106
pada untuk bertahan hidup. Pada peristiwa gagal panen satu atau dua musim tanam mungkin akses hutang kepada pedagang atau grader masih terbuka luas.
Namun apabila mengalami gagal panen untuk musim berikutnya, kemungkinan akses tersebut mulai berkurang dan rumahtangga petani harus menyusun strategi
yang lainnya. Umumnya petani di Campursari dan Wonotirto telah memiliki akses kredit
di perbankan. Sistem angsuran yang dipakai adalah musiman. Mereka berhutang pada saat musim tanam tiba dan membayar penuh beserta bunganya setelah enam
bulan kemudian. Kelemahan di perbankan adalah masalah agunan. Kelompok petani dengan luas lahan sempit biasanya sulit untuk mengakses bank karena tidak
memiliki agunan dan dirasakan lebih rumit. Snd 50 tahun meminjam kepada bank sebesar Rp. 10 juta dengan agunan sertifikat tanah. Dalam kurun waktu 6
bulan dia harus mengembalikan Rp. 12.028.500,00.
6.1.2. Domain “livelihood diversification”
6.1.2.1.Strategi Srabutan
Pada umumnya rumahtangga pedesaan beragam aktifitas untuk menjaga kelangsungan hidup, jarang yang hanya memiliki aktifitas ekonomi tunggal.
Mereka berusaha membentengi diri dari ketidakpastian melalui diversifikasi nafkah Chambers dan Conway 1991, Ellis 2000, Scoones 1998. Di dalam
literature ilmu ekonomi pembangungan, diversifikasi mengacu pada aktifitas off- farm yang diadopsi oleh individu atau rumahtangga sebagai pelengkap aktivitas
pertanian. Melalui diversifikasi, rumahtangga akan mendapatkan keamanaan livelihood
melalui kombinasi aktifitas dengan resiko kegagalan yang relative kecil Ellis, 1998.
Diversifikasi nafkah yaitu proses yang dilakukan oleh keluarga pedesaan untuk melakukan berbagai aktivitas dan kemampuan dorongan social mereka
dalam upaya berjuang untuk bertahan hidup dan untuk meningkatkan standar hidup. Out put yang akan dihasilkan dari upaya diversifikasi nafkah tersebut pada
level bertahan hidup, konsolidasi, akumulasi White, 1990 atau pada tahap desperation, vulnerability,
dan independence. Chambers, 1992.
107
Rumahtangga petani tembakau berbasis sawah
Pada rumahtangga petani padi-sawah dengan kondisi kepemilikan lahan yang semakin sempit, memaksa mereka melakukan diversifikasi nafkah. Beberapa
upaya yang dilakukan adalah: pertama, mengalokasikan tenaga kerja keluarga untuk bekerja baik pada pertanian maupun non pertanian yang sering disebut
dengan pola nafkah ganda Sajogyo, 1990. Kedua, “mengirim” anak ke luar daerah untuk mencari nafkah lain selain bidang pertanian.
Terdesaknya petani dari lahan pertanian untuk kemudian bekerja pada sector non pertanian tidak selalu karena imbalan di luar sector pertanian selalu
lebih besar, tetapi karena faktor terpaksa White, 1973. Pada suatu masa tertentu, seperti mengolah lahan terutama pada masa tembakau biasanya diperlukan tenaga
kerja pertanian yang relatif banyak, namun karena sifatnya yang musiman sehingga tidak mampu menjamin kehidupan rumahtangga petani. Pada musim
tanam padi, mengolah tanah sudah digantikan dengan traktor. Hal ini menyebabkan tenaga kerja semakin tidak diperlukan. Namun demikian, pertanian
tembakau masih memberikan peluang kepada rumahtangga petani untuk menyumbangkan tenaga kerjanya pada kegiatan usaha tani.
Trsd 44 tahun, mengerjakan lahan seluas 0,25 dengan sistem bagi hasil dengan TK sejak tahun 1974-1999. Hingga sekarang melakukan bagi
hasil dengan Wsn 36 tahun. Selain bertani, ia juga bekerja sebagai penggali pasir di sungai dengan penghasilan Rp. 15.000,00hari. Salah
satu anaknya ada yang menjadi TKI, namun demikian tidak selalu memberikan kiriman uang-ora iso dijagakke- tidak bisa dijadikan
tumpuan penghasilan. Pada pagi hari Trsd pergi ke sawah, dan siangnya pergi ke sungai untuk menjadi buruh penggali pasir. Untuk bertahan
hidup Trsd menggunakan berbagai sumberdaya yang ada, diantaranya: modal sumberdaya manusia, modal alami, dan modal sosial.
