ahl-al-Kitab, siapa sajakah sebenarnya yang disebut Ahl-al-Kitab dalam al-Quran apakah sebatas umat Yahudi dan Nasrani saja atau semua pemeluk agama selain Islam, serta perdebatan tentang masih adakah Ahl-al-Kitab hingga saat ini. d. Landasan sosio-historis dan epistemologis konsep wahdat

al-Adyan dan pluralisme agama

e. Prinsip dasar, orientasi dan tujuan wahdat al-Adyan dan pluralisme agama

f. Wahdat al-Adyan dan pluralisme agama dalam perspektif syariat g. Relevansi berdasarkan sosio-historis dan epistemologis wahdat

al-Adyan dan pluralisme agama

h. Relevansi teologis dan sosio-humanis wahdat al-Adyan dan pluralisme agama.


(23)

C. Metodologi Penelitian

1.

Sumber Penelitian

Skripsi ini merupakan upaya penelitian yang dilakukan melalui studi kepustakaan ( library research), yaitu dengan mengumpulkan data-data, yang berkenaan dengan kajian konsep wahdat al- Adyan dan pluralisme agama sebagai sumber data primer dan sumber data sekunder. Diantara sumber referensi primer (Primary Reference) dalam penulisan skripsi ini adalah buku Wahdat al-Adyan ; Dialog Pluralisme Agama

karya Fathimah Usman, Tasawuf Perenial karya Kautsar Azhari Noer dan

Agama Masa Depan dalam Perspektif Filsafat Perenial karya Komarudin Hidayat dan M. Wahyuni Nafis, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam karya Simuh, Doktrin Pluralisme dalam Al-Quran karya Gamal al-Banna, Al-Quran Kitab Toleransi ; Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme karya Zuhairi Misrawi, Melampaui Pluralisme ; Etika Al-Quran tentang Keragaman Agama karya Hendar Riyadi dan Pluralisme Agama dalam Islam ; Akhlak Quran Menyikapi Perbedaan karya Jalaludin Rakhmat. Sedangkan untuk sumber referensi sekunder (Secondary Reference), yakni sejumlah karya-karya ilmiah dalam bidang kajian tasawuf, dan filsafat yang mendukung teori / konsep wahdat al- Adyan dan pluralisme agama.

2.

Metode Pembahasan

Metode pembahasan dalam penelitian ini bersifat deskriptif-analisis, sedangkan analisis yang digunakan adalah analisis komparasi dengan pendekatan berdasarkan sosio-historis, dan epistemologis14.

14

Pada umumnya komparasi adalah mempelajari pola-pola atau tipe-tipe yang terjadi untuk menentukan secara analitis faktor-faktor yang membawa kesamaan dan perbedaan pola dan tipe tersebut. Biasanya dalam studi komparasi dilibatkan pula pendekatan historis dan fenomenologis yang terjadi untuk dapat menginterpretasi fakta, konsepsi, makna dan ekspresi psikologis baik yang bersifat individu, kelompok ataupun masyarakat. Dalam penelitian ini penulis mengkomparasikan konsep yang berarti dibutuhkan analisis historis-fenomenologis dan epistemologis yang berlaku, melatar-belakangi dan terkandung dalam konsep-konsep tersebut. Selain itu diperlukan pula bidang kajian sosiologis antropologis, psikologis dan hermeneutis untuk mendeskripsikan


(24)

Artinya setelah data-data diperoleh kemudian dibahas dengan memberikan gambaran deskriptif tentang masalah yang diteliti dan selanjutnya dianalisis dengan menggunakan pendekatan historis lahirnya paham

Wahdat al- Adyan dan pluralisme agama beserta tokoh-tokoh pendirinya, kemudian disertai pula dengan pendekatan epistemologis ajaran Wahdat al- Adyan dan pluralisme agama. Dengan demikian dapat diperoleh gambaran yang jelas tentang konsep Wahdat al- Adyan dan pluralisme agama.

Untuk metode pembahasan / penulisan dalam skripsi ini, penulis lebih cenderung menggunakan tehnik hermeneutika Paul Ricoeur,15 yang lebih mengarah pada proses penguraian yang beranjak dari isi dan makna yang nampak ke arah makna terpendam dan tersembunyi. Objek interpretasi, yaitu teks dalam pengertian yang luas, bisa berupa simbol dalam mimpi atau bahkan mitos-mitos dari simbol dalam masyarakat atau sastra. Studi Ricoeur ini membedakan antara simbol univokal dan equivokal; simbol univokal adalah tanda dengan satu makna yang ditandai, seperti simbol-simbol dalam logika simbol, sementara simbol equivokal adalah fokus sebenarnya dari hermeneutika. Karena hermeneutika harus terkait dengan teks simbolik yang memilik multi makna ( multiple meaning ); ia dapat membentuk kesatuan semantik yang memiliki makna permukaan yang betul-betul koheren dan sekaligus mempunyai signifikansi lebih dalam. Hermeneutika adalah sistem di mana signifikansi mendalam diketahui di bawah kandungan yang nampak.16

keterkaitan atau eksistensi konsep-konsep yang tengah diteliti. (Lihat : Adeng Muhtar Ghazaly, Ilmu Studi Agama…, h.87

15

Arti hermeneutik yang dimaksudkan di sini adalah analisis yang mengarah pada interpretasi penuh atas fakta-fakta pemikiran dan pandangan al-Hallaj tentang

Wahdat al-Adyan dan John Hick tentang Pluralisme Agama. Dilengkapi dengan analisis fenomenologi, yaitu analisis yang berusaha memberi makna dari berbagai peristiwa dan interaksi manusia dalam situasinya yang khusus.Lebih lanjut Paul Ricoeur berpendapat “ Yang kita maksud dengan hermeneutika adalah teori tentang kaidah-kaidah yang menata sebuah eksegesis, dengan kata lain, sebuah interpretasi teks partikular atau kumpulan potensi tanda-tanda keberadaan yang dipandang sebagai sebuah teks ”. De l’intretation ( 1965).

16

Palmer, E, Richard, Hermeneutika; Teori Baru Mengenai Interpretasi,


(25)

Menurut Ricoeur, ada tiga langkah pemahaman, yaitu yang berlangsung dari penghayatan atas simbol-simbol ke gagasan tentang “ berpikir dari” simbol-simbol. Langkah pertama ialah langkah simbolik, atau pemahaman dari simbol ke simbol. Langkah kedua adalah pemberian makna oleh simbol serta ‘penggalian’ yang cermat atas makna. Langkah ketiga adalah langkah yang benar-benar filosofis, yaitu berpikir dengan menggunakan simbol sebagai titik tolaknya.

