ketimbang pabrik gula di pulau Jawa. Implikasi dari hal tersebut adalah bahwa pemerintah tidak melakukan proteksi yang berlebihan terhadap masukan pabrik
gula, khususnya di Jawa. Kebijakan pemerintah tersebut berarti memberikan insentif kepada investor pabrik gula baru di luar pulau Jawa untuk menanamkan
investasinya agar mampu bersaing dalam produksi gulanya.
Transfer Faktor FT
merupakan nilai yang menunjukkan perbedaan harga pasar dengan harga sosial yang diterima produsen untuk pembayaran faktor-
faktor produksi yang tidak diperdagangkan. Jika nilai FT lebih besar dari nol berarti ada transfer dari pabrik gula sebagai produsen kepada produsen faktor
produksi yang diperdagangkan. Sebaliknya, jika nilai FT kurang dari nol, berarti tidak ada transfer dari pabrik gula sebagai produsen kepada produsen faktor
produksi yang diperdagangkan.
Tabel 59 menunjukkan bahwa nilai FT memiliki nilai lebih dari nol yang menunjukkan bahwa ada transfer faktor dari pabrik gula ke produsen faktor
produksi yang diperdagangkan. Nilai FT pada pabrik gula swasta di Jawa Timur yaitu PG KA relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan pabrik gula BUMN
yaitu PG PB. Namun di Lampung nilai FT yang terjadi sebaliknya, yaitu nilai FT PG GM relatif lebih rendah dibandingkan nilai FT PG BM. Hasil analisis juga
menunjukkan bahwa FT pengolahan tebu menjadi gula pada lahan sawah lebih relatif sama dengan tegalan, namun untuk nilai FT pada tanaman PC lebih tinggi
dari tanaman RC. Dengan dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pabrik gula BUMN di pulau Jawa PG PB tidak memberikan transfer faktor kepada produsen
faktor produksi yang diperdagangkan dibandingkan pabrik swasta PG KA, namun di luar pulau Jawa transfer faktor pada pabrik gula BUMN lebih tingi jika
dibandingkan dengan pabrik swasta. Implikasinya adalah pengaruh kebijakan transfer masukan tersebut lebih dirasakan oleh pabrik gula swasta di Jawa
dibandingkan pabrik gula BUMN, sedangkan yang terjadi di luar pulau Jawa justru sebaliknya.
6.4.5. Kebijaksanaan Masukan - Keluaran
Kofisien Proteksi Efektif EPC merupakan indikator yang
menunjukkan tingkat proteksi simultan terhadap output dan input tradable. Kebijakan masih bersifat protektif jika nilai EPC lebih besar dari satu. Semakin
besar nilai EPC berarti semakin tinggi tingkat proteksi pemerintah terhadap
komoditas domestik.
Tabel 60 menunjukkan bahwa nilai EPC memiliki nilai lebih dari satu yang menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah protektif terhadap input dan
output pabrik gula. Nilai EPC pada pabrik swasta di Jawa Timur yaitu PG KA relatif relatif sama dengan pabrik gula BUMN yaitu PG PB. Namun di Lampung,
nilai EPC yang terjadi adalah pabrik gula swasta yaitu PG GM relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan pabrik gula BUMN yaitu PG BM. Hasil analisis juga
menunjukkan bahwa nilai EPC pengolahan tebu menjadi gula pada lahan sawah lebih relatif sama dengan tegalan, namun untuk nilai EPC pada tanaman PC lebih
tinggi dari tanaman RC. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pabrik gula BUMN di Jawa lebih mendapatkan proteksi dibandingkan di luar Jawa.
Implikasinya adalah pengaruh kebijakan prroteksi pemerintah lebih dirasakan oleh pabrik gula di pulau Jawa dibandingkan dibandingkan di luar Jawa.
Transfer Bersih NT
merupakan selisih antara keuntungan bersih yang benar-benar diterima produsen privat dengan keuntungan bersih sosialnya. Nilai
NT lebih besar dari nol, menunjukkan tambahan surplus produsen yang disebabkan oleh kebijaksanaan pemerintah yang diterapkan pada input dan output.
Sebaliknya jika nilai NT lebih kecil dari nol. Tabel 60 menunjukkan bahwa nilai NT memiliki nilai lebih dari nol di Jawa dan kurang dari nol di Luar Jawa. Hal ini
menunjukkan bahwa pabrik gula di Jawa lebih menikmati tambahan surplus produsen yang disebabkan oleh kebijaksanaan pemerintah yang diterapkan pada
input dan output dibandingkan dengan pabrik gula di luar pulau Jawa. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa NT pengolahan tebu menjadi gula pada lahan
sawah lebih relatif tinggi jika dibandingkan dengan tegalan, namu untuk nilai NT pada tanaman PC lebih rendah dari tanaman RC. Dengan dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa pabrik gula BUMN di pulau Jawa lebih mendapatkan tambahan surplus dibandingkan pabrik gula di luar Jawa. Implikasinya adalah
bahwa pemerintah perlu meningkatkan dampak kebijakan khususnya terhadap pabrik gula di luar pulau Jawa, baik pada pabrik gula BUMN maupun swasta.
