Kajian Produktivitas Mengetahui jadwal penebangan, jumlah tebu yang dihasilkan, dan

Produksi Energi Bagas Kwh; 3. Jumlah Tebu Giling Ton Jumlah Hari Berhenti Giling Hari; 4. Jumlah Tebu Giling Ton Jumlah Pemakaian Kapur Ton; 5. Jumlah Tebu Giling Ton Jumlah Penggunaan Belerang Ton; dan 6. Mill Extraction ME Norma Mill Extraction. Peningkatan produktivitas sebesar 34,10 persen yang terjadi pada tahun 2009 dibandingkan tahun 2005 base year dipengaruhi oleh kriteria : 1. Jumlah Produksi Gula Ton Jumlah Tebu Giling Ton; dan 2. Boiler House Recovery BHR Norma BHR.

6.1.2.4. Pabrik Gula Kebon Agung Malang

Dari hasil perhitungan yang dilakukan, diperoleh nilai dari masing-masing faktor pembentuk indeks produktivitas dari Pabrik Kebon Agung Baru sebagai berikut Tabel 48 : Tabel 48. Indeks Produktivitas PG Kebon Agung Tahun Nilai Produktivitas Indeks Produktivitas 2005 199,75 100 2006 216,46 108,36 2007 275,81 138,08 2008 283,29 141,82 2009 254,86 127,59 Sumber : Hasil Pengolahan Data Perkembangan indeks produktivitas PG Kebon Agung sejak tahun 2006 terus mengalami peningkatan dengan angka indeks tertinggi 141,82 tahun 2008 dan indeks terendah 108,36 tahun 2006. Peningkatan produktivitas sebesar 8,36 persen yang terjadi pada tahun 2006 dibandingkan tahun 2005 base year dipengaruhi oleh kriteria : 1. Produksi Tebu Ton Luas Areal Panen Ha; 2. Jumlah Tebu Giling Ton Kapasitas Pabrik Ton; 3. Jumlah Tebu Giling Ton Jumlah Pemakaian Kapur Ton; dan 4. Jumlah Tebu Giling Ton Jumlah Pemakaian Belerang Ton. Peningkatan produktivitas sebesar 38,08 persen yang terjadi pada tahun 2007 dibandingkan tahun 2005 base year dipengaruhi oleh kriteria : 1. Produksi Tebu Ton Luas Areal Panen Ha; 2. Jumlah Tebu Giling Ton Kebutuhan Energi Kwh; 3. Jumlah Tebu Giling Ton Jumlah Hari Berhenti Giling Hari; 4. Jumlah Tebu Giling Ton Jumlah Kotoran Tebu Trash Ton; 5. Jumlah Tebu Giling Ton Jumlah Pemakaian Belerang Ton; 6. Jumlah Produksi Gula Ton Luas Areal Panen Ha; dan 7. Mill Extraction ME Norma Mill Extraction. Peningkatan produktivitas sebesar 41,82 persen yang terjadi pada tahun 2008 dibandingkan tahun 2005 base year dipengaruhi oleh kriteria : 1. Jumlah Tebu Giling Ton Kapasitas Pabrik Ton; 2. Jumlah Tebu Giling Ton Kebutuhan Energi Kwh; 3. Jumlah Tebu Giling Ton Jumlah Kotoran Tebu Trash Ton; 4. Jumlah Tebu Giling Ton Jumlah Pemakaian Belerang Ton; 5. Jumlah Produksi Gula Ton Luas Areal Panen Ha; 10. Jumlah Produksi Gula Ton Jumlah Tebu Giling Ton; dan 6. Mill Extraction ME Norma Mill Extraction. Peningkatan produktivitas sebesar 27,59 persen yang terjadi pada tahun 2009 dibandingkan tahun 2005 base year dipengaruhi oleh kriteria : 1. Jumlah Tebu Giling Ton Kebutuhan Energi Kwh; 2. Jumlah Tebu Giling Ton Jumlah Hari Berhenti Giling Hari; 3. Jumlah Tebu Giling Ton Jumlah Pemakaian Kapur Ton; dan 4. Jumlah Produksi Gula Ton Jumlah Tebu Giling Ton.

