Strategi peningkatan produktivitas dalam mendukung kebijakan klaster industri gula tebu di Indonesia
GULA TEBU DI INDONESIA
BAMBANG SUHADA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
(2)
(3)
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul “ Strategi Peningkatan Produktivitas Dalam Mendukung Kebijakan Klaster Industri Gula Tebu Di
Indonesia” merupakan gagasan dan hasil penelitian saya dengan arahan komisi
pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya. Sumber informasi yang dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Maret 2012
(4)
(5)
National Cane-Sugar Industrial Cluster Policy. Under direction of E. GUMBIRA SA’ID, I WAYAN RUSASTRA and SUKARDI.
Indonesian cane-sugar industry face several serious problems indicated by increasing of sugar imported amount of 1.27 million ton in the year 2006 compared with 1.49 million ton in 2007. If such condition continued, Indonesian sugar factories sustainability, esspecially those in BUMN affiliation will be threated. This research was aimed to formulate the strategy for productivity improvement of national cane-sugar industry. The stages of this research consisted of national cane-sugar factories performance evaluation, problem identification and strategy formulation on cane-sugar industrial productivity improvement. The methods used were institutional analysis and Interpretive Structural Modelling, Policy Analysis Matrix, Objective Matrix, Porter’s Diamond Model and SWOT-AHP. Survey, interviews and data collection for productivity measurement were conducted at four cane sugar factories, i.e. Gunung Madu, Bungamayang, Kebon Agung and Pesantren Baru cane sugar factories which represented national cane sugar industry. The results showed that natioan cane sugar industry productivity improvement can be reached through intensification of sugar cane cultivation through implementation of Good Agricultural Practises (GAP), improvement of factories efficiency through implementation of Good Manufacturing Practises (GMP), and sincronizing of government policy and regulation on national cane-sugar industral productivity improvement.
Keywords: Productivity Improvement, cane-sugar industry, strategy, industrial cluster, Good Agricultural Practices (GAP), Good Manufacturing Practices (GMP).
(6)
(7)
BAMBANG SUHADA. Strategi Peningkatan Produktivitas Dalam Mendukung Kebijakan Klaster Industri Gula Tebu di Indonesia. Dibimbing oleh E.
GUMBIRA SA’ID, I WAYAN RUSASTRA dan SUKARDI.
Rendahnya kinerja industri gula Indonesia dapat diketahui dari tingkat produktivitas tebu, rendemen serta produktivitas hablur gula yang dihasilkan oleh pabrik-pabrik gula di Indonesia selama kurun waktu 2005 sampai 2009. Tingkat produktivitas tebu hanya bergerak pada kisaran angka 67,61 ton per hektar sampai 81,83 ton per hektarnya. Demikian juga dengan tingkat rendemen, hanya mencapai rata-rata 7,54 persen. Begitupun dengan tingkat produktivitas hablur yang dihasilkan masih relatif rendah dengan rata-rata 5,79 ton per hektarnya (Kementerian Pertanian, 2010).
Penelitian ini bertujuan untuk: 1) memperoleh struktur kelembagaan
kemitraan antara pabrik gula (PG) dengan petani tebu. 2) Mendapatkan tingkat daya saing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap kinerja industri gula tebu nasional, 3) memperoleh tingkat produktivitas di tingkat kebun dan pabrik gula secara terintegrasi dan 4) mendapatkan strategi peningkatan produktivitas industri gula tebu nasional. Tahapan dari penelitian ini dimulai dengan pemetaan kondisi eksisting di tingkat kebun dan pabrik gula (PG). Dalam pemetaan tersebut dieksplorasi sejumlah data dan informasi terkait masukan dan keluaran dari tingkat kebun dan pabrik gula melalui proses tabulasi. Dari hasil tabulasi tersebut,
kemudian dilakukan analisis kelembagaan untuk mengkaji kondisi awal relasi
fungsional antara pabrik gula dengan petani tebu dan kemudian dengan
interpretive Structural Modelling (Metode ISM) di susun rekayasa kelembagaan kemitraan kemitraan antara pabrik gula dengan petani tebu. Selain itu, juga dilakukan analisis tingkat daya saing industri gula tebu serta perkiraan dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan pemerintah dalam upaya meningkatkan kinerja
industri gula tebu nasional (Metode PAM). Pada tahap selanjutnya, dilakukan
pengukuran produktivitas untuk memperoleh indeks produktivitas (Metode
Objective Matrix) agar dapat diketahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kondisi produktivitas baik di tingkat kebun maupun di tingkat pabrik gula (PG). Terakhir dilakukan pemetaan faktor-faktor internal dan eksternal pabrik gula
(kekuatan, kelemahan, tekanan dan peluang) dan diberikan bobot (Kombinasi
metodaSWOT-AHP), kemudian dilakukan agregasi atas informasi yang diperoleh untuk menyusun strategi nasional dalam peningkatan produktivitas industri gula tebu nasional.
Hasil penelitian yang diperoleh adalah sebagai berikut : 1) struktur kelembagaan kemitraan antara pabrik gula dengan petani tebu kedepannya memerlukan penyempurnaan dengan mempertimbangkan berbagai elemen kunci sebagai berikut : (1). Tujuan kuncinya berupa peningkatan mutu bahan baku tebu dan produksi gula, (2). Tolok ukur keberhasilan kunci dari sistem kelembagaan kemitraan adalah : peningkatan rendemen tebu, peningkatan pendapatan pabrik gula dan petani tebu, perluasan akses informasi tentang perkembangan harga jual gula terkini, peningkatan kapasitas pabrik gula dan jaminan jumlah pasokan tebu petani (TR), (3). Kendala kunci bagi pengembangan kelembagaan kemitraan yang
(8)
belum terintegrasi, (4). Sektor masyarakat kunci yang terpengaruh dari adanya sistem kelembagaan kemitraan adalah : usaha pembibitan tebu rakyat, industri pupuk dan obat-obatan serta lembaga litbang dan sertifikasi, (5). Program kunci yang diharapkan dapat memperkuat kelembagaan kemitraan adalah : arah pengembangan industri gula tebu dengan pendekatan klaster industri,
implementasi Standard Operating Procedure pertebuan dan pergulaan secara
konsisten serta keberlanjutan program perkreditan dan bongkar keprasan (ratoon
cane), 2) terkait dengan daya saing masing-masing pabrik gula, hasil yang
diperoleh adalah sebagai berikut : nilai keuntungan pasar dan keuntungan sosial pada seluruh pabrik gula bernilai positif lebih dari satu, sehingga dapat dikatakan bahwa seluruh pabrik gula (PG) memiliki keuntungan di atas normal. Nilai efisiensi finansial (PCR) pada seluruh pabrik gula bernilai kurang dari 1, sehingga dapat dikatakan bahwa seluruh pabrik gula bekerja secara efisien dari segi finansial. Begitupun halnya dengan nilai efisiensi ekonomi (DRCR), seluruh pabrik gula yang diteliti memiliki nilai DRCR bernilai kurang dari satu, sehingga dapat dikatakan bahwa seluruh pabrik gula memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif. 3) dalam hal tingkat produktivitas, diperoleh posisi produktivitas dari masing-masing pabrik gula sebagai berikut: posisi produktivitas PG GM masuk kategori produktivitas tinggi (nilai efisiensi 311,16 dan nilai efektivitas 149,03), posisi produktivitas PG KA masuk kategori produktivitas sedang (nilai efisiensi 259,9 dan nilai efektivitas 140,82, posisi produktivitas PG PB masuk kategori produktivitas sedang (nilai efisiensi 233,4 dan nilai efektivitas 125,79) dan posisi produktivitas PG BM masuk kategori produktivitas rendah (nilai efisiensi 225 dan nilai efektivitas 99,9). 4) adapun strategi peningkatan produktvitas industri gula tebu nasional dapat dicapai melalui upaya-upaya sebagai berikut: (1). untuk tingkat kebun tebu, strategi yang diperlukan adalah intensifikasi budidaya
tanaman tebu melalui pemanfaatan Good Agricultural Practises (GAP), (2).
Untuk tingkat pabrik, strategi yang diperlukan adalah peningkatan efisiensi pabrik
melalui pemanfaatan Good Manufacturing Practises (GM), dan (3). Untuk tingkat
makro, strategi yang diperlukan adalah sinkronisasi Kebijakan Pemerintah Dalam meningkatkan produktivitas industri gula tebu nasional.
Adapun saran yang perlu dipertimbangkan adalah : 1) Neraca gula
nasional yang memuat tentang cadangan (stok), produksi, impor, penyediaan dan
penyaluran dibuat oleh dua instansi, yaitu : (1). Badan Ketahanan Pangan (BKP) dan Badan Pusat Statistik serta (2). Dewan Gula Indonesia (DGI). Namun besaran angka-angka untuk unsur yang sama dalam neraca gula yang dibuat oleh BKP dan BPS berbeda dengan neraca yang disusun oleh DGI. Perbedaan neraca gula nasional tersebut disebabkan karena kedua instansi tersebut (BKP dan BPS serta DGI) menggunakan konsep yang berbeda tentang unsur-unsur yang membentuk neraca gula tersebut. Data neraca gula nasional yang berbeda tersebut akan membawa implikasi terhadap formulasi kebijakan yang disusun, baik terhadap kebijakan impor gula, tarif bea masuk, bongkar keprasan maupun besaran subsidi yang sebaiknya diberikan baik kepada pabrik gula maupun petani tebu. Oleh karena itu, kedepan perlu untuk dirumuskan model neraca gula nasional tunggal
(9)
permasalahan carut marutnya tata kelola industri gula nasional disebabkan karena terjadinya tumpang tindih kewenangan yang ada pada Kementerian / Lembaga. Kementerian yang seharusnya cukup bertanggungjawab dalam peningkatan produktivitas lahan dan menghasilkan bibit unggul (rendemen tinggi) ternyata juga ikut menentukan besaran target produksi gula nasional. Agar pengembangan industri gula nasional lebih baik kedepannya, maka salah satu aspek penting yang perlu dipertimbangkan adalah memperbaiki sistem koordinasi yang ada dan implementasinya diterjemahkan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing kementerian / lembaga. Selain itu, Dewan Gula Indonesia perlu direvitalisasi tugas pokok dan fungsinya, merepresentasikan seluruh pemangku kepenitngan, termasuk memperbesar kewenangannya dalam merumuskan informasi tunggal dan memiliki validitas tinggi yang dapat digunakan oleh Kementerian terkait dalam menyusun kebijakan pergulaan nasional. 3). Target pancapaian swasembada gula nasional akan sulit dicapai, mengingat industri gula nasional masih menghadapi persoalan struktural sistem produksi, khususnya tentang ketersediaan lahan, kualitas bibit tebu unggul, manajemen usahatani tebu, pendirian pabrik gula baru, penyediaan lahan, belum dapat diselesaikan dalam waktu dekat. Dalam rangka pencapaian target swasembada gula sebesar 5,7 juta ton terdiri atas 2,96 juta gula kristal putih (GKP) dan 2,74 juta ton gula kristal rafinasi (GKR) pada tahun 2014 nanti, setidaknya dibutuhkan tambahan lahan usahatani dan perkebunan tebu. Akan tetapi persoalan pengadaan lahan secara administrasi dan sosial-ekonomi tidak sesederhana yang diduga, sehingga pengadaan lahan baru untuk perkebunan tebu itu pun masih cukup sulit untuk direalisasikan. Oleh karena itu, dalam rangka pencapaian target swasembada gula, maka yang perlu dilakukan adalah secara simultan menambah luas areal sebesar 766.613 hektar, meningkatkan rendemen 8,5 persen dan produktivitas lahan 87 ton per hektar serta produktivitas hablur sebesar 7,4 ton per hektarnya. Namun demikian, penambahan luas areal dan peningkatan rendemen perlu didukung oleh penambahan jumlah pabrik gula baru.