Tabel 60. Dampak Kebijakan masukan dan keluaran Terhadap Pabrik Gula
Contoh Berdasarkan Jenis Lahan
Kebijakan Input dan
Output
PG KA PG PB
PG BM PG GM
Sawah Tegal
Sawah Tegal
Tegal Tegal
PC RC
PC RC
PC RC
PC RC
PC RC
PC RC
EPC 1.20 1.17 1.19 1.10 1.19 1.18 1.20 1.18
1.06 1.07 1.05
1.05 NT Rp. JutaTon 0.79 0.82 0.73 0.81 0.78 0.88 0.80 0.88 -0.06 0.18 -0.10 -0.02
PC 3.06 1.79 2.30 1.66 1.91 1.59 1.51 1.40
0.97 1.07 0.95
0.99 SRP
0.10 0.11 0.10 0.11 0.11 0.12 0.11 0.12 -0.01 0.02 -0.01 0.00
Sumber : Hasil Pengolahan Data
Koefisien Keuntungan PC adalah perbandingan antara keuntungan
bersih yang benar-benar diterima produsen dengan keuntungan bersih sosialnya. Jika nilai PC lebih besar dari nol , berarti secara keseluruhan kebijakan
pemerintah memberikan insentif kepada produsen, demikian sebaliknya. Tabel 60 menunjukkan bahwa nilai PC memiliki nilai lebih dari nol baik di Jawa maupun di
Luar Jawa. Hanya saja nilai PC pabrik swasta di Jawa lebih besar jika dibandingkan BUMN dan sebaliknya di luar Jawa pabrik gula BUMN yang lebih
besar dibandingkan pabrik swasta. Di samping itu nilai PC di Jawa lebih besar dari pada di luar Jawa Hal ini menunjukkan bahwa menunjukkan pabrik gula di
Jawa lebih menikmati tambahan keuntungan yang disebabkan oleh kebijaksanaan pemerintah yang diterapkan pada input dan output, dibandingkan di Luar Jawa.
Hasil analisis juga menunjukkan bahwa NT pengolahan tebu menjadi gula pada lahan sawah lebih relatif tinggi jika dibandingkan dengan tegalan dan tanaman
PC juga lebih tingi dari tanaman RC, namun di luar Jawa sebaliknya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pabrik gula di Jawa lebih mendapatkan
tambahan surplus keuntungan dibandingkan pabrik gula di luar Jawa, dan di penggunaan bahan baku tebu lahan sawah dan penanaman PC juga lebih tinggi
dibanding pada RC di Jawa. Namun di luar Jawa pada lahan tegalan nilai PC lebih rendah dari RC. Implikasi dari hal ini adalah bahwa pemerintah perlu
meningkatkan dampak kebijakan terhadap pabrik gula di luar Jawa, baik pada pabrik gula BUMN maupun swasta.
Rasio Subsidi Produen SRP menunjukkan proporsi dari penerimaan
total pada harga sosial yang diperlukan apabila subsidi yang digunakan sebagai satu-satunya kebijakan untuk menggantikan seluruh kebijakan komoditi dan
ekonomi makro. SRP memungkinkan untuk membuat perbandingan tentang besarnya subsidi perekonomian bagi sistem komoditas. Nilai SRP negatif
menunjukkan bahwa kebijaksanaan pemerintah yang berlaku selama ini menyebabkan produsen mengeluarkan biaya produksi lebih besar dari biaya
imbangan untuk berproduksi dan sebaliknya jika nilai SRP positif berarti produsen mengeluarkan biaya produksi lebih kecil dari biaya imbangan untuk
berproduksi. Tabel 54 menunjukkan bahwa nilai SRP pabrik gula di pulau Jawa positif di Jawa dan cenderung negatif di luar pulau Jawa. Hal ini menunjukkan
bahwa adanya subsidi terhadap industri gula menyebabkan industri di luar pulau Jawa mengeluarkan biaya imbangan lebih besar jika dibandingkan di Jawa, baik
untuk pabrik gula swasta maupun BUMN. Di samping itu tidak perbedaan yang berarti antara nilai SRP untuk lahan sawah maupun lahan tegalan, namun nilai
SRP dalam penggunaan bahan baku berasal dari tanaman PC lebih rendah dari tanaman RC. Dengan dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pabrik gula di
pulau Jawa lebih mendapatkan dampak positif berupa pengeluaran biaya lebih rendah akibat adanya subsidi dibanding pabrik gula di luar pulau Jawa.
