1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan strategi peningkatan produktivitas industri gula tebu nasional sebagai hasil dari peningkatan
produktivitas di tingkat kebun dan pabrik gula PG secara terintegrasi. Secara lebih rinci, tujuan penelitian ini dijabarkan sebagai berikut :
1. Memperoleh struktur kelembagaan kemitraan antara pabrik gula PG dengan petani tebu.
2. Mendapatkan tingkat daya saing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap kinerja industri gula tebu nasional.
3. Memperoleh tingkat produktivitas di tingkat kebun dan pabrik gula secara terintegrasi.
4. Mendapatkan strategi peningkatan produktivitas industri gula tebu nasional .
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Berguna bagi para pengambil keputusan untuk menyusun kebijakan pengembangan industri gula tebu nasional, sehingga memiliki arah yang
jelas dalam pengembangannya dan berdaya saing dalam persaingan global.
2. Dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun strategi korporasi yang lebih baik dalam meningkatkan produktivitasnya.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dari penelitian strategi peningkatan produktivitas industri gula tebu nasional ini meliputi hal-hal sebagai berikut :
1. Penelitian ini dilaksanakan pada empat pabrik gula dengan mempertimbangkan status perusahaan BUMN dan BUMS, masing-
masing Pabrik Gula Pesantren Baru di Kediri BUMN, Pabrik Gula Kebon Agung di Malang BUMS, Pabrik Gula Bungamayang di
Lampung Utara BUMN dan Pabrik Gula Gunung Madu di Lampung Tengah BUMS.
2. Pengkajian dilakukan secara khusus pada keempat pabrik gula terpilih dan agar lebih lengkap, penelitian ini juga mempelajari sistem
usahatani yang berada di sekitar pabrik gula tersebut. 3. Khusus untuk kajian produktivititas, fokus dari penelitian ini adalah
pada dimensi pengukuran measurement dan evaluasi evaluation untuk menghasilkan rumusan strategi peningkatan produktivitas
industri gula tebu nasional. 4. Penelitian ini mengkaji tentang posisi masing-masing pabrik gula
dalam sistem klaster serta menyusun struktur klaster industri gula tebu nasional.
1.6. Kebaruan Penelitian
Pada hakekatnya, peningkatan daya saing di pabrik gula dipengaruhi oleh besaran tingkat produktivitasnya. Kajian mengenai
produktivitas pabrik gula yang pada penelitian ini menggunakan metoda indeks produktivitas sebagai hasil pengembangan metoda objective matrix
serta metoda baru skoring produktivitas untuk menentukan posisi dari tingkat produktivitas masing-masing pabrik gula yang diteliti. Relasi
fungsional yang terjadi selama ini antara pabrik gula dengan petani tebu dalam wadah kelembagaan kemitraan dapat menentukan tingkat
produktivitas pabrik gula. Untuk itu, diajukan rumusan baru dari kelembagaan kemitraan melalui rekayasa sub-sub sistem dari kelembagaan
kemitraan, agar mekanisme kerjasama antar kedua pihak tersebut berlangsung secara seimbang.
II . TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perspektif Industri Gula Dunia
Periode tahun
2004-2005 merupakan
periode yang
cukup menggembirakan industri gula dunia, khususnya dari sisi produsen. Pada periode
tersebut, rata-rata harga gula mencapai US 261,92.ton untuk gula putih white sugar
dan US193,78ton untuk gula mentah Raw Sugar, atau meningkat sekitar 9,8 persen untuk gula putih dan 24 persen untuk gula mentah dari rata-rata
harga tahun 2003-2004. Hal ini disebabkan pada periode 2004-2005, untuk kedua kalinya pasar gula dunia kembali mengalami defisit sekitar 3 juta ton. Pada
periode 2004-2005, produksi gula dunia mencapai 142,5 juta ton atau meningkat sekitar 1 persen dari periode sebelumnya. Disisi lain, konsumsi meningkat lebih
pesat yaitu 1,3 persen, dari 143,3 juta ton pada tahun 2004 menjadi 145,1 juta ton pada tahun 2005 FAO, 2008.