Kata Kunci: Peningkatan Produktivitas, Industri Gula Tebu, Strategi, Klaster
Industri,Good Agricultural Practices (GAP), Good Manufacturing
Practices (GMP).
(10)
(11)
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penulisan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah;
b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
2. Dilarang mengumumkan kepada khalayak dan memperbanyak sebagian
(12)
(13)
KEBIJAKAN KLASTER INDUSTRI GULA TEBU DI INDONESIA
BAMBANG SUHADA
DISERTASI
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Doktor Pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
(14)
Penguji Ujian Tertutup : 1. Prof. Dr. Ir. Djumali Mangunwidjaja, DEA 2. Dr. Ir. Wayan R. Susila
Penguji Ujian Terbuka : 1. Prof. Dr. A. Azis Darwis, M.Sc
(15)
Nama : Bambang Suhada
Nomor Pokok : F361070031
Disetujui, Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. E. Gumbira-Sa’id, M.A.Dev
Ketua
Prof. (R) Dr. Ir. I Wayan Rusastra, APU Dr. Ir. Sukardi, M.M
Anggota Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Teknologi Industri Pertanian
Dr. Ir. Machfud, M.S Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
(16)
(17)
Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-NYA, Disertasi ini dapat diselesaikan dengan baik. Disertasi ini merupakan hasil penelitian yang disusun dalam rangka memenuhi salahs atu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Disertasi ini berjudul Strategi Peningkatan Produktivitas Dalam Mendukung Penguatan Klaster Industri Gula Tebu Nasional yang diselesaikan dengan maksud memberikan kontribusi pemikiran bagi peningkatan produktivitas dan perbaikan tata kelola industri gula tebu nasional.
Disertasi ini dapat diselesaikan dengan baik atas dukungan dan bantuan banyak pihak. Dalam kesempatan ini,penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang tulus kepada pihak-pihak sebagai berikut :
1. Prof. Dr. Endang Gumbira-Sa;id. M.A, Dev. Selaku ketua komisi
pembimbing yang telah memberikan curahan dan pengayaan ilmu pengetahuan, bimbingan yang sangat sistematis, alokasi waktu yang efisien serta dorongan motivasi yang kuat sehingga penulis memperoleh semangat besar untuk segera menyelesaikan penulisan Disertasi ini.
2. Prof. (R) Dr. I Wayan Rusastra,APU selaku anggota komisi pembimbing
yang telah memberikan bimbingan, motivasi dan diskusi dan akses literatur yang sangat membantu dalam penulisan Disertasi.
3. Dr. Ir.Sukardi, M.M, selaku anggota komisi pembimbing yang telah
memberikan bimbingan, motivasi dan diskusi selama penelitian dan penulisan Disertasi serta memberikan landasan berfikir filosofis yang kuat untuk perbaikan Disertasi.
4. Dr. Ir. Machfud, M.S. selaku Ketua Program Studi Teknologi Industri
Pertanian, Sekolah Pascasarjana IPB yang telah memberikan semangat dan kemudahan yang diberikan selama penulis menyelesaikan studi.
(18)
program studi Teknologi Industri Pertanian
6. Ayahku (Mursyid Arsyad) dan Ibunda (Sutilah) yang telah dengan sabar,
selalu memberikan dorongan dan semangat serta doa yang tulus dan tiada henti diberikan kepada penulis sehingga mampu menyelesaikan studi pada Program Studi Teknologi Industri IPB.
7. Istriku (Dwi Untari) beserta anak-anakku (Hadri Febrianto, Kartika
Wulandari dan Marlinda Dini Hapsari), Adik-adikku (Dra.Yulita, Dra. Syafarina, Drs. M. Zulkarnain,M.Si, Ir. M. Taufiqullah, MT dan Ir. Agus Setiawan), Mbk Dra. Djati Purwaningsih, Drh. Dedy Kurniawan, Drs.
Deni, M.Si yang telah dengan kesabaran tinggi dan selalu berdo’a yang
tulus dan memberikan kekuatan mental penulis dalam menyelesaikan studi ini.
8. Rektor UMM, Dekan-Dekan di Lingkungan UMM, Dosen Fakultas
Ekonomi Universitas Muhammadiyah Metro Lampung yang telah memberikan kesempatan serta dukungan pembiayaan bagi penulis dalam menyelesaikan studi pada program studi Teknologi Industri Pertanian IPB.
9. Prof. Dr. Juhri AM, M.Pd, Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Sc dan Prof.
Dr. Ir. Syamsul Ma’arif dan Prof. Dr. Ir. Irawadi Jamaran yang telah memberikan rekomendasi akademik kepada penulis sehingga dapat diterima sebagai mahasiswa S3 pada program studi TIP IPB.
10.Sahabat-sahabatku Dr. Afdal Mazni, S.E. M.Si.M (Pembantu Rektor
Bidang Keuangan UMM), Drs. Djiman Murdiman,M.Ma (Mantan Direktur Pengembangan Ekonomi Daerah, Kementerian Dalam Negeri) serta rekan-rekan Kasubdit, Kepala Seksi dan Staf Direktorat Pengembangan Ekonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Mbak Diah, Mbk Widya, Fitri dan Joe, Ir, Suparno, M.S (UBH), Dr. Cahyo dan Dr. Budi (UNSOED) yang dengan tulus memberikan dorongan kepada penulis untuk segera menyelesaikan studi.
11.Rekan-rekan sesama mahasiswa program studi Industri Teknologi
(19)
pengayaan substansi materi Disertasi yang penulis kerjakan.
12.Rekan-rekan dari Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP)
khususnya Prof (R) Dr. Ir. Erizal Jamal, M.Sc, Dr. Ir. Sumaryanto, M.Si (Sonny) dan Ir. Adi Setiyanto, M.Si yang telah membantu penulis dalam mempertajam daya analisis Disertasi.
13.Seluruh staf karyawan Departemen Teknologi Industri Pertanian yang
telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan dokumen administrasi dalam rangka penyelesaian studi pada program studi Teknologi Industri Pertanian IPB.
Akhirnya, semoga Disertasi ini dapat memberikan manfaat yang besar bagi para pembacanya.
Bogor, Maret 2012
(20)
(21)
Penulis dilahirkan di Jogjakarta pada tanggal 4 Desember 1964, anak pertama dari enam bersaudara, pasangan Mursyid Arsyad dan Sutilah. Gelar Sarjana Ekonomi diperoleh dari Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII) pada tahun 1988. Penulis menyelesaikan pendidikan S2 pada program studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan (PWD) Sekolah Pascasarjaa IPB pada tahun 1998. Selanjutnya pada tahun 2007, menempuh pendidikan program Doktor di program studi Teknologi Industri Pertanian, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Sejak tahun 1989 sampai sekarang, penulis bekerja sebagai staf pengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Metro Lampung.
Selama mengikuti pendidikan program Doktor, penulis telah menulis dan melakukan publikasi beberapa artikel ilmiah sebagai berikut :
1. Bambang Suhada, E. Gumbira Sa'id, Sukardi. 2012. Strategi Peningkatan
Daya Saing Dalam Mendukung Penguatan Klaster Industri Gula Tebu Nasional, pada Jurnal Analisis dan Kebijakan Pertanian, Kementerian Pertanian RI, yang akan diterbitkan pada Volume 10 Nomor 2 Juni Tahun 2012
2. Bambang Suhada, E. Gumbira Sa'id, I .W. Rusastra, Sukardi. 2012. Kajian
Produktivitas Dalam Mendukung Penguatan Klaster Industri Gula Tebu Nasional, pada Jurnal Ekonomi, Bisnis dan Akuntansi (JEBA) Fakultas Ekonomi Universitas Jendral Sudirman (UNSOED) yang akan diterbitkan pada Volume 14 Nomor 1 Maret Tahun 2012
3. Bambang Suhada, E. Gumbira Sa'id, I .W. Rusastra, Sukardi. 2012.
Rekayasa Kelembagaan Kemitraan Pabrik Gula Dengan Petani Tebu Dalam Mendukung Penguatan Klaster Industri Gula Tebu Nasional, pada Jurnal Fakultas Ekonomi Universitas Haluoleo (UNHALU) yang akan diterbitkan pada Volume 4 Nomor 1 Januari Tahun 2012
(22)
(23)
1.1. Latar Belakang
Gula merupakan salah satu produk agroindustri potensial yang sangat menarik untuk dikaji, mengingat peranannya cukup strategis dalam mendorong kemajuan pembangunan ekonomi bangsa, dengan sasaran: terpenuhinya kebutuhan gula nasional, perluasan kesempatan kerja dan meningkatnya devisa negara. Produk gula yang diproduksi oleh industri gula nasional memiliki sejarah panjang dan masih banyak permasalahan yang perlu dipecahkan secara terintegrasi agar peran industri gula nasional dapat lebih ditingkatkan secara optimal.
Di Indonesia, gula dikategorikan sebagai salah satu produk yang paling sensitif setelah beras. Status produk gula yang penting tersebut terutama disebabkan oleh dua faktor berikut : (1) Gula merupakan kebutuhan pokok penduduk. Fakta tersebut membawa konsekuensi berupa kewajiban pemerintah untuk menjamin ketersediaan gula di pasar domestik pada tingkat harga yang dapat diterima bagi seluruh kelompok pendapatan masyarakat dan (2) Industri gula merupakan sumber penghidupan lebih dari satu juta petani di pulau Jawa dan menyediakan lapangan kerja bagi lebih dari setengah juta buruh tani di pedesaan, terutama di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Fakta diatas membawa konsekuensi bagi pemerintah untuk menjaga keberlangsungan serta meningkatkan manfaatnya
(Susmiadi et al., 2005).
Indonesia mempunyai keunggulan komparatif sebagai produsen gula tebu dikaji dari sisi sumberdaya alam dan iklim, mengingat tebu merupakan tanaman
tropis yang secara alamiah telah tumbuh secara meluas di daerah tropis (Sawit et
al. 2003). Hal ini dapat dibuktikan dari kenyataan bahwa pada periode penjajahan
Belanda khususnya pada periode 1930 – 1940, Indonesia pernah mengalami masa
kejayaan industri gula. Pada saat itu, produktivitas tebu hampir mendekati 140 ton per hektar, rendemen 12 persen lebih dan produktivitas hablurnya mendekati 18
(24)
ton per hektar, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan produktivitas tebu, rendemen dan hablur pada tahun 2005 berturut-turut sebesar 78 ton per hektar, rata-rata 7 persen dan 6 ton per hektar. Berbagai pogram peningkatan industri gula yang dijalankan pemerintah sejak tahun 1950 hingga saat ini belum terintegrasi dan masih memperlihatkan relatif rendahnya kinerja industri gula nasional. Bahkan selama diberlakukannya program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI), yang ditetapkan melalui INPRES Nomor 9 Tahun 1975, produktivitas tebu dan hablur
terus mengalami penurunan dibandingkan periode sebelumnya (Simatupang et al.
2005).
Saat ini, industri gula Indonesia menghadapi berbagai masalah yang cukup serius. Salah satu indikasi masalah industri gula nasional adalah volume impor gula sebesar 1,271 juta ton pada tahun 2006 dan terus mengalami peningkatan pada tahun 2007 menjadi 1,492 juta ton, dengan laju pertumbuhan impor sebesar 0,20 persen per tahunnya (Departemen Pertanian, 2008). Jika kondisi tersebut terus dibiarkan berlangsung, maka pabrik-pabrik gula, terutama yang berada di bawah naungan manajemen Badan Usaha Milik Negara (PTPN) akan terancaman eksistensinya.
