Domain “base livelihood” 1.Strategi Produksi
82
6.1.1. Domain “base livelihood” 6.1.1.1.Strategi Produksi
Strategi ini diterapkan oleh rumahtangga petani tembakau, baik pada situasi normal maupun krisis. Pada situasi normal, strategi ini merupakan sebagai
adaptasi terhadap kondisi ekologi maupun dalam upaya meningkatkan pendapatan atau mengurangi biaya. Strategi yang membuka peluang terhadap masuknya
inovasi baru merupakan upaya meningkatkan pendapatan petani, misalnya: perubahan dari komoditas jagung menjadi cabe, perubahan dari penggunaan cacak
dan gobang dan mesin. Sementara pada situasi krisis, strategi ini dapat dikatakan strategi koping.
Menurut Davies 1993, shock dan stress akibat perubahan iklim yang pada gilirannya menyebabkan gagal panen atau harga yang turun atau sumberdaya
lahan yang tidak memadai akan mempengaruhi dasar dari sumber nafkah rumahtangga. Kondisi ini akan menyebabkan munculnya respon dan upaya untuk
mengadaptasikan diri terhadap krisis. Ada dua proses penting yang menyangkut respon individu atau rumahtangga dalam memberikan respon terhadap setiap
krisis, yaitu coping dan adaptasi. Coping mengacu pada strategi nafkah untuk mengatasi krisis yang sedang hadir. Adaptasi merupakan adjustment pada system
nafkah di dalam merespon perubahan yang bersifat jangka panjang yang berkaitan dengan sumberdaya dan kesempatan factor struktur. Beberapa strategi sebagai
respon terhadap kondisi krisis antara lain: mengurangi input pertanian dan memberokan
lahan pertanian sebagian lahannya tidak ditanami.
Strategi produksi ini lebih memanfaatkan sumberdaya alami natural capital dengan sumberdaya manusia. Tingkat pendidikan yang rendah
menyebabkan mereka harus memanfaatkan berbagai pengalaman yang pernah
dialami sebagai pelajaran berarti dalam mengatur strategi produksi. Keterbatasan modal finansial pada saat krisis “memaksa” mereka harus mengurangi jumlah
pengeluaran dengan cara mengurangi input produksi pertanian.
83
Terbuka dengan inovasi baru Menanam cabe sebagai pengganti jagung
Hubungan jejaring dengan petani lain menjadikan adanya proses pertukaran informasi diantara mereka. Jejaring tersebut tidak hanya terbatas pada
lingkup kecil, seperti dusun atau desa tetapi antar desa. Modal sosial yang mereka bangun menghasilkan suatu temuan baru terhadap kegiatan usaha taninya.
Pada mulanya, petani di desa Wonotirto menjadikan jagung sebagai tanaman pokok pada musim tanaman Oktober-Maret. Jagung mampu menunjang
kehidupan petani dalam menyediakan cadangan makanan hidup sehari-hari. Selama ini, makanan pokok petani berasal dari jagung. Hasil panen, sebagian
dijual dan sebagian lagi disimpan dalam bentuk tabungan sebagai cadangan makanan.
Rumahtangga petani mampu memenuhi kebutuhan pangannya hingga musim panen pada tahun berikutnya. Mereka saling berbagi dengan kerabat dan
tetangganya apabila kekurangan bahan makanan. Bagi pihak yang berlebih memberikan kepada tetangganya yang terbatas bahan pangannya. Sebagian petani
yang mampu, biasanya kepemilikan lahan yang luas, memiliki moral ekonomi untuk membantu mereka.
Pada mulanya, jagung merupakan tanaman pokok sebelum mengusahakan tembakau. Berbagai pengalaman petani pada desa lain membawa perubahan pada
kebiasaan-kebiasaan yang selama ini dilakukan. Perubahan tersebut adalah perubahan dari menanam jagung menjadi cabe. Menanam cabe dianggap
memberikan kesejahteraan dibandingkan jagung. Walaupun tidak selamanya demikian, karena risiko terhadap gagal panen dan biaya input pada tanaman cabe
jauh lebih besar dibandingkan jagung. Lantas bagaimana dengan makanan pokok sehari-hari pada mereka?
