Tabel 64. Alternatif Strategi Peningkatan Produktivitas Tingkat Eksternal
Alternatif Strategi Kombinasi Strategi
Strategi 1 Antisipasi fluktuasi harga gula dunia melalui
penyempurnaan kebijakan klaster industri gula yang terintegrasi O1 dan T1
Strategi 2 Sinkronisasi
kebijakan pemerintah
melalui mekanisme koordinasi antar kementerian terkait
W3 dan T1
Strategi 3 Peningkatan
kompetensi penelitian
dan pengembangan melalui pengembangan inovasi S2
dan O1
Strategi 4 Standarisasi dan jaminan mutu produksi gula
sesuai dengan ketentuan dalam SNI S1 dan O2
8.1.3. Analisis Matriks Internal dan Eksternal IE
Dari hasil analisis SWOT kualitatif diatas, maka dilakukan penilaian dari masing- masing faktor yang membentuk kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman.
Hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut :
8.1.3.1. Tingkat Internal Kebun
Faktor internal merupakan gambaran kekuatan maupun kelemahan yang dapat dijadikan dasar bagi pengembangan usaha. Untuk tingkat kebun, secara umum
kekuatan dan kelemahan yang ada disajikan pada Tabel 65 berikut :
Tabel 65. Faktor Penentu Internal Kekuatan dan Kelemahan Tingkat Kebun
No Faktor Penentu Internal - Kekuatan
Rating Bobot
Skor
S1 Potensi Pengembangan Areal Tanam
4 0,1376
0,5503 S2
Penelitian Varietas Tebu Unggul 4
0,1473 0,5890
S3 Kondisi Agroklimat yang mendukung
4 0,1420
0,5682 S4
Kemitraan Pabrik Gula - Petani 4
0,1238 0,4953
S5 Adanya revitalisasi Kebijakan Pemerintah
4 0,1426
0,5705 2,7733
TOTAL KEKUATAN 0,6933
No Faktor Penentu Internal - Kelemahan
Rating Bobot
Skor
W1 Budidaya Tanaman tebu rakyat masih tradisonal
2 0,0736
0,1473 W2
Belum terstandarisasinya mutu produksi tebu 2
0,0502 0,1004
W3 Belum Optimalnya Sistem Bagi Hasil
1 0,0456
0,0456 W4
Pengaruh Anomali Cuaca 2
0,0736 0,1473
W5 Lemahnya struktur permodalan petani
2 0,0636
0,1272 0,5677
TOTAL KELEMAHAN 0,3067
Sementara faktor eksternal perlu dicermati oleh organisasi untuk mengantisipasi berbagai kecenderungan yang terjadi dan akan berdampak terhadap
perkembangan usaha kedepannya. Untuk tingkat kebun, secara umum peluang dan ancaman yang ada disajikan pada Tabel 66 berikut :
Tabel 66. Faktor Penentu Internal Peluang dan Ancaman Tingkat Kebun
No Faktor Penentu Internal - Peluang
Rating Bobot
Skor O1
Intensifikasi Budidaya Tanaman Tebu 3
0,0993 0,2980
O2 Konsolidasi Lahan Tanaman tebu rakyat
3 0,1030
0,3091 O3
Pemupukan modal melalui kelompok tani atau koperasi 4
0,1223 0,4893
O4
Keberlanjutan program bongkar ratoon, perkreditan dan subsidi input
3 0,1033
0,3098 O5
Penguatan Organisasi Petani 3
0,0804 0,2411
0,5083 1,6472
TOTAL PELUANG No
Faktor Penentu Internal - Ancaman Rating
Bobot Skor
T1 Retribusi dan Pungutan Di Daerah
4 0,1070
0,4281 T2
Kecenderungan alih fungsi lahan 3
0,1027 0,3080
T3
Masuknya gula rafinasi ke pasar konsumsi 3
0,0875 0,2625
T4
Penetapan harga gula dasar 3
0,0993 0,2980
T5 Struktur Pasar oligopsonstik
3 0,0952
0,2856 0,4917
1,5822 TOTAL ANCAMAN
8.1.3.2. Tingkat Internal Pabrik
DI tingkat pabrik, faktor internal menjadi fokus perhatian untuk diperhatikan mengingat dengan mengetahui kekuatan dan kelemahan yang ada, pabrik gula
dapat bersaing dengan pabrik gula yang lainnya. Untuk tingkat pabrik, secara umum kekuatan dan kelemahan yang ada disajikan pada Tabel 67 berikut :
Tabel 67. Faktor Penentu Internal Kekuatan dan Kelemahan Tingkat Pabrik
No Faktor Penentu Internal - Kekuatan
Rating Bobot
Skor
S1 Permajaan Peralatan Produksi
4 0,1367
0,5466 S2
Bisnis Pergulaan Prospektif 4
0,1465 0,5859
S3 Kontribusi Terhadap Perekonomian Daerah
4 0,1420
0,5680 S4
Daya Dukung Lingkungan 4
0,1284 0,5137
S5 Kebijakan revitalisasi industri gula nasional
4 0,1240