Ketiga langkah tersebut berhubungan erat dengan langkah-langkah pemahaman bahasa yaitu : semantik, refleksif, serta eksistensial atau ontologis. Langkah semantik adalah pemahaman pada tingkat ilmu bahasa yang murni; pemahaman refleksif adalah pemahaman pada tingkat yang lebih tinggi, yaitu yang mendekati ontologi; sdang langkah pemahaman eksistensial atau ontologis adalah pemahaman pada tingkat being atau keberadaan makna itu sendiri. 17

Selain metode pembahasan yang bertumpu pada titik tolak hermeneutik, metode pembahasan yang digunakan juga bertumpu pada titik tolak fenomenologi17, yaitu analisis yang berusaha memberi makna dari berbagai peristiwa dan interaksi manusia dalam situasinya yang khusus. Metode ini digunakan agar pembahasan ini tidak terjebak pada pendekatan yang hanya bersifat historis-empiris semata, sehingga dapat memperoleh gambaran yang lebih utuh dan yang lebih fundamental tentang keberagamaan manusia. Dalam penelitian ini, mencakup peristiwa-peristiwa (hal-hal) lain, seperti kondisi sosio-kultural dan makna etisnya. Dengan cara ini akan terpenuhi prinsip koherensi internal yang menghimpun unsur-unsur struktural secara konsisten, sehingga benar-benar merupakan internal structuirs atau internal relations yang menjamin pemaknaan atau pemahaman yang benar18. Maka, analisis data dari penelitian ini juga akan menukik jauh sampai menjangkau pada data-data ontologis dan epistemologis serta pemikiran logis yang menjadi tiang

17

Sumaryono, E, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, Kanisisus, Yogyakarta, 1999, h. 111

18


(26)

penyangga bangunan pemikiran-pemikiran konsep wahdat al-Adyan dan pluralisme agama.

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.

Tujuan Penelitian

Upaya penelitian yang dilakukan dalam penulisan ini lebih diorientasikan pada satu tujuan pokok, yaitu untuk mendapatkan deskripsi yang jelas, sistematis, obyektif, dan komperehensif tentang konsep relevansi antara konsep wahdat al-Adyan dan pluralisme agama

2.

Manfaat Penelitian

a. Untuk memenuhi persyaratan penyelesaian studi tingkat strata satu (S.1), memperoleh gelar sarjana pendidikan Islam (S.Pd.I) pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Jurusan Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. b. Sebagai sumbangsih intelektual dalam bentuk tulisan yang bersifat

ilmiah dan dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak yang memerlukannya, dalam rangka menggali khazanah pemikiran Islam, bahwa pemahaman yang benar dan tepat mengenai wahdat al-Adyan dan pluralisme agama akan turut memperkokoh komitmen keyakinan terhadap agama yang kita anut.

c. Penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan bagi penulis sebagai calon guru pada khususnya dan pembaca umumnya, serta dapat memberikan informasi dan pemahaman terhadap konsep wahdat al-Adyan dan pluralisme agama dalam kajian filsafat, fiqh dan tasawuf terlebih mengenai makna dasar dan tujuan agama untuk kemudian dikejawantahkan dalam hidup dan kehidupan, di tengah arus globalisasi, sekularisasi dan modernisasi dewasa ini, yang harus pula diimbangi dengan keimanan dan ketakwaan.


(27)

BAB II

KONTEKSTUALITAS MAKNA AGAMA

1

Dalam konteks wacana agama-agama, kita sering mendengar istilah “titik temu agama-agama”2, beberapa diantara tawaran alternatif dalam mencari titik temu agama-agama adalah konsep pluralisme agama dan wahdat al-Adyan.

Sebelum lebih jauh mengkaji kedua konsep tersebut, ada baiknya kita menelusuri hal-hal yang mendasari semangat kaum agamawan dalam mencari titik temu agama-agama. Hal-hal apa sajakah yang menjadi titik temu dan titik pisah dalam agama-agama. Ini sangat penting agar kita terhindar dari relativisme sinkretisme, dan terjebak dalam keraguan terhadap agama yang kita anut.

Adanya semangat spiritual untuk mencapai kebenaran absolut dan kebaikan universal adalah dengan menggabungkan persamaan landasan teologis normatif dan landasan etis-humanis pada agama-agama, untuk dapat mencapai titik temu terlebih dahulu kita harus memisahkan garis eksoteris dan esoteris agama-agama.

1

Bab ini menjadi pengantar, sebelum kita memijaki zona wahdat al-Adyan dan pluralisme agama. Pada bab ini akan dibahas beberapa hal (esoterisme agama-agama dan kesatuan transenden) yang juga menjadi cakup kajian wahdat al-Adyan dan pluralisme agama. Penulis merasa perlu memisahkannya menjadi bab tersendiri agar penulisan skripsi ini lebih terstruktur dan sistematis, sehingga pembahasan mengenai wahdat al-Adyan dan pluralisme agama tidak terlalu meluas dan terfokus pada sisi historis dan epistemologisnya serta beberapa prinsip dasar ajarannya.

2

Titik temu agama-agama atau istilah yang digunakan oleh Sayyed Hussein Nasr, istilah yang serupa dengannya seperti “Unity of Transendent Religions” yang digunakan oleh Frithjof Schuon, “The Common Vision” yang digunakan oleh Huston Smith, dan “The Common Platform


(28)

Demikianlah teori-teori yang dikemukakan selanjutnya dalam upaya mencapai titik temu agama-agama.

A.

Agama dan Keberagamaan

Agama merupakan tuntunan yang menyentuh hal-hal paling prinsipil dari manusia, yaitu keyakinan, sedangkan keyakinan itu sendiri bersumber dari hati hati / “qalb” yang suci, yang berjalan sesuai dengan fitrahnya3. Agama merupakan wadah manifestasi fitrah manusia, dari sanalah manusia mendapat keyakinan tentang Tuhan. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah; bagaimana manusia mendapatkan pemahaman dan keyakinan yang benar kepada Tuhan?

Untuk mendapatkan pemahaman yang benar kepada Tuhan, tentunya manusia harus memperolah pemahaman yang benar terhadap agama yang dianutnya. Setiap agama memang memiliki konsep teologinya masing-masing, sehingga dalam memahami makna agama harus dibicarakan satu nafas dengan pembicaraan tentang Tuhan4. Ajaran agama mengisyaratkan tentang hakikat tuhan, agama diyakini sebagai jalan hidup yang bersumber dan kembali kepada tuhan. Oleh sebab itu, hakikat agama itu sendiri adalah tuhan. Pemahaman terhadap konsep teologis inilah yang menentukan keyakinan dan konsistensi pemeluk agama dalam menjalankan ajaran agamanya. Sehingga dalam menjalankan perintah agama disertai dengan penghayatan akan kehadiran Tuhan dalam setiap laku-aktivitas yang dilakukan karena merasa dirinya terikat langsung dengan tuhan sebagai satu-satunya sumber kebenaran hakiki, pemberi aturan moral dan hakim atas tindakan-tindakan manusia5.