Strategi yang diterapkan adalah: 1 menanami sebagian dengan tanaman cabe dan sebagian lainnya dengan tanaman jagung; 2 pada tertentu menanam cabe
sedangkan tahun berikutnya menanam cabe. Pilihan alternative pertama biasanya dilakukan oleh petani dengan lahan luas. Sedangkan alternative kedua dilakukan
baik petani lahan luas maupun lahan sempit.
84
Berbagai anggapan mengenai cabe lebih memberikan tambahan pendapatan dibandingkan jagung benar ketika harga cabe diatas Rp. 10.000,00kg.
Sedangkan pada saat cabe mendapat serangan hama-penyakit atau curah hujan yang tinggi maka harga cabe bisa Rp. 5.000,00kg. Sehingga strategi menanam
cabe dan jagung pada musim yang sama bisa mengurangi resiko gagal panen. Konsekuensi dari perubahan komoditas ini adalah makanan pokok pada
saat ini tidak murni jagung. Mereka melakukan variasi dengan beras, artinya ada cost
tambahan yang dikeluarkan oleh rumahtangga petani untuk melangsungkan hidupnya. Selain itu perubahan komoditas tersebut mengurangi tradisi saling
berbagi bahan makanan pokok. Pada saat persediaan jagung menipis mendapatkan bagian dari petani dengan cadangan berlebih. Sementara pada komoditas cabe,
tidak terjadi hal demikian karena langsung dijual kepada pedagang. Beras sebagai makanan pokok dari hasil membeli biasanya dikonsumsi sendiri.
Mengganti cacak-gobang menjadi mesin
Warisan teknologi rajang dari nenek moyang semenjak pertama kali tembakau diperkenalkan di lereng sindoro-sumbing adalah cacak-gobang.
Teknologi dimiliki oleh seluruh rumahtangga petani tembakau. Merajang jawa: ngrawis dengan cacak-gobang dilakukan secara manual, konsekuensinya adalah
membutuhkan waktu yang relatif lama. Beberapa strategi yang dilakukan adalah dengan cara royongan gotong royong. Mereka membawa cacak-gobang yang
mereka miliki ke rumah tetangga yang akan ditolongnya, kemudian mereka merajang bersama-sama di sana. Aktifitas ini dilakukan secara bergantian dari
satu rumah ke rumah yang lain tanpa memberikan upah melainkan hanya member makan sekedarnya.
Semenjak lima tahun terakhir, beberapa petani dengan kemampuan lebih mengadopsi alat perajang yang lebih canggih yaitu menggunakan mesin.
Harganya yang relatif mahal-hingga 5 juta rupiah- menyebabkan hanya bisa diakses oleh petani yang memiliki kelebihan penghasilan. Menggunakan mesin
mempercepat proses perajangan tembakau, walaupun dianggap hasil kurang bagus dibandingkan dirajang dengan gobang manual.
85
Fenomena “impor” tembakau dianggap sebagian pihak berkaitan erat dengan munculnya mesin perajang ini. Jika menggunakan alat perajang manual,
membutuhkan waktu yang lama untuk merajang tembakau dalam jumlah banyak. Sementara dengan menggunakan mesin perajang, bisa lebih cepat. Hal ini
menguntungkan bagi petani yang memiliki mesin perajang, karena dapat mengimpor tembakau sebanyak-banyaknya tergantung modalnya. Sedangkan
petani gurem, tetap melakukan tradisi royongan dengan menggunakan alat manual.
Pengetahuan local petani dalam upaya mengurangi biaya pengangkutan pupuk kandang
Kondisi topografi berupa pegunungan tentunya membawa konsekuensi pada petani untuk lebih bersusah payah untuk pergi ke lahan pertanian. Selain
melakukan perjalanan yang relatif lama juga harus menghadapi kondisi lereng dan lembah yang curam melalui jalan setapak. Biasanya mereka menggunakan sepeda
motor untuk pergi ke lahan, dan apabila jalan besar masih jauh dari lokasi tegal maka sepeda motornya dibiarkan di jalan tersebut. Akan tampak pemandangan
sepeda motor berjajar-jajar hingga panjangnya puluhan meter. Persoalan lain adalah semakin mahalnya biaya pengangkutan input
pertanian terutama pupuk kandang jawa: lemilemen. Harga pupuk biasanya 1 rit
21
besar sekitar 1 juta rupiah sedangkan rit kecil dengan harga sekitar Rp. 650.000,00. Sementara biaya angkutnya diperkirakan sama dengan harga
pupuknya. Sebagai ilustrasi, untuk pupuk dengan rit besar ± 150 karung apabila diborongkan akan menghabiskan sekitar 1 juta rupiah. Sedangkan apabila
diupahkan, per karung terkena biaya Rp. 8.000,00. Sehingga untuk 150 karung menghabiskan biaya pengangkutan 1,2 juta rupiah.
