74
basis nafkah. Kasus keluarga Tk 58 tahun memberikan fakta bagaimana fragmentasi lahan akibat pola pewarisan merupakan kondisi serius bagi
keberlangsungan petani yang mengandalkan lahan pertanian sebagai basis kehidupannya.
Tk 58 tahun Mulai bertanam tembakau pada tahun 1970’an dan mulai bertani sendiri tahun 1980’an. Luas lahan yang dimiliki pada waktu itu
seluas 2 Ha, merupakan warisan orang tua. Sekarang sudah dibagi kepada 4 orang anaknya masing-masing 0,5 ha. Untuk mencukupi kebutuhan
sehari-hari, dia menyewa lahan seluas 1 ha.
Pada petani lahan sawah, selain memanfaatkan hubungan patronase dengan petani berlahan luas, mereka mulai terdorong bekerja pada sektor non
pertanian sistem nafkah ganda karena lahan pertanian tidak lagi mampu menyangga seluruh kebutuhan hidupnya. Sedangkan pada lahan pegunungan,
mereka mengalami stagnasi dengan berpijak sepenuhnya kepada lahan pertanian. Hal ini disebabkan karena lahan pertanian yang tersedia masih memberikan ruang
bagi petani untuk mengeksplosari sumberdaya lahannya. Selain itu, proses produksi tembakau juga masih mampu menyerap tenaga kerja pedesaan, bahkan
sebagian besar buruh tani pada saat musim tembakau diambil dari daerah lain. Kemampuan lahan pertanian terhadap serapan tenaga kerja pedesaan
merupakan hal yang positif. Namun demikian, pertanyaan berikutnya adalah seberapa lama daya serap tersebut mampu memberikan peluang bagi tenaga kerja
pedesaan dan sejauh mana memberikan kemampuan capability kepada petani tembakau untuk bertahan atau memperbaiki standar hidupnya.
5.11.2. Tembakau sebagai produk budaya
Tembakau merupakan komoditas penting bagi petani di lereng Sumbing
Sindoro. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, yaitu: pertama, secara agro-
ekologi tanaman yang mampu bertahan hidup di lahan tegalan pada musim kemarau April-September hanyalah tembakau. “ojo meneh tanduran sing ora
kuat panas, suket wae mati “ jangankan tanaman yang tidak kuat pada musim
kemarau, rumput saja-biasanya rumput lebih tahan terhadap kondisi apapun-kalau
75
ditanam di sini mati”. Ungkapan tersebut menunjukkan adanya dugaan sementara bahwa tembakau adalah bagian dari komoditas yang pada awalnya adalah produk
yang dipaksakan colonial dan sekarang terpaksa karena kondisi agro-ekologi lahan tegal.
Namun pertanyaannya kemudian adalah bagaimana dengan petani berlahan sawah? Mereka memiliki peluang untuk tidak menanam tembakau
karena kondisi lahannya memungkinkan untuk diusahakan tanaman lainnya. Pada kenyataannya, petani pada lahan sawah tetap menanam tembakau pada musim
kemarau. Hal ini memberikan tanda bahwa tembakau memiliki sisi historis yang terlepas dari dugaan faktor agro-ekologi.
Alasan kedua, yaitu karena rasionalitas instrumental yang berbasis
keuntungan. Alasan ini boleh jadi benar, karena produk ini sejak awalnya merupakan komoditas komersial yang diintroduksi penjajah melalui sistem tanam
paksa dan berhubungan langsung dengan pasar internasional. Secara historis, petani juga memiliki pengalaman masa kejayaan yang tidak pernah dilupakan.
Misalnya cerita salah satu petani yang mencoba mengingat masa keemasan yang pernah dialami:
Pada tahun 1982, harga tembakau untuk totol D sekitar Rp. 10.000,- dan totol EF
Rp. 35.000,-; sementara harga emas adalah Rp. 15.000gram. Apabila satu keranjang memuat 30 kg tembakau kering dengan harga per
kg sekitar Rp. 20.000,- ; maka petani akan mendapatkan Rp. 600.000, per keranjang. Apabila hasil tersebut dibelikan emas, maka petani akan
mendapatkan 40 gram atau 4 ons. Tembakau dengan harga Rp. 35.000,- per; petani mampu membeli pupuk kandang dua rit. Pada saat ini, harga
pupuk kandang ± 1 juta per rit, sedangkan harga tembakau hanya sekitar Rp. 50.000,- s.d. Rp. 70.000,-.per kg.
Dugaan lain adalah karena adanya spirit pulung yang melekat pada setiap lekuk pemikiran petani. Berbagai harapan akan pulung yang akan menghampiri mereka
mendorong petani untuk tetap mengusahakan tembakau. Kalau alasan tersebut benar, artinya menambah kuat dugaan bahwa tembakau tetap eksis hingga
sekarang karena alasan rasionalitas keuntungan walaupun berdiri diatas ketidakrasionalan pulung sebagai sesuatu yang bersifat mistik.
76
Namun demikian, dugaan tersebut meninggalkan pertanyaan lainnya dikaitkan dengan fakta bahwa tembakau sangat berisiko terhadap berbagai
perubahan kondisi lingkungan dan fluktuasi harga. Bahkan petani seringkali terjerat hutang dan sering merugi, tetapi mereka tetap menanam tembakau.
Artinya mengapa mereka tidak meninggalkan tembakau untuk kemudian mencari peluang lain. Bahkan cerita tentang migrasi di komunitas tembakau pada lahan
tegalan hanya bersifat temporer yang dilakukan sebagai langkah terakhir karena tidak berdaya menghadapi gagal panen yang berturut-turut. Setelah musim
tembakau beranjak bagus, petani serta merta akan meninggalkan daerah perantauan untuk kembali menekuni dan terjun di pertembakauan.
Beberapa fakta diatas menggiring peneliti untuk mengambil kesimpulan sementara bahwa tembakau tidak hanya melekat pada petani karena alasan agro-
ekologi dan alasan rasional instrumental tetapi juga karena produk budaya.
Dugaan tersebut dikuatkan oleh pernyataan petani: “ojo ngaku wong temanggung menowo ora nandur mbako”
jangan mengaku orang Temanggung kalau tidak menanam tembakau. Pernyataan tersebut seolah memberikan gambaran bahwa
apapun kondisinya tembakau tetap menjadi bagian penting bagi kehidupan petani. Tembakau bukan sekedar bermakna ekonomi tetapi juga bermakna social.
77
VI. STRATEGI NAFKAH RUMAH TANGGA PETANI TEMBAKAU