Latar Belakang Bambang Suhada, E. Gumbira Said, Sukardi. 2012. Strategi Peningkatan

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan strategi peningkatan produktivitas industri gula tebu nasional sebagai hasil dari peningkatan produktivitas di tingkat kebun dan pabrik gula PG secara terintegrasi. Secara lebih rinci, tujuan penelitian ini dijabarkan sebagai berikut : 1. Memperoleh struktur kelembagaan kemitraan antara pabrik gula PG dengan petani tebu. 2. Mendapatkan tingkat daya saing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap kinerja industri gula tebu nasional. 3. Memperoleh tingkat produktivitas di tingkat kebun dan pabrik gula secara terintegrasi. 4. Mendapatkan strategi peningkatan produktivitas industri gula tebu nasional .

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Berguna bagi para pengambil keputusan untuk menyusun kebijakan pengembangan industri gula tebu nasional, sehingga memiliki arah yang jelas dalam pengembangannya dan berdaya saing dalam persaingan global. 2. Dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun strategi korporasi yang lebih baik dalam meningkatkan produktivitasnya.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dari penelitian strategi peningkatan produktivitas industri gula tebu nasional ini meliputi hal-hal sebagai berikut : 1. Penelitian ini dilaksanakan pada empat pabrik gula dengan mempertimbangkan status perusahaan BUMN dan BUMS, masing- masing Pabrik Gula Pesantren Baru di Kediri BUMN, Pabrik Gula Kebon Agung di Malang BUMS, Pabrik Gula Bungamayang di Lampung Utara BUMN dan Pabrik Gula Gunung Madu di Lampung Tengah BUMS. 2. Pengkajian dilakukan secara khusus pada keempat pabrik gula terpilih dan agar lebih lengkap, penelitian ini juga mempelajari sistem usahatani yang berada di sekitar pabrik gula tersebut. 3. Khusus untuk kajian produktivititas, fokus dari penelitian ini adalah pada dimensi pengukuran measurement dan evaluasi evaluation untuk menghasilkan rumusan strategi peningkatan produktivitas industri gula tebu nasional. 4. Penelitian ini mengkaji tentang posisi masing-masing pabrik gula dalam sistem klaster serta menyusun struktur klaster industri gula tebu nasional.

1.6. Kebaruan Penelitian

Pada hakekatnya, peningkatan daya saing di pabrik gula dipengaruhi oleh besaran tingkat produktivitasnya. Kajian mengenai produktivitas pabrik gula yang pada penelitian ini menggunakan metoda indeks produktivitas sebagai hasil pengembangan metoda objective matrix serta metoda baru skoring produktivitas untuk menentukan posisi dari tingkat produktivitas masing-masing pabrik gula yang diteliti. Relasi fungsional yang terjadi selama ini antara pabrik gula dengan petani tebu dalam wadah kelembagaan kemitraan dapat menentukan tingkat produktivitas pabrik gula. Untuk itu, diajukan rumusan baru dari kelembagaan kemitraan melalui rekayasa sub-sub sistem dari kelembagaan kemitraan, agar mekanisme kerjasama antar kedua pihak tersebut berlangsung secara seimbang. II . TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perspektif Industri Gula Dunia