Untuk mengatasi biaya yang mahal tersebut, beberapa petani menciptakan ide dengan menghubungkan bukit yang satu dengan bukit yang lain pada lokasi
terdekat dengan lahannya dengan tambang sebesar satu jempol jari tangan. Kemudian mengikat karung-karung berisi pupuk kandang untuk kemudian
21
Rit adalah ukuran satu bak mobil pick-up yang biasanya diangkut sekali jalan
86
diluncurkan ke bawah dan jatuh di sekitar lahan pertaniannya. Snd 50 tahun membutuhkan 180 meter untuk mengikat tambang tersebut dari bukit satu dengan
lokasi lahannya. Teknologi ini kemudian diadopsi petani lain sehingga bisa mengurangi biaya input pertanian, meskipun tidak semua petani bisa menerapkan
metode ini karena kondisi lahan yang tidak memungkinkan.
Blok berbeda, tanaman berbeda
Pada petani dengan lahan yang relatif luas, mereka melakukan usahatani dengan komoditas yang berbeda-beda pada blok yang berbeda. Misalnya pada
lahan sawah, pada musim tembakau salah satu blok ditanami dengan padi sementara pada blok yang lain ditanami tembakau. Variasi komoditas ini
merupakan strategi untuk mengurangi berbagai risiko kegagalan. Apabila pada suatu musim harga tembakau turun maka rumahtangga petani masih mendapatkan
hasil dari tanaman padi dan sebaliknya.
Dldr 58 tahun, tinggal bersama istri, orang tua, anak dan menantunya. Kedua anak lainnya telah menikah, yang satu tinggal di tetangga desa
menjadi pedagang dan satunya lagi tinggal di dekat rumahnya menjadi butuh tani, srabutan, dan sopir Dia memiliki luas lahan 0,9 hektar;
terdiri dari 3 blok. Sebanyak 0,2 hektar blok I menyewa dari salah satu kadus di luar desa, blok II dan III seluas 0,43 hektar dan 0,26 hektar
menyewa dari Srt, salah satu kadus di desa Campursari. Pada masing- masing blok mendapatkan perlakuan yang berbeda-beda, ada tiga
komoditas utama yang menjadi tanaman pokok yaitu: padi, cabe, dan tembakau. misalnya pada tahun 2008 dia menanami lahan blok I dengan
pola pergiliran tanaman: padi-tembakau-padi; blok II adalah padi-padi- padi; dan blok III setengah luas lahan ditanami padi-padi-padi dan
setengahnya lagi padi-cabe-tembakau. Tanaman padi dianggap menjadi komoditas yang wajib ditanam, sedangkan untuk menanam tembakau
biasanya berkonsultasi dengan seorang pedagang Cina Bah Yong yang dianggap mengetahui kapan musim baik dan buruk untuk mengusahakan
tanaman tembakau. Pada tahun 2008, dimana digit belakangnya angka delapan dianggap sebagian besar oleh komunitas petani tembakau
merupakan tahun yang tidak baik untuk menanam tembakau. Sedangkan pada tahun 2009 ini, dia akan mengalokasikan satu atau dua blok
lahannya untuk ditanami tembakau karena digit belakang angka 9 dianggap tahun turunnya pulung. Pada kasus Dldr, bahwa strategi nafkah
yang dibangun lebih banyak “memainkan” modal alami berupa pengaturan blok tanam pada lahan yang dimilikinya.
87
Sementara rumahtangga petani tembakau pada lahan pegunungan, usaha pertanian dalam satu tahun hanya terdiri dua musim tanam. Pada musim tanam
April-September semua lahan ditanami dengan tembakau. Hal ini disebabkan karena pada musim tersebut tanaman yang cocok hanyalah tembakau. Selain itu,
kedekatan rumahtangga petani dengan tembakau di pegunungan lebih besar dibandingkan pada petani lahan sawah. Sehingga menanam tembakau dianggap
sebagai tradisi. Pada musim Oktober-Maret, sebagian petani melakukan strategi menanam
tanaman yang berbeda pada blok yang berbeda. Untuk menunjang bahan makanan pokoknya yaitu jagung, maka mereka biasanya menyisihkan sebagian lahannya
untuk menanam jagung. Sedangkan bagian lahan lainnya ditanami cabe. Rumahtangga petani yang satu dan lainnya memiliki perbedaan cara mengatur
tanaman dalam lahannya. Bagi rumahtangga petani luas memiliki pilihan yang lebih banyak dibandingkan petani lahan gurem.