Implikasinya adalah bahwa pemerintah perlu meningkatkan dampak kebijakan terhadap pabrik gula di luar Jawa, baik pada pabrik gula BUMN maupun swasta.
Dari hasil analisis diatas tampak bahwa masing-masing pabrik gula yang diteliti memiliki tingkat daya saing yang berbeda. Dibawah ini digambarkan
tentang posisi daya saing dari masing-masing pabrik gula yang diteliti sebagai berikut Gambar 19 dan Gambar 20:
a PG KA
b PG PB
Gambar 19. Kinerja Daya Saing PG KA dan PG PB Untuk menjelaskan tentang ukuran daya saing antar pabrik gula,
digunakan ukuran keuntungan pasar PP, keuntungan sosial SP, efisiensi finansial PCR dan efisiensi ekonomi DRCR. Dari Gambar 28 diatas terlihat
bahwa PG KA memiliki daya saing yang lebih tinggi dibandingkan dengan dengan PG PB. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai rataan PCR PG KA sebesar
0,79 sedangkan nilai PCR PG PB sebesar 0,68. Selain itu, nilai DRCR PG KA juga masih lebih tinggi dibandingkan nilai DRCR PG PB, yaitu masing-masinf
0,88 dan 0,75. Namun untuk tingkat keuntungan, hasil analisis memperlihatkan nilai rataan PP dan SP PG PB nilai PP 2,37 dan nilai SP 1,53 lebih tinggi
dibandingkan PG KA nilai PP 1,59 dan nilai SP 0,81. Untuk daya saing pabrik gula di Lampung PG GM dan PG BM, kedua
pabrik gula tersebut relatif memiliki tingkat daya saing yang sama nilai PCR dan DRCR. Akan tetapi, dari sudut keuntungan yang diperoleh, nilai PP 2,28 dan
SP 2,34 PG Gunung Madu lebih tinggi dibandingkan nilai PP 2,22 dan SP dari PG 2,28 Bungamayang Gambar 20.
- 0,50
1,00 1,50
2,00 2,50
PP Rp. JutaTon SP Rp. JutaTon
PCR DRCR
OT Rp. JutaTo NPCO
IT Rp. JutaTon NPCI
FT Rp. JutaTon EPC
NT Rp. JutaTon PC
SRP
PG KA STANDAR MINIMUM
- 0,50
1,00 1,50
2,00 2,50
PP Rp. JutaTon SP Rp. JutaTon
PCR DRCR
OT Rp. JutaTo NPCO
IT Rp. JutaTon NPCI
FT Rp. JutaTon EPC
NT Rp. JutaTon PC
SRP
PG PB STANDAR MINIMUM
c. PG BM d. PG GM
Gambar 20. Kinerja Daya Saing PG BM dan PG GM 6.5. Kinerja Klaster Industri Gula Tebu Nasional
6.5.1 Pohon Industri Gula Tebu
Tebu memiliki potensi untuk menghasilkan sekitar seratus lima puluh jenis produk, di antaranya asam amino, vitamin, asam organik, pelarut, polimer,
protein, enzim, alkohol, silase, selulosa, listrik, dan biodegradable plastic. Dari lima puluh produk yang dapat dihasilkan dari tebu dan sudah masuk kancah dunia
perdagangan, Indonesia telah mengembangkan industri untuk mengolah sepuluh jenis produk unggulan dari tebu, yaitu enam jenis produk berbahan baku tetes
etanol hydrous, monosodium glutamat, L-lysine, aceti acid, ethyl acetat, asam sitrat, dan ragi roti, satu produk berbahan baku tetes atau nira ethanol ahydrous,
dan tiga jenis produk berbahan baku ampas yaitu kertas, papan particle, dan listrik Gambar 20.Sebagai ilustrasi, dewasa ini dari 437.000 hektar kebun bobot tebu
yang digiling mencapai 33 juta ton. Jumlah tebu ini memberikan potensi ekonomi setara dengan 10,59 juta ton ampas 32 persen, 1,62 juta ton tetes 4,9 persen,
1,16 juta ton belotong 3,5 persen, serta 4,4 juta ton pucuk dan serasah tebu. Yang menarik sebetulnya adalah ampas tebu hasil penggilingan Bagas. Surplus
ampas tebu dapat menghasilkan berbagai macam produk, termasuk listrik serta produk industri lain. Sebagai ilustrasi, dari setiap pabrik gula dengan kapasitas
- 0,50
1,00 1,50
2,00 2,50
PP Rp. JutaTon SP Rp. JutaTon
PCR DRCR
OT Rp. JutaTo NPCO
IT Rp. JutaTon NPCI
FT Rp. JutaTon EPC
NT Rp. JutaTon PC
SRP
PG BM STANDAR MINIMUM
- 0,50
1,00 1,50
2,00 2,50
PP Rp. JutaTon SP Rp. JutaTon
PCR DRCR
OT Rp. JutaTo NPCO
IT Rp. JutaTon NPCI
FT Rp. JutaTon EPC
NT Rp. JutaTon PC
SRP
PG GMP STANDAR MINIMUM
6.000 TCD dapat dihasilkan listrik 12 MW. Karena itu, dengan merevitalisasi pabrik gula yang ada sekarang dengan kapasitas 206 TCD, dapat diproduksi 412
MW. Ini merupakan jumlah yang tidak kecil untuk mendukung ketersediaan listrik di pedesaan. Hasil riset juga menunjukkan bahwa sekitar 60 persen
pendapatan perusahaan bisa diperoleh dari hasil penjualan produk non-gula. Apabila proses pengolahan berlanjut dan menghasilkan produk derivat tebu pada
tingkat akhir, nilainya bisa mencapai 500-700 persen lebih tinggi dibandingkan dengan harga gula Pakpahan, 2009. Berikut ini dibahas mengenai pemanfaatan
tebu dan hasil samping pengolahannya yang dapat dikembangkan Misran, 2005.