3

Fitrah adalah sifat dasar dan alamiah manusia. Kata ini diturunkan dari kata fathara yang memiliki arti “memecah” atau “memisahkan”. Fathara juga dapat berarti “menciptakan” keadaan non wujud terpecah dan terbuka, sehingga terkuaklah kutub kebalikannya : penciptaan, pengetahuan sejati – pengetahuan transformatif – pengetahuan mendasar dalam diri manusia yakni pengetahuan/jalan menuju Tuhan. (Lihat : Fadhullah Haeri, Jiwa Al-Qur’an : Tafsir Surat al-Baqarah, (Jakarta : PT Serambi Ilmu Semesta, 2001), Cet.1, h.24-25)

4

A.M Romly, Fungsi Agama Bagi Manusia : Suatu Pendekatan Filsafat…, h.11

5

Tuhan sebagai satu-satunya sumber kebenaran hakiki dan absolut, berarti meyakini bahwa agama adalah jalan menuju kebenaran, karena kebenaran itu hanya dimiliki oleh Tuhan, maka benar dan salah secara absolut hanya ada dalam penilaian Tuhan. Olah sebab itu, fungsi agama adalah pembentukan iman. Dengan demikian manusia sebagai pencari kebenaran secara sadar


(29)

Substansi keberagamaan manusia adalah meyakini adanya Yang Mutlak, maka oleh karena itu, memahami substansi agama berarti menumbuhkan sikap saling menghormati ajaran agama lain6. Bila hakikat keberagamaan adalah Tuhan itu sendiri, maka dalam memahami substansi keberagamaan adalah upaya seseorang dalam menanggapi keberadaan agama lain, untuk itu diperlukan kesadaran yang merupakan modal dasar untuk bersikap wajar dan proporsional. Dengan demikian ia dapat menempatkan dirinya dan keyakinannya ditengah keberagaman tersebut, ia juga dapat memposisikan keyakinan lain diluar dirinya tetapi sebagai bagian yang inheren dari keyakinannya sehingga perbedaan-perbedaan yang ada tidak menghilangkan substansinya, atau dengan kata lain melihat adanya kesamaan substansi yang menyatukan perbedaan. Maka pandangan substansi agama adalah pandangan dasar yang melahirkan prinsip-prinsip kebersamaan terhadap agama-agama lain disamping itu juga meneguhkan prinsip keunikannya sendiri. Mengenai hal ini seorang penganut harus memiliki prinsip agree in disagreement (setuju untuk tidak setuju), agree in agreement

(setuju untuk saling setuju), dan agree in different (setuju didalam perbedaan).

Agree in disagreement atau setuju untuk tidak setuju, dalam hal yang prinsipil dan dasar-dasar dalam agama, misalnya tentang akidah atau keimanan. Dalam prinsip ini masing-masing pemeluk agama harus memantapkan posisi kepercayaan umatnya dan meyakinkan bahwa agamanya berbeda dengan agama lain. Agree in agreement atau setuju untuk saling setuju adalah mengakui bahwa ajaran agama memiliki sifatnya yang ekslusif sekaligus juga inklusif. Banyak hal semakna yang ditemukan dalam setiap

akan mengaktualisasikan dirinya dengan menjalankan perintah Tuhan disertai dengan penyerahan diri kepada Tuhan. Sedangkan Tuhan sebagai satu-satunya pemberi aturan moral dan hakim atas tindakan manusia berarti meyakini bahwa agama adalah jalan kebaikan – keselamatan – kebahagiaan yang diberikan oleh Tuhan, maka baik dan buruk secara absolut hanya ada dalam penilaian Tuhan untuk menentukan keselamatan dan kebahagiaan manusia. Oleh sebab itu fungsi agama adalah pembentukan akhlak. Dengan demikian manusia sebagai pencari kebahagiaan secara sadar mengapresiasikan nilai-nilai ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari.

6

Said Agil Husain Al-Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama, (Jakarta : Ciputat Press, 2005), Cet.3, h.208


(30)

agama, satu semangat dan satu tujuan. Persamaan-persamaan ini harus diketengahkan, sementara itu perbedaan-perbedaan harus diakui, dihargai dan dihormati. Dalam prinsip ini, kepercayaan kepada Tuhan adalah ikatan yang menyatukan persaudaraan antar umat beragama. Agree in different setuju didalam perbedaan,ditemukan adanya doktrin-doktrin yang disepakati oleh berbagai pemeluk agama kendatipun dalam perbedaannya. Islam mengakui keberadaan Injil dan Taurat serta penghormatan yang istimewa bagi pemeluknya.persetujuan umat Islam terhadap Taurat dan Injil dipahami sebagai suatu pengakuan, namun juga disadari adanya perbedaan tentang memahami eksistensinya. Demikian juga umat Yahudi dan Kristiani harus menyadari bahwa umat Islam mengimani Musa dan Isa, kendatipun dalam pengertian kedudukan berbeda dengan pemahaman Yahudi dan Kristen tersebut7.

Memahami agama dengan pemahaman teologis selain memperkokoh keyakinan (terhadap agamanya) sekaligus juga mengakui koeksistensi agama/teologi lain sehingga otoritas kebenaran bukanlah justifikasi manusia. Selain itu, memahami agama dengan pemahaman etis (nilai-nilai ajarannya) yakni keterlibatan aktif manusia dalam membangun perdamaian dan kerjasama karena adanya kesadaran prinsip moral universal dalam tiap-tiap agama.

B.

Agama dan Sikap Keagamaan

Dalam pembahasan ini, penulis akan mendeskripsikan beberapa pengertian agama secara definitif (tekstual) serta indefinitif (kontekstual) serta menjelaskan hubungan antara agama dengan sikap keagamaan. Sehingga dapat terlihat jelas bahwa agama yang tidak terwakilkan dengan definisi tersebut dapat kita pahami dari sikap keagamaan yang tercermin – dan mencerminkan agama itu sendiri.

Kata “agama” setara dan sepadan dengan kata “religion” (dalam bahasa Inggris), dan “din” (dalam Bahasa Arab). Kata “agama” itu sendiri berasal dari bahasa Sansekerta (a = tidak dan gama = kacau). Jadi, agama berarti

7


(31)

“tidak kacau”. Hal ini dipahami, bahwa agama adalah seperangkat aturan Tuhan yang mengatur kehidupan manusia. Sehingga mereka yang ber-agama, berarti tidak mengalami kekacauan dalam hidupnya, baik itu kekacauan akal maupun hati atau lahir maupun batin.