Rendahnya kinerja industri gula Indonesia dapat diketahui dari tingkat produktivitas tebu, rendemen serta produktivitas hablur gula yang dihasilkan oleh pabrik-pabrik gula di Indonesia selama kurun waktu 2003 sampai 2009, seperti diperlihatkan pada Tabel 1 bahwa tingkat produktivitas tebu hanya bergerak pada kisaran angka 76,1 ton per hektar sampai 81,83 ton per hektarnya, dengan tingkat rendemen, hanya mencapai rata-rata 7,54 persen. Begitupun dengan tingkat produktivitas hablur yang dihasilkan masih relatif rendah dengan rata-rata 5,79 ton per hektarnya (Kementerian Pertanian, 2010). Apabila dibandingkan antara pulau Jawa dan luar pulau Jawa, perbedaan kinerja industri gulanya semakin terlihat. Rata-rata rendemen gula pada area tebu luar pulau Jawa meningkat dari 8,32 persen pada tahun 2006, menjadi 8,44% pada tahun 2007. Sebaliknya, rendemen gula di pulau Jawa turun dari 7,31 persen menjadi 6,91%. Namun, karena perbaikan rendemen yang signifikan di luar pulau Jawa belum diimbangi dengan peningkatan produktivitas di tingkat kebun, maka secara rata-rata
(25)
produktivitas gula yang dihasilkan turun dari 5,88 ton/ha menjadi 5,66 ton/ha. Produktivitas tebu luar pulau Jawa menurun dari 70,70 ton per hektar pada tahun 2006 menjadi 69,42 ton per hektar pada tahun 2007 (Dewan Gula Indonesia, 2008).
Tabel 1. Produksi dan Produktivitas Tebu dan Gula Indonesia Tahun 2005 – 2009
No
Perkembangan Kinerja Industri Gula
Tebu Nasional
2005
2006
2007
2008
2009
1 Luas Areal Panen (Ha)
381786
396440
428401
436505
422935
2 Produksi Tebu (Ton)
31242271 30232835 33289452 32960165 32165572
3 Produktivitas Tebu (Ton / Ha)
81,83
76,3
77,7
75,5
76,1
4 Rendemen (%)
7,1
7,63
7,35
8,1
7,83
5 Produksi Hablur (Ton)
2217794 2307027 24481342 2703976 2624068
6 Produktivitas Hablur (Ton / Ha)
5,82
5,82
5,71
6,2
5,96
Sumber : Kementerian Pertanian, 2010
Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan kinerja industri gula nasional, namun pencapaiannya belum memberikan hasil yang optimal, khususnya dalam peningkatan kesejahteraan petani tebu. Dalam rangka peningkatan produktivitas gula secara nasional, pemerintah dan pemangku
kepentingan telah menyusun agenda penting bersama, yaitu program “Akselerasi
Peningkatan Produktivitas Gula Nasional” untuk kurun waktu pelaksanaan lima
tahun (2002 – 2007). Program tersebut bertujuan untuk meningkatkan
produktivitas, produksi dan mutu tebu untuk memenuhi kapasitas terpasang pabrik agar dapat beroperasi secara efisien dan menghasilkan gula dengan biaya produksi yang kompetitif. Pendekatan pelaksanaannya dilakukan secara terpadu dan simultan sejak dari aspek budidaya, tebang-muat-angkut (TMA) dan pasca panen dengan penerapan fungsi-fungsi manajemen.
Program akselerasi produktivitas gula nasional 2002 – 2007 tersebut
memiliki sasaran jangka pendek dan jangka panjang. Dalam jangka pendek, sasaran yang ingin dicapai adalah melakukan konsolidasi areal tanam di pulau Jawa dan luar pulau Jawa, rehabilitasi tanaman keprasan, penyediaan bibit
(26)
bermutu, peningkatan mutu budidaya, peningkatan kinerja pabrik gula dan penyesuaian tarif bea masuk. Dilain pihak dalam jangka panjang, sasaran yang ingin dicapai adalah pemberdayaan Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTR), pemberdayaan penelitian dan pengembangan pabrik gula dan lembaga riset, peningkatan sumberdaya manusia (SDM), kerjasama antar perusahaan (PTPN/PG) dan pengembangan produk (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2002)
Kebijakan pengembangan industri gula nasional seyogyanya dilakukan dengan memperhitungkan seluruh aspek yang ada, mengingat nilai investasi pada industri gula relatif mahal. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan oleh P3GI (2009), untuk pendirian satu pabrik gula dengan kapasitas produksi sebesar 8.733 ton gula per harinya dibutuhkan biaya investasi sebesar Rp. 1,648 trilyun atau kurang lebih 165 juta US Dolar. Untuk itu, penurunan produktivitas pada industri gula perlu dicermati secara mendalam agar industri gula Indonesia tidak semakin terpuruk dan dapat diminimalisir ketergantungan konsumsi domestik pada gula impor yang berdampak terhadap berkurangnya cadangan devisa nasional.
Dalam konteks sistem, produksi gula di tingkat pabrik sangat dipengaruhi oleh tingkat produksi di tingkat kebun. Hal tersebut berarti, sub sistem kebun dan sub sistem pengolahan gula (Pabrik Gula) adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Selama ini sudah cukup banyak penelitian dilakukan dalam mengkaji peningkatan kinerja industri gula nasional. Namun, penelitian yang ada masih parsial dan belum menemukan strategi yang sesuai dengan kondisi riil yang dihadapi oleh industri gula nasional. Untuk itu diperlukan studi peningkatan produktivitas industri gula nasional, melalui kajian yang komprehensif baik di tingkat kebun maupun di tingkat pabrik gula secara terintegrasi. Dengan menemukan strategi peningkatan produktivitas industri gula nasional yang tepat, akan dapat diketahui secara objektif dan mutakhir strategi dan peningkatan produktivitas industri gula tebu nasional ke depannya agar memiliki dampak
pengganda (multiplier effect) yang besar bagi akselerasi perkembangan ekonomi
nasional.
Pengembangan industri gula tebu nasional perlu diarahkan ke pengembangan klaster, mengingat melalui pendekatan tersebut akan berdampak terhadap
(27)
pembangunan ekonomi daerah. Dalam pendekatan klaster tersebut, dirancang dan diimplementasikan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebagai sasaran utamanya. Dalam kaitan dengan konsep klaster tersebut, beragam kajian
konsep dan empiris klaster industri mengungkapkan beragam ”temuan” penting,
sebagai berikut (Nugroho, 2011) :
1. Kesejahteraan/kemakmuran sangat ditentukan oleh daya saing. Karenanya,
di antara berbagai tujuan/kepentingan pembangunan yang multi dimensi
(dan seringkali berbeda, bahkan “bertentangan”), peningkatan daya saing
merupakan salah satu fokus orientasi agenda yang sangat penting.
2. Di antara ukuran yang paling sesuai dari daya saing adalah produktivitas,
yang merupakan hasil dari pemanfaatan SDM, modal dan SDA, dan tercermin dalam nilai produk (barang dan/atau jasa) dan efisiensi bagaimana produk tersebut dihasilkan.
3. Sumber terpenting kesejahteraan/kemakmuran (yaitu daya saing) pada
dasarnya “diciptakan,” bukan diwariskan
4. Beragam faktor alamiah (seperti melimpahnya sumber daya alam) tentu
sangat penting, namun hal ini bermakna sangat terbatas jika tidak
diimbangi dengan kemajuan dalam kemampuan faktor-faktor “buatan”
seperti SDM yang semakin berkualitas, infrastruktur, teknologi dan lainnya.
5. Produktivitas suatu negara/daerah bergantung pada keseluruhan
industrinya, yang pada dasarnya tercermin dalam “klaster industri-klaster
industri”. Keunggulan daya saing klaster industri mencerminkan keadaan
perkembangan ekonomi (the state of economy’s development).
6. Inovasi semakin penting dalam menentukan produktivitas dan
peningkatannya dalam jangka panjang.
7. Faktor spesifik lokal/daerah seperti pengetahuan, hubungan, dan motivasi,
semakin menentukan keunggulan daya saing global.
Suatu Daerah akan mampu bersaing dalam menawarkan lingkungan paling produktif bagi bisnis/industri. Binis/perusahaanlah yang pada dasarnya akan
(28)
bersaing (di arena persaingan global) dalam pendekatan ini menjadi kunci bagi pengembangan ekonomi daerah, di mana klaster industri yang kompetitif menjadi tulang punggung sistem perekonomian daerah yang sekaligus juga
sebagai pilar daya saing ekonomi nasional, karena (Nugroho, et.al, 2011):
1. Memungkinkan strategi, kebijakan, dan program/upaya partisipatif yang
memiliki kememadaian cakupan (adequacy of scope) dan daya dongkrak
tinggi (high leverage effects) bagi peningkatan produktivitas, kesetaraan
posisi tawar, kemampuan inovasi industri, dan penguatan peran industri dalam sistem perekonomian.
2. Memberikan platform sistemik dan sistematik, serta fokus dan terpadu,
bagi pengembangan unggulan daerah: Peningkatan daya saing daerah dalam kompetisi global.
3. Lebih memungkinkan strategi dan kebijakan yang sinergis untuk
mengembangkan kondisi sistemik yang mendukung bagi keterpaduan dan koherensi rantai nilai dan aliran rantai teknologi/inovasi: Peletakan instrumen iptek dalam peningkatan kapasitas dan integrasi rantai nilai
(value chain).
4. Mendukung akselerasi pengembangan/penguatan jaringan dan kolaborasi
para stakeholders, khususnya di tingkat lokal: Prakarsa kolaborasi batas
daerah (kabupaten/kota) menunjukkan adanya kebutuhan pendekatan yang lebih komprehensif namun fokus dalam proses penciptaan nilai tambah.
5. Memfasilitasi pragmatisasi alternatif pengembangan sejalan dengan
karakteristik lokal dan dinamika perubahan global: Penguatan sistem dukungan yang terintegrasi bagi sentra industri sebagai salah satu prioritas
dan opsi entry point agenda implementasi.
Kunci keberhasilan dalam upaya pengembangan klaster industri dan
jaringan bisnis adalah partisipasi aktif dari semua stakeholders dalam membuat
(29)
1.2. Perumusan Permasalahan
Prospek industri gula pada masa mendatang diyakini akan semakin penting, seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan berkembangnya industri makanan dan minuman di Indonesia. Hal ini menjadi peluang bagi industri gula dalam negeri untuk lebih meningkatkan kinerjanya. Prospek industri gula juga akan semakin strategis dengan dimulainya pengembangan bahan bakar
nabati (biofuel), khususnya berbahan baku tebu. Namun, prospek tersebut sulit
direalisasikan jika tidak ada kebijakan tata niaga gula yang terintegrasi dari hulu sampai hilir.
Dengan peranannya sebagai komoditas strategis, maka keberadaan produk gula dalam perekonomian nasional selalu mendapat perlindungan dari pemerintah, dengan cara mengeluarkan kebijakan proteksi harga terhadap keluaran industri gula. Hal tersebut dimaksudkan untuk mendorong peningkatan produksi gula nasional dalam mencukupi kebutuhan dalam negeri. Namun dalam perkembangannya, produktivitas gula nasional menunjukkan kecenderungan yang stagnan. Pertumbuhan produktivitas tebu dari tahun 2003 sampai 2009 sebesar 2,31 persen, sedangkan pertumbuhan produktivitas hablur sebesar 3,84 persen. Mengingat produksi gula dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan rumahtangga dan industri, maka pemerintah setiap tahunnya membuka keran impor. Besarnya impor gula dari tahun 2003 sampai 2010 menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat, dengan laju pertumbuhan rata-rata sebesar 27,65 persen per tahun. Pertumbuhan impor gula yang relatif besar tersebut berdampak terhadap pengurangan cadangan devisa nasional (Dewan Gula Indonesia, 2012).
Pada dekade terakhir, kinerja pabrik gula cenderung menurun. Di samping disebabkan oleh umur pabrik yang sudah tua, kapasitas dan hari giling pabrik gula cenderung tidak mencapai standar. Sebagai contoh, pabrik-pabrik gula yang ada di Jawa mempunyai kapasitas giling 23.8 juta ton tebu per tahun (180 hari giling). Bahan baku yang tersedia hanya sekitar 12.8 juta ton sehingga pabrik-pabrik gula
di Jawa mempunyai idle capacity sekitar 46.2persen. Selanjutnya, pabrik gula
(30)
bahan baku sebanyak 8.6 juta ton, sehingga idle capacity mencapai 39.4 persen (Susila, 2006).