6.2. Kajian Peningkatan Produktivitas

Para pengamat pergulaan masih skeptis bahwa target swasembada gula 2014 yang dicanangkan oleh pemerintah akan tercapai. Kondisi tersebut disebabkan belum terintegrasinya usahatani hulu dan industri hilir serta masih terkendala administrasi birokrasi pemerintahan saat ini. Di era Kabinet Indonesia Bersatu jilid II, target swasembada gula sampai tahun 2014 adalah 5,7 juta ton, yang akan diperoleh dari pabrik gula yang ada sebesar 3,57 juta ton sebanyak 2,32 juta ton dari pabrik gula BUMN dan 1,25 juta ton pabrik gula swasta, serta harus ada tambahan gula dari pembangunan 10- 25 pabrik gula baru yang akan menghasilkan 2,13 juta ton gula. Pada tahun 2011, gula konsumsi untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga ditargetkan mencapai 2,7 juta ton, menggunakan basis konsumsi 214 ribu ton per bulan atau sekitar 12 kilogram per kapita. Sementara itu, konsumsi gula industri mencapai 1,98 juta ton dengan rincian konsumsi gula industri oleh industri besar mencapai 1,65 juta ton dan konsumsi gula oleh industri kecil dan menengah 330 ribu ton. Total konsumsi gula pada tahun 2011 diperkirakan mencai 4,67 juta ton, suatu jumlah yang sangat tinggi dilihat dari kinerja produksi atau jumlah yang masih rendah dilihat dari tingkat konsumsi gula di pasar domestik dan kemampuan industri gula rafinasi yang masih beroperasi sekitar 70 persen. Akan tetapi, produksi gula pada tahun 2011 diperkirakan hanya 2,35 juta ton Arifin, 2012. Masih mengemukanya masalah struktural sistem produksi khususnya tentang ketersediaan lahan, kualitas bibit tebu unggul, dan manajemen usahatani tebu masih belum akan dapat diselesaikan dalam waktu dekat. Untuk mencapai produksi gula 5,7 juta ton itu setidaknya diperlukan tambahan lahan usahatani dan perkebunan tebu seluas 350 ribu hektare. Demikian pula, klaim pemerintah bahwa terdapat 900 ribu hektare lahan bekas hutan yang telah dicabut izin pengelolaannya karena aktivitasnya tidak pernah jelas sebenarnya telah siap untuk dikonversi menjadi lahan perkebunan tebu. Akan tetapi, persoalan lahan secara administrasi dan sosial-ekonomi tidak sesederhana yang diduga, sehingga realiasi pengadaan lahan baru untuk perkebunan tebu itu pun masih cukup sulit. Apabila pemerintah lamban merealisasikan pengadaan lahan seluas 350 ribu hektare itu, maka produksi gula maksimal yang akan dihasilkan Indonesia pada tahun 2014 hanya 3,2 juta ton dan tidak akan mencapai sasaran swasembada gula sebesar 5,7 juta ton Arifin et al. 2012. Dari perspektif spasial, pemerintah belum mempunyai kebijakan tata ruang yang jelas dan memungkinkan tebu dibudidayakan dalam satu hamparan agroekosistem. Situasi pengusahaan tanaman budi daya yang terpencar-pencar dan berdampingan banyak komoditas sementara persyaratan tumbuh masing-masing berbeda, menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan efisiensinya rendah serta menyulitkan penanganan panen. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, PG dan petani harus memiliki satu persepsi yang sama tentang pentingnya pola tanam dan tata ruang. Selain itu, sampai saat ini sebagian besar pabrik gula di pulau Jawa mengalami disintegrasi vertikal dalam pengadaan bahan bakunya tebu. Untuk itu diperlukan konsolidasi lahan yang memungkinkan tanaman, mekanisasi, budidaya dan tebang-angkut dilakukan dalam satu manajemen. Apabila lahan yang digunakan untuk budi daya tebu diasumsikan tetap seperti sekarang, maka produktivitas harus ditingkatkan menjadi sekurang- kurangnya 9 sampai 10 ton gula per hektar sampai tahun 2014. Sementara kinerja produktivitas hablur nasional dari tahun 2003 sampai 2010 cenderung stagnan, dengan rataan produktivitas hablur sebesar 5,72 Tabel 49. Dengan demikian, untuk 4 empat tahun kedepan tahun 2011 – 2014, diperlukan peningkatan produktivitas hablur sebesar 3,28 – 4,28 ton per hektar