Mengurangi Input Pertanian
Mengelola usahatani tembakau paling tidak memerlukan input: bibit, pupuk kandang dan kimia, dan tenaga kerja. Sementara pada tahap pasca panen
mutlak diperlukan alat perajang cacak-gobang atau mesin, alat penjemur rigen, dan keranjang. Untuk keperluan bibit, biasanya menyemaikan sendiri dengan
benih milik sendiri. Kebutuhan tenaga kerja terutama pada petani gurem dicukupi dari seluruh anggota rumahtangga dan kerabat dekat. Sedangkan untuk kebutuhan
pasca panen, berbagai peralatan tersebut mutlak diperlukan, artinya harus dipenuhi baik pada masa normal maupun gagal panen.
Ketika terjadi gagal panen, rumahtangga petani berusaha mengurangi kuantitas input pertanian, terutama pupuk kandang dan pupuk kimia. Mereka akan
mengurangi dosisnya hingga ¼ atau ½ dari jumlah yang biasanya diberikan pada saat kondisi normal. Dengan mengurangi dosis pupuk, paling tidak mampu
menghemat uang yang dikeluarkan sebagai strategi koping akibat gagal panen.
88
Sebagian lahan diberokan tidak digarap
Strategi ini dilakukan terutama oleh keluarga petani berlahan luas. Pada saat satu musim gagal panen mungkin strategi ini belum dilakukan. Strategi ini
ditempuh ketika mengalami gagal panen berturut-turut. Akumulasi hutang yang menumpuk terkadang menyulitkan petani untuk mengakses hutang, atau kalau ada
yang member kesempatan berhutang ada ketakutan tidak mampu membayar apalagi tidak menutup kemungkinan musim tanam berikutnya juga akan
mengalami kegagalan. Pada kondisi seperti itu, strategi koping yang dilakukan adalah dengan
memberokan sebagian blok lahan yang dimilikinya. Lahan mereka pada umumnya
tidak menghampar dalam satu blok, tetapi terpisah-pisah dan bahkan terkadang terletak di luar desa. Blok-blok yang jaraknya jauh dan sulit dijangka merupakan
salah satu lahan yang dipilih untuk tidak ditanami untuk beberapa musim hingga kondisi keuangan pulih kembali. Blok lahan yang jauh dan sulit dijangkau
kendaraan biasanya memerlukan biaya tinggi terutama untuk biasa pengangkutan baik untuk mengangkut pupuk maupun hasil panen.
Oleh karena itu dengan memberokan lahan dapat mengurangi biaya yang dikeluarkan sehingga dapat membantu rumahtangga petani untuk mengalokasikan
biayanya pada lahan yang lain. Banyaknya blok yang tidak ditanami sangat tergantung pada perhitungan petani terhadap sumberdaya yang dimiliki. Semakin
terbatas sumberdaya yang ada terutama modal finansial maka semakin banyak blok yang ditak ditanami. Petani yang berbasis sawah mungkin dapat mengganti
komoditas tembakau menjadi tanaman padi, sementara pada masyarakat pegunungan tidak ada pilihan komoditas pengganti karena pada musim April-
September tidak ada tanaman yang cocok di tanam pada lahan mereka.
6.1.1.2.Strategi Patronase
Strategi patronase merupakan upaya yang dilakukan oleh petani tunakisma dan petani gurem dengan memanfaatkan asuransi sosial yang diberikan oleh
petani lahan luas. Keterbatasan modal alami dan finansial mendorong petani berlindung pada modal sosial yang mereka miliki. Etika sosial-kolektif yang
89
berbasis pada modal sosial adalah salah satu sumber penting bagi petani di pedesaan dalam melangsungkan kehidupannya. etika tersebut dapat berwujud
hubungan patron-klien, hubungan kekerabatan yang baik dengan tetangga sehingga akan membantu mereka pada saat mengalami goncangan dalam
kehidupannya. Bahkan petani yang tidak memiliki lahanpun mampu menguasai lahan pertanian.