Menurut Mardianto et al. (2005), salah satu penyebab kemunduran
industri gula di Indonesia adalah rusaknya relasi fungsional antar komponen sistem agribisnis gula. Integrasi antara usaha perkebunan tebu dan pabrik gula pengolahan tebu merupakan faktor kunci efisiensi industri gula. Pada zaman kolonial, integrasi sistem agribisnis gula dapat dijamin melalui kuasi organisasi yang melibatkan kekuatan memaksa dari pemerintah. Petani dipaksa oleh pemerintah kolonial menanam tebu, sesuai dengan luasan, teknologi, jadwal tanam dan jadwal panen yang ditetapkan oleh pabrik. Menanam tebu merupakan prioritas dan wajib bagi petani. Prioritas peruntukkan lahan di pulau Jawa adalah untuk perkebunan tebu dan bukan untuk padi. Dengan begitu, pabrik gula dapat memperoleh pasokan bahan baku yang cukup sepanjang musim giling. Hal ini yang membuat industri gula di pulau Jawa pada zaman kolonial kompetitif.
Permasalahan rendahnya produktivitas industri gula nasional dapat dikaji dari dua sisi, yaitu sistem usahatani dan kinerja pabrik gula. Menurut Arifin (2008), sistem usaha tani tebu telah mengalami pergeseran signifikan, karena beberapa komoditas lain bernilai ekonomis tinggi semakin dikenal petani tebu. Apabila tidak mampu dikelola dengan baik, tingkat substitusi komoditas seperti itu dapat menimbulkan dampak negatif bagi pencapaian tingkat ketahanan pangan, diversifikasi produksi dan keuntungan ekonomis usahatani. Penurunan penerimaan ekonomis usaha tani telah membuat banyak petani tebu mengkonversi lahannya menjadi usahatani lain atau dengan pola tanam lain yang lebih menguntungkan. Karena fenomena substitusi tersebut, petani tebu juga mengalihkan tebu lahan sawah ke lahan kering karena pertimbangan rasional ekonomis. Di sisi lain, langkah-langkah pembenahan aspek mikro bisnis dan
reposisi strategi mengarah pada perubahan budaya perusahaan (corporate culture)
wajib segera dilakukan untuk pabrik-pabrik gula di pulau Jawa, terutama yang berada di bawah manajemen PT. Perkebunan Nusantara (PTPN).
(31)
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan strategi peningkatan produktivitas industri gula tebu nasional sebagai hasil dari peningkatan produktivitas di tingkat kebun dan pabrik gula (PG) secara terintegrasi. Secara lebih rinci, tujuan penelitian ini dijabarkan sebagai berikut :
1. Memperoleh struktur kelembagaan kemitraan antara pabrik gula (PG)
dengan petani tebu.
2. Mendapatkan tingkat daya saing dan dampak kebijakan pemerintah
terhadap kinerja industri gula tebu nasional.
3. Memperoleh tingkat produktivitas di tingkat kebun dan pabrik gula
secara terintegrasi.
4. Mendapatkan strategi peningkatan produktivitas industri gula tebu
nasional .
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Berguna bagi para pengambil keputusan untuk menyusun kebijakan
pengembangan industri gula tebu nasional, sehingga memiliki arah yang jelas dalam pengembangannya dan berdaya saing dalam persaingan global.
2. Dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun strategi
korporasi yang lebih baik dalam meningkatkan produktivitasnya.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dari penelitian strategi peningkatan produktivitas industri gula tebu nasional ini meliputi hal-hal sebagai berikut :
(32)
1. Penelitian ini dilaksanakan pada empat pabrik gula dengan mempertimbangkan status perusahaan (BUMN dan BUMS), masing-masing Pabrik Gula Pesantren Baru di Kediri (BUMN), Pabrik Gula Kebon Agung di Malang (BUMS), Pabrik Gula Bungamayang di Lampung Utara (BUMN) dan Pabrik Gula Gunung Madu di Lampung Tengah (BUMS).
2. Pengkajian dilakukan secara khusus pada keempat pabrik gula terpilih
dan agar lebih lengkap, penelitian ini juga mempelajari sistem usahatani yang berada di sekitar pabrik gula tersebut.
3. Khusus untuk kajian produktivititas, fokus dari penelitian ini adalah
pada dimensi pengukuran (measurement) dan evaluasi (evaluation)
untuk menghasilkan rumusan strategi peningkatan produktivitas
industri gula tebu nasional.
4. Penelitian ini mengkaji tentang posisi masing-masing pabrik gula
dalam sistem klaster serta menyusun struktur klaster industri gula tebu nasional.
1.6. Kebaruan Penelitian
Pada hakekatnya, peningkatan daya saing di pabrik gula dipengaruhi oleh besaran tingkat produktivitasnya. Kajian mengenai produktivitas pabrik gula yang pada penelitian ini menggunakan metoda
indeks produktivitas sebagai hasil pengembangan metoda objective matrix
serta metoda baru skoring produktivitas untuk menentukan posisi dari tingkat produktivitas masing-masing pabrik gula yang diteliti. Relasi fungsional yang terjadi selama ini antara pabrik gula dengan petani tebu dalam wadah kelembagaan kemitraan dapat menentukan tingkat produktivitas pabrik gula. Untuk itu, diajukan rumusan baru dari kelembagaan kemitraan melalui rekayasa sub-sub sistem dari kelembagaan kemitraan, agar mekanisme kerjasama antar kedua pihak tersebut berlangsung secara seimbang.
(33)
II . TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perspektif Industri Gula Dunia
Periode tahun 2004-2005 merupakan periode yang cukup
menggembirakan industri gula dunia, khususnya dari sisi produsen. Pada periode
tersebut, rata-rata harga gula mencapai US$ 261,92./ton untuk gula putih (white
sugar) dan US$193,78/ton untuk gula mentah (Raw Sugar), atau meningkat sekitar 9,8 persen untuk gula putih dan 24 persen untuk gula mentah dari rata-rata harga tahun 2003-2004. Hal ini disebabkan pada periode 2004-2005, untuk kedua kalinya pasar gula dunia kembali mengalami defisit sekitar 3 juta ton. Pada periode 2004-2005, produksi gula dunia mencapai 142,5 juta ton atau meningkat sekitar 1 persen dari periode sebelumnya. Disisi lain, konsumsi meningkat lebih pesat yaitu 1,3 persen, dari 143,3 juta ton pada tahun 2004 menjadi 145,1 juta ton pada tahun 2005 (FAO, 2008).
Peningkatan produksi gula dunia kembali dipimpin oleh Brazil sebagai negara produsen terbesar. Pada periode 2005-2006, produksi gula Brazil diperkirakan mencapai 30 juta ton atau meningkat sekitar 3,5 persen bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Kondisi iklim yang baik merupakan salah satu faktor pendukung peningkatan produksi tersebut. Kondisi iklim yang baik juga terjadi di Meksiko sehingga negara tersebut diperkirakan akan mengalami peningkatan produksi dengan volume produksi sekitar 6.1 juta ton. Setelah mengalami penurunan produksi selama dua tahun, India diperkirakan akan mengalami proses pemulihan sehingga produksi diperkirakan kembali meningkat, mencapai 18.5 juta ton pada tahun 2005-2006. Peningkatan tersebut terkait dengan perluasan areal sebagai akibat harga gula yang cukup tinggi pada periode 2004-2005. China sebagai salah satu produsen besar juga diperkirakan akan mengalami peningkatan produksi cukup signifikan (6 persen) sehingga produksinya diperkirakan mencapai sekitar 10,7 juta ton pada tahun 2005/06 (Susila, 2008)
(34)
Kendati secara agregat produksi gula dunia meningkat, namun ada beberapa negara yang mengalami penurunan produksi, khususnya di negara-negara produsen gula di Eropa Barat (EU). Meski didukung cuaca baik dan peningkatan produktivtas, produksi gula di Eropa Barat (EU) diproyeksikan menurun menjadi sekitar 2,7 persen atau menjadi sekitar 20 juta ton, karena penurunan luas areal. Penurunan ini tampaknya merupakan respon produsen terhadap perubahan regim kebijakan pergulaan di negara tersebut, yang diperkirakan akan efektif pada tahun 2006-2007. Dengan kebijakan tersebut, dukungan harga gula akan diturunkan sebesar 36 persen, walau negara-negara produsen gula di Uni Eropa mendapat paket kompensasi sebesar 64,2 persen dari
penurunan harga tersebut, dalam bentuk decoupled payment, yang dikaitkan
dengan lingkungan dan standar pengelolaan lahan. Australia juga diperkirakan mengalami penurunan produksi menjadi 5,3 juta ton atau sekitar 3,5 persen. Hal ini diduga berkaitan dengan restrukturisasi industri gula Australia yang menyiapkan dana sekitar AUS$ 444 juta paket program pada tahun 2004, termasuk AUS$ 96 juta untuk petani yang tidak efisien agar dapat keluar dari industri gula (FAO, 2008).
Negara-negara eksportir gula seperti Brazil dan Cuba diperkirakan mengalami penurunan produksi dengan tingkat produksi turun menjadi 1,3 juta ton. Penurunan produksi tersebut disebabkan oleh kemarau yang parah ketika musim tanam serta kebijakan restrukturisasi industri gula di negara tersebut. Kebijakan diversifikasi produk dari gula ke beberapa komoditi seperti buah-buahan tropis, umbi-umbian, dan peternakan merupakan penyebab penurunan produksi gula di negara tersebut. Afrika secara agregat juga mengalami penurunan produksi sekitar 4 persen dengan volume produksi tahun 2005-2006 diperkirakan mencapai 5 juta ton. Beberapa negara Afrika yang mengalami penurunan produksi adalah Swazilan, Kenya, dan Malawi. Thailand kembali diperkirakan akan mengalami penurunan produksi sebagai akibat kemarau yang dihadapi negara tersebut. Produksi Thailand pada tahun 2005-2006 hanya sekitar 4,6 juta ton, atau mengalami penurunan sebesar 16% dibandingkan dengan periode sebelumnya. Amerika sebagai salah satu produsen utama, produksinya diperkirakan relatif
(35)
Berdasarkan data UNDP (2010), produksi gula dunia (dalam bentuk gula mentah) diperkirakan meningkat sebesar 1,7 persen per tahunnya antara tahun 2000 sampai 2010. Jumlah total produksi gula dunia diperkirakan mencapai 161 juta ton pada tahun 2008, dan mengalami peningkatan menjadi 163 juta ton pada
periode 2009 – 2010, atau mengalami peningkatan sebesar 1,1 persen. Lebih dari
50 persen dari produksi gula dunia dihasilkan oleh negara-negara berkembang. Brazil, Australia dan Thailand telah menunjukkan sebagai tiga besar negara produsen gula yang memproduksi gula dengan biaya rendah dan sangat efisien diantara produsen gula dunia lainnya. Pada Tabel 2 berikut disajikan tujuh negara produsen besar gula dunia.
Tabel 2. Produksi Gula Tujuh Negara Produsen Utama Gula Dunia Tahun 2005
No Negara Produsen Gula Produksi (Juta Ton)
1 Brazilia 28,13
2 India 21,70
3 China 15,22
4 Meksiko 5,62
5 Australia 5,39
6 Thailand 4,59
7 Pakistan 2,84
Total Produksi 83,49
Total Produksi Dunia 141,31
Prosentase Terhadap Produksi Dunia 59
Sumber : UNDP (2010)
Pada tahun 2008, Brazilia, India dan China merupakan tiga negara produsen gula terbesar dunia yang sangat terkonsolidasi (Gambar 1). Brazilia sendiri menghasilkan hampir sepertiga dari total produksi gula dunia, sementara India, China dan Meksiko sebagian besar produksi gulanya untuk memenuhi kebutuhan domestiknya. Hal penting untuk diperhatikan dari tabel 4 berikut adalah bahwa negara-negara yang memiliki volume produksi tertinggi, ternyata tidak selalu berarti memiliki tingkat produktivitas yang tinggi juga. Colombia, Guetemala dan
(36)
Australia adalah tiga negara dari sepuluh negara produsen utama gula yang memiliki produktivitas tertinggi.