Dalam al-Quran, kata din memiliki dua makna penting yang dapat dibedakan : (1) agama dan (2) pengadilan. Menurut para ilmuwan, dari dua makna dasar tersebut, pertama “agama” berasal dari Persia. “Den” menurut bahasa Persia Zaman Pertengahan artinya kira-kira “agama (yang sistematik)”. Kedua, pengadilan berasal dari bahasa Ibrani; kata Ibrani din

bermakan “pengadilan“; disamping itu , dengan kombinasi tertentu “Hari Pengadilan” (yaumul din) merupakan cirri khas Yahudi. Pengkajian teradap literatur pra-Islam menjelaskan tiga makna akar berikut : (1) adat istiadat, kebiasaan, (2) kebangkitan dan (3) kepatuhan8.

Menurut Dr. Wilfred Cantwell Smith kata Agama secara umum dapat diartikan dengan dua pengertian yang berbeda, sekalipun sangat berkaitan erat; satunya adalah “agama” sebagai persoalan pribadi yang dalam, sebagai tindakan eksistensial tiap-tiap- orang yang mempercayai sesuatu, singkatnya “iman” dan yang lainnya adalah “agama” dalam pengertian umum, yakni sesuatu yang dikenal oleh suatu masyarakat, suatu persoalan komunal yang yang objektif meliputi semua kepercayaan dan praktek ritual yang dilakukan oleh semua anggosa masyarakat itu9.

”Religi itu bekerja didalam sejarah manusia. Ia merupakan suatu proses dialektis antara yang duniawi dan yang transenden; suatu proses yang lokusnya adalah iman yang personal, kehidupan manusia itu sendiri, lebih dari sekedar yang bisa diamati dan lebih dari sekadar yang dapat dipahami. Tentang hasil-hasil apa yang tidak bisa diamati (secara publik) dan apa saja yang bukan duniawi dari proses dialektis ini yang ditemukan dalam iman orang-orang yang berpartisipasi dalam tradisi ini, mereka bisa mengatakannya dengan berbagai cara mereka sendiri. Sesuatu yang dapat diamati secara publik oleh oleh para

8

Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia; Pendekatan Semantik Terhadap Al-Quran,

(Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 2003), Cet.2, h. 245

9


(32)

bertumpuk dan berkembang terus menerus-menerus dalam apa yang disebut tradisi kumulatif”10.

Bila kita melangkah lebih jauh lagi pada arah ini, untuk melihat perbedaannya antara din dalam arti obyektif umum dengan din arti tradisi akan kita temukan dalam ayat yang berbunyi “Hari ini telah Kusempurnakan agamamu dan Aku ridhoi Islam sebagai agamamu11”, dengan ayat lainnya yang berbunyi “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu sehingga kamu mengikuti millah (agama) mereka12” kata din

tampaknya bermakna “agama” yang objektif dan umum yang mengarah pada suatu ketaatan. Bila kita melangkah lebih jauh lagi pada arah ini, yakni arah yang umum, maka konsep tersebut berubah menjadi millah, yang merupakan agama sebagai sesuatu yang objektif dalam arti kata yang sesungguhnya, suatu sistem kepercayaan dan ritual formal yang merupakan prinsip-prinsip kesatuan bagi suatu masyarakat religius dan karya sebagai asas bagi kehidupan sosialnya. Tidak seperti kata din yang masih mempertahankan konotasi personal, betapapun jauhnya kita menuju kearah pengertian umum,

millah mengandung arti sesuatu yang tegas, objektif dan formal dan ia selalu mengingatkan kita akan eksistensi suatu masyarakat yang berlandaskan pada suatu agama yang lazim13.

10

Tradisi kumulatif, adalah istilah yang ia gunakan – (disebutkan oleh Willfred Cantwell Smith) sendiri, dalam tradisi kumulatif, menurutnya; setiap person dihadapkan pada tradisi kumulatif dan tumbuh ditengah person-person yang lain yang memandang tradisi mereka penuh makna. Dari tradisi itu, dari person-person lain, dan dari kapasitas batiniah person yang bersangkutan serta lingkungan kehidupan lahiriahnya, si person sampai kepada suatu iman yang adalah miliknya sendiri. Tradisi itu, dalam aktualitasnya yang terindera dan person-person lain yang berada dalam tradisi itu – berpartisipasi secara mirip dengannya – mengasuh serta menumbuhkembangkan imannya dan memberinya bentuk. Sebaliknya, iman si person itu memberikan kepada tradisi konkrit yang bersangkutan, lebih dari sekedar signifikansi intrinsik dan menggalakkan sesama warga tradisi untuk tekun melanjutkan keterlibatannya dalam tradisi itu. (Lihat : Wilfred Cantwell Smith, Memburu Makna Agama, terj. The Meaning and End of Religion,

(Bandung : PT. Mizan Pustaka, 2004), Cet.1 h.321-322)

11

Q.S Al-Miadah (5) : 3

12

Q.S. Al-Baqarah (2) : 120

13


(33)

Din berasal dari “kepatuhan” yang sangat personal, yang bersifat umum; pada tahap akhir perkembangannya semakin menuju konsep millah

tersebut. Persoalan ini akan menjadi jelas bila kita membandingkan Surah Ali Imran (3), ayat 73 yang telah kita kutip diatas dengan surat al-Baqarah (2), ayat 120, tempat situasi yang sama disebutkan dengan millah, bukannya din.

ﺭﺎﺼﻨﻟﺍ ﹶﻻﻭ ﺩﻮﻬﻴﹾﻟﺍ ﻚﻨﻋ ﻰﺿﺮﺗ ﻦﹶﻟﻭ

ﻢﻬﺘﱠﻠﻣ ﻊﹺﺒﺘﺗ ﻰﺘﺣ ﻯ

)

ﺓﺮﻘﺒﻟﺍ

١٢٠

(

“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti (agama) millah mereka” . (Q.S. Al-Baqarah, 2 : 120)14

Sinonim antara din dengan millah tampak lebih jelas pada Surat al-An’am (6), ayat 161 yang berbunyi:

ﹶﺔﱠﻠﻣ ﺎﻤﻴﻗ ﺎﻨﻳﺩ ﹴﻢﻴﻘﺘﺴﻣ ﻁﺍﺮﺻ ﻰﹶﻟﹺﺇ ﻲﺑﺭ ﻲﹺﻧﺍﺪﻫ ﻲﹺﻨﻧﹺﺇ ﹾﻞﹸﻗ

ﻦﻣ ﹶﻥﺎﹶﻛﺎﻣﻭ ﺎﹰﻔﻴﹺﻨﺣ ﻢﻴﻫﺍﺮﺑﹺﺇ

ﲔﻛﹺﺮﺸﻤﹾﻟﺍ

)