Sbr 47 tahun mengelola lahan 0,3 Ha milik Trmd yang berdomisili di Kecamatan Parakan. Dia memiliki 4 orang anak, 1 satu diantaranya
menjadi seorang kadus di Ngregesan dan 3 tiga lainnya masih serumah dengannya. Dia tinggal bersama anak dan istrinya diatas tanah yang
diwariskan oleh orang tuanya. Selain bertani, Sbr juga bertahan hidup dengan menjadi pedagang pupuk kandang jawa: lemi dengan
imbalan setiap rit mendapat laba Rp. 50.000,00. Hasil dari menjadi makelar tersebut digunakan untuk kegiatan usahatani dan membeli
108
tembakau jawa: ngeber dari tetangga dengan sistem ngeron
26
dan ngebakadekan
27
. Dia membeli tembakau sesuai dengan kondisi keuangan dan biasanya dalam jumlah kecil, paling tidak mampu
menambah pemasukan. Untuk usahatani padi dan tembakau, istrinya berperan sangat besar mengingat suaminya tidak bisa sepenuhnya
mengurusi lahannya. Untuk modal menjadi makelar, dia terkadang meminjam kepada seorang Cina dengan sistem nelulasi. Pada saat panen
Sbr menjual tembakaunya kepada pak Jsmn karena dia memiliki Kartu Tanda Anggota KTA. Dalam kasus ini, modal alami dan modal
finansial memegang peranan penting dalam membangun sistem nafkah rumahtangga sbr.
Rumahtangga petani tembakau berbasis lahan tegal
Diversifikasi nafkah pada rumahtangga petani berbasis lahan sawah lebih variatif dibandingkan petani lahan tegal. Baik petani berlahan luas maupun
berlahan sempit gurem menggantungkan kelangsungan hidupnya pada aktifitas pertanian. Seluruh anggota rumahtangga melakukan aktifitas usaha tani. Pada
petani gurem, selain mengelola usaha taninya mereka juga menjadikan tenaga kerjanya sebagai buruh tani atau buruh bangunan.
Pnd 50 tahun memiliki lahan warisan dari orang tuanya seluas 0,25 hektar. bersama ketiga anaknya mereka mengelola lahannya. Untuk
menunjang kebutuhan hidupnya, selain mengelola usahataninya juga bekerja sebagai buruh tani. Sebagai buruh tani, bekerja mulai pukul
08.00 s.d. 16.00 dengan upah Rp. 20.000.00hari untuk laki-laki dan Rp. 15.000,00hari untuk perempuan. Untuk modal usaha taninya, dia
terkadang berhutang kepada tetangga dan pernah hutang kepada bank dengan jaminan sertifikat tanah dan rumah. Untuk membayar hutang ke
bank dilakukan setiap kali panen tembakau. Sementara untuk membayar hutang tetangga, di bayar setelah panen atau diganti dengan tenaga kerja.
Pnd bekerja sebagai buruh tani kepada tetangga yang dihutangi tanpa dibayar hingga nilainya sama dengan nominal uang yang dipinjam.
Selain menjadi buruh tani, dia memelihara ternak milik tetangga jawa: nggaduh. Seandainya kambing dijual sebelum beranak maka Pnd
diberi bagian separoh dari harga kambing setelah dikurangi dengan harga beli kambing. Apabila beranak maka anaknya tersebut dibagi menjadi
dua.
26
Ngeron adalah sistem pembelian tembakau dalam bentuk daun basah sesudah di petik dan sebelum dirajang
27
Ngebakadekan adalah sistem pembelian tembakau sebelum dipanen-dipetik masih dipohon
109 Srtmn 40 tahun memiliki lahan seluas 0,22 m
2
, merupakan warisan dari
orang tuanya. Dia mengelola lahannya dengan istrinya, karena anaknya masih dibangku sekolah Sekolah Dasar. Pada musim di luar tembakau
juga sebagai buruh tani dan buruh bangunan. Dari bekerja menjadi buruh, dia menerima Rp. 20.000,00hari bekerja mulai dari jam 08.00
s.d. 15.00 WIB. Hasil dari buruh tersebut sebagian besar dipergunkan untuk keperluan hidup sehari-hari dan digunakan untuk modal bertanam
tembakau. Apabila keperluan modal masih kurang, berhutang kepada pedagang Cina, konsekuensinya dia harus menjual kepada pedagang
tersebut tentunya dengan daya tawar yang rendah dalam penentuan harga.
