Ruang Lingkup Penelitian Bambang Suhada, E. Gumbira Said, Sukardi. 2012. Strategi Peningkatan

sebesar 95 persen, boiling house recovery BHR memberikan angka 70 – 80 persen dari efisiensi normal 90, dan overall recovery OR yang memberikan angka 59 – 79 persen dari efisiensi normal sebesar 85 persen. Sementara itu, pol tebu memberikan angka 8 – 11 persen dari efisiensi normal 14 persen, dan rendemen 5 - 8,5 persen dari efisiensi normal sebesar 12 persen. Akibatnya, rendemen gula yang diterima petani menjadi rendah dan harga pokok gula hablur yang dihasilkan tidak memiliki daya saing Tabel 4 : Tabel 4. Beberapa Indikator Efisiensi Teknis Pabrik Gula di Indonesia Komponen Efisiensi Pabrik Gula Efisiensi Normal Mill Extraction ME 84 – 85 95 Boiling House Recovery BHR 70 -80 90 Overall Recovery OR 59 – 79 85 Pol Tebu 8 – 11 14 Rendemen 5 – 8.5 12 Sumber : P3GI Dalam Indraningsih et al. 2004 Selain karena faktor indikator efisiensi teknis di tingkat pabrik gula, gambaran inefisiensi dari pabrik-pabrik gula dibawah manajemen PTPN di pulau Jawa tersebut juga dipicu akibat berkurangnya luas areal tanaman tebu yang menyebabkan pasokan bahan baku menjadi terbatas. Dengan demikian, adanya keterbatasan pasokan tebu sebagai bahan baku tersebut disintegrasi vertikal, maka terjadi perebutan tebu yang dihasilkan oleh petani oleh banyak pabrik gula. Deskripsi tentang kinerja industri gula nasional juga dapat dilihat dari kinerja produksi dan tingkat rendemen yang dihasilkannya. Berdasarkan hasil kajian P3GI 2007, produksi gula nasional pada tahun 2007 diperkirakan mencapai 2,43 juta ton atau bertambah 125 ribu ton dibanding tahun lalu. Namun, rendemen atau kandungan gula tebu tahun 2006 malah anjlok dibanding sebelumnya. Rendemen gula secara nasional turun dari 7,63 persen pada 2006 menjadi 7,42 persen pada 2007. Penurunan sebanyak 0,21 poin ini setara dengan kehilangan potensi produksi gula sedikitnya 70 ribu ton. Kenaikan produksi gula tampaknya lebih banyak disebabkan oleh perluasan areal. Pada 2006 area tebu sekitar 397 ribu ha, tahun ini bertambah 7,1 persen menjadi 425 ribu ha. Pertambahan areal tersebut pada gilirannya meningkatkan pasokan tebu dari 30,2 juta ton menjadi 32,8 juta ton atau bertambah 8,5 persen. Di sisi lain, kinerja produktivitas gula tak beranjak naik. Pada tahun 2007, produktivitas gula lebih rendah 1,4 persen, atau berkurang dari 5,81 ton per hektar pada tahun 2006 menjadi 5,73 ton per hektar pada tahun 2007.

2.3. Kinerja Pabrik Gula Nasional

Pada umumnya, pabrik-pabrik gula yang berada di pulau Jawa dan dibawah manajemen PTPN memiliki kapasitas giling kurang lebih 46 persen. Hal tersebut disebabkan oleh karena sebagian besar pabrik-pabrik gula tersebut kesulitan dalam memperoleh bahan baku tebu. Menurut sawit et al. 2003, sebagian besar 53 persen pabrik gula di pulau Jawa didominasi oleh pabrik- pabrik dengan kapasitas giling kecil kurang dari 3.000 TCD, 44 persen berkapasitas giling antara 3.000-6.000 TCD, dan hanya 3 persen yang berkapasitas giling lebih dari 6.000 TCD. Sekitar 68 persen dari jumlah pabrik gula yang ada telah berumur lebih dari 75 tahun umumnya berskala kecil serta kurang mendapat perawatan secara memadai. Akibatnya, biaya produksi gulaton pada pabrik gula berskala kecil jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pabrik gula berskala besar atau yang menggunakan mesin relatif baru P3GI, 2007 Berbeda halnya dengan pabrik-pabrik gula di pulau Jawa. Produktivitas gula yang dihasilkan oleh pabrik-pabrik gula di luar pulau Jawa, khususnya pabrik-pabrik gula milik swasta yang berlokasi di Propinsi Lampung lebih tinggi dan cenderung terus meningkat. Menurut Mardianto et al. 2005, pabrik-pabrik gula swasta di Propinsi Lampung menguasai 95 persen lahan berupa hak guna usaha HGU dengan total luas sebesar 114,5 ribu hektar dengan kemampuan produksi sebesar lebih dari 8.000 TCD. Pada Tabel 3 terlihat perbedaan kinerja