0,4959 2,7101
TOTAL KEKUATAN 0,6775
No Faktor Penentu Internal - Kelemahan
Rating Bobot
Skor
W1 Harga Pokok Produksi Yang relatif tinggi
2 0,0634
0,1268 W2
Kebijakan Pemerintah Yang belum terintegrasi 2
0,0732 0,1465
W3 Pengembangan SDM yang belum terstruktur
1 0,0634
0,0634 W4
Ketersediaan Modal 2
0,0590 0,1179
W5 Masih relatif inefisien dalam produksi akibat
peralatan pabrik yang usang 2
0,0634 0,1268
0,5815 TOTAL KELEMAHAN 0,3225
Sementara faktor eksternal perlu dicermati oleh pabrik gula dalam mengantisipasi berbagai kecenderungan permasalahan teknis yang terjadi dan dapat berpengaruh
terhadap perkembangan usaha kedepannya. Untuk tingkat pabrik, secara umum peluang dan ancaman yang ada disajikan pada Tabel 68 berikut :
Tabel 68. Faktor Penentu Internal Peluang dan Ancaman Tingkat Pabrik
No Faktor Penentu Internal - Peluang
Rating Bobot
Skor O1
Produksi bersih zero waste 3
0,0971 0,2914
O2
Pemanfaatan Good Manufacturing Practises 4
0,1200 0,4799
O3
Berkembanganya pusat-pusat Pelatihan dan Pendidikan
4 0,1200
0,4799 O4
Pertumbuhan Penduduk 3
0,0788 0,2365
O5
Diversifikasi Produk 3
0,0973 0,2920
1,7798 TOTAL PELUANG 0,5133
No Faktor Penentu Internal - Ancaman
Rating Bobot
Skor T1
Perubahan pola konsumsi masyarakat 3
0,0823 0,2469
T2 Tingkat Persaingan Industri gula yang tajam
4 0,1048
0,4192 T3
Kebijakan proteksi melalui subsidi oleh negara- negara eksportir gula
3 0,0750
0,2251 T4
Fluktuasi harga gula 4
0,1084 0,4335
T5 Instabilitas ekonomi nasional
4 0,1162
0,4648 1,7896
TOTAL ANCAMAN 0,4867
8.1.3.3. Tingkat Eksternal
Pada tingkat makro kebijakan nasional, faktor internal perlu untuk lebih diperhatikan, untuk dapat menentukan langkah-langkah penyempurnaan kebijakan
nasional. Untuk tingkat makro, secara umum kekuatan dan kelemahan yang ada disajikan pada Tabel 69 berikut :
Tabel 69. Faktor Penentu Internal Kekuatan dan Kelemahan Tingkat Eksternal
No Faktor Penentu Internal - Kekuatan Rating
Bobot Skor
S1 Telah Dikeluarkannya aturan tentang SNI Gula 4
0,1366 0,5464
S2 Telah tersedianya litbang di lembaga-lembaga
pemerintah dan swasta 4
0,3646 1,4584
S3 Pasar gula domestik relatif besar 4
0,1420 0,5680
2,5728 TOTAL KEKUATAN 0,6432
No Faktor Penentu Internal - Kelemahan Rating
Bobot Skor
W1 Koordinasi antar sektor dalam menangani
dinamika pergulaan nasional 2
0,1858 0,3716
W2 Penelitian dan pengembangan varietas dan
produk hilir 4
0,1274 0,5096
W3 Kebijakan pergulaan yang lebih terintergrasi 3
0,0634 0,19020
1,0714 TOTAL KELEMAHAN 0,3766
Mengingat faktor internasional memiliki pengaruh terhadap perkembangan kinerja industri gula nasional, maka eksternal juga perlu dicermati oleh para
pemangku kepentingan, khususnya oleh pemerintah pusat dan daerah. Untuk tingkat makro, secara umum peluang dan ancaman yang ada disajikan pada Tabel
70 berikut :
Tabel 70. Faktor Penentu Internal Peluang dan Ancaman Tingkat Eksternal
No Faktor Penentu Internal - Peluang Rating
Bobot Skor
O1 Koordinasi antar sektor dalam menangani
dinamika pergulaan nasional 3
0,2971 0,8914
O2 Penelitian dan pengembangan varietas dan
produk hilir 3
0,1300 0,3899
O3 Kebijakan pergulaan yang lebih terintergrasi 2
0,1600 0,3200
1,6013 TOTAL PELUANG 0,5870
No Faktor Penentu Internal - Ancaman Rating
Bobot Skor
T1 Fluktuasi harga gula dunia berpengaruh
terhadap harga gula domestik 3
0,0823 0,2469
T2 Kebijakan proteksi melalui subsidi kepada
produsen gula di negara-negara eksportir gula 2
0,1548 0,3096
T3 Kebijakan impor gula nasional 2
0,1750 0,3501
0,9066 TOTAL ANCAMAN 0,4121
8.1.4. Alternatif Penetapan Prioritas Strategi
Untuk memperoleh prioritas strategi yang diinginkan, baik di tingkat kebun maupun di tingkat pabrik gula, digunakan metoda Analytical Hierarchi