a. Pemanenan Tebu Dari proses pemanenan tebu dihasilkan hasil samping berupa daun tebu
kering yang disebut klethekan atau daduk dan pucuk tebu sogolan. Pucuk tebu khususnya dapat diolah menjadi pakan ternak sapi dengan harga jual antara RP.
300 – 400 per kg dan harga ekspor sebesar 0,5 dollar AS. Jumlah hasil samping
pucuk tebu ini dapat mencapai 15 persen dari total berat tanaman tebu.
b. Ampas Tebu Bagas Ampas tebu merupakan hasil samping selulosik yang banyak sekali
potensi pemanfaatannya. Selain untuk makanan ternak, hasil samping ampas tebu juga dapat menjadi bahan baku untuk pembuatan pupuk organik, pulp, particle
board serta seringkali digunakan sebagai bahan bakar boiler di pabrik gula.
Ampas tebu juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk pembuatan kanvas rem, furfural, sirup glukosa, ethanol, carboxylmetil cellulosa dan bahan
penyerap zat warna adsorben. Bahkan di Kuba, ampas tebu telah digunakan sebagai sumber energi listrik yang dapat memenuhi 30 persen kebutuhan listrik di
Kuba.
c. Tetes Tebu Molase Selain untuk pembuatan etanol, tetes tebu juga dapat dipakai sebagai
bahan baku pembuatan monosodium glutamat MSG.
d. Blotong Selama ini blotong dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan pupuk
organik. Pencampuran bahan dari blotong, tetes, abu dan ampas tebu yang dicampur dengan kotoran hewan dapat menghasilkan pupuk kompos unggul fine
compost .
Prospek bisnis pada industri berbasis tebu cukup menjanjikan, mengingat untuk kebutuhan seperti furfural, adsorben masih diimpor dari luar negeri.
Dibawah ini disajikan pohon industri dari basis tebu dari Gambar 21 berikut :
Gambar 21 Pohon Industri Berbasis Tebu Diadaptasi dari
www.Kemenperind.go.id , Diakses tanggal 1 November 2010
BAHAN BAKAR
PARTICLE BOARD
MAKANAN TERNAK
PULP SELULOSA
FURFURAL BAHAN
MAKANAN GULA
CAIR GULA
PADAT L-LYSIN
ASAM GLUTAMAT
ASAM ORGANIK
BAHAN KIMIA
MAKANAN TERNAK
PROTEIN SEL
TUNGGAL SEMEN
MANSORY CEMENT
BAHAN CAT
PUPUK FURNITURE
KERTAS FURFURY
ALCOHOL MAKANAN
MINUMAN ETHANOL
MONO SODIUM GLUTAMAT
MAKANAN TERNAK
RAGI ROTI
FLAVOR POLLIMER
PELARUT BAHAN
PENOLONG INDUSTRI
LOGAM ASAM
ASETAT BAHAN
BAKAR ESTER
ASETAT
TEBU PUCUK
DAUN GULA
NIRA
BLOTONG
AMPAS MOLASE
MAKANAN TERNAK
6.5.2 Evaluasi Klaster Industri Gula Tebu
Pembahasan klaster industri gula tebu nasional dalam penelitian ini menggunakan kerangka pemikiran Porter 1990, yang memberikan definisi
klaster sebagai konsentrasi geografis perusahaan-perusahaan yang saling terhubung, para pemasok khusus dan penyedia jasa, perusahaan-perusahaan dalam
industri terkait, serta lembaga-lembaga yang terasosiasi misalnya universitas, agen dan asosiasi perdagangan dalam bidang-bidang tertentu.
Dalam melakukan evaluasi klaster industri gula tebu nasional, digunakan metode yang dikembangkan oleh Porter Monstead, 2010 dalam Pahan, 2011.
