Beberapa studi tentang strategi nafkah dan posisi penelitian dalam

23 Gambar 2.3. Asset, livelihood, dan kemiskinan

2.1.5. Beberapa studi tentang strategi nafkah dan posisi penelitian dalam

konteks kekinian Kajian mengenai strategi nafkah telah dilakukan beberapa puluh tahun yang lalu oleh Sajogyo walaupun hanya secara implisit. Berbagai kajian sistem penghidupan tersebut biasanya dikaitkan dengan kemiskinan di pedesaan. Penelitian Geertz memberikan gambaran bahwa kondisi pertanian di Jawa mengalami kemandegan terutama karena lahan yang terbatas harus menanggung beban penduduk yang semakin padat. Persoalan kepemilikan dan penguasaan lahan menjadi isu penting dalam kaitannya dengan ekonomi rumah tangga petani. Penelitian White 1973 yang dikutip Sajogyo 1990 menyatakan bahwa dalam kondisi lahan yang semakin sempit, rumah tangga petani berusaha untuk melakukan kegiatan nafkah di luar pertanian. Beberapa tesis White adalah: 1 terjadi sebagian proses “orang Meaning Household and its member Access • Use • Transformation • Reproduction Material weel-being Capability Cultural Capital Produced Capital Social Capital Natural Capital Human Capital 24 terdorong ke luar pertanian, imbalan di luar pertanian lebih rendah, orang menjalaninya karena terpaksa; dan 2 sebagian lain proses “orang tertarik ke dalam nafkah bukan pertanian”, dimana imbalan di luar pertanian yang lebih baik. Ada kecenderungan rumahtangga di lapisan bawah miskin yang terkena proses “terdorong keluar” sebagai suatu strategi bertahan hidup. Sajogyo 1998 menyebut sebagai pola nafkah ganda. White 1990 membedakan rumahtangga petani ke dalam tiga kelompok dengan strategi nafkah yang berbeda. Pertama, rumahtangga yang atau mengusahakan tanah pertanian luas, yang menguasai surplus produk pertanian diatas kebutuhan hidup mereka. Surplus ini seringkali dimanfaatkan untuk membiayai pekerjaan di luar sector non-pertanian, dengan imbalan penghasilan yang relative tinggi pula. Pada golongan pertama, strategi nafkah yang mereka terapkan adalah strategi akumulasi dimana hasil pertaniannya mampu diinvestasikan kembali baik pada sector pertanian maupun non pertanian. Kedua, rumahtangga usaha tani sedang usahatani hanya mampu memenuhi kebutuhan subsisten. Mereka biasanya bekerja pada sector non pertanian dalam upaya melindungi diri dari gagal panen atau memberikan sumber pendapatan yang berkelanjutan mengingat usaha pertanian bersifat musiman. Strategi mereka ini dapat disebut sebagai strategi konsolidasi. Ketiga, rumahtangga usaha tani gurem atau tidak bertanah. Biasanya mereka bekerja dari usaha tani ataupun buruh tani, dimana penghasilannya tidak dapat mencukupi kebutuhan dasar. Rumahtangga ini akanmengalokasikan sebagian dari tenaga kerja mereka-tanpa modal, dengan imbalan yang rendah-ke dalam kegiatan luar pertanian. Pada rumahtangga pada golongan ketiga ini menerapkan strategi bertahan hidup survival strategy. White mencatat bahwa terkesan seolah rumahtangga yang memiliki tanah relative luas dan menguasai terbesar dari pertanian, cenderung juga menguasai penghasilan non-pertanian yang paling besar dibandingkan rumahtangga petani sedang dan kecil. Namun demikian, perlu dicatat bahwa ada banyak variasi antar desa, polanya berbeda-beda. Bagaimana pola distribusi penghasilan rumah tangga petani dari pertanian dan non pertanian menurut dapat dilihat pada gambar 2.4. 25 Luas sawah milik ha Penghasilan Rumah Tangga ≥ 1.00 2.14 0.5 – 0.99 0.71 0.25 – 0.49 0.60 0.25 0.33 jutaan rupiah Sumber: White, 1990 Gambar 2.4. Pola Distribusi Penghasilan Rumahtangga Petani di Jawa Pada posisi bertahan hidup, tanpa surplus pertanian, dengan modal kecil, rumahtangga petani memasuki nafkah di luar pertanian, dengan imbalan Rpjam yang lebih rendah dari kerja pertanian. Dalam hal usaha sendiri yang mereka bisa bina di luar pertanian, mereka tak menghitung jumlah masukan jam kerja sendirirumahtangga, menjurus ke eksploitasi diri. Lebih jauh Sajogyo 1990 membandingkan pola strategi nafkah rumahtangga desa antara lapisan atas dan lapisan bawah. Pada keluarga lapisan atas yang bermodal kuat dengan luas lahan 0,5 ha, punya surplus pertanian yang membesar akibat revolusi hijau dan dari surplus itu mampu memodali usaha luar pertanian. Sementara pada rumahtangga lapisan bawah miskin tak bermodal yang menunjukkan strategi “bertahan”: bagi mereka penghasilan total pada suatu waktu lebih penting, biarpun sebagian dari pekerjaan yang berimbalan lebih rendah. Beberapa penelitian lain yang bertitik tolak dari pemikiran Sajogyo adalah Joan Hardjono 1990 yang mengkaitkan antara tanah, pekerjaan, dan nafkah di pedesaan Jawa Barat. Ide dasar strategi nafkah petani di pedesaan adalah kritik atas kebijakan intensifikasi pertanian yang dianggap berlebihan. Sehingga untuk 1.5 1.0 0.5 0.5 1.0 0.30 0.41 0.24 0.36 0.1 PERTANIAN NON PERTANIAN 0.92 1.22 0.18 26 meningkatkan pendapatan rumahtangga petani diperlukan upaya ekstensifikasi dan diversifikasi pertanian disamping adanya nafkah di luar sector pertanian. Dalam kajian anthropologi, Marzali 2003 juga melakukan penelitian tentang strategi peisan di Cikalong dalam menghadapi kemiskinan. Marzali berusaha mengkaitkan antara tekanan penduduk, kemiskinan dan strategi petani. Beberapa pemikir yang diulas berkaitan dengan strategi petani antara lain: 1 Boeke: “statistic expansion”, dan nilai cultural “limited needs”; 2 Geertz: “agricultural involution” dan “shared poverty”; 3 Hayami dan Kikuchi: “peisan rasional dalam masyarakat traditional”; 4 Palte: model geografi social. Namun demikian, Marzali tidak menggunakan keempat pendekatan itu. Dia lebih memilih menggunakan pendekatan “adaptive strategi”-nya Barlett, perilaku peisan dalam mengalokasikan sumberdaya yang mereka miliki dalam menghadapi masalah tekanan penduduk dan kemiskinan dilihat sebagai pilihan-pilihan tindakan yang tepat guna sesuai dengan lingkungan social, cultural, political, ekonomik, dan ekologikal tempat hidupnya. Beberapa tesis dan disertasi lain mencoba mencoba menelusuri beragam strategi nafkah masyarakat pedesaan dengan setting ekologi yang berbeda. Setting ekologi: 1 pegunungan: Dharmawan 1994 dan 2001, Efendi 2004; 2 Nelayan: Iqbal 2004, Lestari 2005; 3 masyarakat sekitar hutan: Purnomo 2005; 4 rumahtangga miskin perkotaan: Musyarofah 2006; 5 perkebunan rakyat teh dan tebu: Masithoh 2005. Beberapa penelitian tersebut juga melihat basis nafkah dipilahkan berdasarkan pada pentagon asset modal alam, modal fisik, modal SDM, modal financial, dan modal social. Lihat pada lampiran 1.