ﻡﺎﻌﻧﻷﺍ

١۶۱

(

“Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan lurus, (yaitu) agama (din) yang benar; agama (millah) Ibrahim yang lurus; dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang musyrik” (Q.S. An’am, 6 : 161)15

Disini penting sekali kita melihat tiga konsep penting yang memiliki kesejajaran antara satu dengan lainnya : jalan yang lurus = din yang benar = millah Ibrahim. Tetapi bila kita kembali ke titik awal keberangkatan kita din

dan millah menjadi semakin berbeda satu sama lain, sehingga kita tidak saling tukar. Misalnya, dalam surah Az-Zumar(39), ayat 2 dapat kita baca :

ﺤﹾﻟﺎﹺﺑ ﺏﺎﺘﻜﹾﻟﺍ ﻚﻴﹶﻟﹺﺇ ﺂﻨﹾﻟﺰﻧﹶﺃ ﺂﻧﹺﺇ

ﻦﻳﺪﻟﺍ ﻪﱠﻟ ﺎﺼﻠﺨﻣ َﷲﺍ ﺪﺒﻋﺎﹶﻓ ﻖ

)

ﺮﻣﺰﻟﺍ

٢

(

14

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya, (Jakarta : Yayasan Penyelenggara Penterjemah / Pentafsir Al-Quran, 1971).

15


(34)

“Sesunggunhya kami menurunkan kepadamu kitab (al-Quran) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan din kepada-Nya” (Q.S. Az-Zumar, 39: 2)16

Disini Tuhan menggunakan kata-kata tersebut secara langsung kepada Nabi Muhammad Saw dan meneru beliau sebagai seorang hamba untk menyembah Tuhan. Dalam konteks ini, persoalan tersebut menyangkut setiap religious masing-masing individu, dan secara objektif bukan merupakan sistem agama yang formal. Millah pada hakikatnya merupakan persoalan

ummah, sedangkan din menurut asal-usulnya merupakan persoalan masing-masing individu yang beriman.

Berbagai istilah agama dan artinya telah melahirkan berbagai macam definisi, namun pendifinisian agama hingga saat ini masih belum berlaku dan dapat diterima (disepakati). Hal ini dikarenakan agama memenuhi berbagai lingkupnya untuk didefinisikan17, selain agama menyangkut batin dan pengalaman rohani manusia, ia juga meliputi berbagai formalitasnya sebagai agama; baik dari segi ajaran (dogma dan doktrin), tradisi, institusi dan sejarahnya, (kebudayaan dan peradaban) yang masing-masing agama berbeda atau bahkan berlawanan. Namun demikian, meski sulit terwakilkan oleh satu definisi saja, karena agama menyangkut masalah yang berhubungan dengan batin manusia. Secara garis besar dapat diperoleh kesimpulan bahwa keyakinan terhadap agama didorong oleh keyakinan manusia terhadap kekuatan Adi-Kodrati yang mengatur hidup manusia.

Bila kita generalisir berdasarkan perspektif etimologinya, definisi agama (din atau religi) memiliki dua kutub penekanan (pengertian), pertama, agama didefinisikan sebagai perihal yang menekankan rasa iman dan kepercayaan, kedua, agama didefinisikan sebagai aturan tentang cara hidup18.

16

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h. .745

17

Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2005), h.213

18

Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, (Jakarta : PT. Remaja Rosdakarya, 2003), Cet.11, h.8


(35)

Sebagaimana dikatakan diatas, bahwa agama menyangkut kehidupan batin manusia. Oleh karena itu, kesadaran agama dan pengalaman agama seseorang lebih menggambarkan sisi batin dalam kehidupan yang ada kaitannya dengan sesuatu yang sakral dan gaib. Dari kesadaran agama dan pengalaman agama ini pula kemudian muncul sikap keagamaan yang ditampilkan seseorang

Lebih lanjut, Prof. Komaruddin Hidayat juga menjelaskan lima tipologi sikap keagamaan, yaitu ekslusivisme, inklusivisme, pluralisme, eklektivisme, dan universalisme. Ekslusivisme adalah sikap keagamaan yang memandang bahwa ajaran yang paling benar adalah agama yang dipeluknya, yang lainnya sesat. Insklusivisme adalah sikap keagamaan yang berpandangan bahwa di luar agama yang dipeluknya, juga terdapat kebenaran, meskipun tidak seutuh dan sesempurna agama yang dianutnya.

Pluralisme adalah sikap keagamaan yang berpandangan bahwa secara teologis, pluralitas agama dipandang sebagai realitas niscaya yang masing-masing berdiri sejajar sehingga semangat misionaris dan dakwah dianggap “tidak relevan”. Eklektivisme adalah sikap keagamaan yang berusaha memilih dan mempertemukan berbagai ajaran agama yang dipandang baik dan cocok untuk dirinya sehingga format akhir dari sebuah agama menjadi semacam mozaik eklektik. Universalisme adalah sikap keagamaan yang berpandangan bahwa pada dasarnya semua agama adalah satu dan sama, hanya karena faktor historis yang menyebabkan agama tampil dalam format yang plural19.

Sikap keagamaan merupakan suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya terhadap agama. Sikap keagamaan tersebut oleh adanya konsistensi antara kepercayaan terhadap agama sebagai unsur kognitif, perasaan terhadap agama sebagai unsur afektif dan perilaku terhadap agama sebagai unsur konatif. Jadi sikap keagamaan merupakan interaksi secara

19

“Dialog: Cara Baru Beragama, Sumbangan Hans Kung bagi Dialog antar-Agama,” dalam Seri DIAN I/Tahun I: Dialog Kritik dan Identitas Agama (Yogyakarta: Dian, 1994), hal. 69


(36)

kompleks antara pengetahuan agama, perasaan agama serta tindak keagamaan dalam diri seseorang20

Dalam studi keagamaan sering dibedakan antara istilah “religion” dengan “religiousity”. Kata religion yang biasa dialih-bahasakan menjadi “agama” pada mulanya kata ini lebih berkonotasi sebagai kata kerja yang mencerminkan sikap keberagamaan atau kesalehan hidup berdasarkan nilai-nilai ketuhanan21

Agama sebagai kata kerja, berkenaan dengan perwujudan moral ketuhanan dan kemanusiaan. Perwujudan moral ketuhanan dapat diartikan sebagai wujud sifat-sifat ilahiah dalam diri manusia yang termanifestasikan dalam sikap dan tingkah laku atau sering kita sebut dengan akhlak. Perwujudan moral hadir dari rasa kesadaran moral bahwa manusia adalah bagian dari alam semesta yang tidak terpisahkan sehingga kesadaran tersebut mengambil peran dan tanggung jawabnya terhadap dunia ini. Perwujudan moral ketuhanan tersebut yang kemudian termanifestasikan oleh manusia, maka dengan sendirinya akan melahirkan suatu prinsip universal tentang nilai-nilai etis / kebaikan hidup manusia.

