Sebaliknya, bila nilai SP lebih kecil dari nol, berarti sistem komoditi tidak mampu
bersaing tanpa bantuan atau intervensi pemerintah.
Tabel 56 juga menunjukkan nilai SP pada seluruh pabrik gula bernilai positif lebih dari, sehingga seluruh pabrik gula memiliki keuntungan di atas
normal. Keuntungan sosial pada pabrik swasta di Jawa Timur yaitu KA relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan pabrik gula BUMN yaitu PG PB. Namun
di Lampung terjadi sebaliknya dimana pabrik gula swasta yaitu PG GM memiliki keuntungan sosial lebih tinggi dibandingkan pabrik BUMN yaitu PG PG BM.
Hasil analisis juga menunjukkan bahwa keuntungan sosial pengolahan tebu menjadi gula pada lahan tegalan juga lebih tinggi jika dibandingkan dengan tebu
lahan sawah dan tebu produksi tanaman keprasan RC lebih tinggi dibanding tanaman pertama PC. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pabrik gula
BUMN di Jawa lebih mampu bersaing dibanding dengan pabrik gula swasta, sedangkan di luar Jawa sebaliknya. Sementara itu dari sumber bahan baku tebu,
daya saing PG yang menggunakan bahan baku tebu lahan tegalan pada tanaman RC memiliki daya saing yang lebih tinggi jika dibandingkan menggunakan tebu
bahan baku lahan sawah dan tebu tanaman PC. Disamping itu, tanpa bantuan atau intervensi pemerintah seluruh PG mampu memiliki daya saing dari sudut pandang
pasar maupun sosial, PG GM memiliki daya saing yang paling tinggi dengan indikatior profitabilitas baik finansial maupun ekonomi. Implikasi dari dari ini
adalah bahwa pengembangan pabrik gula BUMN di Jawa lebih bersaing dibandingkan pabrik gula swastanya, sedangkan di luar Jawa sama-sama
menguntungan, baik pabrik gula dalam bentuk BUMN maupun Swasta. Pengembangan pabrik gula di luar pulau Jawa yang menggunakan lahan kering,
dapat dianjurkan selama sistem pengairan memadai seperti yang telah dilakukan PG Gunung Madu.
6.4.2. Efisiensi Finansial dan Efisiensi Ekonomi
Rasio Biaya Pasar PCR
merupakan indikator profitabilitas privat yang menunjukkan kemampuan sistem untuk membayar biaya domestik dan tetap
kompetitif. Sistem bersifat kompetitif jika PCR lebih kecil dari satu. Semakin
kecil nilai PCR berarti sistem semakin kompetitif.
Tabel 57. Efisiensi Finansial dan Ekonomi Pabrik Gula Contoh Berdasarkan Jenis Lahan
Efisiensi
PG KA PG PB
PG BM PG GM
Sawah Tegal
Sawah Tegal
Tegal Tegal
PC RC
PC RC
PC RC
PC RC
PC RC
PC RC
PCR 0.84 0.77 0.83 0.74 0.77 0.69 0.67 0.60 0.74 0.64 0.72
0.62 DRCR
0.94 0.85 0.91 0.82 0.86 0.77 0.74 0.66 0.71 0.64 0.69 0.60
Sumber : Hasil pengolahan data
Tabel 57 menunjukkan nilai PCR pada seluruh pabrik gula bernilai kurang dari 1, sehingga seluruh pabrik gula bekerja secara efisien dari segi
finansial. Tingkat efisiensi finansial pada pabrik swasta di Jawa Timur yaitu PG KA relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan pabrik gula BUMN yaitu PG
PB. Namun di Lampung terjadi sebaliknya dimana pabrik gula swasta yaitu PG GM memiliki efisiensi finansial lebih tinggi dibandingkan pabrik BUMN yaitu
PG Bunga Mayang PG BM. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa efisiensi finansial pengolahan tebu menjadi gula pada lahan tegalan juga lebih tinggi jika
dibandingkan dengan tebu lahan sawah dan tebu produksi ratoon cane RC lebih tinggi dibanding plant cane PC. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
pabrik gula BUMN di Jawa lebih mampu bersaing dibanding dengan pabrik gula swasta, sedangkan di luar Jawa sebaliknya. Sementara itu dari sudut pandang
sumber bahan baku tebu, daya saing pabrik gula yang menggunakan lahan tegalan dengan tanaman keprasan memiliki daya saing yang lebih tinggi
dibandingkan pabrik gula yang menggunakan lahan sawah dengan tanaman tebu baru PC.
Rasio Biaya Sumberdaya Domestik DRCR
merupakan indikator keunggulan komparatif yang menunjukkan jumlah sumberdaya domestik yang
dapat dihemat untuk menghasilkan satu unit devisa. Sistem mempunyai keunggulan komparatif jika DRCR lebih kecil dari satu. Semakin kecil nilai
DRCR berarti semakin efisien dan mempunyai keunggulan komparatif makin
tinggi.