Sementara petani lahan luas di lahan tegal, pada umumnya lebih banyak pada pemaksimalan tenaga kerja keluarga dan buruh tani dalam upaya
intensifikasi dan ekstensifikasi lahan. Sementara upaya diversifikasi nafkah tidak sebanyak yang dilakukan pada petani lahan sawah. Jika petani lahan sawah
menggunakan pendapatannya untuk dialokasikan kegiatan non pertanian, sementara pada petani pegunungan dimanfaatkan untuk membeli tanah,
membangun rumah, naik haji, membeli perhiasan, membeli kendaraan bermotor, dan lainnya. Sebagian kecil dari mereka ada yang selain mengolah tanah tetapi
juga bertindak sebagai pedagang.
Swto 58 tahun memiliki lahan seluas ± 3 hektar yang merupakan hak milik warisan orangtuanya. Memiliki dua orang anak, Sti 30 tahun
berjenis kelamin perempuan dan Ssl 23 tahun berjenis kelamin laki- laki. Dalam melakukan kegiatan usahataninya selain dibantu kedua
anaknya, pada musim petik dan rajang tembakau dibantu oleh 15-20 buruh tani yang tinggal di rumahnya kurang lebih 2 bulan Agustus-
September. Selain berusaha tani, Swto juga berdagang tembakau dengan membeli tembakau dari petani dan kemudian di jual ke
Grader
nya PT. GG. Untuk modal berdagang diperoleh dari tabungan hasil panen dan meminjam dari teman dan grader. Biasanya sistem yang
dipakai adalah nglimolasi sementara kalau dengan grader tidak ada bunganya tetapi harga jualnya dipotong. Kedua anaknya juga ikut
membantu Swto, anak yang perempuan lebih banyak berkecimpung pada kegiatan on-farm, sedangkan anaknya yang laki-laki lebih banyak
dilibatkan dalam kegiatan jual-beli tembakau. Strategi srabutan merupakan upaya membangun aset melalui berbagai aktifitas
nafkah. Sajogyo 1990 menyebutnya sebagai pola nafkah ganda. Pada petani gurem dengan sumberdaya alami terbatas, tingkat pendidikan yang rendah, modal finansial yang
minilam, maka salah satu strategi penting yang dilakukan adalah dengan menerapkan strategi ini.
110
6.1.2.2.Strategi Akumulasi
Petani berlahan luas di daerah persawahan, beberapa diantara mereka mencoba menginvestasikan hasil dari pertanian ke non pertanian. White 1990
mencatat bahwa rumahtangga yang atau mengusahakan tanah pertanian luas, yang menguasai surplus produk pertanian diatas kebutuhan hidup mereka. Surplus ini
seringkali dimanfaatkan untuk membiayai pekerjaan di luar sector non-pertanian, dengan imbalan penghasilan yang relatif tinggi pula. Strategi nafkah yang mereka
terapkan adalah strategi akumulasi dimana hasil pertaniannya mampu diinvestasikan kembali baik pada sector pertanian maupun non pertanian. Strategi
akumulasi ini lebih memperlihatkan bagaimana modal finansial mampu
memberikan sumbangan yang besar terhadap sistem nafkah rumahtangga petani.