atau rata-rata sebesar 0,656 sampai 0,856 ton per hektar setiap tahunnya. Tabel 49. Perkembangan Luas Areal, Produksi, Rendemen dan Produktivitas Hablur Nasional Tahun 2005 – 2010 Sumber : Dewan Gula Indonesia 2012 Peningkatan Produktivitas tebu dan hablur ditentukan oleh faktor luas areal dan rendemen. Dalam kaitannya dengan areal, tingkat kesuburan lahan memiliki pengaruh yang signifikan dalam peningkatan produktivitas tebu dan hablur. Untuk menunjukkan bahwa peningkatan atau penurunan produktivitas dipengaruhi oleh faktor luas lahan dan rendemen, disusun skenario dengan No Uraian 2005 2006 2007 2008 2009 2010 1 Luas Areal Ha 381.786 396.440 428.401 436.505 422.935 418.259 2 Produksi Tebu Ton 31.242.271 30.232.835 33.289.452 32.960.165 32.165.572 34.216.548 3 Produktivitas Tebu TonHa 81,83 76,26 77,71 75,51 76,05 81,81 4 Rendemen 7,1 7,63 7,35 8,1 7,83 6,47 5 Produksi Hablur Ton 2.218.201 2.306.765 2.446.775 2.669.773 2.518.564 2.214.488 6 Produktvitas Hablur TonHa 5,81 5,82 5,71 6,12 5,95 5,29 menggunakan faktor luas areal lahan dan faktor rendemen. Dengan menggunakan data target swasembada gula dan basis data tahun 2011 DGI, 2012, hasil simulasi dari skenario dapat diperlihatkan sebagai berikut Tabel 50 sampai Tabel 53: Tabel 50. Skenario I Jika Luas Areal Tetap dan Rendemen Tetap No Uraian 2011 2012 2013 2014 1 Luas Areal Ha 572.122,0 572.122,0 572.122,0 572.122,0 2 Produksi Tebu Ton 47.743.581,0 47.743.581,0 47.743.581,0 47.743.581,0 3 Produktivitas Tebu TonHa 83,5 83,5 83,5 83,5 4 Rendemen 8,1 8,1 8,1 8,1 5 Produksi Hablur Ton 3.867.230,1 3.867.230,1 3.867.230,1 3.867.230,1 6 Produktvitas Hablur TonHa 6,8 6,8 6,8 6,8 Dari Tabel 50 terlihat bahwa dengan skenario luas areal tetap dan rendemen tetap, maka produktivitas tebu maupun hablur tidak mengalami peningkatan atau laju pertumbuhan nol. Tabel 51. Skenario II Jika Luas Areal Naik dan Rendemen Tetap No Uraian 2011 2012 2013 2014 1 Luas Areal Ha 572.122,0 631.846,0 691.952,0 766.613,0 2 Produksi Tebu Ton 47.743.581,0 53.612.133,0 58.746.725,0 67.061.705,0 3 Produktivitas Tebu TonHa 83,5 84,8 84,9 87,5 4 Rendemen 8,1 8,1 8,1 8,1 5 Produksi Hablur Ton 3.867.230,1 4.342.582,8 4.758.484,7 5.431.998,1 6 Produktvitas Hablur TonHa 6,8 6,87 6,88 7,1 Dari tabel 51 terlihat bahwa dengan skenario luas areal meningkat sedangkan rendemen tetap, maka produktivitas tebu maupun hablur meningkat dengan laju pertumbuhan sebesar 1,01 persen. Tabel 52. Skenario III Jika Luas Areal Tetap dan Rendemen Naik No Uraian 2011 2012 2013 2014 1 Luas Areal Ha 572.122 572.122 572.122 572.122 2 Produksi Tebu Ton 47.743.581 47.743.581 47.743.581 47.743.581 3 Produktivitas Tebu TonHa 83 83 83 83 4 Rendemen 8,1 8,2 8,4 8,5 5 Produksi Hablur Ton 3.867.230 3.914.974 4.010.461 4.058.204 6 Produktvitas Hablur TonHa 6,76 6,84 7,0 7,1 Dari tabel 52 terlihat bahwa jika luas areal selama 4 empat tahun tidak mengalami peningkatan sementara rendemen meningkat, maka laju produktivitas tebu besar nol. Sedangka laju pertumbuhan produktivitas hablur meningkat dengan rataan sebesar 0,39 persen. Tabel 53. Skenario IV Jika Luas Areal Naik dan Rendemen Naik No Uraian 2011 2012 2013 2014 1 Luas Areal Ha 572.122 631.846 691.952 766.613 2 Produksi Tebu Ton 47.743.581 53.612.133 58.746.725 67.061.705 3 Produktivitas Tebu TonHa 83 85 85 87 4 Rendemen 8,1 8,2 8,4 8,5 5 Produksi Hablur Ton 3.867.230 4.396.195 4.934.725 5.700.245 6 Produktvitas Hablur TonHa 6,8 7,0 7,1 7,4 Dari Tabel 53 terlihat bahwa jika luas areal maupun rendemen sama-sama meningkat, maka laju peningkatan produktivitas tebu sebesar 1,01 persen, sedangkan laju peningkatan produktivitas hablur meningkat sebesar 1,42 persen. Skenario IV merupakan skenario terbaik. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk dapat meningkatkan produktivitas tabu dan hablur diperlukan tambahan luas areal dan peningkatan rendemen.