Hal ini senada dengan pendapat A.M. Romly bahwa agama merupakan pelajaran mewujudkan rasa kemanusiaan setinggi-tingginya dalam susunan yang teratur, agar bisa bermanfaat sebanyak-banyaknya untuk kehidupan manusia. Oleh karena itu, tujuan tiap-tiap agama pada hakekatnya adalah sama, yaitu perwujudan prikemanusiaan setinggi-tingginya22

Dalam Islam, sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW “Tidaklah aku diutus, kecuali untuk menyempurnakan akhlak”. Hal ini sangatlah jelas bahwa agama (Islam) bertujuan untuk mengembangkan dan membentuk akhlak manusia, sehingga agama dengan seperangkat aturan yang terkandung didalamnya (syariat) adalah jalan atau cara untuk menumbuhkembangkan akhlak tersebut. Sebagaimana yang dikehendaki agama adalah yang

20

Jalaluddin, Psikologi Agama …, h.239

21

Komarudin Hidayat, The Wisdom of Life, Menjawab Kegelisahan Hidup dan Agama,

(Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 2008), h.3

22


(37)

dikehendaki Tuhan, agar manusia memahami jati dirinya dan eksistensinya untuk berbakti kepada Tuhan, manusia dan alam semesta.

Menurut Prof.Dr. Komarudin Hidayat, keberagamaan atau religiusitas lebih mengarah pada kualitas penghayatan dan sikap hidup seseorang berdasarkan nilai-nilai keagamaan yang dianutnya23 Dengan demikian dapat diartikan bahwa keberagamaan adalah penyikapan atau pemahaman para penganut agama terhadap doktrin, kepercayaan dan ajaran-ajaran Tuhan.

Pandangan penganut agama terhadap nilai dan ajaran agama yang parsial memunculkan keberagamaan yang ekstrinsik, hal ini disebabkan pemahaman agama yang literalis dan tekstualis terutama pada teks-teks suci yang mengandung makna ambigu sering dipahami dengan pengertian yang bias dan absurd. Pada sisi ini rekonstruksi terhadap pemahaman agama perlu diupayakan secara sistematis, kontekstual, otentik serta dijadikan komitmen bagi seluruh umat beragama. Untuk memulainya nilai-nilai teologi pembebasan perlu dihadirkan dan melihat relevansinya dengan nilai-nilai kemanusiaan, fakta sosial dan perkembangan zaman. Karena sebenarnya kelahiran agama yang dibawa para rasul Tuhan tidak lain adalah untuk pembebasan terhadap kaum tertindas serta upayanya menegakkan hak-hak asasi manusia24

Dengan faham dan penghayatan agama yang benar, mestinya seseorang dan masyarakat tumbuh menjadi semakin manusiawi dan beradab. Disisi lain secara diakletis nilai-nilai dan praktek luhur keagamaan juga harus dijaga dan dihormati karena agama merupakan sumber dan pedoman luhur yang sakral untuk kebaikan manusia sendiri25

Kerukunan dan dialog antar agama harus dijaga dan terus dikembangkan. Semuanya tetap menjaga prinsip yang telah diyakini sebagai inti dari kepercayaan sebuah agama. Dalam hal ini, W. Montgomery Watt menyatakan dalam pengantar bukunya, Islamic Revelation in the Modern

23

Komarudin Hidayat, The Wisdom of Life…, h.4

24 Irwan Suhanda (ed), Damai Untuk Perdamaian, (Jakarta : Penerbit Buku Kompas,

2006), Cet.1, …, h.17

25


(38)

World (1969), dialog agama melibatkan kesediaan untuk menjawab secara positif pernyataan agama lain tanpa maksud mengubah kesetiaan orang itu terhadap agamanya26.

Jadi tujuan dialog agama bukan mengajak umat lain masuk agama kita, tetapi mengungkapkan keyakinan yang kita imani agar dapat memperkaya pengetahuan umat lan tentang agama kita sehingga menghindarkan kesalahpahaman dan buruk sangka. Tujuan dialog agama juga bukan untuk mencapai pandangan ideal yang satu, tetapi mencari simpul-simpul ajaran universal yang harus diperjuangkan bersama, seperti keadilan dan perdamaian27

Dari berbagai pemaparan diatas, agama dipahami dalam bentuk kata kerjanya tentu ia lebih menekankan pada substansi dan nilai-nilai luhur yang aktual didalamnya. Oleh karena itu, pada tataran ini, setiap agama memiliki persamaan tujuan terhadap kemanusiaan. Tetapi kemudian, pada saat yang bersamaan dan dalam perkembangannya agama bergeser menjadi semacam kata benda, yakni sebagai institusi kelembagaan yaitu himpunan doktrin dan ajaran serta hukum-hukum yang telah dibakukan. Proses pembakuan ini berlangsung antara lain melalui proses sistematisasi nilai dan semangat agama, sehingga sosok agama lalu hadir sebagai himpunan sabda Tuhan yang terhimpun dalam literatur keagamaan karangan para tokoh agama28. Ketika ajaran agama telah dibungkus menjadi paket-paket informasi ilmiah, maka sesungguhnya telah berlangsung proses obyektivikasi dan rasionalisasi dalam dunia agama, sehingga sangatlah mungkin ruh dan misteri agama akan surut menghilang. Manusia akan lebih memandang bentuk formalitas suatu agama dan semakin jauh dari esensi dasar dan tujuan agamanya.

Tentu saja hal ini tidak dapat kita pungkiri, karena setiap agama dari masa-masa lahir dan perkembangannya telah menciptakan tradisi-tradisi yang melekat dengan agama itu sendiri. Namun setidaknya untuk memahami agama yang murni, selain menjaga tradisi positif yang dapat mempertahankan

26

Irwan Suhanda (ed), Damai Untuk Perdamaian…, h. 40

27

Irwan Suhanda (ed), Damai Untuk Perdamaian…, h. 41

28


(39)

eksisitensi agama, harus disertai dengan penghayatan agar kita juga tidak kehilangan spirit (semangat) pesan dasar agama dan tujuan agama bagi manusia.