Periode tahun 2004-2005 merupakan periode yang cukup menggembirakan industri gula dunia, khususnya dari sisi produsen. Pada periode tersebut, rata-rata harga gula mencapai US 261,92.ton untuk gula putih white sugar dan US193,78ton untuk gula mentah Raw Sugar, atau meningkat sekitar 9,8 persen untuk gula putih dan 24 persen untuk gula mentah dari rata-rata harga tahun 2003-2004. Hal ini disebabkan pada periode 2004-2005, untuk kedua kalinya pasar gula dunia kembali mengalami defisit sekitar 3 juta ton. Pada periode 2004-2005, produksi gula dunia mencapai 142,5 juta ton atau meningkat sekitar 1 persen dari periode sebelumnya. Disisi lain, konsumsi meningkat lebih pesat yaitu 1,3 persen, dari 143,3 juta ton pada tahun 2004 menjadi 145,1 juta ton pada tahun 2005 FAO, 2008. Peningkatan produksi gula dunia kembali dipimpin oleh Brazil sebagai negara produsen terbesar. Pada periode 2005-2006, produksi gula Brazil diperkirakan mencapai 30 juta ton atau meningkat sekitar 3,5 persen bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Kondisi iklim yang baik merupakan salah satu faktor pendukung peningkatan produksi tersebut. Kondisi iklim yang baik juga terjadi di Meksiko sehingga negara tersebut diperkirakan akan mengalami peningkatan produksi dengan volume produksi sekitar 6.1 juta ton. Setelah mengalami penurunan produksi selama dua tahun, India diperkirakan akan mengalami proses pemulihan sehingga produksi diperkirakan kembali meningkat, mencapai 18.5 juta ton pada tahun 2005-2006. Peningkatan tersebut terkait dengan perluasan areal sebagai akibat harga gula yang cukup tinggi pada periode 2004-2005. China sebagai salah satu produsen besar juga diperkirakan akan mengalami peningkatan produksi cukup signifikan 6 persen sehingga produksinya diperkirakan mencapai sekitar 10,7 juta ton pada tahun 200506 Susila, 2008 Kendati secara agregat produksi gula dunia meningkat, namun ada beberapa negara yang mengalami penurunan produksi, khususnya di negara- negara produsen gula di Eropa Barat EU. Meski didukung cuaca baik dan peningkatan produktivtas, produksi gula di Eropa Barat EU diproyeksikan menurun menjadi sekitar 2,7 persen atau menjadi sekitar 20 juta ton, karena penurunan luas areal. Penurunan ini tampaknya merupakan respon produsen terhadap perubahan regim kebijakan pergulaan di negara tersebut, yang diperkirakan akan efektif pada tahun 2006-2007. Dengan kebijakan tersebut, dukungan harga gula akan diturunkan sebesar 36 persen, walau negara-negara produsen gula di Uni Eropa mendapat paket kompensasi sebesar 64,2 persen dari penurunan harga tersebut, dalam bentuk decoupled payment, yang dikaitkan dengan lingkungan dan standar pengelolaan lahan. Australia juga diperkirakan mengalami penurunan produksi menjadi 5,3 juta ton atau sekitar 3,5 persen. Hal ini diduga berkaitan dengan restrukturisasi industri gula Australia yang menyiapkan dana sekitar AUS 444 juta paket program pada tahun 2004, termasuk AUS 96 juta untuk petani yang tidak efisien agar dapat keluar dari industri gula FAO, 2008. Negara-negara eksportir gula seperti Brazil dan Cuba diperkirakan mengalami penurunan produksi dengan tingkat produksi turun menjadi 1,3 juta ton. Penurunan produksi tersebut disebabkan oleh kemarau yang parah ketika musim tanam serta kebijakan restrukturisasi industri gula di negara tersebut. Kebijakan diversifikasi produk dari gula ke beberapa komoditi seperti buah- buahan tropis, umbi-umbian, dan peternakan merupakan penyebab penurunan produksi gula di negara tersebut. Afrika secara agregat juga mengalami penurunan produksi sekitar 4 persen dengan volume produksi tahun 2005-2006 diperkirakan mencapai 5 juta ton. Beberapa negara Afrika yang mengalami penurunan produksi adalah Swazilan, Kenya, dan Malawi. Thailand kembali diperkirakan akan mengalami penurunan produksi sebagai akibat kemarau yang dihadapi negara tersebut. Produksi Thailand pada tahun 2005-2006 hanya sekitar 4,6 juta ton, atau mengalami penurunan sebesar 16 dibandingkan dengan periode sebelumnya. Amerika sebagai salah satu produsen