Tabel 6.3. Rumah Tangga Menurut Golongan Luas Lahan
Luas 0,1
0,1-0,49 0,5-0,9
1 Total
Jml Jml Jml Jml
Desa Wonotirto
50 5.96 188 22.41 339
40.41 262
31.23 839 100
Desa Campursari 376
70.15 127
23.69 30 5.60 3
0.56 536 100
Kecamatan Bulu 3.162 29,82 4.465 42,11 2.099 19,80 876 8,26 10.602 100
Sumber: Sensus Pertanian 2003 Kabupaten Temanggung
Gambar 6.1. Rumah Tangga Menurut Golongan Luas Lahan
Hal tersebut dapat dilihat bagaimana hubungan antara pemilik lahan dan petani yang tidak memiliki lahan. Luas kepemilikan lahan pada lahan sawah di
desa Campursari mayoritas adalah kurang dari 0,1 Ha termasuk yang tidak memiliki lahan lihat table 6.3. dan gambar 6.1.. Untuk menyiasati hal tersebut
mereka berusaha mencari patron yang dapat memberikan jaminan kehidupan. Salah satu jaminan tersebut adalah dengan menyewakan atau menyakapkan lahan
10 20
30 40
50 60
70 80
90 100
Ds. Wonotirto Ds. Campursari
Kec. Bulu 1
0,5-0,9 0,1-0,49
0,1
90
pertaniannya sehingga petani yang tidak memiliki lahan mampu mengaksesnya untuk memenuhi kebutuhan hidup rumahtangganya.
“Wsn 38 tahun, menjabat sebagai Kepala Desa. Dia dilahirkan dari seorang tuan tanah di desa itu dan sekaligus pedagang besar untuk
komoditas tembakau. Pada saat ini luas lahan yang dimiliki sebanyak 5 Ha ditambah tanah bengkok
22
seluas 2 Ha. Lahan tersebut tidak dikerjakan sendiri melainkan disakapkan
23
kepada 17 rumahtangga petani yang memiliki lahan kurang dari 0,1 Ha atau tidak memiliki lahan
sama sekali. Masing-masing rumahtangga mendapatkan 3000-4000 m
2
. Hal ini didasarkan pada dua hal, yaitu: 1 untuk memberikan pekerjaan
kepada petani yang nir-lahan; dan 2 alasan praktisnya adalah untuk menghasilkan satu keranjang tembakau kering setiap kali petik
dibutuhkan kurang lebih 3000-4000 m
2
. Sistem hubungan produksi yang dibangun adalah pada tahap awal penanaman, semua biaya produksi
berasal dari patron. Setelah masa panen hasilnya dijual kepada patron dan hasilnya setelah dikurangi biaya produksi dibagi menjadi dua.
Apabila terjadi gagal panen, biasanya ditanggung bersama antara patron- klien. Berbagai kebijakan akan lahan yang menyangkut pupuk dan bibit
apa yang akan dipakai, jenis komoditas yang akan diusahakan, atau prosedur budidaya biasanya didominasi oleh pihak patron. Petani
penyakap mengikuti semua petunjuk yang diberikan oleh patron. Hubungan itu tidak hanya berlangsung pada hubungan produksi
pertanian saja melainkan juga pada kebutuhan sehari-hari. Beberapa dari mereka juga ada yang bekerja pada patron sebagai tukang cuci mobil,
pembantu rumah tangga. Sementara pada saat petani membutuhkan biaya mendadak biasanya mendapatkan pinjaman dari patron yang akan
dibayarkan pada saat mereka panen. Petani yang menyakap kepada patron sebagian besar adalah keturunan dari petani yang dulunya juga
ikut orang tuanya Wsn. Sehingga sudah ada ikatan emosional dan trust antara pihak patron-klien semenjak beberapa generasi sebelumnya.
Melihat fenomena hubungan patron-klien di atas, terlihat bahwa petani gurem dengan keterbatasan kepemilikan modal alami mendorong
mereka untuk memanfaatkan modal lainnya berupa modal sosial dan modal sumberdaya manusia.
H. Rytn 56 tahun adalah mantan carik sekretaris desa pada tahun 1975-1980 dan kepala desa tahun 1980-1998 dengan kepemilikan lahan
seluas 1,25 Ha. Bersama istrinya dia membuka toko Saprodi, sementara lahannya disakapkan kepada empat rumahtangga petani yaitu: Mhd
4000 m
2
, Mgy 3500 m
2
, Srn 2500 m
2
, dan Ksn 2500 m
2
. Dia menggunakan sistem maro, pada saat panen padi dibagi dalam bentuk
22
Lahan yang diberikan kepada perangkat desa sebagai ganti gaji selama menjabat.