“Wsn 36 tahun, memiliki lahan seluas 5 Ha ditambah tanah tanah bengkok seluas 2 Ha. Dia tidak terjun langsung dalam kegiatan pertanian,
melainkan hanya pada tataran pengambilan keputusan. Tanahnya disakapkan kepada 17 petani, dan untuk mengelolanya dia melibatkan
petani yang menjadi kepercayaannya. Sementara dia sendiri bekerja sebagai Kepala Desa, istri dan ibunya mencari nafkah dengan cara
menyewakan perlengkapan pernikahan. Dia dan ayahnya juga berprofesi sebagai pedagang tembakau, banyak memiliki karyawan di
gudang yang bekerja pada saat musim panen tembakau tiba. Beberapa buruh di gudang tersebut adalah petani penyakap yang ikut mengerjakan
lahan Wsn. H. Rytn 56 tahun memiliki lahan seluas 1,25 Ha. Dia juga tidak
mengerjakan sendiri lahan yang dimilikinya melainkan disakapkan kepada 4 empat orang petani disekitarnya. Dia dulunya carik sekretaris desa
pada tahun 1975-1980 dan kepala desa tahun 1980-1998. Hasil jerih payahnya selama ini dipergunakan bersama istrinya untuk membuka toko
saprodi. Srt 35 tahun memiliki pola yang berbeda dengan keduanya. Dia
menggarap 3,5 hektar, 2 hektar milik sendiri dan 1,5 hektar menyewa dari tanah bengkok. Dia menggarap sendiri lahannya dengan dibantu beberapa
tenaga kerja. Selain melakukan kegiatan usaha tani, dia juga melakukan aktivitas menebas
28
padi dan melakukan kegiatan impor tembakau. Pada
saat musim panen, biasanya impor hingga 2,5 tonhari selama 20 hari. Tembakau impor tersebut diambil dari Weleri dengan harga Rp. 1.750kg.
Untuk memenuhi kebutuhan memetik dan merajang tembakau baik dari lahannya sendiri maupun impor, dia memiliki buruh sebanyak 7 tujuh
orang 3 laki-laki dan 4 perempuan yang berasal dari Wonosobo. Pekerja
28
Menebas adalah istilah yang sama artinya dengan sistem ijon yaitu dibeli sebelum menguning.
111 laki-laki bertugas merajang tembakau, sementara perempuan memetik dan
nganjang . Mereka bekerja lebih dari 12 jam perhari dengan upah sebesar
Rp. 25.000,- untuk perempuan dan Rp. 35.000,- untuk laki-laki. Orang yang bekerja di pak Srt biasanya bekerja selama 1,5 bulan, hanya pada saat
musim panen tembakau saja. Sedangkan di luar musim tembakau mereka kembali ke daerah masing-masing untuk melakukan aktivitas di rumah.
Selain memiliki pekerja musiman, dia juga memiliki 3 tiga pekerja tetap di rumah yang bertugas melakukan berbagai kegiatan pertanian seperti:
mrithili
29
, metik, mengirim makanan ke sawah, dan lainnya. Ketiga orang tersebut menginap di rumahnya, mbok Sg 40 tahun dan mbok Slmt 40
tahun berasal dari Wonosobo, sedangkan Mbok Krsn 50 tahun berasal dari Gedongsari, Temanggung.
Upaya melakukan kegiatan akumulasi ini lebih banyak dilakukan pada petani lahan
sawah. Sementara pada petani lahan tegal pegunungan, surplus produksi tidak dipergunakan untuk berusaha disektor non pertanian tetapi lebih banyak dipergunakan
untuk memenuhi kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. Sebagian besar dari mereka berupaya memanfaatkan surplus produksi untuk membeli kendaraan bermotor, membeli
mobil, membangun rumah atau membeli tanah.
6.1.2.3.Strategi Manipulasi Komoditas
Etika resiprositas memiliki peran yang penting di dalam membangun semangat kolektif yang bermuara pada pemenuhan sustainaibility livelihood.
Landasan dasar dari semangat tersebut adalah kebersamaan demi kemaslahatan bersama. Secara historis, tembakau adalah komoditas yang diperkenalkan
penjajah yang berorientasi pasar. Gejala perilaku yang berbasis material tersebut sebagai bagian dari semangat dan etika ekonomi disela-sela semangat kolektifitas.
Beberapa gejala individualitas tersebut dapat dilihat dari melemahnya budaya royongan yang kemudian digantikan dengan upah. Sementara gejala
semangat materialism yang bersifat manipulasi komoditas terwujud dalam aktivitas market-sphere. Petani berusaha mencampur tembakau Temanggung yang
relatif lebih bagus kualitasnya dengan tembakau dari daerah lain, yang mereka
29
Mrithili adalah salah satu tahap dalam kegiatan budidaya tembakau yang dilakukan setelah tembakau berumur ± 3 bulan. Kegiatan ini berupa membuang tunas yang tumbuh di batang pada pangkal daun.
Mrithili dilakukan agar hara tanaman terfokus kepada daun yang sudah ada, dan harapanya daun tersebut lebih berkualitas. Kegiatan ini biasanya dilakukan oleh perempuan.