6.3. Kinerja Efisiensi Pabrik Gula

Untuk melihat seberapa besar tingkat efisiensi yang telah dicapai pabrik gula yang diteliti, digunakan indikator mill extraction ME, Boiler House Recovery BHR dan Overall Recovery OR. Dari data yang diperoleh Tabel 49, nilai rataan efisiensi penggilingan ME tertinggi diperoleh pabrik gula Gunung Madu 95,67 persen dan berada diatas norma ME 95 persen dan yang terendah diperoleh pabrik gula Bungamayang 91,21 persen. Sementara ketiga pabrik gula lainnya memiliki nilai mendekati norma ME. Untuk nilai rataan efisiensi pengolahan BHR, keempat pabrik gula masih dibawah norma BHR 90 persen. Hal tersebut mengindikasikan di keempat pabrik gula tersebut masih kurang efisien. Secara keseluruhan, nilai OR untuk pabrik gula swasta PG Gunung Madu dan PG Kebon Agung lebih tinggi dibandingkan nilai OR dari pabrik gula BUMN PG Pesantren Baru dan PG Bungamayang. Tabel 54. Indikator Rataan Efisiensi Pabrik Gula Tahun 2005 – 2009 PG Gunung Madu PG Kebon Agung PG Pesantren Baru PG Bungamayang 1. Mill Extraction ME 95,67 93 92,13 91,21 2. Boiler House Recovery BHR 87,26 83,88 81,11 80,54 3. Overall Recovery OR 83,48 78,01 74,73 73,46 Pabrik Gula BUMS Pabrik Gula BUMN Indikator Efisiensi Sumber : Pabrik Gula Yang Diteliti 2010 Perbedaan tingkat efisiensi penggilingan dan pengolahan pabrik gula swasta dan BUMN disebabkan oleh perbedaan dalam hal penggunaan peralatan pabrik dan manajemen. Pada pabrik gula BUMN, umur peralatan pabriknya sudah lebih dari 75 tahun serta kurang mendapat perawatan secara memadai. Sementara, pabrik gula swasta dikelola dengan skala produksi cukup besar lebih dari 7000 TCD yang didukung oleh penguasaan lahan HGU dalam luasan yang memadai. Pabrik gula swasta mampu meningkatkan efisiensi dengan menerapkan pola pengelolaan budidaya dan pengolahan tebu dalam satu manajemen yang sama serta mampu menerapkan peralatan pabrik modern capital intensive pada budidaya tebu, kegiatan tebang tebang angkut serta penyediaan air.