2.2. Kerangka Pemikiran

Menurut Ellis 2000 sebagian besar rumahtangga pedesaan pada umumnya tidak dapat menghindar dari resiko, apakah yang disebabkan oleh manusia atau karena faktor lingkungan. Pada petani tembakau berhadapan dengan beberapa risiko, yaitu: pertama, karena tembakau merupakan tanaman bebas yang diusahakan dan diperdagangkan tanpa campur tangan aparat desa, sehingga petani berhubungan langsung dengan pasar, akibatnya sangat rentan terhadap fluktuasi

Dokumen yang terkait

Perubahan Desa Menjadi Kota (Studi Deskriptif di Desa Tembung, Kecamatan Percut SeiTuan, Kabupaten Deli Serdang)

22 218 93

STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI MISKIN DI DESA SUKORAHAYU KECAMATAN LABUHAN MARINGGAI KABUPATEN LAMPUNG TIMUR

0 16 9

Strategi Nafkah Rumahtangga Nelayan (Studi Kasus di Dua Desa Nelayan Tangkap Kabupaten Lamongan Jawa Timur)

0 6 208

Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Lahan Kering (Kasus Komunitas Petani Lahan Kering Di Desa Lolisang, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan)

0 10 188

Dampak Krisis Ekologi terhadap Strategi Nafkah Rumahtangga Petani di Desa Ciganjeng, Kecamatan Padaherang, Kabupaten Pangandaran

1 18 99

Strategi Dan Struktur Nafkah Rumahtangga Petani Sekitar Hutan Desa Seputih Kecamatan Mayang Kabupaten Jember

2 21 89

Strategi Dan Kelentingan Nafkah Rumahtangga Petani Di Daerah Rawan Bencana (Kasus Rumahtangga Petani Desa Tunggilis, Kecamatan Kalipucang, Kabupaten Pangandaran, Provinsi Jawa Barat)

4 10 138

Kelentingan Nafkah Rumahtangga Petani Di Wilayah Rentan Banjir: Studi Kasus Dua Desa Di Kabupaten Kudus

0 7 133

DINAMIKA NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI PEDESAAN DENGAN PENDEKATAN SUSTAINABLE LIVELIHOD APPROACH (SLA) (Kasus Petani Tembakau di Lereng Gunung Merapi-Merbabu, Propinsi Jawa Tengah).

0 0 9

POLA HUBUNGAN ANTARA TENGKULAK DAN PETANI TEMBAKAU DI LERENG GUNUNG SINDORO SUMBING (Studi Kasus Desa Pagergunung Kecamatan Bulu dan Desa Gentingsari Kecamatan Bansari Kabupaten Temanggung) - UNS Institutional Repository

1 1 14