Tabel 57 juga menunjukkan nilai DRCR pada seluruh pabrik gula bernilai kurang dari satu, sehingga seluruh pabrik gula memiliki keunggulan
komparatif. Keunggalan pada pabrik swasta di Jawa Timur yaitu KA relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan pabrik gula BUMN yaitu PG PB. Namun di
Lampung terjadi sebaliknya dimana pabrik gula swasta yaitu PG GM memiliki keuntungan sosial lebih tinggi dibandingkan pabrik BUMN yaitu PG PG BM.
Hasil analisis juga menunjukkan bahwa keunggulan komparatif pengolahan tebu menjadi gula pada lahan tegalan juga lebih tinggi jika dibandingkan dengan tebu
lahan sawah dan tebu produksi ratoon cane RC lebih tinggi dibanding plant cane PC. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pabrik gula BUMN di
Jawa lebih mampu bersaing dibanding dengan pabrik gula swasta, sedangkan di luar Jawa sebaliknya. Sementara itu dari sumber bahan baku tebu, daya saing PG
yang menggunakan bahan baku tebu lahan tegalan pada tanaman RC memiliki daya saing yang lebih tinggi jika dibandingkan menggunakan tebu bahan baku
lahan sawah dan tebun tanaman PC. Disamping itu, seluruh PG mampu memiliki daya saing secara kompetitif maupun komparatif dan PG GM memiliki daya saing
yang paling tinggi dengan indikator efisiensi baik finansial maupun ekonomi. Implikasi dari ini adalah bahwa pengembangan pabrik gula di Jawa lebih bersaing
apabila memiliki bentuk BUMN, sedangkan di luar Jawa lebih menguntungkan baik dalam bentuk BUMN maupun Swasta, sekalipun Swasta lebih mampu
bersaing. Pada industri gula sebaiknya dilakukan di luar Jawa pada lahan kering, selama sistem pengairan memadai seperti pada PG GM.
6.4.3. Kebijaksanaan Keluaran
Transfer Keluaran OT atau
Transfer output merupakan selisih antara penerimaan dihitung atas harga privat finansial dengan penerimaan
dihitung berdasarkan harga sosial bayangan. Nilai OT lebih besar dari nol menunjukkan adanya transfer dari masyarakat konsumen ke produsen, demikian
juga sebaliknya. Tabel 58 menunjukkan nilai OT pada seluruh pabrik gula
bernilai lebih dari nol, sehingga seluruh pabrik gula memperoleh tranfer dari masyarakat kepada industri atau produsen gula pabrik gula. Nilai OT pada
pabrik swasta di Jawa Timur yaitu PG KA relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan pabrik gula BUMN yaitu PG PG PB. Namun di Lampung terjadi
sebaliknya dimana pabrik gula swasta yaitu PG GM memiliki nilai OT lebih rendah dibandingkan pabrik BUMN yaitu PG BM. Hasil analisis juga
menunjukkan bahwa OT pengolahan tebu menjadi gula pada lahan sawah sama dengan tegalan dan tanaman PC juga sama dengan tanaman RC. Dengan dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa pabrik gula BUMN di Jawa maupun yang berada di luar Jawa memiliki nilai OT lebih tinggi jika dibandingan dengan
pabrik gula swasta. Dari sudut pandang OT. baik pabrik gula di Jawa maupun luar Jawa, tidak ada perbedaan antara pabrik gula yang menggunakan lahan sawah
mupun tegalan, termasuk juga dalam penggunaan tanaman PC maupun RC.
Tabel 58. Dampak Kebijakan Output Pabrik Gula Contoh Berdasarkan Jenis Lahan
Kebijakan Output
PG KA PG PB
PG BM PG GM
Sawah Tegal
Sawah Tegal
Tegal Tegal
PC RC
PC RC
PC RC
PC RC
PC RC
PC RC
OT Rp. JutaTon 1.23
1.23 1.23
1.23 1.24
1.24 1.24
1.24 0.73
0.73 0.72
0.72 NPCO
1.16 1.16
1.16 1.16
1.17 1.17
1.17 1.17
1.08 1.08
1.08 1.08
Sumber : Hasil Pengolahan Data
Koefisien Proteksi Nominal Terhadap Keluaran NPCO
merupakan tingkat proteksi pemerintah terhadap output domestik. Kebijakan bersifat protektif
terhadap output jika nilai NPCO lebih besar dari satu. Semakin besar nilai NPCO,
berarti semakin tinggi tingkat proteksi pemerintah terhadap output.
Tabel 58 menunjukkan nilai NPCO pada seluruh pabrik gula bernilai lebih dari satu, sehingga seluruh pabrik gula memperoleh proteksi dari pemerintah.