Peningkatan produksi gula dunia kembali dipimpin oleh Brazil sebagai negara produsen terbesar. Pada periode 2005-2006, produksi gula Brazil
diperkirakan mencapai 30 juta ton atau meningkat sekitar 3,5 persen bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Kondisi iklim yang baik merupakan
salah satu faktor pendukung peningkatan produksi tersebut. Kondisi iklim yang baik juga terjadi di Meksiko sehingga negara tersebut diperkirakan akan
mengalami peningkatan produksi dengan volume produksi sekitar 6.1 juta ton. Setelah mengalami penurunan produksi selama dua tahun, India diperkirakan akan
mengalami proses pemulihan sehingga produksi diperkirakan kembali meningkat, mencapai 18.5 juta ton pada tahun 2005-2006. Peningkatan tersebut terkait
dengan perluasan areal sebagai akibat harga gula yang cukup tinggi pada periode 2004-2005. China sebagai salah satu produsen besar juga diperkirakan akan
mengalami peningkatan produksi cukup signifikan 6 persen sehingga produksinya diperkirakan mencapai sekitar 10,7 juta ton pada tahun 200506
Susila, 2008
Kendati secara agregat produksi gula dunia meningkat, namun ada beberapa negara yang mengalami penurunan produksi, khususnya di negara-
negara produsen gula di Eropa Barat EU. Meski didukung cuaca baik dan peningkatan produktivtas, produksi gula di Eropa Barat EU diproyeksikan
menurun menjadi sekitar 2,7 persen atau menjadi sekitar 20 juta ton, karena penurunan luas areal. Penurunan ini tampaknya merupakan respon produsen
terhadap perubahan regim kebijakan pergulaan di negara tersebut, yang diperkirakan akan efektif pada tahun 2006-2007. Dengan kebijakan tersebut,
dukungan harga gula akan diturunkan sebesar 36 persen, walau negara-negara produsen gula di Uni Eropa mendapat paket kompensasi sebesar 64,2 persen dari
penurunan harga tersebut, dalam bentuk decoupled payment, yang dikaitkan dengan lingkungan dan standar pengelolaan lahan. Australia juga diperkirakan
mengalami penurunan produksi menjadi 5,3 juta ton atau sekitar 3,5 persen. Hal ini diduga berkaitan dengan restrukturisasi industri gula Australia yang
menyiapkan dana sekitar AUS 444 juta paket program pada tahun 2004, termasuk AUS 96 juta untuk petani yang tidak efisien agar dapat keluar dari
industri gula FAO, 2008. Negara-negara eksportir gula seperti Brazil dan Cuba diperkirakan
mengalami penurunan produksi dengan tingkat produksi turun menjadi 1,3 juta ton. Penurunan produksi tersebut disebabkan oleh kemarau yang parah ketika
musim tanam serta kebijakan restrukturisasi industri gula di negara tersebut. Kebijakan diversifikasi produk dari gula ke beberapa komoditi seperti buah-
buahan tropis, umbi-umbian, dan peternakan merupakan penyebab penurunan produksi gula di negara tersebut. Afrika secara agregat juga mengalami penurunan
produksi sekitar 4 persen dengan volume produksi tahun 2005-2006 diperkirakan mencapai 5 juta ton. Beberapa negara Afrika yang mengalami penurunan produksi
adalah Swazilan, Kenya, dan Malawi. Thailand kembali diperkirakan akan mengalami penurunan produksi sebagai akibat kemarau yang dihadapi negara
tersebut. Produksi Thailand pada tahun 2005-2006 hanya sekitar 4,6 juta ton, atau mengalami penurunan sebesar 16 dibandingkan dengan periode sebelumnya.
Amerika sebagai salah satu produsen utama, produksinya diperkirakan relatif stabil pada kisaran 7,9 juta ton Susila at al. 2008.
Berdasarkan data UNDP 2010, produksi gula dunia dalam bentuk gula mentah diperkirakan meningkat sebesar 1,7 persen per tahunnya antara tahun
2000 sampai 2010. Jumlah total produksi gula dunia diperkirakan mencapai 161 juta ton pada tahun 2008, dan mengalami peningkatan menjadi 163 juta ton pada
periode 2009 – 2010, atau mengalami peningkatan sebesar 1,1 persen. Lebih dari
50 persen dari produksi gula dunia dihasilkan oleh negara-negara berkembang. Brazil, Australia dan Thailand telah menunjukkan sebagai tiga besar negara
produsen gula yang memproduksi gula dengan biaya rendah dan sangat efisien diantara produsen gula dunia lainnya. Pada Tabel 2 berikut disajikan tujuh negara
produsen besar gula dunia.