6.4. Kajian Daya Saing Industri Gula Tebu

Untuk mengkaji struktur daya saing dari masing-masing pabrik gula, digunakan metode Policy Analysis Matrix Tabel 55. Tabel 55. Kerangka Analisis Dengan Metode Policy Analysis Matrix PAM. Uraian Penerimaan Biaya Keuntungan Input Tradable Input Non Tradable Harga Pasar A B C D Harga Sosial E F G H Divergensi I = A – E J = B – F K = C – G L = I – J – K = D – H Sumber: Monke And Pearson. 1989 Keterangan : 1. Keuntungan Pasar PP : D = A – B + C 2. Keuntungan Sosial SP : H = E – F + G 3. Efisiensi Finansial Keunggulan Kompetitif dengan indikator rasio biaya pasar PCR = CA – B 4. Efisiensi ekonomi keunggulan komparatif dengan indikator rasio biaya sumberdaya domestik DRCR = G E – F 5. Transfer Output OT = A – E 6. Koefisien Proteksi Nominal Output NPCO = A E 7. Transfer Input IT = B – F 8. Koefisien Proteksi Nominal input NPCI = B F 9. Transfer Faktor FT = C – G 10. Koefisien Proteksi Efektif EPC = A – B E – F 11. Transfer Bersih NT = D – H 12. Koefisien Keuntungan PC = D H 13. Rasio Subsidi Bagi Produsen SRP = L E. Dalam analisis PAM ini lebih difokuskan pada struktur daya saing pabrik gula. Adapun hasil dari analisis PAM dapat disajikan berikut ini :