Process AHP. Dari hasil perhitungan dengan metode AHP , maka prioritas
strategi yang diperlukan dalam upaya meningkatkan produktivitas, baik di tingkat internal kebun dan pabrik gula maupun tingkat eskternal adalah sebagai berikut
: 8.1.4.1. Tingkat Internal Kebun
Dari hasil analisis dengan menggunakan metode SWOT-AHP, diperoleh informasi tentang prioritas strategi peningkatan produktivitas industri gula tebu
nasional dalam penyempurnaan di tingkat kebun. Pada Tabel 71 berikut disajikan prioritas strategi di tingkat kebun :
Tabel 71. Bentuk Strategi Peningkatan Produktivitas Di Tingkat Internal Kebun
Alternatif Strategi Bentuk Strategi
Skor Prioritas
Strategi
Strategi 1 Intensifikasi budidaya tanaman tebu melalui
pemanfaatan Good Agricultural Practises GAP 0,2936
1 Strategi 2
Konsolidasi lahan menuju standarisasi mutu produksi tebu
0,0978 5
Strategi 3 Kemitraan pabrik gula dengan petani tebu melalui
penguatan organsiasi petani 0,2380
2 Strategi 4
Revitalisasi kebijakan Pemerintah melalui keberlanjutan program bongkar keprasan, perkreditan dan subsidi
saprotan 0,1926
3 Strategi 5
Penguatan permodalan usaha melalui kelompok tani atau koperasi
0,1778 4
8.1.4.2. Tingkat Internal Pabrik Gula
Dengan menggunakan menggunakan metode SWOT-AHP, diperoleh hasil tentang prioritas strategi peningkatan produktivitas industri gula tebu nasional
dalam penyempurnaan di tingkat pabrik. Pada Tabel 66 berikut tersaji prioritas
strategi di tingkat pabrik :
Tabel 72. Bentuk Strategi Peningkatan Produktivitas Di Tingkat Internal Pabrik
Alternatif Strategi Bentuk Strategi
Skor Prioritas
Strategi
Strategi 1 Peremajaan peralatan produksi secara kontinyu menuju
produksi bersih zero waste 0,2374
3 Strategi 2
Kebijakan subsidi impor barang modal dalam peningkatan kapasitas produksi
0,0464 5
Strategi 3 Peningkatan kapasitas SDM melalui pendidikan dan
pelatihan 0,2708
2 Strategi 4
Penguatan stuktur permodalan dalam rangka diversifikasi produk
0,1185 4
Strategi 5 Peningkatan efisiensi produksi melalui pemanfaatan
Good Manufacturing Practises GMP 0,3267
1
8.1.4.3. Tingkat Eksternal
Di tingkat makro, dengan menggunakan metode SWOT-AHP, diperoleh hasil tentang prioritas strategi peningkatan produktivitas industri gula tebu
nasional dalam penyempurnaan di tingkat kebun. Pada Tabel 73 berikut tersaji prioritas strategi di tingkat eksternal :
Tabel 73. Bentuk Strategi Peningkatan Produktivitas Di Tingkat Eksternal
Alternatif Strategi Bentuk Strategi
Skor Prioritas
Strategi
Strategi 1 Antisipasi fluktuasi harga gula dunia melalui
penyempurnaan kebijakan yang terintegrasi 0,1163
4 Strategi 2
Sinkronisasi kebijakan pemerintah melalui mekanisme koordinasi antar sektor
0,3837 1
Strategi 3 Peningkatan kompetensi penelitian dan pengembangan
melalui peningkatan daya inovasi 0,3421
2
Strategi 4 Standarisasi dan jaminan mutu produksi gula sesuai
dengan dorongan keinginan pasar Market driven 0,1524
3
Dari hasil analisis dengan menggunakan AHP. Telah diperoleh alternatif strategi sebagai berikut : 1. Strategi di tingkat kebun sebanyak lima alternatif 2
Strategi di tingkat pabrik sebanyak lima alternatif dan 3 Strategi di tingkat makro sebanyak empat alternatif. Dari masing-masing alternatif tersebut diperoleh
ranking alternatif seperti terlihat pada Gambar 33 berikut :
Gambar 33. Hasil Perumusan Strategi Peningkatan Produktivitas Industri Gula Tebu Nasional
8.1.5. Implikasi Manajerial Kebijakan Dari hasil analisis terhadap kondisi eksisting baik terhadap kebun, pabrik gula
maupun kondisi makro, diperoleh informasi yang berguna dalam membangun sistem pembinaan dan bantuan teknis yang diperlukan bagi peningkatan
produktivitas.
