Perspektif Industri Gula Dunia

yang cukup signifikan antara pabrik gula di pulau Jawa dan luar pulau Jawa baik terutama tingkat rendeman dan produktivitas hablur yang dihasilkan. Tabel. 5. Perbandingan Kinerja Produksi Tebu dan Gula Pulau Jawa dan Luar Pulau Jawa Komponen Pulau Jawa Luar pulau Jawa Luas Areal Tanam Tebu Ribu ha 269 156 Produksi Tebu Ribu Ton 21.975 10.814 Produksi Gula Ribu ton 1.519 913 Rendemen 6,91 8,44 Hablur ton ha 5,65 5,86 Sumber : P3GI 2007 Berdasarkan kondisi tersebut diatas, maka seyogianya program peningkatan produksi gula di pulau Jawa hendaknya tidak lagi bertumpu kepada perluasan areal, mengingat areal yang sesuai untuk tebu dalam hamparan luas saat ini sulit diperoleh. Menurut Toharisman 2007, di masa mendatang persaingan antar komoditas akan semakin ketat. Petani secara rasional akan memilih komoditas yang memberikan keuntungan lebih banyak. Selain harga, produktivitas menjadi kunci yang melatar belakangi pemilihan komoditas oleh petani. Berbeda dengan komoditas lain yang produktivitasnya cenderung naik, produktivitas gula boleh dibilang turun drastis. Di era 30-an, rata-rata gula yang dihasilkan dari satu hektar lahan tebu bisa mencapai 17,6 ton dengan rendemen 13 persen. Kini produktivitas gula menurun tinggal 40 persennya saja. Keberhasilan masa lalu mungkin bisa dijadikan motivasi untuk mengembalikan kejayaan industri gula Indonesia. Dengan asumsi luas areal tetap seperti yang ada pada 2007, kemudian produktivitas gula pada 2009 dapat pulih pada kisaran 8 tonha saja, maka produksi gula nasional dapat mencapai 3,4 juta ton atau cukup untuk konsumsi gula langsung.