112
sebut dengan ‘impor’
30
. Selain itu, petani mencoba membuat tembakau berkualitas rendah seolah-olah berkualitas tinggi strinthil.
“Impor” dan “manipulasi berat
Fenomena “impor” ini secara pasti tidak diketahui kapan mulai muncul di lereng Sindoro-Sumbing. Impor dianggap telah ada semenjak dahulu kala,
tujuannya adalah sekedar untuk menggenapi tembakau yang kurang dari satu keranjang. Namun secara perlahan, impor menjadi fenomenal karena dijadikan
sumber pendapatan utama lainnya. Bagi petani dengan modal yang banyak maka akan semakin banyak pula impornya.
Beberapa keistimewaan tembakau Temanggung adalah dilihat dari : 1 aromanya khas; 2 rasanya gurih; dan 3 memiliki kadar nikotin yang tinggi.
Berdasarkan keistimewaan tersebut, maka harga tembakau temanggung lebih mahal jika dibandingkan tembakau di wilayah-wilayah di sekitarnya, misalnya:
Wonosobo, Weleri-Kendal, Magelang, Boyolali. Pencampuran tembakau Temanggung dengan tembakau dari daerah lain diharapkan mampu meningkatkan
kuantitas yang dijual sementara harganya memakai standar tembakau Temanggung. Hal inilah yang mendorong petani berlomba-lomba untuk
melakukan kegiatan impor ini. Sebagai bahan ilustrasi, berikut ini perkiraan harga daun tembakau import
dari beberapa wilayah di sekitar Kabupaten Temanggung:
Tembakau asal Magelang : Rp. 3.500,00 s.d. 6.000,00kg + ongkos
transportasi Rp. 200.000,00 Tembakau asal Wonosobo
: Rp. 5.000,00 s.d. 6.000,00kg + ongkos transportasi Rp. 100.000,00
Tembakau asal Magetan : Rp. 4.000,00 s.d. 5.000,00kg sudah
termasuk ongkos transportasi Tembakau asal Boyolali
: Rp. 4.000,00 s.d. 5.000,00kg + ongkos transport Rp. 200.000,00
Sementara konversi dari daun tembakau ke tembakau rajangan pada masing-masing wilayah berbeda-beda. Untuk daerah Temanggung biasanya 3 kw
30
Impor adalah istilah yang dipakai petani untuk komoditas tembakau yang diambil dari daerah luar Temanggung, seperti: Magelang, Klaten, Boyolali, Weleri-Kendal, Wonosobo, dan Jawa Timur.
113
daun tembakau akan menjadi 40-50 kg rajangan 1 keranjang. Sementara daerah lain adalah: 1 Wonosobo: 1 ton daun menjadi 4 keranjang ; 2 Magelang dan
Magetan: 1 ton daun menjadi 3 keranjang. Jika rata-rata harga daun tembakau sebesar Rp. 5.000,00kg; impor sebanyak 1 ton. Maka uang yang diperlukan
adalah 5 juta rupiah. Seandainya setelah dirajang menghasilkan 3 keranjang 40 kg, dengan harga rata-rata per kg 50 ribu rupiah, maka didapat 6 juta rupiah.
Semakin besar modalnya, maka semakin banyak impor yang dilakukan. Biasanya mereka mengimpor tembakau secara bersama-sama sehingga
biaya yang dikeluarkan tidak terlalu besar. Di daerah-daerah asal tembakau impor ada beberapa makelar yang telah mencarikan stok daun tembakau, sarana
transportasi. Untuk memastikan kualitas tembakau, salah satu pihak pengimpor datang ke lokasi pembelian. Tembakau impor biasanya dikirim pada waktu malam
hari, sehingga tidak diketahui khalayak umum. Tembakau impor yang sudah dirajang kemudian dicampurkan dengan
tembakau asli Temanggung. Untuk menambah berat tembakau, petani menggunakan gula pasir 5-10 kg. dengan ramuan tembakau impor, gula pasir, dan
tembakau Temanggung diharapkan akan menghasilkan tembakau dengan kualitas baik dan lebih berat. Harga yang didapatkan sifatnya relatif karena penentuan
harga sangat tergantung pada grader. Semakin petani dipercaya oleh grader, walaupun kualitas tembakaunya sama tetapi bisa dengan harga yang berbeda.