STRATEGI PENINGKATAN
PRODUKTIVITAS INDUSTRI GULA TEBU
NASIONAL
INTERNAL KEBUN
0,57
INTERNAL PABRIK
0,33
EKSTERNAL 0,10
PELUANG KEBERHASILAN
0,107 KOMPETENSI
MANAJEMEN 9,356
KEBERLANJUTAN 0,282
NILAI TAMBAH 0,255
PELUANG KEBERHASILAN
0,191 KOMPETENSI
MANAJEMEN 0,647
KEBERLANJUTAN 0,059
NILAI TAMBAH 0,103
PELUANG KEBERHASILAN
0,068 TATA KELOLA
0,504 KEBERLANJUTAN
0,235 KONTRIBUSI THD
PENYELESAIAN MASALAH
0,193
ANTISIPASI FLUKTUASI HARGA GULA DUNIA
0,1163
SINKRONISASI KEBIJAKAN
0,3873 PENELITIAN DAN
PENGEMBANGAN 0,3421
STANDARISASI DAN JAMINAN MUTU
0,1542 INTENSIFIKASI GAP
0,2936 KONSOLIDASI LAHAN
0,0978 KEMITRAAN PABRIK
GULA DG PETANI 0,238
KEBIJAKAN PEMERINTAH
0,1926
PEREMAJAAN PERALATAN
0,2374
KEBIJAKAN SUBSIDI IMPOR BARANG MODAL
0,0464
PENINGKATAN KAPASITAS SDM
0,2708 STRUKTUR
PERMODALAN 0,1185
PENGUATAN PERMODALAN
0,1778
PENINGKATAN EFISIENSI GMP
0,3267
[KRITERIA] [ALTERNATIF
STRATEGI]
8.1.5.1. Tingkat Internal Kebun Berdasarkan hasil analisis dengan manggunakan AHP diperoleh
strategi utama dalam upaya peningkatan produktivitas di tingkat kebun. Strategi tersebut adalah Intensifikasi budidaya tanaman tebu melalui
pemanfaatan Good Agricultural Practises GAP, dengan implikasi
manajerial sebagai berikut :
a. Pemerintah Daerah khususnya Dinas Pertanian selaku pembina perlu secara intensif melakukan pembinaan kepada petani tebu di
wilayahnya dengan menyusun standard operating procedure SOP mulai dari pemilihan bibit, pemeliharaan sampai dengan
penanganan pasca panen tebu rakyat TR b. Pemerintah perlu melakukan kerjasama yang sinergis dengan
perguruan tinggi setempat untuk menemukan varietas tebu unggul yang sesuai dengan kondisi agroklimatnya rendemen tinggi dan
tahan serangan hama c. Pemerintah perlu melakukan pembinaan teknis yang intensif kepada
para petani penangkar bibit tebu yang cukup berkembang di sekitar lokasi pabrik gula, agar tebu yang dihasilkan petani mampu
ditingkatkan produktivitasnya d. Mengingat pupuk anorganik seringkali digunakan aver dosis oleh
petani tebu, sebaiknya perlu dipertimbangkan penggunaan pupuk organik
secara berimbang
agar kesuburan
tanah dapat
dipertahankan secara berkelanjutan
Implikasi manajerial di tingkat kebun tersebut diatas melibatkan bentuk strategi, peran pemangku kepentingan, bentuk program dan keluaran
yang diharapkan. Alur implementasi strategi tersebut dapat disajikan pada Gambar 34 sebagai berikut :
Gambar 34. Kerangka Implementasi Strategi Peningkatan Produktivitas Tingkat Internal Kebun
8.1.5.2. Tingkat Internal Pabrik
Berdasarkan hasil analisis dengan manggunakan proses hirarkhi analitik AHP diperoleh strategi utama dalam upaya peningkatan produktivitas di tingkat pabrik
gula. Strategi tersebut adalah
Peningkatan efisiensi pabrik melalui pemanfaatan Good Manufacturing Practises GM
, dengan implikasi manajerial sebagai berikut : .
a. Pemerintah khususnya
Kementerian Perindustrian
perlu menyusun kebijakan pengurangan bea impor atas mesin-mesin
produksi yang diperlukan oleh pabrik gula untuk mengganti mesin- mesin produksinya yang sudah usang agar efisiensi pabrik gula
meningkat b. Pabrik gula dalam rangka meningkatkan produktivitasnya dan
meminimalisir penurunan rendemen perlu menggunakan Standar Operating Procedure
SOP.