Dalam melakukan evaluasi klaster industri gula tebu, sumber informasi diperoleh dari delapan orang pakar, masing-masing dari Peneliti P3GI Pasuruan, Dewan
Gula Indonesia DGI, Kementerian Pertanian, Perguruan Tinggi dan empat orang dari pabrik gula. Dengan menggunakan empat sistem dengan sub sistemnya
masing-masing, hasil evaluasi klaster industri gula tebu disajikan pada Tabel 61 berikut :
Tabel 61. Komponen Evaluasi Klaster Industri Gula Tebu
Komponen Evaluasi Klaster PG PB
PG KA PG BM
PG GM
Kinerja Klaster Industri 1.1. Biaya Transaksional
3,4 3,4
3,2 4
1.2. Pengaruh Jejaring Kerja 3,4
3,6 2,8
3,6 Integrasi Rantai Pasokan
2.1. Pemasok 3
3,2 3,4
3,6 2.2. Perkebunan
3,8 3,4
3,6 4,8
2.3. Pengolah 3,8
4,2 3,6
5 2.4. Pemasar
3,25 3,75
3,25 3,8
Infrastruktur Pendukung 3.1. Universitas Litbang
3,8 4
3,2 3,2
3.2. Lembaga Keuangan 3,8
4,2 3,6
3,6 3.3. Ketersediaan Bakat SDM
3,6 4,2
3,25 4
3.4. Lembaga Techno-prenuer 3,6
3,4 3,4
3,4 3.5. Infrastruktur Fisik
3,8 4,4
2,2 3,8
Lingkungan Ekonomi dan Bisnis 4.1. Efisiensi Pemerintahan
3,6 3,8
3,2 3,2
4.2. Efisiensi Bisnis 3,2
3,6 3,2
4 4.3. Kinerja Ekonomi
3,6 4,4
3,2 3,2
4.4. Efisiensi Infrastruktur 4,2
3,8 3
3
Skala Penilaian
1 = Sangat Buruk, 2 = Buruk, 3 = Sedang, 4 = Baik, 5 = Sangat Baik
Dari hasil analisis dengan menggunakan empat sistem yang mempengaruhi kinerja klaster industri gula tebu nasional tersebut, jika distrukturkan maka posisi
dari masing-masning pabrik gula dalam kerangka klaster industri tersebut dapat diringkas seperti terlihat pada Gambar 22 sebagai berikut :
Gambar 22. Posisi Klaster Dari Pabrik Gula Yang Diteliti
1. Pabrik Gula Gunung Madu
Pabrik gula Gunung Madu memiliki posisi yang terbaik dalam konteks sistem klaster, mengingat sebagian besar dari sub sistemnya memiliki nilai yang
cenderung tinggi. Sub-sub sistem pendukung klaster yang memiliki nilai tinggi adalah : 1 Pengaruh jejaring kerja. 2 Pemasok 3 Perkebunan 4 Pengolah 5
Universitas Litbang 6 Sumberdaya Manusia SDM 7 Infrastruktur fisik dan 8 Efisiensi bisnis.
Saat ini dapat dikatakan bahwa PG Gunung Madu telah menjadi referensi utama best practises dari pabrik gula swasta maupun dibawah afiliasi BUMN di
Indonesia dalam manajemen perkebunan maupun pengolahan gula. Hubungan yang terjalin dengan para pemangku kepentingan stakeholders relatif intensif.
Pabrik gula Gunung Madu memiliki efisiensi tinggi dalam hal penyediaan pasokan bahan baku mengingat 90 persen lebih kebutuhan proses produksinya di
pasok dari kebun sendiri TS sehingga mutu tebu dapat dikatakan memiliki tingkat rendemen yang relatif seragam dan tinggi.
1 2
3 4
5 Biaya Transaksional
Pengaruh Jejaring Kerja Pemasok
Perkebunan Pengolah
Pemasar Universitas Litbang
Lembaga Keuangan Ketersediaan Bakat
SDM Lembaga Techno-prenuer
Infrastruktur Fisik Efisiensi Pemerintahan
Efisiensi Bisnis Kinerja Ekonomi
Efisiensi Infrastruktur
POSISI PABRIK GULA DALAM SISTEM KLASTER INDUSTRI
PG PB PG KA
PG BM PG GM
Rataan
2. Pabrik Gula Bungamayang
Berbeda dengan PG Gunung Madu yang memiliki posisi terbaik, pabrik gula Bungamayang justru sebaliknya memiliki posisi yang terburuk dalam
konteks sistem klaster, mengingat sebagian hanya sebagian kecil saja dari sub sistemnya memiliki nilai yang cenderung tinggi. Sub sistem pendukung klaster
yang memiliki nilai tinggi hanyalah pengolah.