NilaiNPCO pada pabrik swasta di Jawa Timur yaitu PG KA relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan pabrik gula BUMN yaitu PG PB. Namun di Lampung,
nilai NPCO yang terjadi adalah sama antara pabrik gula swasta dan pabrik gula BUMN. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa NPCO pengolahan tebu menjadi
gula pada lahan sawah sama dengan tegalan dan tanaman PC juga sama dengan tanaman RC. Dengan dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pabrik gula
BUMN di Jawa memiliki proteksi pemerintah yang lebih tinggi dibanding di luar Jawa dan tidak ada beda antara bahan baku tebu berasal dari lahan sawah mupun
tegalan dan juga tanaman PC maupun RC. Implikasi dari hal ini adalah pengembangan pabrik gula diluar Jawa mampu bersaing sekalipun memperoleh
transfer keluaran OT dan proteksi yang lebih rendah.
6.4.4. Kebijaksanaan Masukan
Transfer Masukan IT adalah selisih antara biaya input yang dapat
diperdagangkan pada harga privat dengan biaya input yang dapat diperdagangkan pada harga sosial. Nilai IT menunjukkan adanya kebijaksanaan pemerintah yang
diterapkan pada masukan yang diperdagangkan input tradable. Jika nilai IT lebih besar dari nol menunjukkan adanya transfer dari pabrik gula produsen pada
masukan yang diperdagangkan.
Tabel 59 menunjukkan bahwa nilai IT yang bervariasi dan memiliki sebagian besar lebih dari nol yang menunjukkan bahwa ada kebijakan pemerintah
yang diterapkan pada masukan-masukan yang diperdagangkan, misalnya bahan bakar minyak dan lain-lain. Nilai IT pada pabrik swasta di Jawa Timur yaitu PG
KA relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan pabrik gula BUMN yaitu PG PB. Namun di Lampung nilai IT yang terjadi adalah pabrik gula swasta yaitu PG
GM mendapat transfer masukan lebih rendah jika dibandingkan dengan pabrik gula BUMN yaitu PG BM. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa IT pengolahan
tebu menjadi gula pada lahan sawah sama dengan lebih tinggi dari tegalan, namun memiliki nilai yang sama antara tanaman PC maupun tanaman RC. Dengan
dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pabrik gula BUMN di Jawa dan diluar Jawa memiliki tarnsfer masukan dari pemerintah yang lebih tinggi dari pada
pabrik gula swasta. Nilai transfer masukan di luar Jawa lebih tinggi dibanding di
Jawa dan namun tidak ada bedanya antara bahan baku tebu dari lahan sawah mupun tegalan. Sementara, nilai input dengan bahan baku tanaman PC di Jawa
lebih rendah, sedangkan nilai input di luar Jawa lebih tinggi dari RC. Implikasi dari hal ini adalah nilai transfer masukan lebih berpengaruh pada PG di luar Jawa
di banding di Jawa, sehingga pengembangan pabrik gula di luar Jawa lebih mampu bersaing jika dibandingkan di Jawa.
Tabel 59. Dampak Kebijakan masukan Terhadap Pabrik Gula Contoh Berdasarkan Jenis Lahan
Kebijakan masukan
PG KA PG PB
PG BM PG GM
Sawah Tegal
Sawah Tegal
Tegal Tegal
PC RC
PC RC
PC RC
PC RC
PC RC
PC RC
IT Rp. JutaTon
0.00 0.06 0.03 0.03 0.07 0.07 0.05 0.06 0.26 0.13 0.32 0.31
NPCI 1.00 1.06 1.02 1.04 1.06 1.11 1.05 1.09 1.23 1.16 1.26
1.37 FT
Rp. JutaTon 0.45 0.36 0.47 0.39 0.38 0.28 0.38 0.30 0.43 0.33 0.41
0.34
Sumber : Hasil Pengolahan Data
Koefisien Proteksi
Nominal Bagi
Masukan Yang
Dapat Dipertukarkan
NPCI
merupakan indikator yang menunjukkan tingkat proteksi pemerintah terhadap harga input domestik. Kebijakan bersifat protektif terhadap
input jika nilai NPCI lebih dari satu dan berarti ada kebijakan masukan yang
diperdagangkan input tradable.
Tabel 59 menunjukkan bahwa nilai NPCI memiliki nilai lebih dari satu yang menunjukkan bahwa ada kebijakan pemerintah tidak protektif terhadap
harga input domestik. Nilai NPCI pada pabrik swasta di Jawa Timur yaitu PG KA relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan pabrik gula BUMN yaitu PG
PB. Namun di Lampung nilai NPCI yang terjadi adalah pabrik gula swasta yaitu PG GM lebih tinggi jika dibandingkan dengan pabrik gula BUMN yaitu PG BM.
Hasil analisis juga menunjukkan bahwa nilai NPCI pengolahan tebu menjadi gula pada lahan sawah lebih rendah dari lahan tegalan dan nilai NPCI untuk tanaman
PC lebih rendah dari tanaman RC. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pabrik gula di luar pulau Jawa lebih merasakan kebijakan proteksi dari pemerintah