INTENSIFIKASI BUDIDAYA TEBU RAKYAT MELALUI
PEMANFAATAN GOOD AGRICULTURAL
PRACTISES GAP PEMERINTAH DAERAH
PERGURUAN TINGGI
PETANI TEBU
PENANGKAR BIBIT TEBU Pembinaan intensif kepada
petani tebu dengan menggunakan SOP
Melakukan riset yang mendalam dan kontinyu
terhadap varietas tebu unggul
Pemanfaatan lahan dengan kombinasi pupuk anorganik
dan organik yang seimbang
Penangkaran bibit unggul yang telah memperoleh
sertifikasi
PERUBAHAN SIKAP MENTAL PETANI UNTUK BERORIENTASI
PADA MUTU PRODUKSI TEBUNYA RENDEMEN TINGGI
STRATEGI PENINGKATAN
PRODUKTIVITAS TINGKAT KEBUN
PEMANGKU KEPENTINGAN
BENTUK PROGRAM KEGIATAN
TUJUAN AKHIR
c. Pabrik gula hendaknya menerapkan konsep produksi bersih sehingga produksi buangannya termanfaatkan semua baik untuk
kepentingan internal maupun masyarakat sekitar d. Untuk meningkatkan kepercayaan konsumen atas hasil produksi
gulanya, pabrik gula perlu untuk melakukan sertifikasi proses produksi ISO maupun keamanan pangan HACCP dari lembaga
internasional e. Mengingat konsumen terbesar gula adalah masyarakat yang
beragama Islam, maka sebaiknya pabrik gula memperoleh sertifikasi halal dari Majlis Ulama Indonesia MUI
Implikasi manajerial di tingkat pabrik tersebut diatas melibatkan bentuk strategi, peran pemangku kepentingan, bentuk program dan keluaran yang diharapkan.
Alur implementasi strategi tersebut dapat dilihat pada Gambar 35 sebagai berikut :
Gambar 35. Kerangka Implementasi Strategi Peningkatan Produktivitas Tingkat Internal Pabrik
PENINGKATAN EFISIENSI PABRIK DENGAN
PEMANFAATAN GOOF MANUFACTURING
PRACTISES GMP PEMERINTAH
PUSAT
PABRIK GULA Reformulasi Kebijakan
Pengenaan bea impor mesin peralatan produksi
pabrik gula Pemanfaatan SOP dalam
proses produksi gula
Mengarahkan proses produksinya pada produksi
bersih zero waste Pendaftaran produksi
pabrik gula untuk memperoleh serifikasi
halal dari MUI
Optimalisasi proses produksi dan
menghasilkan volume produksi yang sesuai
target dan mutu
STRATEGI PENINGKATAN
PRODUKTIVITAS TINGKAT PABRIK
PEMANGKU KEPENTINGAN
BENTUK PROGRAM KEGIATAN
TUJUAN AKHIR
8.1.5.3. Tingkat Eksternal
Berdasarkan hasil analisis dengan manggunakan proses hirarkhi analitik AHP diperoleh strategi utama dalam upaya peningkatan produktivitas di
tingkat makro. Strategi tersebut adalah Sinkronisasi Kebijakan Pemerintah dalam meningkatkan produktivitas industri gula tebu nasional, dengan
implikasi kebijakan sebagai berikut :
a. Pemerintah khususnya Badan Pusat Statisik perlu menyusun satu neraca
Produksi dan konsumsi Gula Domestik gula yang standar dan menjadi acuan bagi semua pemangku kepentingan yang terkait dengan pergulaan
nasional b.
Agar kebijakan impor gula GKP tidak terus dilakukan dan menghemat
devisa negara, maka perlu dipertimbangkan oleh Pemerintah untuk menyusun kebijakan yang memperbolehkan industri gula rafinasi untuk
memproduksi gula kristal putih GKP untuk keperluan konsumsi
masyarakat c.