Tabel 2. Produksi Gula Tujuh Negara Produsen Utama Gula Dunia Tahun 2005
No Negara Produsen Gula
Produksi Juta Ton
1 Brazilia
28,13 2
India 21,70
3 China
15,22 4
Meksiko 5,62
5 Australia
5,39 6
Thailand 4,59
7 Pakistan
2,84 Total Produksi
83,49 Total Produksi Dunia
141,31 Prosentase Terhadap Produksi Dunia
59 Sumber : UNDP 2010
Pada tahun 2008, Brazilia, India dan China merupakan tiga negara produsen gula terbesar dunia yang sangat terkonsolidasi Gambar 1. Brazilia sendiri
menghasilkan hampir sepertiga dari total produksi gula dunia, sementara India, China dan Meksiko sebagian besar produksi gulanya untuk memenuhi kebutuhan
domestiknya. Hal penting untuk diperhatikan dari tabel 4 berikut adalah bahwa negara-negara yang memiliki volume produksi tertinggi, ternyata tidak selalu
berarti memiliki tingkat produktivitas yang tinggi juga. Colombia, Guetemala dan
Australia adalah tiga negara dari sepuluh negara produsen utama gula yang memiliki produktivitas tertinggi.
Gambar 1. Produksi Tebu dan Produktivitas sepuluh Negara Produsen Gula Dunia FAO, 2008
Dalam kaitannya dengan produktivitas lahan, industri gula Filipina memiliki efisiensi lebih rendah dibandingkan negara-negara produsen yang
menjadi pesaing negara ini, sebagai contoh produktivitas lahannya hanya menghasilkan 58,06 ton per hektarnya yang berarti 25 persen lebih rendah dari
usahatani tebu di Brazilia. Kemudian terkait dengan tingkat pengembalian keuntungan return on investment, Philippina memiliki tingkat pengembalian
rata-rata sebesar 10 persen, sementara Brazilia mencapai tingkat pengembalian investasi sebesar 15,6 persen. Hal tersebut berarti industri gula di Brazilia lebih
efisien 32 persen dibandingkan industri gula di Filipina Tabel 3.
Tabel 3. Produktivitas dan Tingkat Pengembalian Investasi Pada Negara Produsen Gula
No Negara Produsen
Gula Produktivitas Lahan
Ton Hektar Tingkat
Pengembalian Investasi
1 Brazil
77,63 14,6
2 Colombia
75,28 11,5
3 India
72,56 10
4 Indonesia
62,52 8
5 Mauritius
64,91 10,3
6 Filipina
58,06 10
7 Thailand
63,71 10,8
Sumber : Pakisama, Inc 2010
2.2. Kinerja Industri Gula Nasional
Dalam konstelasi geografi ekonomi pergulaan dunia, Republik Rakyat China telah memantapkan dirinya menjadi negara adidaya baru dalam industri
gula dunia the new emerging world superpower in sugar. Brasil dengan pilihan kebijakannnya yang dicanangkan pada awal tahun 70-an juga telah menjadi
negara penting di bidang produksi gula dunia. Di lain pihak, Australia dan Thailand, juga telah mengukuhkan negaranya menjadi negara pengekspor gula
penting dunia. Namun, perkembangan menarik dari industri pergulaan di beberapa negara tersebut ternyata sampai saat ini belum terjadi di Indonesia.
Salah satu keberhasilan negara-negara eksportir gula dunia tersebut adalah dengan menerbitkan instrumen kebijakan proteksi kepada industri gulanya seperti
pengenaan tarif bea masuk BM yang cukup tinggi dan instrumen komplemen lainnya seperti pengaturan, pengawasan dan pembatasan impor gula yang
memungkinkan industri gula negara-negara eksportir gula dunia tersebut mampu menekan biaya pokok produksinya. Dengan demikian, biaya pokok produksi gula
di negara-negara eksportir tersebut telah mengalami distrosi sebagai dampak dari kebijakan yang protektif.