3. Pabrik Gula Kebon Agung
Pabrik gula Kebon Agung memiliki posisi yang relatif baik dalam konteks sistem klaster, mengingat sebagian besar dari sub sistemnya memiliki nilai yang
cenderung tinggi. Sub-sub sistem pendukung klaster yang memiliki nilai tinggi adalah : 1 Pengaruh jejaring kerja 2 Pengolah 3 Infrastruktur fisik 4 Efisiensi
bisnis 5 Efisiensi bisnis 6 Kinerja ekonomi dan 7 Efisiensi infrastruktur.
4. Pabrik Gula Pesantren Baru
Pabrik gula Pesantren Baru memiliki posisi yang relatif baik dalam konteks sistem klaster, mengingat sebagian besar dari sub sistemnya memiliki
nilai yang cenderung tinggi. Sub-sub sistem pendukung klaster yang memiliki nilai tinggi adalah : 1 Pengaruh jejaring kerja 2 Pemasok 3 Perkebunan 4
Pengolah 5 Universitas Litbang 6 Sumberdaya Manusia SDM 7 Infrastruktur fisik dan 8 Efisiensi bisnis.
Dari hasil kajian terhadap elemen-elemen sistem klaster tersebut, terlihat bahwa PG GM dalam sistem klaster industri memiliki posisi terbaik, kemudian
diikuti oleh PG KA dan PG PB relatif baik. Sedangkan untuk PG BM menempati posisi yang buruk, mengingat sub-sub sistem pendukung klasternya hanya
beberapa yang relatif unggul. Agar klaster industri gula tebu nantinya bertambah baik dan memberikan dampak pengganda yang besar, elemen-elemen yang masih
perlu ditingkatkan perannya adalah biaya transaksional, ketersediaan bakat SDM, lembaga techno-preneur, efisiensi bisnis dan kinerja ekonomi. Dari hasil
evaluasi kondisi klaster dari keempat pabrik gula yang diteliti tersebut, maka dapat distrukturkan skema tentang perwujudan dari kondisi eksisting model
klaster industri gula tebu nasional, seperti yang terlihat pada Gambar.23 sebagai berikut :
Gambar.23 Struktur Klaster Industri Gula Tebu Diadaptasi Dari Pahan, E.Gumbira-
Sa’id, Tambunan, Asmono dan Suroso, 2011
6.5.3. Pengembangan Klaster Industri Gula
Klaster sebagai pendekatan terbukti diterima dalam pendekatan pembangunan yang melibatkan pola pengelompokkan, baik institusi maupun
infrastruktur, sehingga hakekat klaster akan semakin digunakan. Dengan otonomi daerah, pembangunan wilayah akan menempati posisi sentral dalam
pembangunan daerah, implikasinya pengembangan tempat usaha merupakan
PEMERINTAH DAERAH
1 Administrasi dan Regulasai Daerah
2 Koordinasi Lintas Sektor 3 Penyediaan Sarana dan
Prasarana 4 Penyusunan Masterplan
dan Tata Ruang Wilayah 5 Kebijakan
Pengembangan SDM dan Inkubator Bisnis
INSTITUSI PENDUKUNG
1 Perguruan Tinggi 2 Litbang
3 Lembaga Keuangan
PEMERINTAH PUSAT 1 Kebijakan Impor Gula
2 Kebijakan Investasi 3 Kebijakan Perkreditan
4 Penyediaan Infrastruktur 5 Standarisasi dan Sertifikasi
MANAJEMEN KLASTER
ASOSIASI PENGUSAHA 1 Pengembangan Pasar
2 Pembinaan Petani
INDUSTRI TERKAIT
1 Perbengkelan, Penyedia Alat dan mesin Pengolahan
2 Transportasi 3 Pergudangan
4 Bibit Tebu 5 Pupuk dan Obat-Obatan
PEMASARAN 1 Dalam Negeri
INDUSTRI HULU 1 Perkebunan Tebu
2 Industri Bibit
INDUSTRI INTI Industri Gula
Tebu Nasional
INDUSTRI HILIR 1 Makanana dan
Minuman 2 Ethanol
3 Mono Sodium Glutamat MSG
4 Particle Board 5 Flavor
6 Ester Asetat 7 Alkohol
komponen penting yang akan menjadi bagian pengembangan model di masing- masing daerah Soetrisno, 2009.