Pemerintah perlu memberikan insentif, kemudahan pelayanan perizinan
dan membuka peluang bagi investor PMDN maupun PMA untuk mendirikan pabrik gula baru di luar pulau Jawa agar terpenuhinya
kebutuhan domestik.
d. Pemerintah perlu menyusun kebijakan pergulaan yang lebih komprehensif dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan untuk berkontribusi
dengan arah pengembangan industri gula yang terstruktur dan sistematis atas target-target yang ingin dicapai.
e. Untuk mengurangi aktivitas pencarian rente ekonomi rent seeking behavior
secara bertahap yang berdampak terhadap munculnya biaya transaksi yang tinggi dan mengurangi daya saing gula nasional, maka
diperlukan tata kelola pergulaan nasional yang baik good governance dan good corporate governance
Implikasi kebijakan di tingkat makro tersebut diatas melibatkan bentuk strategi, peran pemangku kepentingan, bentuk program dan keluaran yang diharapkan.
Alur implementasi strategi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 36. Kerangka Implementasi Strategi Peningkatan Produktivitas Tingkat Eksternal
SINKRONISASI KEBIJAKAN ANTAR KEMENTERIAN
TERKAIT INDUSTRI GULA NASIONAL TENTANG :
Penyediaan Data Persediaan Gula,
Pasokan Pupuk, Volume Impor gula, Penetapan
Harga Dasar gula, Penetapan Bea Masuk MesinPeralatan
pabrik gula dan lain-lain BADAN PUSAT STATISTIK
BPS
PEMERINTAH PUSAT Standarisasi Neraca Gula
Nasional Referensi Utama
Reformulasi Kebijakan Impor Gula GKP
Kebijakan pemberian insentif dan kemudahan pelayanan perizinan
bagi investor baru pabrik gula khususnya di luar Pulau Jawa
Tata Kelola pergulaan nasional Good Sugarcane
industry Governance
Menuju Industri gula nasional yang berdaya
saing tinggi
STRATEGI PENINGKATAN
PRODUKTIVITAS TINGKAT MAKRO
PEMANGKU KEPENTINGAN
BENTUK PROGRAM KEGIATAN
TUJUAN AKHIR
Halaman ini sengaja dibiarkan kosong
IX . SIMPULAN DAN SARAN 9.1. Simpulan
1.
Struktur kelembagaan kemitraan antara pabrik gula dengan petani tebu kedepannya memerlukan penyempurnaan dengan mengarahkan tujuan
yang ingin dicapai melalui peningkatan mutu bahan baku tebu dan produksi gula. Keberhasilan kemitraan antara pabrik gula dengan petani
tebu perlu diukur melalui peningkatan rendemen tebu, peningkatan pendapatan pabrik gula dan petani tebu, perluasan akses informasi tentang
perkembangan harga jual gula terkini, peningkatan kapasitas pabrik gula dan jaminan jumlah pasokan tebu petani TR. Kendala-kendala yang
diperkirakan masih mengemuka dalam implementasi kemitraan adalah belum berjalan secara seimbang antara penghargaan reward dan sanksi
punishment, masih lemahnya koordinasi antar pemangku kepentingan, masih maraknya berbagai pungutan di daerah serta kebijakan pemerintah
yang belum terintegrasi. Adapun sektor-sektor yang perlu diperkuat dalam mendukung kemitraan adalah : usaha pembibitan tebu rakyat, industri
pupuk dan obat-obatan serta lembaga litbang dan sertifikasi. Agar kemitraan berjalan dengan lebih optimal, maka program-program yang
perlu untuk terus diimplementasikan adalah pengembangan industri gula tebu diarahkan melalui sistem klaster industri, implementasi SOP
pertebuan dan pergulaan secara konsisten serta adanya keberlanjutan program perkreditan dan bongkar keprasan ratoon cane.
2. Terkait dengan daya saing, masing-masing pabrik gula memiliki daya saing berupa keuntungan finansial dan ekonomi diatas normal. Dalam
rangka peningkatan daya saing, Pemerintah telah memberikan kebijakan proteksi berupa subsidi maupun pengenaan tarif impor gula sehingga
industri gula memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif. Pabrik gula juga telah diuntungkan karena memperoleh transfer dari konsumen ke
produsen PG.
3. Dalam hal tingkat produktivitas, yang diukur dari efisiensi dan efktivitas, diperoleh posisi produktivitas dari masing-masing pabrik gula sebagai
berikut : posisi produktivitas pabrik gula GM masuk kategori produktivitas tinggi nilai efisiensi 311,16 dan nilai efektivitas 149,03, posisi
Produktivitas Pabrik KA masuk kategori produktivitas sedang nilai efisiensi 259,9 dan nilai efektivitas 140,82, posisi Produktivitas Pabrik PB
masuk kategori produktivitas sedang nilai efisiensi 233,4 dan nilai efektivitas 125,79 dan posisi Produktivitas Pabrik BM masuk kategori
produktivitas rendah nilai efisiensi 225 dan nilai efektivitas 99,9.
4.