Dalam menyikapi pluralitas agama tersebut, lahirlah konsep-konsep mengenai sikap keagamaan yang diusung oleh beberapa tokoh. Misalnya, Hans Kung yang mempromosikan ide global ethics, John Hick mengusulkan global theology. Pemikiran eksklusif dari agama-agama diglobalkan dan dilebur agar dikenal dengan gagasan yang disebut teologi inklusif. Teologi ini menekankan bahwa semua agama pada esensinya adalah sama, semuanya benar karena tanpa kecuali seluruhnya mengajarkan kebaikan dan ketundukan kepada Yang Mahakuasa dan Mahabenar. Oleh sebab itu, tidak ada satu pun di antara agama yang ada pada saat ini, lebih superior dibandingkan yang lain.

C.

Agama dan Gagasan tentang Tuhan

Umat manusia sejak awal kehadirannya dipentas sejarah telah memberikan nama yang berbeda-beda, sesuai dengan bahasa yang digunakan masing-masing, kepada “Kausa Prima” alam keberadaan. Orang Persia menyebutnya “Yazdan” atau “Khoda”. Orang Inggris menyebutnya “God” atau “Lord”, kita menyebutnya Tuhan atau “Sang Hyang” 29. Dialah Tuhan Maha Sempurna. Kepercayaan pada “Yang Adi Kodrati”, merupakan bagian integral dari kehidupan manusia, baik terbentuk dalam sebuah lembaga transsendental yang disebut “agama” maupun tidak di-agamakan. Kendati demikian, konsep dan keyakinan tentang Tuhan telah berkembang dan terpecah dalam beberapa aliran ketuhanan. Demikianlah, Tuhan, sejak dulu hingga sekarang telah menjadi obyek perdebatan, pengimanan sekaligus juga penolakan.

29

Kata “tuhan” dalam bahasa Indonesia, misalnya, hampir memiliki arti yang berdekatan dengan “tuan” yang berarti “majikan” atau “pemilik”, atau kata “Hyang” yang memliki kedekatan arti dengan “eyang” yang berarti kakek atau nenek…., Lihat : Ja’far Subhani, Sang Pencipta Menurut Sains dan Filsafat, (Jakarta : Penerbit Lentera, 2004), Cet.1, h.11-12


(1)

191

karena itu misi setiap agama adalah membangun perdamaian dan peradaban hidup manusia.

Wahdat al-Adyan dan pluralisme agama mengajarkan tentang sikap terbuka, menerima dan toleransi terhadap eksistensi keberagamaan. Inilah cara dalam mengungkapkan keramahan agama serta cara dalam mengaplikasikan nilai-nilai etis kemanusiaan sebagai wujud keimanan terhadap Tuhan, kitab suci dan para nabi. Bahwa setiap agama membawa pesan keharmonisan dan perdamaian. Oleh sebab itu tidak diperlukan lagi arogansi kebenaran teologis untuk menyatukan umat manusia, karena hal tersebut seharusnya menjadi ranah privasi keagamaan seseorang bukan lagi orientasi interes atau subyektivitas yang dipaksakan.

Kenyataan manusia terbagi atas berbagai agama diibaratkan anak-anak sungai yang mengalir dan berakhir menuju samudera raya. Sebagaimana agama menyangkut sisi batiniah, maka hanya Tuhan lah yang mengetahuinya. Pada akhirnya kita harus mengimani bahwa Tuhan lah yang mutlak dan tidak terbatas, hakim dan penentu atas hamba-hamba-Nya. (Wallahu A’lamu bi al-Shawwab).

B.

Saran

Ilmu pengetahuan dan teknologi semakin berkembang seiring berjalannya waktu. Hal tersebut haruslah diimbangi dengan kemajuan pemikiran Islam sebagai bagian dari solusi yang ditawarkan bagi kebutuhan zaman. Wacana intelektual Islam tidak boleh begitu saja stagnan atau mengalami kebekuan sehingga kita dituntut untuk mendermakan pikiran kita untuk terus menggali khazanah intelektual Islam.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Abu Bakar, As-Sayyid Ibn Muhammad syata. Kifayat Atqiya Wa Minhaj Al-Syifa, trans; Menapak Jejak Kaum Sufi, Surabaya. Dunia Ilmu Offset. 1997

Al-Banna, Gamal. Doktrin Pluralisme dalam Al-Quran, terj. Al-Ta’aduddiyyah fi al-Mujtama’ al-Islamiy. Jakarta. Menara. 2006

Al-Ghazali, Abu Hamid, Ihya ‘Ulum al-Din Karya al-Ghazali, terj. Purwanto, Bandung Marja’ 2003

Al-Ghazali, Abu Hamid, Kerancuan Filosof, terj. Ahmad Maimun, Yogyakarta, Islamika, 2003

Al-Ghazali, Abu Hamid, Mutiara Ihya’ ‘Ulum Al-Din, terj. Irwan Kurniawan, Bandung, Mizan, 2000

Al-Mara’syili, M.Abdurrahman. Tarjamah Ibnu Arabi, Al-Futuhat Al-Makiyyah Ibn Arabi. Beirut : Dar Ihya Al Turast Al-Arab. 1998

Al Qardhawy, Yusuf. Iman dan Kehidupan, terj. “Al-Iman wa al-Hayat”. Jakarta. PT. Bulan Bintang. 1993.

Ali, Atabik dan Ahmad Zuhdi Mudhlor. Kamus Kontemporer Arab Indonesia. Yogyakarta. Multi Karya Grafika. 2003

Ali, Muhammad. Teologi Pluralis multikulral: Mengharagai kemejmukan menjalin kebersamaan. Jakarta. Penerbit Buku Kompas. 2003

Al-Munawar, Husain Said Agil. Fikih Hubungan Antar Agama. Jakarta. Ciputat Press. 2005

Amin, Wadi’. A’lam Shufiyyah, Jurnal, Adab wa Naqd, Edisi 204, 2002 Anonim. Konsekuensi Logis Pluralisme Agama. www.islamshia-w.com _______. Epistemologi Wahdat al-Adyan. www.wisdom4all.com.