6.4.1. Profitabilitas Keuntungan

Keuntungan Pasar PP atau keuntungan pasar merupakan indikator daya saing dari sistem komoditi berdasarkan teknologi, nilai keluaran, biaya masukan dan transfer kebijaksanaan yang ada. Apabila nilai PP lebih besar dari nol, berarti sistem komoditi itu memperoleh profit di atas normal yang mempunyai implikasi bahwa komoditi itu mampu ekspansi, kecuali apabila sumberdaya terbatas atau adanya komoditi alternatif yang lebih menguntungkan. Adapun hasil analisis profitabilitas disajikan pada Tabel 56 dibawah ini. Tabel 56. Profitabilitas Pabrik Gula Contoh Berdasarkan Jenis Lahan Profitabilitas PG KA PG PB PG BM PG GM Sawah Tegal Sawah Tegal Tegal Tegal PC RC PC RC PC RC PC RC PC RC PC RC PP Rp. JutaTon 1.17 1.86 1.29 2.04 1.65 2.37 2.37 3.09 1.81 2.62 1.86 2.70 SP Rp. JutaTon 0.38 1.04 0.56 1.23 0.87 1.49 1.57 2.21 1.86 2.44 1.97 2.72 Sumber : Hasil pengolahan Data Tabel 56 menunjukkan nilai PP pada seluruh pabrik gula bernilai positif lebih dari satu, sehingga seluruh pabrik gula memiliki keuntungan di atas normal. Keuntungan pasar pada pabrik swasta di Jawa Timur yaitu PG Kebon Agung PG KA relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan pabrik gula BUMN yaitu PG Pesantren Baru PG PB. Namun di Lampung terjadi sebaliknya dimana pabrik gula swasta yaitu PG Gunung Madu Plantation PG GM memiliki keuntungan pasar lebih tinggi dibandingkan pabrik BUMN yaitu PG Bunga Mayang PG BM. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa keuntungan pasar pengolahan tebu menjadi gula pada lahan tegalan juga lebih tinggi jika dibandingkan dengan tebu lahan sawah dan tebu produksi tanaman ratoon RC lebih tinggi dibanding tanaman baru PC. Dengan dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pabrik gula BUMN di Jawa lebih mampu bersaing dibanding dengan pabrik gula swasta, sedangkan di luar Jawa sebaliknya. Sementara itu dari sumber bahan baku tebu, daya saing PG yang menggunakan bahan baku tebu lahan tegalan pada tanaman RC memiliki daya saing yang lebih tinggi jika dibandingkan menggunakan tebu bahan baku lahan sawah dan tebun tanaman PC. Keuntungan Sosial SP atau keuntungan sosial merupakan indikator keunggulan komparatif atau efisiensi dari sistem komoditi pada kondisi tidak ada divergensi dan penerapan kebijaksanaan efisien, apabila SP lebih besar dari nol. Sebaliknya, bila nilai SP lebih kecil dari nol, berarti sistem komoditi tidak mampu bersaing tanpa bantuan atau intervensi pemerintah. Tabel 56 juga menunjukkan nilai SP pada seluruh pabrik gula bernilai positif lebih dari, sehingga seluruh pabrik gula memiliki keuntungan di atas normal. Keuntungan sosial pada pabrik swasta di Jawa Timur yaitu KA relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan pabrik gula BUMN yaitu PG PB. Namun di Lampung terjadi sebaliknya dimana pabrik gula swasta yaitu PG GM memiliki keuntungan sosial lebih tinggi dibandingkan pabrik BUMN yaitu PG PG BM. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa keuntungan sosial pengolahan tebu menjadi gula pada lahan tegalan juga lebih tinggi jika dibandingkan dengan tebu lahan sawah dan tebu produksi tanaman keprasan RC lebih tinggi dibanding tanaman pertama PC. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pabrik gula BUMN di Jawa lebih mampu bersaing dibanding dengan pabrik gula swasta, sedangkan di luar Jawa sebaliknya. Sementara itu dari sumber bahan baku tebu, daya saing PG yang menggunakan bahan baku tebu lahan tegalan pada tanaman RC memiliki daya saing yang lebih tinggi jika dibandingkan menggunakan tebu bahan baku lahan sawah dan tebu tanaman PC. Disamping itu, tanpa bantuan atau intervensi pemerintah seluruh PG mampu memiliki daya saing dari sudut pandang pasar maupun sosial, PG GM memiliki daya saing yang paling tinggi dengan indikatior profitabilitas baik finansial maupun ekonomi. Implikasi dari dari ini adalah bahwa pengembangan pabrik gula BUMN di Jawa lebih bersaing dibandingkan pabrik gula swastanya, sedangkan di luar Jawa sama-sama menguntungan, baik pabrik gula dalam bentuk BUMN maupun Swasta. Pengembangan pabrik gula di luar pulau Jawa yang menggunakan lahan kering, dapat dianjurkan selama sistem pengairan memadai seperti yang telah dilakukan PG Gunung Madu.

6.4.2. Efisiensi Finansial dan Efisiensi Ekonomi

Rasio Biaya Pasar PCR merupakan indikator profitabilitas privat yang menunjukkan kemampuan sistem untuk membayar biaya domestik dan tetap