utama, produksinya diperkirakan relatif stabil pada kisaran 7,9 juta ton Susila at al. 2008. Berdasarkan data UNDP 2010, produksi gula dunia dalam bentuk gula mentah diperkirakan meningkat sebesar 1,7 persen per tahunnya antara tahun 2000 sampai 2010. Jumlah total produksi gula dunia diperkirakan mencapai 161 juta ton pada tahun 2008, dan mengalami peningkatan menjadi 163 juta ton pada periode 2009 – 2010, atau mengalami peningkatan sebesar 1,1 persen. Lebih dari 50 persen dari produksi gula dunia dihasilkan oleh negara-negara berkembang. Brazil, Australia dan Thailand telah menunjukkan sebagai tiga besar negara produsen gula yang memproduksi gula dengan biaya rendah dan sangat efisien diantara produsen gula dunia lainnya. Pada Tabel 2 berikut disajikan tujuh negara produsen besar gula dunia. Tabel 2. Produksi Gula Tujuh Negara Produsen Utama Gula Dunia Tahun 2005 No Negara Produsen Gula Produksi Juta Ton 1 Brazilia 28,13 2 India 21,70 3 China 15,22 4 Meksiko 5,62 5 Australia 5,39 6 Thailand 4,59 7 Pakistan 2,84 Total Produksi 83,49 Total Produksi Dunia 141,31 Prosentase Terhadap Produksi Dunia 59 Sumber : UNDP 2010 Pada tahun 2008, Brazilia, India dan China merupakan tiga negara produsen gula terbesar dunia yang sangat terkonsolidasi Gambar 1. Brazilia sendiri menghasilkan hampir sepertiga dari total produksi gula dunia, sementara India, China dan Meksiko sebagian besar produksi gulanya untuk memenuhi kebutuhan domestiknya. Hal penting untuk diperhatikan dari tabel 4 berikut adalah bahwa negara-negara yang memiliki volume produksi tertinggi, ternyata tidak selalu berarti memiliki tingkat produktivitas yang tinggi juga. Colombia, Guetemala dan Australia adalah tiga negara dari sepuluh negara produsen utama gula yang memiliki produktivitas tertinggi. Gambar 1. Produksi Tebu dan Produktivitas sepuluh Negara Produsen Gula Dunia FAO, 2008 Dalam kaitannya dengan produktivitas lahan, industri gula Filipina memiliki efisiensi lebih rendah dibandingkan negara-negara produsen yang menjadi pesaing negara ini, sebagai contoh produktivitas lahannya hanya menghasilkan 58,06 ton per hektarnya yang berarti 25 persen lebih rendah dari usahatani tebu di Brazilia. Kemudian terkait dengan tingkat pengembalian keuntungan return on investment, Philippina memiliki tingkat pengembalian rata-rata sebesar 10 persen, sementara Brazilia mencapai tingkat pengembalian investasi sebesar 15,6 persen. Hal tersebut berarti industri gula di Brazilia lebih efisien 32 persen dibandingkan industri gula di Filipina Tabel 3. Tabel 3. Produktivitas dan Tingkat Pengembalian Investasi Pada Negara Produsen Gula No Negara Produsen Gula Produktivitas Lahan Ton Hektar Tingkat Pengembalian Investasi 1 Brazil 77,63 14,6 2 Colombia 75,28 11,5 3 India 72,56 10 4 Indonesia 62,52 8 5 Mauritius 64,91 10,3 6 Filipina 58,06 10 7 Thailand 63,71 10,8 Sumber : Pakisama, Inc 2010

2.2. Kinerja Industri Gula Nasional

Dalam konstelasi geografi ekonomi pergulaan dunia, Republik Rakyat China telah memantapkan dirinya menjadi negara adidaya baru dalam industri gula dunia the new emerging world superpower in sugar. Brasil dengan pilihan kebijakannnya yang dicanangkan pada awal tahun 70-an juga telah menjadi negara penting di bidang produksi gula dunia. Di lain pihak, Australia dan Thailand, juga telah mengukuhkan negaranya menjadi negara pengekspor gula penting dunia. Namun, perkembangan menarik dari industri pergulaan di beberapa negara tersebut ternyata sampai saat ini belum terjadi di Indonesia. Salah satu keberhasilan negara-negara eksportir gula dunia tersebut adalah dengan menerbitkan instrumen kebijakan proteksi kepada industri gulanya seperti pengenaan tarif bea masuk BM yang cukup tinggi dan instrumen komplemen lainnya seperti pengaturan, pengawasan dan pembatasan impor gula yang memungkinkan industri gula negara-negara eksportir gula dunia tersebut mampu menekan biaya pokok produksinya. Dengan demikian, biaya pokok produksi gula di negara-negara eksportir tersebut telah mengalami distrosi sebagai dampak dari kebijakan yang protektif.