Tidak semua klaster yang terdapat di Indonesia berkembang sesuai dengan yang diharapkan. Beberapa klaster setelah diimplementasikan dapat beroperasi
dengan baik, namun sebagian klaster terlihat tidak dapat beroperasi seperti yang diharapkan. Kegagalan berfungsinya klaster tersebut, karena pembentukan klaster
tersebut kurang mempertimbangkan prinsip berorientasi kepada pelanggan customer oriented. Pengembangan klaster yang berorientasi pada pelanggan
dimaksudkan untuk menyesuaikan hasil produksi klaster dengan permintaan pasar. Dengan demikian unit usaha yang terdapat dalam klaster tidak menjalankan
usahanya berdasarkan supply oriented, sehingga unit usaha tersebut dapat berkompetisi untuk memperoleh pangsa pasar dengan menentukan cara teknologi
dan jaringan kerja dalam memenuhi permintaan pasar sesuai dengan standar yang diinginkan konsumen. Klaster yang dikembangkan merupakan kumpulan dari
unit-unit usaha yang secara kolektif dapat memperbaiki kinerja dari klaster. Kumpulan dari unit usaha yang mempunyai orientasi yang sama ini dapat
mengurangi berbagai biaya transaksi dalam distribusi barang. Sebagai contoh, kolektivitas sangat diperlukan jika pasar meminta pasokan dalam jumlah besar,
jumlah yang demikian tidak dapat dipenuhi oleh satu unit usaha kecuali dipenuhi oleh beberapa unit usaha didalam klaster tersebut. Dengan tindakan kolektif, unit-
unit usaha tersebut dapat memperbaiki tingkat efisiensi dan membangun suatu kerja sama dengan memanfaatkan potensi dari setiap unit usaha dalam memenuhi
permintaan pasar. Unit usaha dalam klaster yang telah berkembang secara kolektif dapat mendorong peningkatan akumulasi kinerja klaster tanpa tergantung dari
upaya intervensi dari luar. Walaupun pada awalnya untuk membangun klaster diperlukan intervensi dari luar, namun tujuan dari intervensi ini adalah untuk
memperbaiki kapabilitas dari masing-masing unit usaha untuk mendorong terjadinya hubungan usaha yang sinergis antara seluruh unit usaha secara
kumulatif dengan pasar secara independen Zulham, 2007. Pengembangan klaster industri akan memberikan dampak pengganda
multiplier effect yang besar dalam mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah.
Oleh karenanya, pengembangan klaster industri khususnya klaster agro sesuai dengan substansi dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia
MP3EI. MasterPlan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 disusun untuk menjawab tantangan dan dinamika pembangunan
Indonesia saat ini, yaitu: 1 menguatnya kompetisi regional dan global, 2 optimalisasi pengembangan potensi daerah, 3 peningkatan sinergi antara
pengembangan ekonomi kewilayahan dengan pengembangan ekonomi sektoral, dan iv peningkatkan daya dukung infrastruktur. Dalam konsep awal masterplan
ini disampaikan bahwa strategi percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia terdiri dari 3 tiga elemen utama yaitu: 1 pengembangan 6 enam
koridor ekonomi Indonesia KEI, dengan membangun pusat-pusat pertumbuhan disetiap koridor dan mengembangkan klaster industri dan atau kawasan ekonomi
khusus yang berbasis sumber daya unggulan komoditi; 2 penguatan konektivitas nasional, yang meliputi konektivitas intra dan inter pusat-pusat
pertumbuhan, intra pulau koridor, dan pintu perdagangan internasional; 3 peningkatan kemampuan iptek nasional untuk mendukung pengembangan
program utama pada setiap KEI. Pada masing-masing KEI akan dikembangkan pusat-pusat pertumbuhan melalui pendekatan klaster industri dan atau kawasan
ekonomi khusus yang berbasis komoditi unggulan. Ada 8 delapan program utama yang terdiri dari 18 delapanbelas kegiatan ekonomi dalam pendekatan
klaster industri Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, 2011. Dalam konteks pengembangan klaster industri gula, kendati tidak eksplit tertuang dalam
dokumen MP3EI, namun berdasarkan sebaran program utama dan aktivitas ekonomi menurut koridor ekonomi, maka klaster industri gula terkait erat dengan
pengembangan industri makanan dan minuman dengan lokus Jakarta, Semarang, Surabaya dan Makasar, dengan koridor Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi dan
Maluku Utara.