Adapun strategi peningkatan produktvitas industri gula tebu nasional dapat dicapai melalui upaya-upaya sebagai berikut: 1. untuk tingkat kebun
tebu, strategi yang diperlukan adalah intensifikasi budidaya tanaman tebu melalui pemanfaatan Good Agricultural Practises GAP, 2. Untuk
tingkat pabrik, s
trategi yang diperlukan adalah p
eningkatan efisiensi pabrik melalui pemanfaatan Good Manufacturing Practises GM, dan 3. Untuk
tingkat makro, strategi yang diperlukan adalah sinkronisasi Kebijakan Pemerintah Dalam meningkatkan produktivitas industri gula tebu
nasional.
9.2. Saran
Upaya untuk meningkatkan produktivitas industri gula tebu nasional tidak saja tergantung dari perbaikan pada tingkat usahatani
maupun pabrik gula. Diperlukan perbaikan menyeluruh terhadap berbagai komponen strategis lainnya dan karenanya urgen untuk dilakukan
penelitian lebih lanjut. Adapun saran-saran yang diperlukan tersebut adalah sebagai berikut :
Neraca gula nasional yang memuat tentang cadangan stok, produksi, impor, penyediaan dan penyaluran dibuat oleh dua instansi, yaitu
: 1. Badan Ketahanan Pangan BKP dan Badan Pusat Statistik serta 2. Dewan Gula Indonesia DGI. Namun besaran angka-angka untuk unsur
yang sama dalam neraca gula yang dibuat oleh BKP dan BPS berbeda dengan neraca yang disusun oleh DGI. Perbedaan neraca gula nasional
tersebut disebabkan karena kedua instansi tersebut BKP dan BPS serta DGI menggunakan konsep yang berbeda tentang unsur-unsur yang
membentuk neraca gula tersebut. Data neraca gula nasional yang berbeda tersebut akan membawa implikasi terhadap formulasi kebijakan yang
disusun, baik terhadap kebijakan impor gula, tarif bea masuk, bongkar keprasan maupun besaran subsidi yang sebaiknya diberikan baik kepada
pabrik gula maupun petani tebu. Oleh karena itu, kedepan perlu untuk dirumuskan model neraca gula nasional tunggal yang disusun oleh satu
lembaga sehingga menjadi acuan semua pihak terkait pergulaan untuk merumuskan langkah-langkah strategis yang diperlukan dalam rangka
meningkatkan daya saing industri gula nasional. Salah satu permasalahan carut marutnya tata kelola industri gula
nasional disebabkan karena terjadinya tumpang tindih kewenangan yang ada pada Kementerian Lembaga. Kementerian yang seharusnya cukup
bertanggungjawab dalam
peningkatan produktivitas
lahan dan
menghasilkan bibit unggul rendemen tinggi ternyata juga ikut menentukan besaran target produksi gula nasional. Agar pengembangan
industri gula nasional lebih baik kedepannya, maka salah satu aspek penting yang perlu dipertimbangkan adalah memperbaiki sistem
koordinasi yang ada dan implementasinya diterjemahkan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing kementerian lembaga. Selain itu,
Dewan Gula Indonesia perlu direvitalisasi tugas pokok dan fungsinya, merepresentasikan seluruh pemangku kepenitngan, termasuk memperbesar
kewenangannya dalam merumuskan informasi tunggal dan memiliki validitas tinggi yang dapat digunakan oleh Kementerian terkait dalam
menyusun kebijakan pergulaan nasional. Target pancapaian swasembada gula nasional akan sulit dicapai,
mengingat industri gula nasional masih menghadapi persoalan struktural sistem produksi, khususnya tentang ketersediaan lahan, kualitas bibit tebu
unggul, manajemen usahatani tebu, pendirian pabrik gula baru, penyediaan
lahan, belum dapat diselesaikan dalam waktu dekat. Dalam rangka pencapaian target swasembada gula sebesar 5,7 juta ton terdiri atas 2,96
juta gula kristal putih GKP dan 2,74 juta ton gula kristal rafinasi GKR pada tahun 2014 nanti, setidaknya dibutuhkan tambahan lahan usahatani
dan perkebunan tebu. Akan tetapi persoalan pengadaan lahan secara administrasi dan sosial-ekonomi tidak sesederhana yang diduga, sehingga
pengadaan lahan baru untuk perkebunan tebu itu pun masih cukup sulit untuk direalisasikan. Oleh karena itu, dalam rangka pencapaian target
swasembada gula, maka yang perlu dilakukan adalah secara simultan menambah luas areal sebesar 766.613 hektar, meningkatkan rendemen 8,5
persen dan produktivitas lahan 87 ton per hektar serta produktivitas hablur sebesar 7,4 ton per hektarnya. Namun demikian, penambahan luas areal
dan peningkatan rendemen perlu didukung oleh penambahan jumlah pabrik gula baru.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, B. 2008. Ekonomi Swasembada Gula Indonesia. Buletin Economic Review Nomor 211 Maret 2008
Arifin. B. 2012. Swasembada Gula Sulit Tercapai. Hasil Wawancara Dengan Metro TV
www.metrotvnews
Diakses Pada tanggal 25 Februari 2012 Arkeman, Y, Fewidarto, Wiryastuti 2002. Strategi Peningkatan Daya Saing
Industri Gula Di Jawa. Jurnal Teknologi Industri Pertanian. Vol 11 1. 27
- 34 Anindita, R. 2008. Inefficiency Source of Indonesia Sugar Mill Industry . Paper
presented in the Sixth Asian Society of Agricultural Economists ASAE International Conference titled, “The Asian Economic Renaissance:
What’s in It for Agriculture?” in Manila, Philippines
Abidin, Z dan Ismono 2004 . The Impact Of Government Policy On The Competitiveness Of Sugarcane Farming In Lampung Province
. Universitas Lampung.