2.4. Kebijakan Industri Gula Nasional

Dalam rangka peningkatan kinerja industri gula nasional, pemerintah telah mengeluarkan beberapa instrumen kebijakan pergulaan seperti subsidi input produksi, pengenaan tarif bea masuk, subsidi ekspor, kebijakan impor dan lain- lain, yang ditujukan untuk melindungi dan mengembangkan industri gula nasional. Beberapa kebijakan pergulaan yang sudah diterapkan sejak tahun 1975 sampai dengan tahun 2004 dijalankan dibawah ini : Kebijakan pergulaan yang paling signifikan diantara berbagai kebijakan produksi dan input adalah kebijakan TRI tebu rakyat intensifikasi yang tertuang dalam Inpres Nomor 9 Tahun 1975. Tujuan dari Inpres tersebut adalah untuk meningkatkan produksi gula nasional dan pendapatan petani tebu Soentoro et al., 2005. Ada dua hal yang menjadi dasar dikeluarkan kebijakan pemerintah tersebut, yaitu 1 Terjadinya defisit penyediaan gula domestik sebagai akibat meningkatnya konsumsi gula penduduk serta 2 Tingginya harga gula di pasar internasional. Kebijakan pemerintah tersebut difokuskan kepada para petani tebu dengan pemberian kredit bimas, bimbingan teknis, perbaikan sistem pemasaran dan menciptakan pola hubungan kelembagaan yang proporsional antara petani tebu dengan pabrik gula PG. Sejak pertengahan tahun 1997 terjadi krisis ekonomi nasional yang dirasakan, telah memporakporandakan fundamental ekonomi Indonesia. Krisis ekonomi mengakibatkan harga pangan dan non pangan meningkat dan berfluktuasi serta terjadinya pemutusan hubungan kerja, karena sebagian besar pabrik yang menggunakan bahan baku impor dalam jumlah besar mengalami gulung tikar. Akibatnya, terjadi peningkatan jumlah penduduk miskin dan penurunan daya beli masyarakat. Di sisi lain, industri pergulaan Indonesia juga menghadapi berbagai permasalahan yang belum dapat diselesaikan secara tuntas, seperti penurunan areal dan produktivitas serta rendemen. Pada awal tahun 90-an, pemerintah juga telah mengeluarkan kebijakan berupa Inpres Nomor 5 Tahun 1997. Kebijakan tersebut bertujuan mengoptimalkan sinergitas antara petani tebu, PTPN dan koperasi dalam pengembangan industri gula tebu nasional Sudana et al., 2000. kinerja pergulaan nasional terus menurun, baik dari segi areal, produktivitas maupun produksi. Kebijakan tersebut juga telah memperkuat peran Menteri Pertanian dalam pengembangan industri gula nasional melalui fasilitasi penyediaan bibit unggul dan bimbingan teknis budidaya kepada petani tebu, pemberdayaan lembaga peneltian serta menghilangkan berbagai pungutan red tape terkait dengan usaha tani tebu rakyat. Pada tahun 2003, Pemerintah juga telah mengeluarkan kebijakan produksi yang cukup signifikan berupa program akselerasi peningkatan produksi dan produktivitas gula nasional. Melalui program tersebut, pemerintah ingin agar tercapai swasembada gula dapat dicapai pada tahun 2007 dengan target tiga juta ton dan produktivitas sebesar 8 ton gula per hektar Mardianto et al. 2005. Pada intinya, program tersebut diarahkan pada pembongkaran tanaman ratoon ratoon cane mengingat tanaman ratoon oleh petani tebu rakyat di pulau Jawa digunakan lebih dari 4 empat kali. Perkembangan industri gula nasional sangat dipengaruhi oleh berbagai bentuk kebijakan dari pemerintah. Beberapa kebijakan pemerintah di bidang pergulaan sejak tahun 1975 sampai tahun 2008 dapat dilihat pada Tabel 6 berikut : Tabel 6. Kebijakan Pemerintah di Bidang Pergulaan 1997 – 2010 No Jenis Kebijakan Substansi Kebijakan 1 Inpres No. 51997 Program pengembangan tebu rakyat 2 Inpres No. 51998 Penghentian pelaksanaan Inpres No. 5199 3 SK Memperindag No. 251998 Impor yang semula hanya dilakukan oleh Bulog dapat dilakukan oleh importer umum IU dengan bea masuk 0 4 SK Menhutbun No. 2821999 Penetapan harga provenue gula pasir produksi petani 5 SK Memperindag No. 3631999 Impor gula hanya dapat dilakukan oleh pabrik gula di Pulau Jawa yang telah diakui sebagai importer produsen IP 6 SK Memperindag No. 7171999 Pembebasan tataniaga gula dan beras 7 SK Memperindag No. 1412002 Komoditas gula termasuk salah satu barang impor yang wajib menggunakan NPIK Lanjutan Tabel 6 8 SK Memperindag No. 4562002 Impor gula kasar dilakukan oleh IP 9 Sk Memperindag No.6432002 Raw sugar dan refine sugar diimpor oleh IP dan gula kristal putih oleh importer tebu IT apabila harga di tingkat petani sudah mencapai diatas Rp. 3100kg 10 Keppres No. 632002 Tentang Dewan Gula Indonesia 11 SK Memperindag No. 3282003 Pembentukan tim pemantauan pengadaan, pendistribusian dan perkembangan harga gula yang terdiri dari para pejabat, Deperindag, Ditjen Bea dan Cukai, Depkeu 12 SK Menko Bid. Perekonomian No KEP- 21M.EKON052003 Tentang tim koordinasi pelaksanaan evaluasi tataniaga gula, beranggotakan instansi terkait dan diketuai Sesmenko 13 SK Menperindag No 61MPPKep22004 Perdagangan gula antar pulau 14 Keppres Nomor 57 Tahun 2004, 26 Juli 2004 Penetapan gula sebagai barang dalam pengawasan 15 Keppres Nomor 58 Tahun 2004, 26 Juli 2004 Penanganan gula yang diimpor secara tidak sah 16 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 522 MPPKep92004 Tentang Ketentuan Impor Gula 17 Kep Menperindag No. 527MPPKep2004 jo Kep Menperindag No. 02MKepXII2004 jo Kep Menperindag No. 08MDAG Per42005 Pengaturan Impor, kualitas gula, dan hara referen gula petani 18 Peraturan Menteri Perdagangan No. 08M- DagPer42005 Tentang Penetapan Harga Gula Putih di Tingkat Petani Rp. 3.800 Kg 19 Peraturan Menteri Perdagangan No. 19M- DagPer42006 Tentang Penetapan Harga Gula Putih di Tingkat Petani Rp. 4.800 Kg 20 Peraturan Menteri Perindustrian No. 83M- INDPER112008 Tentang Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia Untuk Gula Kristal Rafinasi Secara Wajib 21 Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2008 Kebijakan Industri Nasional Lanjutan Tabel 6 22 Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 10 Tahun 2009 Peta panduan klaster industri 23 Peraturan Menteri Perindustrian RI Nomor 12M-INDPER12010 Tim pelaksana rencana aksi revitalisasi industri gula 24 Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2011 Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011 - 2025 Sumber : Sudana et al. 2000; Susila 2002, Arifin 2003, DGI 2005 www.deprin.go.id dan www.depdag.go.id Diakses 19 November Juli 2011

2.5. Konsep Strategi dan Daya Saing

Pada hakekatnya, perusahaan sebagai sebuah organisasi bisnis bukan semata memfokuskan pada upaya memperoleh keuntungan, namun yang lebih penting adalah menciptakan nilai values creation. Dengan demikian, strategi korporasi hendaknya diarahkan pada pencapaian nilai tersebut. Menurut Kaplan dan Norton 2004, strategi organisasi perusahaan seyogianya dapat menjelaskan cara menciptakan nilai bagi pemegang sahamnya, pelanggan serta penduduk konsumen. Semua organisasi bisnis saat ini berupaya menciptakan nilai yang berkelanjutan melalui pemanfaatan aset non fisiknya tangible assets, yaitu : sumber daya manusia SDM, sistem informasi dan basis data, daya responsivitas, proses bermutu tinggi, hubungan dengan pelanggan dan pencitraan, kemampuan inovasi dan budaya korporasi. Dalam prakteknya, penciptaan nilai oleh perusahaan umumnya didasarkan atas empat prinsip, yaitu sebagai berikut : 1 Nilai yang tercipta biasanya tidak secara langsung dapat dirasakan hasilnya saat itu juga indirect, 2 Nilai aset non fisik yang tercipta hendaknya kontekstual, dalam arti nilai tersebut terkait erat dengan problematika kekinian yang dihadapi oleh perusahaan, 3 Nilai aset non fisik haruslah potensial. Proses internal seperti desain, produksi, pendistribusian dan pelayanan kepada pelanggan sangat dibutuhkan untuk mentranformasikan aset non fisik menjadi nilai fisikal, dan 4 Nilai maksimum akan dapat tercipta