Gambar 1. Produksi Tebu dan Produktivitas sepuluh Negara Produsen Gula Dunia (FAO, 2008)
Dalam kaitannya dengan produktivitas lahan, industri gula Filipina memiliki efisiensi lebih rendah dibandingkan negara-negara produsen yang menjadi pesaing negara ini, sebagai contoh produktivitas lahannya hanya menghasilkan 58,06 ton per hektarnya yang berarti 25 persen lebih rendah dari usahatani tebu di Brazilia. Kemudian terkait dengan tingkat pengembalian
keuntungan (return on investment), Philippina memiliki tingkat pengembalian
rata-rata sebesar 10 persen, sementara Brazilia mencapai tingkat pengembalian investasi sebesar 15,6 persen. Hal tersebut berarti industri gula di Brazilia lebih efisien 32 persen dibandingkan industri gula di Filipina (Tabel 3).
(37)
Tabel 3. Produktivitas dan Tingkat Pengembalian Investasi Pada Negara Produsen Gula
No Negara Produsen
Gula
Produktivitas Lahan (Ton / Hektar)
Tingkat Pengembalian
Investasi (%)
1 Brazil 77,63 14,6
2 Colombia 75,28 11,5
3 India 72,56 10
4 Indonesia 62,52 8
5 Mauritius 64,91 10,3
6 Filipina 58,06 10
7 Thailand 63,71 10,8
Sumber : Pakisama, Inc (2010)
2.2. Kinerja Industri Gula Nasional
Dalam konstelasi geografi ekonomi pergulaan dunia, Republik Rakyat China telah memantapkan dirinya menjadi negara adidaya baru dalam industri
gula dunia (the new emerging world superpower in sugar). Brasil dengan pilihan
kebijakannnya yang dicanangkan pada awal tahun 70-an juga telah menjadi negara penting di bidang produksi gula dunia. Di lain pihak, Australia dan Thailand, juga telah mengukuhkan negaranya menjadi negara pengekspor gula penting dunia. Namun, perkembangan menarik dari industri pergulaan di beberapa negara tersebut ternyata sampai saat ini belum terjadi di Indonesia.
Salah satu keberhasilan negara-negara eksportir gula dunia tersebut adalah dengan menerbitkan instrumen kebijakan proteksi kepada industri gulanya seperti pengenaan tarif bea masuk (BM) yang cukup tinggi dan instrumen komplemen lainnya seperti pengaturan, pengawasan dan pembatasan impor gula yang memungkinkan industri gula negara-negara eksportir gula dunia tersebut mampu menekan biaya pokok produksinya. Dengan demikian, biaya pokok produksi gula di negara-negara eksportir tersebut telah mengalami distrosi sebagai dampak dari kebijakan yang protektif.
(38)
Dalam kondisi pasar gula di dalam negeri terintegrasi terhadap pasar gula dunia, biaya pokok produksi merupakan tolok ukur dari kinerja industri gula. Industri gula dapat bertahan, jika biaya pokok berada di bawah harga paritas impornya. Hal yang sangat unik bagi industri gula di Indonesia adalah adanya disintegrasi vertikal dalam memproduksi gula. Pada lahan non Hak Guna Usaha (HGU), proses produksi dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu memproduksi tebu (usahatani tebu) yang dilaksanakan oleh petani dan memproses tebu menjadi gula (pengolahan) yang dilaksanakan oleh pabrik gula (PG). Keunikan ini membawa implikasi bahwa daya saing industri gula tidak hanya ditentukan oleh biaya pokok industri yang dibandingkan dengan harga paritas impornya, tetapi juga ditentukan oleh kualitas bahan baku tebu. Dengan demikian, jika biaya pokok industri gula berada di bawah harga paritas impor, tetapi kualitas tebu memiliki rendemen yang rendah, maka produk gula yang dihasilkan tetap saja tidak akan memiliki daya
saing (Indraningsih et al., 2004).
Jika dibandingkan dengan negara-negara eksportir gula dunia, kondisi kinerja industri gula nasional hingga saat ini memang belum mampu menunjukkan daya saing yang tinggi. Bahkan menurut Pakpahan (2009), saat krisis multidimensi terjadi tahun 1997-1998, pabrik gula di Indonesia jumlahnya telah berkurang dengan ditutupnya sebelas pabrik gula, yaitu sepuluh di pulau Jawa dan satu di luar pulau Jawa. Dari 178 pabrik gula dengan kapasitas 240.000 ton tebu giling per hari (TCD) pada 1930-an, dewasa ini Indonesia tinggal memiliki 60 pabrik gula dengan kapasitas 206.00 TCD. Berkurangnya jumlah pabrik gula di pulau Jawa selain disebabkan kurangnya pasokan tebu sebagai bahan baku, juga dikarenakan umur mesin produksi yang digunakan relatif tua sehingga kurang efisien jika tetap dioperasikan.
Untuk mengkaji inefisiensi yang terjadi pada industri gula nasional, berikut diperlihatkan gambaran tentang indikator efisiensi teknis dari pabrik-pabrik gula yang berada di pulau Jawa, khususnya yang pengelolaannya dibawah
manajemen PTPN. Menurut Indraningsih et al. (2004), untuk komponen mill
(39)
sebesar 95 persen, boiling house recovery (BHR) memberikan angka 70 – 80
persen dari efisiensi normal 90%, dan overall recovery (OR) yang memberikan
angka 59 – 79 persen dari efisiensi normal sebesar 85 persen. Sementara itu, pol
tebu memberikan angka 8 – 11 persen dari efisiensi normal 14 persen, dan
rendemen 5 - 8,5 persen dari efisiensi normal sebesar 12 persen. Akibatnya, rendemen gula yang diterima petani menjadi rendah dan harga pokok gula hablur yang dihasilkan tidak memiliki daya saing (Tabel 4) :
Tabel 4. Beberapa Indikator Efisiensi Teknis Pabrik Gula di Indonesia
Komponen Efisiensi Pabrik Gula
(%)
Efisiensi Normal (%)
Mill Extraction (ME) 84 – 85 95
Boiling House Recovery
(BHR) 70 -80 90
Overall Recovery (OR) 59 – 79 85
Pol Tebu 8 – 11 14
Rendemen 5 – 8.5 12
Sumber : P3GI Dalam Indraningsih et al. (2004)
Selain karena faktor indikator efisiensi teknis di tingkat pabrik gula, gambaran inefisiensi dari pabrik-pabrik gula dibawah manajemen PTPN di pulau Jawa tersebut juga dipicu akibat berkurangnya luas areal tanaman tebu yang menyebabkan pasokan bahan baku menjadi terbatas. Dengan demikian, adanya keterbatasan pasokan tebu sebagai bahan baku tersebut (disintegrasi vertikal), maka terjadi perebutan tebu yang dihasilkan oleh petani oleh banyak pabrik gula.
Deskripsi tentang kinerja industri gula nasional juga dapat dilihat dari kinerja produksi dan tingkat rendemen yang dihasilkannya. Berdasarkan hasil kajian P3GI (2007), produksi gula nasional pada tahun 2007 diperkirakan mencapai 2,43 juta ton atau bertambah 125 ribu ton dibanding tahun lalu. Namun, rendemen atau kandungan gula tebu tahun 2006 malah anjlok dibanding sebelumnya. Rendemen gula secara nasional turun dari 7,63 persen pada 2006
(40)
menjadi 7,42 persen pada 2007. Penurunan sebanyak 0,21 poin ini setara dengan kehilangan potensi produksi gula sedikitnya 70 ribu ton. Kenaikan produksi gula tampaknya lebih banyak disebabkan oleh perluasan areal. Pada 2006 area tebu sekitar 397 ribu ha, tahun ini bertambah 7,1 persen menjadi 425 ribu ha. Pertambahan areal tersebut pada gilirannya meningkatkan pasokan tebu dari 30,2 juta ton menjadi 32,8 juta ton atau bertambah 8,5 persen. Di sisi lain, kinerja produktivitas gula tak beranjak naik. Pada tahun 2007, produktivitas gula lebih rendah 1,4 persen, atau berkurang dari 5,81 ton per hektar pada tahun 2006 menjadi 5,73 ton per hektar pada tahun 2007.
2.3. Kinerja Pabrik Gula Nasional
Pada umumnya, pabrik-pabrik gula yang berada di pulau Jawa dan dibawah manajemen PTPN memiliki kapasitas giling kurang lebih 46 persen. Hal tersebut disebabkan oleh karena sebagian besar pabrik-pabrik gula tersebut
kesulitan dalam memperoleh bahan baku tebu. Menurut sawit et al. (2003),
sebagian besar (53 persen) pabrik gula di pulau Jawa didominasi oleh pabrik-pabrik dengan kapasitas giling kecil (kurang dari 3.000 TCD), 44 persen berkapasitas giling antara 3.000-6.000 TCD, dan hanya 3 persen yang berkapasitas giling lebih dari 6.000 TCD. Sekitar 68 persen dari jumlah pabrik gula yang ada telah berumur lebih dari 75 tahun (umumnya berskala kecil) serta kurang mendapat perawatan secara memadai. Akibatnya, biaya produksi gula/ton pada pabrik gula berskala kecil jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pabrik gula berskala besar atau yang menggunakan mesin relatif baru (P3GI, 2007)
Berbeda halnya dengan pabrik-pabrik gula di pulau Jawa. Produktivitas gula yang dihasilkan oleh pabrik-pabrik gula di luar pulau Jawa, khususnya pabrik-pabrik gula milik swasta yang berlokasi di Propinsi Lampung lebih tinggi
dan cenderung terus meningkat. Menurut Mardianto et al. (2005), pabrik-pabrik
gula swasta di Propinsi Lampung menguasai 95 persen lahan berupa hak guna usaha (HGU) dengan total luas sebesar 114,5 ribu hektar dengan kemampuan produksi sebesar lebih dari 8.000 TCD. Pada Tabel 3 terlihat perbedaan kinerja
(41)
yang cukup signifikan antara pabrik gula di pulau Jawa dan luar pulau Jawa baik terutama tingkat rendeman dan produktivitas hablur yang dihasilkan.
Tabel. 5. Perbandingan Kinerja Produksi Tebu dan Gula Pulau Jawa dan Luar Pulau Jawa
Komponen Pulau Jawa Luar pulau Jawa
Luas Areal Tanam Tebu (Ribu ha) 269 156
Produksi Tebu (Ribu Ton) 21.975 10.814
Produksi Gula (Ribu ton) 1.519 913
Rendemen (%) 6,91 8,44
Hablur (ton / ha) 5,65 5,86
Sumber : P3GI (2007)
Berdasarkan kondisi tersebut diatas, maka seyogianya program peningkatan produksi gula di pulau Jawa hendaknya tidak lagi bertumpu kepada perluasan areal, mengingat areal yang sesuai untuk tebu dalam hamparan luas saat ini sulit diperoleh. Menurut Toharisman (2007), di masa mendatang persaingan antar komoditas akan semakin ketat. Petani secara rasional akan memilih komoditas yang memberikan keuntungan lebih banyak. Selain harga, produktivitas menjadi kunci yang melatar belakangi pemilihan komoditas oleh petani. Berbeda dengan komoditas lain yang produktivitasnya cenderung naik, produktivitas gula boleh dibilang turun drastis. Di era 30-an, rata-rata gula yang dihasilkan dari satu hektar lahan tebu bisa mencapai 17,6 ton dengan rendemen 13 persen. Kini produktivitas gula menurun tinggal 40 persennya saja. Keberhasilan masa lalu mungkin bisa dijadikan motivasi untuk mengembalikan kejayaan industri gula Indonesia. Dengan asumsi luas areal tetap seperti yang ada pada 2007, kemudian produktivitas gula pada 2009 dapat pulih pada kisaran 8 ton/ha saja, maka produksi gula nasional dapat mencapai 3,4 juta ton atau cukup untuk konsumsi gula langsung.
