Kinerja Efisiensi Pabrik Gula

Jawa dan namun tidak ada bedanya antara bahan baku tebu dari lahan sawah mupun tegalan. Sementara, nilai input dengan bahan baku tanaman PC di Jawa lebih rendah, sedangkan nilai input di luar Jawa lebih tinggi dari RC. Implikasi dari hal ini adalah nilai transfer masukan lebih berpengaruh pada PG di luar Jawa di banding di Jawa, sehingga pengembangan pabrik gula di luar Jawa lebih mampu bersaing jika dibandingkan di Jawa. Tabel 59. Dampak Kebijakan masukan Terhadap Pabrik Gula Contoh Berdasarkan Jenis Lahan Kebijakan masukan PG KA PG PB PG BM PG GM Sawah Tegal Sawah Tegal Tegal Tegal PC RC PC RC PC RC PC RC PC RC PC RC IT Rp. JutaTon 0.00 0.06 0.03 0.03 0.07 0.07 0.05 0.06 0.26 0.13 0.32 0.31 NPCI 1.00 1.06 1.02 1.04 1.06 1.11 1.05 1.09 1.23 1.16 1.26 1.37 FT Rp. JutaTon 0.45 0.36 0.47 0.39 0.38 0.28 0.38 0.30 0.43 0.33 0.41 0.34 Sumber : Hasil Pengolahan Data Koefisien Proteksi Nominal Bagi Masukan Yang Dapat Dipertukarkan NPCI merupakan indikator yang menunjukkan tingkat proteksi pemerintah terhadap harga input domestik. Kebijakan bersifat protektif terhadap input jika nilai NPCI lebih dari satu dan berarti ada kebijakan masukan yang diperdagangkan input tradable. Tabel 59 menunjukkan bahwa nilai NPCI memiliki nilai lebih dari satu yang menunjukkan bahwa ada kebijakan pemerintah tidak protektif terhadap harga input domestik. Nilai NPCI pada pabrik swasta di Jawa Timur yaitu PG KA relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan pabrik gula BUMN yaitu PG PB. Namun di Lampung nilai NPCI yang terjadi adalah pabrik gula swasta yaitu PG GM lebih tinggi jika dibandingkan dengan pabrik gula BUMN yaitu PG BM. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa nilai NPCI pengolahan tebu menjadi gula pada lahan sawah lebih rendah dari lahan tegalan dan nilai NPCI untuk tanaman PC lebih rendah dari tanaman RC. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pabrik gula di luar pulau Jawa lebih merasakan kebijakan proteksi dari pemerintah ketimbang pabrik gula di pulau Jawa. Implikasi dari hal tersebut adalah bahwa pemerintah tidak melakukan proteksi yang berlebihan terhadap masukan pabrik gula, khususnya di Jawa. Kebijakan pemerintah tersebut berarti memberikan insentif kepada investor pabrik gula baru di luar pulau Jawa untuk menanamkan investasinya agar mampu bersaing dalam produksi gulanya. Transfer Faktor FT merupakan nilai yang menunjukkan perbedaan harga pasar dengan harga sosial yang diterima produsen untuk pembayaran faktor- faktor produksi yang tidak diperdagangkan. Jika nilai FT lebih besar dari nol berarti ada transfer dari pabrik gula sebagai produsen kepada produsen faktor produksi yang diperdagangkan. Sebaliknya, jika nilai FT kurang dari nol, berarti tidak ada transfer dari pabrik gula sebagai produsen kepada produsen faktor produksi yang diperdagangkan. Tabel 59 menunjukkan bahwa nilai FT memiliki nilai lebih dari nol yang menunjukkan bahwa ada transfer faktor dari pabrik gula ke produsen faktor produksi yang diperdagangkan. Nilai FT pada pabrik gula swasta di Jawa Timur yaitu PG KA relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan pabrik gula BUMN yaitu PG PB. Namun di Lampung nilai FT yang terjadi sebaliknya, yaitu nilai FT PG GM relatif lebih rendah dibandingkan nilai FT PG BM. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa FT pengolahan tebu menjadi gula pada lahan sawah lebih relatif sama dengan tegalan, namun untuk nilai FT pada tanaman PC lebih tinggi dari tanaman RC. Dengan dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pabrik gula BUMN di pulau Jawa PG PB tidak memberikan transfer faktor kepada produsen faktor produksi yang diperdagangkan dibandingkan pabrik swasta PG KA, namun di luar pulau Jawa transfer faktor pada pabrik gula BUMN lebih tingi jika dibandingkan dengan pabrik swasta. Implikasinya adalah pengaruh kebijakan transfer masukan tersebut lebih dirasakan oleh pabrik gula swasta di Jawa dibandingkan pabrik gula BUMN, sedangkan yang terjadi di luar pulau Jawa justru sebaliknya.