“srintil
31
rekayasa”
Laku atau tidaknya hasil tembakau sangat tergantung pada totol-nya. Penentuan totol ini didasarkan pada warna dan bau tembakau. Totol A adalah
kualitas yang paling rendah, sementara yang paling bagus hingga totol H. Totol H inilah yang sering disebut dengan tembakau srintil. Harga tembakau srintil
bervariasi tergantung kualitasnya, bisa sampai Rp. 400.000,00 per kg.
31
Srintil merupakan kotoran kambing dengan bentuk bulat lancip berwarna hitam. Istilah ini dipakai dalam karena tembakau menunjukkan ciri-ciri yang sama dengan bentuk srintil kotoran kambing. Mutu khusus
dari tembakau hitam srintil memiliki mutu dan harga tertinggi, sangat langka dan tidak semua tempat dan musim dapat menghasilkan kualitas ini. Biasanya kualitas srintil ini hanya bisa di dapat pada lahan tegal
daerah gunung dan pada daun yang paling atas. Dalam petik tembakau ada tiga tahap penting yaitu: 1 ngrewosngampat, memetik daun bagian bawah ± 4 daun; 2 nenggok, dilakukan 2-3 kali berfungsi
untuk menyeragamkan kualitas daun atas; dan 3 ngurut, petikan daun yang paling atas. Daun pada proses ngurut inilah yang akan menjadi srintil.
114
Untuk mendapatkan tembakau srintil ini, petani di beberapa dusun merekayasa tembakau yang tidak kualitas srintil seolah-olah srintil agar
mendapatkan keuntungan lebih. Tembakau dengan kualitas srintil ditandai pada saat “ngimbu” memeram biasanya dari empat 4 gulung akan mengendap
menjadi sama tebalnya dengan 1 satu gulung. Apabila pada tembakau yang tidak nyrintil setelah dieramkan akan layu dan berwarna kuning kehitam-hitaman,
sementara tembakau srintil akan meluruh dan berlendir. Untuk menyiasati tembakau yang bukan kualitas srintil menjadi srintil biasanya sebelum dieramkan
tembakau di jemur sehingga mengalami kelayuan secara cepat yang pada akhirnya akan menghasilkan tembakau mirip kualitas srintil.
Tidak semua wilayah di lereng Sindoro-Sumbing bisa menghasilkan tembakau hitam srintil. Ada 7 tujuh golongan daerah penanaman tembakau
yang membedakan mutu hasil tembakau, yaitu: 1. LAMUK, tersebar di lereng timur gunung Sumbing Tegalmulyo pada lahan
1.100 m dpl, menghasilkan mutu Srintil Istimewa 2. LAMSI tersebar di lereng utara dan timur laut Gunung Sumbing Bulu dan
Parakan pada lahan Regosol1.100 m dpl, kelerengan 15-40 , mutu Srintil Istimewa
3. PAKSI tersebar di lereng timur gunung Sundoro Ngadirejo dan Bansari pada lahan Regosol 1.100 m dpl, mutu Srintil cukup istimewa
4. TOALO tersebar di lereng selatan gunung Sundoro dan barat Gunung Sumbing Kledung pada lahan Regosol 1,100 m, mutu sedang
5. TIONGGANG tersebar pada lahan persawahan 500-700 m dpl, mutu sedang 6. SWANBING tersebar di sekitar gunung Prahu Tretep dan Wonoboyo, lahan
Ondosol 900-1.400 m dpl, mutu sedang 7. KIDUL tersebar di tenggara Gunung Sumbing pada daerah baru, mutu sedang
Maraknya tembakau impor, penambahan gula, dan adanya “srintil rekayasa” membuat pedagang dan grader semakin tidak percaya kepada petani.
Ketidakpercayaan tersebut diwujudkan dengan memberikan harga yang rendah dan semakin merosot. Akibat banyak tembakau yang tidak terjual atau terjual
dengan harga rendah mengakibatkan hutang-hutang petani kepada pedagang tidak dapat dibayarkan. Sedangkan untuk membudidayakan tanaman tembakau
memerlukan banyak modal. Pada sisi lain pedagang yang biasanya memberikan bantuan modal sudah memiliki rasa tidak percaya lagi kepada petani.
115
6.1.3. Domain “Strategi Migrasi Temporer”