(42)
2.4. Kebijakan Industri Gula Nasional
Dalam rangka peningkatan kinerja industri gula nasional, pemerintah telah
mengeluarkan beberapa instrumen kebijakan pergulaan seperti subsidi input produksi, pengenaan tarif bea masuk, subsidi ekspor, kebijakan impor dan lain-lain, yang ditujukan untuk melindungi dan mengembangkan industri gula nasional. Beberapa kebijakan pergulaan yang sudah diterapkan sejak tahun 1975 sampai dengan tahun 2004 dijalankan dibawah ini :
Kebijakan pergulaan yang paling signifikan diantara berbagai kebijakan produksi dan input adalah kebijakan TRI (tebu rakyat intensifikasi) yang tertuang dalam Inpres Nomor 9 Tahun 1975. Tujuan dari Inpres tersebut adalah untuk
meningkatkan produksi gula nasional dan pendapatan petani tebu (Soentoro et al.,
2005). Ada dua hal yang menjadi dasar dikeluarkan kebijakan pemerintah tersebut, yaitu (1) Terjadinya defisit penyediaan gula domestik sebagai akibat meningkatnya konsumsi gula penduduk serta (2) Tingginya harga gula di pasar internasional. Kebijakan pemerintah tersebut difokuskan kepada para petani tebu dengan pemberian kredit bimas, bimbingan teknis, perbaikan sistem pemasaran dan menciptakan pola hubungan kelembagaan yang proporsional antara petani tebu dengan pabrik gula (PG).
Sejak pertengahan tahun 1997 terjadi krisis ekonomi nasional yang dirasakan, telah memporakporandakan fundamental ekonomi Indonesia. Krisis ekonomi mengakibatkan harga pangan dan non pangan meningkat dan berfluktuasi serta terjadinya pemutusan hubungan kerja, karena sebagian besar pabrik yang menggunakan bahan baku impor dalam jumlah besar mengalami gulung tikar. Akibatnya, terjadi peningkatan jumlah penduduk miskin dan penurunan daya beli masyarakat. Di sisi lain, industri pergulaan Indonesia juga menghadapi berbagai permasalahan yang belum dapat diselesaikan secara tuntas, seperti penurunan areal dan produktivitas serta rendemen.
Pada awal tahun 90-an, pemerintah juga telah mengeluarkan kebijakan berupa Inpres Nomor 5 Tahun 1997. Kebijakan tersebut bertujuan mengoptimalkan sinergitas antara petani tebu, PTPN dan koperasi dalam
(43)
pengembangan industri gula tebu nasional (Sudana et al., 2000). kinerja pergulaan nasional terus menurun, baik dari segi areal, produktivitas maupun produksi. Kebijakan tersebut juga telah memperkuat peran Menteri Pertanian dalam pengembangan industri gula nasional melalui fasilitasi penyediaan bibit unggul dan bimbingan teknis budidaya kepada petani tebu, pemberdayaan lembaga
peneltian serta menghilangkan berbagai pungutan (red tape) terkait dengan usaha
tani tebu rakyat.
Pada tahun 2003, Pemerintah juga telah mengeluarkan kebijakan produksi yang cukup signifikan berupa program akselerasi peningkatan produksi dan produktivitas gula nasional. Melalui program tersebut, pemerintah ingin agar tercapai swasembada gula dapat dicapai pada tahun 2007 dengan target tiga juta
ton dan produktivitas sebesar 8 ton gula per hektar (Mardianto et al. 2005). Pada
intinya, program tersebut diarahkan pada pembongkaran tanaman ratoon (ratoon
cane) mengingat tanaman ratoon oleh petani tebu rakyat di pulau Jawa digunakan
lebih dari 4 (empat) kali.
Perkembangan industri gula nasional sangat dipengaruhi oleh berbagai bentuk kebijakan dari pemerintah. Beberapa kebijakan pemerintah di bidang pergulaan sejak tahun 1975 sampai tahun 2008 dapat dilihat pada Tabel 6 berikut :
Tabel 6. Kebijakan Pemerintah di Bidang Pergulaan (1997 – 2010)
No Jenis Kebijakan Substansi Kebijakan
1 Inpres No. 5/1997 Program pengembangan tebu rakyat
2 Inpres No. 5/1998 Penghentian pelaksanaan Inpres No. 5/199
3
SK Memperindag No. 25/1998
Impor yang semula hanya dilakukan oleh Bulog dapat dilakukan oleh importer umum (IU) dengan bea masuk 0%
4 SK Menhutbun No.
282/1999
Penetapan harga provenue gula pasir produksi petani
5
SK Memperindag No. 363/1999
Impor gula hanya dapat dilakukan oleh pabrik gula di Pulau Jawa yang telah diakui sebagai importer produsen (IP)
6 SK Memperindag No.
717/1999
Pembebasan tataniaga gula dan beras
7 SK Memperindag No.
141/2002
Komoditas gula termasuk salah satu barang impor yang wajib menggunakan NPIK
(44)
Lanjutan Tabel 6
8 SK Memperindag No.
456/2002
Impor gula kasar dilakukan oleh IP
9 Sk Memperindag
No.643/2002
Raw sugar dan refine sugar diimpor oleh IP dan gula kristal putih oleh importer tebu (IT) apabila harga di tingkat petani sudah mencapai diatas Rp. 3100/kg
10 Keppres No. 63/2002 Tentang Dewan Gula Indonesia
11 SK Memperindag No.
328/2003
Pembentukan tim pemantauan pengadaan, pendistribusian dan perkembangan harga gula yang terdiri dari para pejabat, Deperindag, Ditjen Bea dan Cukai, Depkeu
12
SK Menko Bid.
Perekonomian No KEP-21/M.EKON/05/2003
Tentang tim koordinasi pelaksanaan
evaluasi tataniaga gula, beranggotakan instansi terkait dan diketuai Sesmenko
13 SK Menperindag No
61/MPP/Kep/2/2004
Perdagangan gula antar pulau
14 Keppres Nomor 57 Tahun
2004, 26 Juli 2004
Penetapan gula sebagai barang dalam pengawasan
15 Keppres Nomor 58 Tahun
2004, 26 Juli 2004
Penanganan gula yang diimpor secara tidak sah
16
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 522 / MPP/Kep/9/2004
Tentang Ketentuan Impor Gula
17
Kep Menperindag No. 527/MPP/Kep/2004 jo Kep Menperindag No.
02/M/Kep/XII/2004 jo Kep Menperindag No.
08/MDAG/ Per/4/2005
Pengaturan Impor, kualitas gula, dan hara referen gula petani
18
Peraturan Menteri Perdagangan No. 08/M-Dag/Per/4/2005
Tentang Penetapan Harga Gula Putih di Tingkat Petani (Rp. 3.800 / Kg)
19
Peraturan Menteri Perdagangan No. 19/M-Dag/Per/4/2006
Tentang Penetapan Harga Gula Putih di Tingkat Petani (Rp. 4.800 / Kg)
20
Peraturan Menteri Perindustrian No. 83/M-IND/PER/11/2008
Tentang Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia Untuk Gula Kristal Rafinasi Secara Wajib
21 Peraturan Presiden Nomor
28 Tahun 2008
(45)
Lanjutan Tabel 6
22 Peraturan Menteri
Perindustrian Nomor 10 Tahun 2009
Peta panduan klaster industri
23 Peraturan Menteri
Perindustrian RI Nomor 12/M-IND/PER/1/2010
Tim pelaksana rencana aksi revitalisasi industri gula
24 Peraturan Presiden Nomor
32 Tahun 2011
Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011 - 2025
Sumber : Sudana et al. (2000); Susila 2002), Arifin (2003), DGI (2005)
www.deprin.go.id dan www.depdag.go.id (Diakses 19 November Juli 2011)
2.5. Konsep Strategi dan Daya Saing
Pada hakekatnya, perusahaan sebagai sebuah organisasi bisnis bukan semata memfokuskan pada upaya memperoleh keuntungan, namun yang lebih
penting adalah menciptakan nilai (values creation). Dengan demikian, strategi
korporasi hendaknya diarahkan pada pencapaian nilai tersebut. Menurut Kaplan dan Norton (2004), strategi organisasi (perusahaan) seyogianya dapat menjelaskan cara menciptakan nilai bagi pemegang sahamnya, pelanggan serta penduduk (konsumen). Semua organisasi (bisnis) saat ini berupaya menciptakan nilai yang
berkelanjutan melalui pemanfaatan aset non fisiknya (tangible assets), yaitu :
sumber daya manusia (SDM), sistem informasi dan basis data, daya responsivitas, proses bermutu tinggi, hubungan dengan pelanggan dan pencitraan, kemampuan inovasi dan budaya korporasi.
Dalam prakteknya, penciptaan nilai oleh perusahaan umumnya didasarkan atas empat prinsip, yaitu sebagai berikut : (1) Nilai yang tercipta biasanya tidak
secara langsung dapat dirasakan hasilnya saat itu juga (indirect), (2) Nilai aset non
fisik yang tercipta hendaknya kontekstual, dalam arti nilai tersebut terkait erat dengan problematika kekinian yang dihadapi oleh perusahaan, (3) Nilai aset non fisik haruslah potensial. Proses internal seperti desain, produksi, pendistribusian dan pelayanan kepada pelanggan sangat dibutuhkan untuk mentranformasikan aset non fisik menjadi nilai fisikal, dan (4) Nilai maksimum akan dapat tercipta
(46)
jika seluruh aset non fisik perusahaan berkaitan dengan keseluruhan komponen-komponen strategis lainnya (Kaplan dan Norton, 2004).
Menurut Saptana (2009), daya saing merupakan kemampuan suatu sektor industri atau perusahaan untuk bersaing dengan sukses dalam mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan di dalam lingkungan global, selama biaya imbangannya lebih rendah dari penerimaan sumberdaya yang digunakan. Dapat terjadi bahwa di tingkat produsen, suatu komoditas atau produk memiliki keunggulan komparatif dan biaya kesempatan yang relatif rendah, namun di tingkat konsumen komoditas atau produk tersebut tidak memiliki daya saing (keunggulan komparatif), karena adanya distorsi pasar dan/atau biaya transaksi yang tinggi. Sebaliknya, dapat juga terjadi, karena adanya intervensi kebijakan pemerintah, suatu komoditas atau produk memiliki daya saing di tingkat konsumen, namun komoditas atau produk tersebut tidak memiliki keunggulan komparatif. Kajian mengenai daya saing industri menarik dipelajari untuk mengetahui perkembangan industri tertentu dalam konteks persaingan global. Porter (2000) dalam telah merumuskan sebuah model tentang keunggulan
kompetitif (diamond of competitive advantage)dari industri seperti disajikan pada
Gambar 2 berikut :
STRATEGI PERUSAHAAN, STRUKTUR DAN
PERSAINGAN
KONDISI PERMINTAAN KONDISI FAKTOR
INDUSTRI PENDUKUNG DAN TERKAIT
PELUANG PEMERINTAH
PEMERINTAH PELUANG
(47)
Kondisi faktor yaitu posisi negara dalam hal penguasaan faktor produksi (tenaga kerja terampil atau infrastruktur yang dibutuhkan) merupakan syarat kecukupan untuk bersaing dalam suatu industri. Kondisi permintaan yaitu karakteristik besarnya permintaan pasar domestik untuk produk-produk atau jasa-jasa dari suatu industri. Industri pendukung dan terkait adalah kehadiran industri yang menyediakan bahan baku dan lain-lain dalam suatu negara sangat berkaitan dengan kemampuan daya saing industri-industri di pasar internasional.Strategi perusahaan, struktur dan persaingan yaitu kondisi pemerintahan dalam suatu negara bagaimana perusahaan diciptakan, diorganisasikan dan dikelola serta karakteristik persaingan domestik.
