Perumusan Permasalahan Bambang Suhada, E. Gumbira Said, Sukardi. 2012. Strategi Peningkatan

Tabel 3. Produktivitas dan Tingkat Pengembalian Investasi Pada Negara Produsen Gula No Negara Produsen Gula Produktivitas Lahan Ton Hektar Tingkat Pengembalian Investasi 1 Brazil 77,63 14,6 2 Colombia 75,28 11,5 3 India 72,56 10 4 Indonesia 62,52 8 5 Mauritius 64,91 10,3 6 Filipina 58,06 10 7 Thailand 63,71 10,8 Sumber : Pakisama, Inc 2010

2.2. Kinerja Industri Gula Nasional

Dalam konstelasi geografi ekonomi pergulaan dunia, Republik Rakyat China telah memantapkan dirinya menjadi negara adidaya baru dalam industri gula dunia the new emerging world superpower in sugar. Brasil dengan pilihan kebijakannnya yang dicanangkan pada awal tahun 70-an juga telah menjadi negara penting di bidang produksi gula dunia. Di lain pihak, Australia dan Thailand, juga telah mengukuhkan negaranya menjadi negara pengekspor gula penting dunia. Namun, perkembangan menarik dari industri pergulaan di beberapa negara tersebut ternyata sampai saat ini belum terjadi di Indonesia. Salah satu keberhasilan negara-negara eksportir gula dunia tersebut adalah dengan menerbitkan instrumen kebijakan proteksi kepada industri gulanya seperti pengenaan tarif bea masuk BM yang cukup tinggi dan instrumen komplemen lainnya seperti pengaturan, pengawasan dan pembatasan impor gula yang memungkinkan industri gula negara-negara eksportir gula dunia tersebut mampu menekan biaya pokok produksinya. Dengan demikian, biaya pokok produksi gula di negara-negara eksportir tersebut telah mengalami distrosi sebagai dampak dari kebijakan yang protektif. Dalam kondisi pasar gula di dalam negeri terintegrasi terhadap pasar gula dunia, biaya pokok produksi merupakan tolok ukur dari kinerja industri gula. Industri gula dapat bertahan, jika biaya pokok berada di bawah harga paritas impornya. Hal yang sangat unik bagi industri gula di Indonesia adalah adanya disintegrasi vertikal dalam memproduksi gula. Pada lahan non Hak Guna Usaha HGU, proses produksi dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu memproduksi tebu usahatani tebu yang dilaksanakan oleh petani dan memproses tebu menjadi gula pengolahan yang dilaksanakan oleh pabrik gula PG. Keunikan ini membawa implikasi bahwa daya saing industri gula tidak hanya ditentukan oleh biaya pokok industri yang dibandingkan dengan harga paritas impornya, tetapi juga ditentukan oleh kualitas bahan baku tebu. Dengan demikian, jika biaya pokok industri gula berada di bawah harga paritas impor, tetapi kualitas tebu memiliki rendemen yang rendah, maka produk gula yang dihasilkan tetap saja tidak akan memiliki daya saing Indraningsih et al., 2004. Jika dibandingkan dengan negara-negara eksportir gula dunia, kondisi kinerja industri gula nasional hingga saat ini memang belum mampu menunjukkan daya saing yang tinggi. Bahkan menurut Pakpahan 2009, saat krisis multidimensi terjadi tahun 1997-1998, pabrik gula di Indonesia jumlahnya telah berkurang dengan ditutupnya sebelas pabrik gula, yaitu sepuluh di pulau Jawa dan satu di luar pulau Jawa. Dari 178 pabrik gula dengan kapasitas 240.000 ton tebu giling per hari TCD pada 1930-an, dewasa ini Indonesia tinggal memiliki 60 pabrik gula dengan kapasitas 206.00 TCD. Berkurangnya jumlah pabrik gula di pulau Jawa selain disebabkan kurangnya pasokan tebu sebagai bahan baku, juga dikarenakan umur mesin produksi yang digunakan relatif tua sehingga kurang efisien jika tetap dioperasikan. Untuk mengkaji inefisiensi yang terjadi pada industri gula nasional, berikut diperlihatkan gambaran tentang indikator efisiensi teknis dari pabrik- pabrik gula yang berada di pulau Jawa, khususnya yang pengelolaannya dibawah manajemen PTPN. Menurut Indraningsih et al. 2004, untuk komponen mill extraction ME diperoleh angka sebesar 84 - 85 dari tingkat efisiensi normal sebesar 95 persen, boiling house recovery BHR memberikan angka 70 – 80 persen dari efisiensi normal 90, dan overall recovery OR yang memberikan angka 59 – 79 persen dari efisiensi normal sebesar 85 persen. Sementara itu, pol tebu memberikan angka 8 – 11 persen dari efisiensi normal 14 persen, dan rendemen 5 - 8,5 persen dari efisiensi normal sebesar 12 persen. Akibatnya, rendemen gula yang diterima petani menjadi rendah dan harga pokok gula hablur yang dihasilkan tidak memiliki daya saing Tabel 4 : Tabel 4. Beberapa Indikator Efisiensi Teknis Pabrik Gula di Indonesia Komponen Efisiensi Pabrik Gula Efisiensi Normal Mill Extraction ME 84 – 85 95 Boiling House Recovery BHR 70 -80 90 Overall Recovery OR 59 – 79 85 Pol Tebu 8 – 11 14 Rendemen 5 – 8.5 12 Sumber : P3GI Dalam Indraningsih et al. 2004 Selain karena faktor indikator efisiensi teknis di tingkat pabrik gula, gambaran inefisiensi dari pabrik-pabrik gula dibawah manajemen PTPN di pulau Jawa tersebut juga dipicu akibat berkurangnya luas areal tanaman tebu yang menyebabkan pasokan bahan baku menjadi terbatas. Dengan demikian, adanya keterbatasan pasokan tebu sebagai bahan baku tersebut disintegrasi vertikal, maka terjadi perebutan tebu yang dihasilkan oleh petani oleh banyak pabrik gula. Deskripsi tentang kinerja industri gula nasional juga dapat dilihat dari kinerja produksi dan tingkat rendemen yang dihasilkannya. Berdasarkan hasil kajian P3GI 2007, produksi gula nasional pada tahun 2007 diperkirakan mencapai 2,43 juta ton atau bertambah 125 ribu ton dibanding tahun lalu. Namun, rendemen atau kandungan gula tebu tahun 2006 malah anjlok dibanding sebelumnya. Rendemen gula secara nasional turun dari 7,63 persen pada 2006