Pabrik Gula Bungamayang Kabupaten Lampung Utara

Tabel 28. Perkembangan Kinerja Produksi Gula PG Gunung Madu Tahun Jumlah Tebu Yang Di Giling Ton Produksi Gula Ton Produktivitas Ton GulaTon Tebu Produksi Tetes Ton 2005 1.849.068 179.025 9,6819 71.202,12 2006 2.033.041 189.716 9,3316 78.867,93 2007 2.026.710 191.275 9,4377 94.135,23 2008 2.374.619 218.248 9,1909 94.135,23 2009 2.329.265 210.244 9,0262 89.544,32 Sumber : PG Gunung Madu 2010 Sejatinya PG Gunung Madu sering menjadi referensi bagi pabrik gula lainnya khususnya pabrik gula di Jawa dalam mengembangkan kinerjanya. Pada Tabel 29 berikut terlihat bawa tingkat efisiensi gilingan ME pada PG Gunung Madu secara rata-rata telah melampaui norma ME 95. Akan tetapi untuk efisiensi BHR, perkembangan nilainya masih dibawah norma standar 90 yaitu rata-rata 87,25. Tabel 29. Perkembangan Tingkat Efisiensi Pengohan Gula PG Gunung Madu Tahun Mill Extraction ME Boiler House Recovery BHR Overall Recovery OR 2005 97,72 87,54 85,54 2006 95,41 87,10 83,10 2007 95,13 87,51 83,25 2008 95,22 87,24 83,07 2009 94,89 86,89 82,45 Sumber : PG Gunung Madu 2010 Dalam penanaman dan pemeliharaan tanaman tebu, PG Gunung Madu melakukannya sesuai dengan prinsip-prinsip Good Agricultural Practise GAP dan penggunaan peralatan modern.Hasilnya dapat dilihat dari perkembangan tingkat rendemen tebu berdasarkan kemasakan tebu yang diperolehnya relatif tinggi. Pada Tabel 30 berikut diperlihatkan tentang tingkat rendemen rata-rata dari tebu yang masuk ke PG Gunung Madu berdasarkan kemasakannya. Tabel 30. Perkembangan Tingkat Rendemen Berdasarkan Kemasakan Tebu Tahun Rendemen Masak Awal Rendemen Masak Tengah Rendemen Masak Akhir 2005 9,27 9,6 10,02 2006 9,32 8,99 10,07 2007 8,52 9,53 10,23 2008 9,7 9,66 7,33 2009 9,46 9,07 8,48 Sumber : PG Gunung Madu 2010 Berdasarkan perkembangannya, maka varietas tebu yang masuk kategori masak awal Panen Bulan April, Mei, Juni memiliki tingkat rendemen rata-rata sebesar 9,26 persen, untuk kategori masak tengah panen bulan Juli, Agustus dan September rendemen rata-ratanya sebesar 9,37 persen dan dan jenis tebu dengan kategori masak akhir Oktober, November dan Desember sebesar rata-rata 9,23 persen. Jika dibandingkan dengan 3 tiga pabrik gula sampel lainnya, maka perolehan tingkat rendemen di PG Gunung Madu adalah tertinggi. Untuk tahun 2009, komposisi pemanenan tebu berdasarkan tingkat kemasakannya adalah sebagai berikut: untuk masak awal 25 persen, masak tengah 55 persen dan masak akhir 20 persen. Salah satu indikator efisiensi dalam proses produksi gula adalah pemanfaatan ampasbagas sebagai sumber energi utama. Pada Tabel 31 berikut digambarkan tentang produksi ampasbagas dan produksi energi yang dihasilkan dari ampasbagas dimaksud. Tabel 31. Perkembangan Produksi dan Kebutuhan Energi Proses Produksi Tahun Jumlah Tebu Yang Di Giling Ton Produksi AmpasBagas Ton Produksi Energi Dari AmpasBagas Kwh Kebutuhan Energi Kwh Ton 2005 1.849.068 613 42.654.513 41.493.086 2006 2.033.041 685 45.154.240 45.580.779 2007 2.026.710 693 45.114.564 45.114.565 2008 2.374.619 820 51.457.993 51.457.994 2009 2.329.265 809 50.032.612 50.032.612 Sumber : PG Gunung Madu 2010 Dari Tabel 31 diatas terlihat bahwa selama kurun waktu 2005 sampai 2009, rata-rata jumlah tebu yang digiling sebesar 2.122.541 ton per tahunnya. Dari sejumlah tebu tersebut dapat dihasilkan rata-rata ampasbagas sebesar 724 ton dan dari ampasbagas tersebut dapat memproduksi energi uap untuk menggerakkan mesin produksi termasuk kebutuhan listrik bagi kantor dan perumahan karyawan sebesar 46.882.784 Kwh. Sementara kebutuhan energi per tahunnya rata-rata sebesar 46.735.807 Kwh. Kondisi ini memperlihatkan bahwa mesin produksi PG Gunung Madu relatif efisien, mengingat kebutuhan energinya dapat terpenuhi secara memadai dari ampasbagas. Dalam kondisi tersebut, maka PG Gunung Madu dalam proses produknya tidak memerlukan tambahan energi suplesi dari residu maupun solar. Guna menjamin mutu, keamanan dan kehalalan produk, baik gula maupun tetes molasses, PG Gunung Madu telah menerapkan secara konsisten Quality And Management System yang mengacu pada standar HACCP SNI 01-4582- 1988 dan Good Manufacturing Practise GM standar B2, telah memperoleh sertifikasi dari PDV – The Netherland Certificate No. GM B20016, HACCP Certificate No. FSC 00015 dan sertifikat halal dari MUI Halal No. 02100005008608. V . KINERJA PRODUKTIVITAS DAN KELEMBAGAAN PABRIK GULA