2.6. Perspektif Produktivitas
Produktivitas pada dasarnya merupakan hubungan antara keluaran dan masukan dalam sebuah produksi. Produktivitas dapat diukur secara parsial maupun total. Produktivitas parsial merupakan hubungan antara keluaran dengan satu masukan. Contoh produktivitas parsial yang sering digunakan adalah produktivitas tenaga kerja yang menunjukkan rata-rata keluaran per tenaga kerja, atau produktivitas kapital yang menggambarkan rata-rata keluaran per kapital.
Produktivitas total, atau biasa disebut Total Factor Productivity (TFP), mengukur
hubungan antara keluaran dengan beberapa masukan secara serentak. Hubungan tersebut dinyatakan dalam nisbah dari indeks keluaran terhadap indeks masukan agregat. Kalau ratio meningkat berarti lebih banyak keluaran dapat diproduksi dengan menggunakan jumlah masukan tertentu atau sejumlah keluaran tertentu dapat diproduksi dengan menggunakan lebih sedikit masukan (Avenzora dan Moeis, 2008).
Menurut Gaspersz (2000), unsur-unsur yang terdapat dalam produktivitas adalah sebagai berikut : (1) Efisiensi. Dalam dimensi efisiensi, produktivitas dinyatakan sebagai rasio output/input yang merupakan ukuran efisiensi pemakaian sumberdaya (input). Efisiensi merupakan suatu ukuran dalam membandingkan penggunaan masukan (input) yang direncanakan dengan penggunaan masukan yang sebenarnya terlaksana. Pengertian efisiensi berorientasi kepada masukan. (2)
(48)
Efektivitas. Efektivitas merupakan suatu ukuran yang memberikan gambaran seberapa jauh target yang dapat tercapai baik secara kuantitas maupun waktu. Makin besar presentase target tercapai, makin tinggi tingkat efektivitasnya. Konsep ini berorientasi pada keluaran. Peningkatan efektivitas belum tentu dibarengi dengan peningkatan efisiensi dan sebaliknya. Gabungan kedua hal diatas membentuk pengertian produktivitas dengan cara sebagai berikut :
Efektivitas Pencapaian Tujuan
Produktivitas =
Efisiensi Penggunaan Sumber Masukan
(3) Mutu. Secara umum mutu adalah ukuran yang menyatakan seberapa jauh pemenuhan persyaratan, spesifikasi, dan harapan konsumen. Mutu merupakan salah satu ukuran produktivitas. Meskipun kualitas sulit diukur secara matematis melalui rasio output/input, namun jelas bahwa kualitas input dan kualitas proses akan meningkatkan kualitas keluaran.
Tangen (2002) menjelaskan tentang hubungan antara kinerja, keuntungan dan produktivitas serta memberikan definisinya sebagai berikut (Gambar 2) : (1)
Produktivitas merupakan sentral dari model 3-P (Performance, Profitability dan
Productivity) dan memiliki definisi yang lebih operasional sebagai nisbah keluaran terhadap keluaran (jumlah barang yang diproduksi dengan berbagai spesifikasinya) dibagi jumlah masukannya (keseluruhan sumberdaya yang digunakan dalam proses transformasi). (2) Profitabilitas juga merupakan nisbah antara keluaran dan masukan, tetapi didalamnya telah terkandung pengaruh faktor harga). (3) Kinerja merupakan terminologi payung yang menggambarkan capaian keunggulan pengolahan dan termasuk didalamnya profitabilitas seperti kualitas, kecepatan, pengangkutan / distribusi dan fleksibilitas. (4) Efektivitas adalah terminologi yang digunakan ketika keluaran dari proses tranformasi di fokuskan. Sementara efisiensi menggambarkan tentang cara penggunaan masukan-masukan dalam proses tranformasi dengan baik.
(49)
KELUARAN ---MASUKAN
EFEKTIVITAS
EFISIENSI
PRODUKTIVITAS
[Pengembalian Harga] PROFITABILITAS
KINERJA [ Mutu, Distribusi, Kecepatan dan fleksibilitas]
Gambar 3. Hubungan Kinerja, Profitabilitas dan Produktivitas (Tangen, 2002)
Dari Gambar 3 diatas terlihat bawa produktivitas merupakan inti dari pembentukan profitabilitas dengan parameter tingkat pengembalian harga serta mendukung pencapaian kinerja korporasi, yang dapat diukur dari parameter mutu produksi, efisiensi distribusi produk dengan tepat waktu dan jumlah, kecepatan dalam memberikan pelayanan prima serta fleksibilitas dalam pengambilan keputusan manajemen.
Siklus Produktivitas.
Sumanth (1984) memperkenalkan suatu konsep formal yang disebut sebagai siklus produktivitas untuk dipergunakan dalam peningkatan produktivitas terus-menerus. Terdapat empat tahap siklus yang saling berkaitan dan berkesinambungan, yaitu : (1) Pengukuran Produktivitas. (2) Evaluasi Produktivitas. (3) Perencanaan Produktivitas. Dan (4) Perbaikan Produktivitas.
Apabila produktivitas dari sistem industri tersebut telah dapat diukur, langkah berikut adalah mengevaluasi tingkat produktivitas aktual tersebut untuk
(50)
diperbandingkan dengan rencana yang telah ditetapkan. Kesenjangan yang terjadi antara produktivitas aktual dan rencana merupakan masalah produktivitas yang harus dievaluasi dan dicari akar penyebab yang menimbulkan kesenjangan produktivitas itu. Berdasarkan evaluasi ini, selanjutnya dapat direncanakan kembali target produktivitas yang akan dicapai, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Untuk mencapai target produktivitas yang telah direncanakan berbagai program formal dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitas menerus. Siklus produktivitas itu diulang kembali secara terus-menerus untuk mencapai peningkatan produktivitas terus-terus-menerus dalam sistem industri.
Faktor penting yang menyebabkan naik turunnya tingkat produktivitas adalah pihak manajemen, karena pihak manajemen merupakan faktor yang paling berpengaruh, terutama dalam proses perencanaan dan penjadwalan, pengaturan beban kerja, kejelasan instruksi kerja dan evaluasi, serta dalam menumbuhkan motivasi kerja dan loyalitas pekerja terhadap institusi (Gambar 4) :
Pengukuran Produktivitas (Measurement)
Penilaian Produktivitas (Evaluation)
Perencanaan Produktivitas (Planning) Perbaikan Produktivitas
(Improvement)
[Identifikasi Penurunan Produktivtas]
[Analisis Penyebab Masalah Produktivitas]
[Melaksanakan Rencana Tindakan] [Mengembangkan Tindakan
Pencegahan dan Korektif]
I
II
III IV
(51)
Produktivitas seringkali memiliki terminologi yang membingungkan dan dikaitkan dengan efisiensi dan efektivitas. Meskipun sebenarnya ketiga terminologi tersebut terkait, namun masing-masing memiliki makna yang
berbeda. Efisiensi (η) merupakan rasio dari keluaran aktual terhadap keluaran
yang diharapkan. Kendati demikian, efisiensi memberikan indikasi tentang bagaimana mengukur sumberdaya yang digunakan untuk mencapai target yang telah ditetapkan, sedangkan efektivitas (Ø) memberikan gambaran dalam mengukur bagaimana target tersebut dicapai (kinerja).
Produktivitas pada dasarnya merupakan integrasi dari efisiensi dan efektivitas. Produktivitas mengindikasikan kombinasi dari pengaruh pemanfaatan sumberdaya (efisiensi) dan kinerja (efektivitas). Kombinasi dari pengaruh efisiensi dan efektivitas inilah yang seringkali disebut dengan indeks produktivitas. Indeks Produktivitas = Kinerja yang dicapai / sumberdaya masukan
yang digunakan = efektifitas / efisiensi (www.transtutor.com). Secara skematis,
(52)
MASUKAN OPERASI KELUARAN
UMPAN BALIK DAN PENGENDALIAN SISTEM PRODUKSI LINGKUNGAN EKSTERNAL LEGISLASI PERMINTAAN PRODUK PELANGGAN 1) Modal
2) Mutu Bahan Baku Tebu 3) Ketersediaan Bahan Baku Tebu 4) Mutu Tenaga Kerja 5) Energi 6) Kapasitas Pabrik
Dengan penggunaan masukanyang tepat, diharapkan memperoleh
keluaran yang lebih baik + peningkatan mutu pikiran
1) Organisasi 2) Produk 3) Manajemen 4) Level Teknologi 5) Utilisasi Mesin / Peralatan 6) Utilisasi Pabrik
Dengan penggunaan sistem dan alat bantu yang tepat, menghasilkan
tindakan yang baik + Perbaikan secara kontinyu
1) Mutu Produk 2) Mutu Pelayanan 3) Kepuasan Pelanggan 4) Biaya Rendah 5) Produksi Tinggi
6) Utilisasi Sumberdaya Lebih Baik 7) Penggunaan sumberdaya secara optimum
PRODUKTIVITAS
SISTEM PRODUKTIVITAS
EFISIENSI EFEKTIVITAS KONVERSI MASUKAN KE KELUARAN (SISTEM PRODUKTIVITAS)
Gambar 5. Keterkaitan Efisiensi, Efektivitas dan Produktivitas
(www.transtutor.com, diakses tanggal 19 November 2011)
2.7. Penelitian Terdahulu dan Posisi Penelitian
Penelitian yang dilakukan Anindita (2007) menemukan bahwa kebijakan
pemerintah terhadap industri gula lebih difokuskan pada peningkatan produktivitas tebu dan minim sekali perhatian diberikan pada peningkatan efisiensi pada industri gula. Banyak pakar percaya bahwa permasalahan industri gula nasional disebabkan karena penurunan produktivitas tebu per hektarnya dan
(1)
Kriteria 1 Kriteria 2 Kriteria 3 Kriteria 4 Kriteria 5 Kriteria 6 Kriteria 7 Kriteria 8 Kriteria 9 Kriteria 10 Kriteria 11 Kriteria 12