________. Wahdat al-Adyan : Melerai Konflik Umat Beragama. www.nusantaraonline.org.com


(3)

Anwar, Rosihon, Ilmu Tasawuf, Bandung, Pustaka Setia, 2004

A.S, Asmaran. Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta, P.T Raja Grafindo Persada, 2002

Bahri, Ghazali, Muhammad, Konsep Ilmu Menurut Al-Ghazali; Suatu Tinjauan Psikologik Paedagogik, Jakarta, Pedoman Ilmu Jaya, 2000

Bahri, Zaenal, Menembus Tirai Kesendirian-Nya, Jakarta, Prenada, 2005 Budiman, Dwi. Tokoh-Tokoh Pluralisme Agama,: www.republika.co.id Cyril Gkasse, Ensiklopedia Islam, Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoove, 1991 Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan terjemahnya. Jakarta : Yayasan

Penyelenggara Penterjemah / Pentafsir Al-Quran. 1971

Departemen Pendidikan Nasional RI. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. 2009

Dirks, Jerald F. Titik Temu dan Titik Seteru Antara Islam, Kristen dan Yahudi. terj. “Abrahamic Faiths”. Jakarta. PT. Serambi Ilmu Semesta.2006 Ghazaly, Adeng Muhtar. Ilmu Studi Agama. Jakarta. CV. Pustaka Setia. 2005 Haeri,Fadhullah. Jiwa Al-Qur’an : Tafsir Surat al-Baqarah. Jakarta. PT Serambi

Ilmu Semesta. 2001

Heer, Nicholas, Tafsir Esoteris Ghazali dan Sam’ani, Yogyakarta, Pustaka Sufi, 2003

Hidayat, Komarudin dan Muhammad Wahyuni Nafis. Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Perenial. Jakarta. Paramadina. 1995

_________________. The Wisdom of Life, Menjawab Kegelisahan Hidup dan Agama, Jakarta. Penerbit Buku Kompas, 2008

A.S Hornby et.al., The Advanced Learner’s Dictionary of Current English. Oxford. Oxford University Press. 1972

Idrus, Junaidi. Rekonstruksi Pemikiran Nurcholis Madjid; Membangun Visi dan Misi Baru Islam. Yogyakarta. Logung Pustaka. 2004


(4)

Irfan, Mohammad dan Mastuki HS. Teologi Pendidikan. Tauhid Sebagai Paradigma Pendidikan Islam. Jakarta. Friska Agung Insani. 2000 Izutsu, Toshihiko. Relasi Tuhan dan Manusia; Pendekatan Semantik Terhadap

Al-Quran. Yogyakarta. Tiara Wacana Yogya. 2003

Kardiyanto, Wawan. Konsep Wahdat al-Adyan : Antara Mono dan Multi. www.wawankardiyanto.multiply.com

Jalaluddin. Psikologi Agama. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada. 2005 Lubis, Abdul Karim. Islam dan Pluralisme agama. www.wisdom4all.com

Madjid, Nurcholish. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta : Paramadina.

1992

Mahmud, Abdul Halim, Qadhiyat at-Tasawwuf al-Munqidz Min adh-Dh. al, Dar al-Maarif, Kairo, 1119

Mahmud, Amir (ed.). Islam dan Realitas Sosial di Mata Intelektual Muslim Indonesia. Jakarta. Edu Indonesia Sinergi. 2005

Misrawi, Zuhairi. Al-Quran Kitab Toleransi; Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme. Jakarta. Penerbit FITRAH. 2007

Nasuhi, Hamid. Frithjof Schuon dan Filsafat perennial. jurnal, REFLEKSI. Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2002

Nawawi, Muhammad al-Jawi, Maraqi al-Ubudiyyah Syarh ‘Ala Matan Bidayah al-Hidayah, (Semarang, Pustaka al-Alawiyyah, t.t.

Noer, Kautsar Azhari. Esoterisme dan Kesatuan Agama-agama. Jurnal, Titik Temu. No.1. 2010

_____________________. Tasawuf Perenial, Kearifan Kritis Kaum Sufi. Jakarta. PT. Serambi Ilmu Semesta. 2003

Noor, Hasan M. (ed.), Agama di Tengah Kemelut. Jakarta. Media Citra. 2001 Palmer, E Richard. Hermeneutika; Teori Baru Mengenai Interpretasi.

Yogyakarta. Pustaka Pelajar. 2003

Qorib, Muhammad. Pluralisme Agama dalam Perspektif Sufi. Jurnal, Titik Temu. No.2, Jakarta. NCMS. 2010


(5)

Rahardjo, M Dawam. Agama Masa Depan. www.korantempo.com

Rakhmat, Jalaludin. Islam dan Pluralisme, Akhlak Quran Menyikapi Perbedaan. Jakarta. PT. Serambi Ilmu Semesta. 2006

Riyadi, Hendar. Melampaui Pluralisme ; Etika Al-Quran tentang Keragaman Agama. Jakarta. RMBOOKS&PSAP, 2007

Romly, A.M. Fungsi Agama Bagi Manusia : Suatu Pendekatan Filsafat. Jakarta. Bina Rena Pariwara. 1999

Sahabuddin. Menyibak Tabir Nur Muhammad. Jakarta. Renaisan, 2004

Schuon, Fritjhof. Mencari Titik Temu Agama-agama, terj. The Trancendent Unity of Religions. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia. 1994

Shaliba, Rahmil. al-Mu’jam al-Falsafi, Beirut. Dar al-Kitab al-Banani. 1973 Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, Jakarta. PT. Raja Grafindo

Persada, 2002

Sirry, Mun’im (ed.). Fikih Lintas Agama : Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis. Jakarta. Paramadina.2004

Smith, Wilfred Cantwell. Memburu Makna Agama, terj. The Meaning and End of Religion. Bandung. PT. Mizan Pustaka. 2004

Subhani, Ja’far. Sang Pencipta Menurut Sains dan Filsafat. Jakarta. Penerbit Lentera, 2004

Sudrajat, Ajat. Tafsir Inklusif Makna Islam. Yogyakarta. AK Group Yogya.2004 Suhanda, Irwan (ed), Damai Untuk Perdamaian. Jakarta. Penerbit Buku Kompas.

2006

Sulistio, Christian Teologi Pluralisme Agama John Hick : Sebuah Dialog Kritis dari Perspektif Partikularis, www.seabs.ac.id

Sumaryono, E. Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta. Kanisisus. 1999

Sururin (Ed.). Nilai-nilai Pluralisme Dalam Islam, Bingkai gagasan yang berserak. Bandung. Penerbit Nuansa. 2005


(6)

Suseno, Frans Magnis. Menalar Tuhan, Jakarta. Kanisius. 2006

Syams, Ruhullah. Landasan Epistemologi dan Teologi Pluralisme Agama, www.al-Shia.org

Tafsir, Ahmad. Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. Jakarta. PT. Remaja Rosdakarya. 2003

Thoha, Anis Malik. Melacak Pluralisme Agama, www.hidayatullah.com

_______________. Tren Pluralisme Agama : Tinjauan Kritis. Jakarta. Perspektif. 2005

Tonang. Dialog Antar Umat Beragama, dalam Jurnal FARABI, Volume 3. Jakarta. 2007

Usman, Fathimah. Wahdat al-Adyan : Dialog Pluralisme Agama. Yogyakarta. LKiS. 2002

Zainal Abidin, Ahmad, Riwayat Hidup Imam Al-Ghazali, Jakarta, Bulan Bintang, 1975

www.almukmin-ngruki.com www.islamlib.com

www.al-khilafah.org www.nsistnet.com www.republika.co.id