5.1. Kinerja Produktivitas

Dari informasi umum yang diperoleh, baik terkait dengan budidaya tanaman tebu maupun pengolahan gula di ke empat pabrik gula yang diteliti, maka dapat disarikan informasinya seperti terlihat pada Tabel 32 berikut : Tabel 32. Kinerja Produktivitas Pabrik Gula Yang Diteliti Tahun 2010 No Uraian PG Kebon Agung PG Pesantren Baru PG Gunung Madu PG Bungamayang 1 Pasokan Tebu Rakyat TR 90 90 12,92 54,32 2 Kapasitas Pengolahan Tebu TCD 7.000 6.140 12.767 5.756 3 Rataan Produktivitas Lahan TonHa 83,31 86,32 79,26 71,88 4 Rataan Produktivitas Hablur TonHa 7,36 6,59 9,33 5,34 5 Rataan Rendemen 7,84 7,68 9,28 7,45 6 Rataan Efisiensi Gilingan ME 93 92,13 95,67 91 7 Rataan Efisiensi Pengolahan BHR 80,88 81,11 87,25 80,54 8 Rataan Efisiensi Pabrik OR 78 74,72 83,48 73,46 Sumber : Pabrik Gula Yang Diteliti 2010 Dari Tabel 32 terlihat bahwa PG Kebon Agung Malang dan PG Pesantren Baru Kediri memiliki ketergantungan pasokan yang besar dari sumber tebu rakyat TR, sedangkan pabrik gula di Lampung yaitu PG Gunung Madu dan PG Bungamayang memiliki pasokan tebu dari peserta kemitraan masing-masing 12,92 persen dan 54,32 persen. Untuk kapasitas produksi giling tebu per harinya TCD, PG Gunung Madu memiliki kapasitas pabrik tertinggi yaitu sebesar 12.767 TCD dan yang terendah kapasitas pabriknya adalah PG Bungamayang yaitu 5.756 TCD. Untuk pemakaian varietas tebu, jenis yang paling dominan digunakan oleh PG Kebon Agung adalah varietas BL, SS dan KK. Untuk PG Pesantren Baru, jenis varietas yang dominan digunakan adalah jenis PS, BL dan KK. Sementara untuk jenis varietas tebu di PG Gunung Madu lebih dominan menggunakan jenis GM yang merupakan bibit hasil produksi bagian riset dan pengembangannya sendiri dan untuk PG Bungamayang lebih banyak menggunakan varietas PSBM, yang merupakan hasil kerjasama antara P3GI Pasuruan dan PG Bungamayang. Penggunaan varietas tebu yang dominan tersebut berdampak terhadap tingkat rendemen tebu yang dihasilkan. Pabrik Gula Gunung Madu memiliki tingkat rendemen tebu tertinggi sebesar 9,28 persen. Sementara untuk ketiga pabrik gula contoh lainnya, rataan rendemen yang dihasilkan relatif sama pada rentang 7,45 persen sampai 7,84 persen Tingkat produktivitas lahan dan hablur yang dihasilkan masing-masing oleh keempat pabrik gula contoh cukup bervariasi. Pada Pabrik Gula Kebon Agung, rataan produktivitas lahannya adalah 83,31 ton tebu per hektar dengan rataan produktivitas hablur sebesar 7,36 ton per hektar. Sama halnya dengan lahan basah yang digunakan untuk tanaman tebunya, tingkat produktivitas lahan dan produktivitas hablur pada PG Pesantren baru masing-masing 86,32 ton per hektar dan 6,59 ton per hektar. Sementara di kedua pabrik gula lainnya yang berada di Propinsi Lampung menggunakan lahan kering, sehingga produktivitas lahannya tidak begitu jauh berbeda, masing-masing 79,26 ton per hektar PG Gunung Madu dan 71,88 ton per hektar PG Bungamayang. Mengingat pabrik gula Gunung Madu menggunakan mesin peralatan produksi modern dibandingkan dengan mesin peralatan yang digunakan oleh pabrik gula Bungamayang, maka terdapat perbedaan yang mencolok dalam hal tingkat produktivitas hablurnya, yaitu masing-masing 8,33 ton per hektar PG Gunung Madu dan 5,34 ton per hektar. Dalam hal tingkat efisiensi, baik efisiensi dalam penggilingan mill extraction maupun efisiensi dalam pengolahan tebu menjadi gula Boiler House Recovery , maka secara umum dapat dikatakan bahwa baru PG Gunung Madu yang memiliki tingkat efisiensi penggilingan diatas norma mill extraction 95 pada level nasional yaitu sebesar 95,67. Sementara ketiga pabrik gula lainnya angka mill extraction-nya dibawah norma nasional. Sementara untuk tingkat efisiensi pengolahan bioler house recovery, keempat pabrik gula contoh masih mengalami inefisiensi, mengingat angka untuk boiler house recovery-nya masih dibawah norma BHR nasional 90. Dengan demikian, kedepannya memang masih diperlukan upaya yang lebih keras lagi bagi manajemen pabrik gula untuk