Terkait dengan
pengembangan klaster
industri gula,
arah pengembangannya
perlu dilakukan
dengan memperhatikan
keterkaitan kebelakang bacward linkages dan keterkaitan kedepan forward linkages yang
didukung oleh sistem koordinasi yang lebih solid antar sub sistem yang ada. Diperlukan syarat keharusan untuk memperkuat keterkaitan fungsional antar sub
sistem yang ada, agar klaster industri gula dapat menjadi klaster yang matang advanced cluster. Adapun skema pengembangan klaster industri gula dapat
diperlihatkan sebagai berikut Gambar 24 :
Gambar 24. Kerangka Pengembangan Klaster Industri Gula Nasional Diadaptasi dari Kementerian Perindustrian, 2009
PEMERINTAH PUSAT KANTOR MENKO PEREKONOMIAN, KEMENTERIAN BUMN,
PERINDUSTRIAN, PERTANIAN, PERDAGANGAN DAN DGI
FORUM KOMUNIKASI MASYARAKAT KLASTER INDUSTRI GULA MAKIGA
PEMERINTAH DAERAH DINAS PERINDAG DAN SKPD TERKAIT]
PERKEBUNAN TEBU DAN PEMBIBITAN
INDUSTRI BAHAN PENOLONG PENGEPAKAN
INDUSTRI MESIN PERALATAN
GULA MENTAH RAW SUGAR
GULA KRISTAL PUTIH GKP
GULA KRISTAL RAFINASI GKR
INDUSTRI MAKANAN DAN MINUMAN
INDUSTRI FARMASI DAN KOSMETIKA
INDUSTRI ALKOHOL –
BIO ETANOL EKSPORTIR
DISTRIBUTOR PASAR LUAR NEGERI
PASAR DALAM NEGERI
LEMBAGA LITBANG PERGURUAN TINGGI IPB, UGM, UB, UNEJ DLL
LEMBAGA JASA : TRANSPORTASI, PERBANKAN, ASURANSI DAN EMKL
ASOSIASI : AGI, APTRI, AGRI, PPGI,AKANI, KADINKADINDA, FIPG,
GAPMMI
[DUKUNGAN KEBIJAKAN] [DUKUNGAN KEBIJAKAN]
[SISTEM KOORDINASI]
KETERKAITAN KEBELAKANG
[DUKUNGAN TEKNIS] [DUKUNGAN TEKNIS]
[DUKUNGAN TEKNIS] KETERKAITAN KEDEPAN
IMPOR GULA
Halaman ini sengaja dibiarkan kosong
VII. REKAYASA KELEMBAGAAN KEMITRAAN INDUSTRI GULA TEBU
7.1. Strukturisasi Sistem Kelembagaan Kemitraan
Untuk strukturisasi sistem kelembagaan kemitraan antara pabrik gula dengan petani tebu, elemen-elemen sistem yang dikaji adalah sebagai berikut : 1
elemen tujuan dari sistem, 2 elemen tolok ukur keberhasilan dari sistem, 3 elemen kendala dari sistem, 4 elemen perubahan yang diinginkan dari sistem, 5
elemen kebutuhan program dari sistem, dan 6 elemen sektor masyarakat yang terpangaruh dari sistem.
Dari keenam elemen sistem tersebut, masing-masing elemen dijabarkan menjadi sejumlah sub elemen sistem berdasarkan pendapat pakar dan pemangku
kepentingan dalam industri gula tebu nasional. Kemudian dilakukan penilaian hubungan kontekstual antar sub elemen pada setiap elemen dalam sistem yang
hasilnya dirangkum dalam bentuk Structural Self Interaction Matrix SSIM. Selanjutnya disusun tabel Reachability Matrix RM dengan mengganti empat
simbol V, A, X, O yang digunakan untuk mewakili tipe hubungan yang ada antara dua elemen dari sistem menjadi bilangan 1 dan 0.
7.1.1. Elemen Tujuan Sistem Kelembagaan Kemitraan
Elemen yang digunakan pada tujuan kelembagaan kemitraan adalah : 1. Meningkatkan mutu bahan baku dan jumlah produksi gula T1 2. Meningkatkan
kepercayaan trust kedua belah pihak T2 3. Memperoleh kepastian pasokan tebu T3 4. Membangun sistem bagi hasil yang adil T4 5. Mempermudah
mekanisme pengendalian dan pengawasan T5 6. Mewujudkan industri gula tebu secara berkelanjutan T6 7. Memperluas lapangan kerja T7 8. Mengurangi
kehilangan kandungan sukrosa secara berlebihan T8 9. Meningkatkan kegiatan perekonomian daerah T9 10. Membangun kesejahteraan bersama.
Strukturisasi sub elemen tujuan sistem kelembagaan kemitraan pabrik gula dengan petani tebu dari hasil analisis dengan menggunakan ISM dapat dilihat
pada Gambar 25 berikut.
Gambar. 25 Pemetaan driver power-dependent sub-elemen tujuan sistem kelembagaan kemitraan industri gula tebu
Dari Gambar 25 terlihat bahwa sub elemen T1 meningkatkan mutu bahan baku tebu dan produksi gula merupakan sub elemen yang menjadi pendorong utama
demi tercapainya tujuan sub elemen lainnya, sehingga dapat disimpulkan bahwa sub elemen tersebut menjadi sub elemen kunci dari elemen tujuan dari sistem
kelembagaan kemitraan antara pabrik gula dengan petani tebu. Peningkatan mutu bahan baku tebu yang khususnya berasal dari tebu
rakyat TR dimaksudkan agar pabrik gula mampu meningkatkan produktivitas hablurnya, karena bahan baku tebu yang dipasok memiliki kandungan sukrosa
yang cukup tinggi. Untuk itu, petani tebu perlu meningkatkan rendemen tebunya, melalui pola usahatani yang memanfaatkan prinsip-prinsip usahatani yang baik
Good Agricultural Practises. Dengan pasokan bahan baku yang bermutu manis,