74,6959 0,8349 0,0473 0,0613 51231,8620 28,5714 831,5771 3009,8352 5,8970 0,0789 0,9720 0,9199 PERFORMANCE
86,1068 0,9312 0,0489 0,0498 35521,5458 25,0000 834,4839 1915,1158 6,8454 0,0879 0,9737 0,9472 10
86,0953 0,9144 0,0483 0,0506 35754,7833 25,0977 838,2683 1977,4664 6,8105 0,0863 0,9731 0,9406 9
86,0839 0,8975 0,0478 0,0514 35988,0207 25,1954 842,0527 2039,8169 6,7756 0,0847 0,9726 0,9341 8
86,0724 0,8807 0,0473 0,0522 36221,2581 25,2931 845,8371 2102,1674 6,7407 0,0832 0,9720 0,9275 7
86,0609 0,8639 0,0467 0,0530 36454,4956 25,3908 849,6215 2164,5179 6,7058 0,0816 0,9714 0,9209 6
86,0495 0,8470 0,0462 0,0538 36687,7330 25,4885 853,4059 2226,8685 6,6709 0,0800 0,9709 0,9143 5
86,0380 0,8302 0,0457 0,0546 36920,9704 25,5862 857,1903 2289,2190 6,6360 0,0785 0,9703 0,9078 4
86,0266 0,8134 0,0451 0,0554 37154,2079 25,6839 860,9747 2351,5695 6,6011 0,0769 0,9698 0,9012 3
82,2497 0,7872 0,0437 0,0574 41846,7592 26,6464 906,5646 2570,9914 6,3664 0,0742 0,9648 0,8786 2
78,4728 0,7611 0,0423 0,0593 46539,3106 27,6089 952,1546 2790,4133 6,1317 0,0716 0,9597 0,8560 1
74,6959 0,7349 0,0408 0,0613 51231,8620 28,5714 997,7445 3009,8352 5,8970 0,0690 0,9547 0,8334 0
0 4 7 0 0 0 0 0 0 5 7 5 SKOR
8,5859 7,5758 8,8384 8,5859 8,3333 7,8283 7,8283 8,8384 8,5859 8,0808 8,5859 8,3333 BOBOT
0,0000 30,3030 61,8687 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 40,4040 60,1010 41,6667 NILAI
INDEKS PRODUKTIVITAS
174,75 234,34 134,10
INDIKATOR PENCAPAIAN Indeks Produktivitas Tahun
Dasar (2005)
KRITERIA - KRITERIA PRODUKTIVITAS Indeks Produktivitas Tahun 2009
(2)
4. PABRIK GULA KEBON AGUNG (MALANG)
Kriteria 1 Kriteria 2 Kriteria 3 Kriteria 4 Kriteria 5 Kriteria 6 Kriteria 7 Kriteria 8 Kriteria 9 Kriteria 10 Kriteria 11 Kriteria 12
81,2185 0,8600 0,0556 0,0505 69780,8985 5,0176 475,9812 243,3347 13,5884 0,1673 1,0043 0,9678 PERFORMANCE
89,8714 0,9035 0,0570 0,0451 70000,0000 6,5500 450,2152 230,4521 12,7580 0,1755 1,0035 1,0020 10
88,2053 0,8991 0,0568 0,0458 73077,9623 6,6897 457,7740 233,2760 12,7495 0,1737 1,0034 0,9974 9
86,5392 0,8947 0,0566 0,0465 76155,9247 6,8295 465,3328 236,0999 12,7410 0,1718 1,0033 0,9927 8
84,8730 0,8903 0,0564 0,0472 79233,8870 6,9692 472,8916 238,9237 12,7325 0,1700 1,0032 0,9881 7
83,2069 0,8860 0,0563 0,0479 82311,8493 7,1090 480,4504 241,7476 12,7240 0,1681 1,0031 0,9834 6
81,5407 0,8816 0,0561 0,0485 85389,8117 7,2487 488,0092 244,5715 12,7155 0,1663 1,0031 0,9788 5
79,8746 0,8772 0,0559 0,0492 88467,7740 7,3885 495,5679 247,3954 12,7070 0,1644 1,0030 0,9742 4
78,2085 0,8728 0,0557 0,0499 91545,7363 7,5282 503,1267 250,2193 12,6985 0,1626 1,0029 0,9695 3
75,7026 0,8459 0,0557 0,0501 95990,5547 9,1855 522,5406 261,0685 12,4127 0,1580 0,9961 0,9682 2
73,1968 0,8189 0,0556 0,0503 100435,3731 10,8427 541,9545 271,9178 12,1269 0,1533 0,9975 0,9668 1
70,6910 0,7920 0,0556 0,0505 104880,1915 12,5000 561,3684 282,7670 11,8411 0,1487 0,9988 0,9654 0
5 3 3 0 0 0 8 5 0 0 0 2 SKOR
8,4788 8,4788 8,4788 8,4788 7,9800 8,2294 7,9800 8,4788 8,2294 8,2294 8,4788 8,4788 BOBOT
42,3940 25,4364 25,4364 0,0000 0,0000 0,0000 63,8404 42,3940 0,0000 0,0000 0,0000 16,9576 NILAI
INDEKS PRODUKTIVITAS
199,75 216,46 108,36
Indeks Produktivitas Tahun 2006
KRITERIA - KRITERIA PRODUKTIVITAS
INDIKATOR PENCAPAIAN Indeks Produktivitas Tahun
(3)
Kriteria 1 Kriteria 2 Kriteria 3 Kriteria 4 Kriteria 5 Kriteria 6 Kriteria 7 Kriteria 8 Kriteria 9 Kriteria 10 Kriteria 11 Kriteria 12
82,2884 0,9080 0,0556 0,0496 92672,2983 6,6653 561,3684 271,0607 12,2363 0,1487 1,0014 0,9723 PERFORMANCE
89,8714 0,9035 0,0570 0,0451 70000,0000 6,5500 450,2152 230,4521 12,7580 0,1755 1,0035 1,0020 10
88,2053 0,8991 0,0568 0,0458 73077,9623 6,6897 457,7740 233,2760 12,7495 0,1737 1,0034 0,9974 9
86,5392 0,8947 0,0566 0,0465 76155,9247 6,8295 465,3328 236,0999 12,7410 0,1718 1,0033 0,9927 8
84,8730 0,8903 0,0564 0,0472 79233,8870 6,9692 472,8916 238,9237 12,7325 0,1700 1,0032 0,9881 7
83,2069 0,8860 0,0563 0,0479 82311,8493 7,1090 480,4504 241,7476 12,7240 0,1681 1,0031 0,9834 6
81,5407 0,8816 0,0561 0,0485 85389,8117 7,2487 488,0092 244,5715 12,7155 0,1663 1,0031 0,9788 5
79,8746 0,8772 0,0559 0,0492 88467,7740 7,3885 495,5679 247,3954 12,7070 0,1644 1,0030 0,9742 4
78,2085 0,8728 0,0557 0,0499 91545,7363 7,5282 503,1267 250,2193 12,6985 0,1626 1,0029 0,9695 3
75,7026 0,8459 0,0557 0,0501 95990,5547 9,1855 522,5406 261,0685 12,4127 0,1580 0,9961 0,9682 2
73,1968 0,8189 0,0556 0,0503 100435,3731 10,8427 541,9545 271,9178 12,1269 0,1533 0,9975 0,9668 1
70,6910 0,7920 0,0556 0,0505 104880,1915 12,5000 561,3684 282,7670 11,8411 0,1487 0,9988 0,9654 0
5 0 3 4 3 9 0 1 1 0 3 4 SKOR
8,4788 8,4788 8,4788 8,4788 7,9800 8,2294 7,9800 8,4788 8,2294 8,2294 8,4788 8,4788 BOBOT
42,3940 0,0000 25,4364 33,9152 23,9401 74,0648 0,0000 8,4788 8,2294 0,0000 25,4364 33,9152 NILAI
INDEKS PRODUKTIVITAS
199,75 275,81 138,08
KRITERIA - KRITERIA PRODUKTIVITAS
INDIKATOR PENCAPAIAN Indeks Produktivitas Tahun
Dasar (2005) Indeks Produktivitas Tahun 2007
(4)
Kriteria 1 Kriteria 2 Kriteria 3 Kriteria 4 Kriteria 5 Kriteria 6 Kriteria 7 Kriteria 8 Kriteria 9 Kriteria 10 Kriteria 11 Kriteria 12
76,7283 0,8640 0,0556 0,0501 100880,1915 7,5758 533,6103 258,8997 12,7427 0,1661 1,0023 0,9693 PERFORMANCE
89,8714 0,9035 0,0570 0,0451 70000,0000 6,5500 450,2152 230,4521 12,7580 0,1755 1,0035 1,0020 10
88,2053 0,8991 0,0568 0,0458 73077,9623 6,6897 457,7740 233,2760 12,7495 0,1737 1,0034 0,9974 9
86,5392 0,8947 0,0566 0,0465 76155,9247 6,8295 465,3328 236,0999 12,7410 0,1718 1,0033 0,9927 8
84,8730 0,8903 0,0564 0,0472 79233,8870 6,9692 472,8916 238,9237 12,7325 0,1700 1,0032 0,9881 7
83,2069 0,8860 0,0563 0,0479 82311,8493 7,1090 480,4504 241,7476 12,7240 0,1681 1,0031 0,9834 6
81,5407 0,8816 0,0561 0,0485 85389,8117 7,2487 488,0092 244,5715 12,7155 0,1663 1,0031 0,9788 5
79,8746 0,8772 0,0559 0,0492 88467,7740 7,3885 495,5679 247,3954 12,7070 0,1644 1,0030 0,9742 4
78,2085 0,8728 0,0557 0,0499 91545,7363 7,5282 503,1267 250,2193 12,6985 0,1626 1,0029 0,9695 3
75,7026 0,8459 0,0557 0,0501 95990,5547 9,1855 522,5406 261,0685 12,4127 0,1580 0,9961 0,9682 2
73,1968 0,8189 0,0556 0,0503 100435,3731 10,8427 541,9545 271,9178 12,1269 0,1533 0,9975 0,9668 1
70,6910 0,7920 0,0556 0,0505 104880,1915 12,5000 561,3684 282,7670 11,8411 0,1487 0,9988 0,9654 0
2 3 1 2 1 3 1 2 8 5 3 3 SKOR
8,4788 8,4788 8,4788 8,4788 7,9800 8,2294 7,9800 8,4788 8,2294 8,2294 8,4788 8,4788 BOBOT
16,9576 25,4364 8,4788 16,9576 7,9800 24,6883 7,9800 16,9576 65,8354 41,1471 25,4364 25,4364 NILAI
INDEKS PRODUKTIVITAS
199,75 283,29 141,82
INDIKATOR PENCAPAIAN Indeks Produktivitas Tahun
Dasar (2005) Indeks Produktivitas Tahun 2008
(5)
Kriteria 1 Kriteria 2 Kriteria 3 Kriteria 4 Kriteria 5 Kriteria 6 Kriteria 7 Kriteria 8 Kriteria 9 Kriteria 10 Kriteria 11 Kriteria 12
77,6910 0,7920 0,0556 0,0492 88515,2468 12,5000 458,2498 282,7670 11,8411 0,1675 0,9958 0,9654 PERFORMANCE
89,8714 0,9035 0,0570 0,0451 75000,0000 6,5500 450,2152 230,4521 12,7580 0,1755 1,0035 1,0020 10
88,2053 0,8991 0,0568 0,0458 77363,6766 6,6897 457,7740 233,2760 12,7495 0,1737 1,0034 0,9974 9
86,5392 0,8947 0,0566 0,0465 79727,3532 6,8295 465,3328 236,0999 12,7410 0,1718 1,0033 0,9927 8
84,8730 0,8903 0,0564 0,0472 82091,0298 6,9692 472,8916 238,9237 12,7325 0,1700 1,0032 0,9881 7
83,2069 0,8860 0,0563 0,0479 84454,7065 7,1090 480,4504 241,7476 12,7240 0,1681 1,0031 0,9834 6
81,5407 0,8816 0,0561 0,0485 86818,3831 7,2487 488,0092 244,5715 12,7155 0,1663 1,0031 0,9788 5
79,8746 0,8772 0,0559 0,0492 89182,0597 7,3885 495,5679 247,3954 12,7070 0,1644 1,0030 0,9742 4
78,2085 0,8728 0,0557 0,0499 91545,7363 7,5282 503,1267 250,2193 12,6985 0,1626 1,0029 0,9695 3
75,7026 0,8459 0,0557 0,0501 95990,5547 9,1855 522,5406 261,0685 12,4127 0,1580 0,9961 0,9682 2
73,1968 0,8189 0,0556 0,0503 100435,3731 10,8427 541,9545 271,9178 12,1269 0,1533 0,9975 0,9668 1
70,6910 0,7920 0,0556 0,0505 104880,1915 12,5000 561,3684 282,7670 11,8411 0,1487 0,9988 0,9654 0
3 0 3 4 4 0 9 0 0 6 2 0 SKOR
8,4788 8,4788 8,4788 8,4788 7,9800 8,2294 7,9800 8,4788 8,2294 8,2294 8,4788 8,4788 BOBOT
25,43640898 0 25,43640898 33,91521197 31,9201995 0 71,82044888 0 0 49,3765586 16,95760599 0 NILAI
INDEKS PRODUKTIVITAS
199,7500 254,86 127,59
INDIKATOR PENCAPAIAN Indeks Produktivitas Tahun
Dasar (2005) Indeks Produktivitas Tahun 2009
(6)