Avenzora, A dan Moeis, J.P 2008. Analisis Produktivitas dan Efisiensi Industri Tekstil dan Produk Tekstil di Indonesia
. Paralel Sesion IV B. Jakarta Dewan Gula Indonesia 1999. Restrukturisasi Gula Indonesia April 1999. Bahan
Diskusi Reformasi Gula Indonesia, Jakarta Dewan Gula Indonesia 2012.Bahan Perumusan Kebijakan Pergulaan Nasional.
Jakarta Departemen Pertanian 2007. Program Dan Arah Pengembangan Agribisnis
Tebu. Balitbang Departemen Pertanian, Jakarta
Ditjen Bina Produksi Perkebunan 2002. Program Akselerasi Peningkatan Produktivitas Gula Nasional : 2002
– 2007, buku 1. Ditjen BPP Deptan, Jakarta
Eriyatno 1999. Ilmu Sistem : Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. IPB Press, Bogor
FAO 2008. Food Outlook : Global Market Analysis. www.fao.org
diakses tanggal 12 Desember 2011
Gumbira - Sa’id, E dan Rahayu 2006. Pengembangan Desain dan Teknologi
Untuk Peningkatan Daya Saing Potensi Unggulan Daerah. Makalah Pada
Pertemuan Pusat dan Daerah tentang “Strategi Penggalian dan Pengembangan Potensi Ekonomi Daerah”, Jakarta 17-19 Juli 2006.
Gaspersz, V. 2000. Manajemen Produktivitas Total. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Gaspersz, V. 2001. Manajemen Kualitas, Penerapan Konsep-Konsep Kualitas dalam Manajemen Bisnis Total
. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Indraningsih, K.S dan Malian, A.H. 2005. Perspektif Pengembangan Industri
Gula di Indonesia . Forum Penelitian Agro Ekonomi Vol. 23 No.1 Tahun
2005 Kaplan dan Norton 2004. Strategy Maps : Converting Intangible Assets Into
tangible Outcomes . Harvard Business School Press.
Kholil, Eriyatno, Sutjahyo,S.H., Soekarto, S.H 2008. Pengembangan model kelembagaan pengelola sampah kota dengan menggunakan
Interpretive Structural Modeling.
Jurnal Transdisiplin sosiologi, komunikasi dan ekologi manusia, April 2008.
Kementerian Perindustrian 2010. Peta Panduan Roadmap Pengembangan Klaster Industri Gula,
Jakarta Kementerian Pertanian 2010. Kebijakan Pergulaan Nasional Pusat data dan
informasi pertanian, Ditjenbun, Jakarta Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian 2011. Masterplan Percepatan
dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia MP3EITahun 2011 - 2025.
Jakarta Litbang Kompas 2009.
Memberdayakan “Si Manis” dari hulu ke hilir. Jakarta: Harian Kompas
Mardianto, S., Simatupang P.,. Hadi P.U, Malian A.H dan Susmiadi A. 2005. Peta Jalan Road Map dan Kebijakan Pengembangan Industri Gula
Nasional . Forum Penelitian Agro Ekonomi Vol. 23 No. 1 Juli 2005. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Maria 2009. Kebijakan Tataniaga Gula Terhadap Ketersediaan dan Harga
Domestik Gula Pasir. Makalah Seminar Peningkatan Daya Saing
Agribisnis Berorientasi Kesejahteraan Petani, Bogor Mardianto, S. 2005. Peta jalan Road map dan Kebijakan Pengembangan
Industri Gula Nasional. FAE, Vol 23, No.1. 1 Juli 2005. Pulitbangsosek
Departemen Pertanian