23
Sakap adalah salah satu sistem hubungan produksi dimana petani pemilik menguasakan lahan miliknya kepada petani penyakap dengan sistem bagi hasil. Ada beberapa istilah dalam bagi hasil, seperti: maro,
mrotelu. Maro berarti pembagiannya adalah ½ : ½, 50 untuk pemilik lahan dan 50 untuk penggarap dengan biaya produksi ditanggung bersama. Mrotelu artinya pembagiannya adalah 23 bagian untuk pemilik
lahan, dan 13 untuk penggarap, dengan biaya produksi ditanggung oleh pemilik lahan. Pada saat ini, mayoritas menganut sistem maro.
91 gabah kering. Gabah kering tersebut dipergunakan oleh H. Rynt untuk
kebutuhan pokok makan sehari-hari. H. Rynt tidak mengawasi secara langsung lahan yang disakapkan, dengan berbasis trust semua kegiatan
usahataninya diserahkan kepada petani penyakap. Hubungan ini telah berjalan lama dan diantara mereka saling percaya satu sama lain. Bagi
petani penyakap tersebut, modal sosial menjadi faktor penting dalam memperoleh kesempatan untuk mengakses sumberdaya alami.
Kelembagaan yang dibangun oleh pemilik lahan dan penyakap adalah bagi hasil atau sering disebut dengan istilah maro, artinya pembagian hasilnya adalah
50 : 50 . Pembagian ini dilakukan setelah dikurangi dengan berbagai ongkos produksi. Penyakap pada umumnya minim modal finansial, kebijakan yang
diambil adalah dengan meminjam kepada pihak pemilik lahan untuk menyediakan berbagai kebutuhan untuk input pertanian seperti: benihbibit, pupuk, pestisida,
bahkan terkadang hingga tenaga kerja jika dibutuhkan. Penyakap menyediakan tenaga kerja untuk mengelola lahan, tetapi
terkadang pengambil keputusan dalam pengelolaan lahan didominasi oleh pemilik lahan, misalnya: keputusan penggunaan pupuk, bibit, hingga tata cara budidaya.
Hubungan pemilik dan penyakap tidak hanya sekedar hubungan produksi tetapi juga menyangkut kehidupan sehari-hari. Penyakap menganggap pemilik sebagai
panutan. Mereka meyakini apa yang dilakukan oleh pemilik adalah demi
kemaslahatan bersama, dan secara intelektual pemilik lahan dianggap lebih tahu dibandingkan penyakap.
6.1.1.3.Strategi Solidaritas Vertikal
Istilah solidaritas vertikal merujuk pada adanya hubungan bertingkat berbasis pada rasa solidaritas untuk “menembus” struktur distribusi tembakau.
Solidaritas ini dibangun atas dasar etika moral sosial-kolektif yang berbasis pada sosial capital yang terwujud dalam bentuk asuransi sosial. Kemampuan
sumberdaya manusia yang terbatas mendorong rumahtangga petani memanfaatkan sumberdaya lain, seperti modal sosial sebagai aset penting dalam membentuk
sistem nafkah.
92
Gambar 6.2. Strategi Solidaritas Vertikal yang berbasis pada Kinship-Genealogis
Swto P1 adalah salahsatu orang terpandang dan berpengaruh di desa Wonotirto karena memiliki lahan yang luas. Walaupun orang terpandang
dan relatif kaya, tingkat pendidikannya dan anggota keluarganya tidak mendapatkan perhatian penting. Semua anaknya mengikuti jejak ayahnya
sebagai petani tembakau. Swto memiliki hubungan baik dengan Bah CL P1
P2
PL G1
G2
Hubungan petani dengan grader
Hubungan petani dengan grader
generasi baru Petani lain
menjalin trust dengan petani
yang memiliki hubungan baik
dengan grader Hubungan petani dengan
grader melalui jalinan
trust dengan P2
GENEALOGIS KINSHIP
KINSHIP PG
SISTEM “NITIP”
Petani
Pedagang Perantara
Grader Pabrik
Tidak semua petani memiliki akses kepada grader
Sistem distribusi tembakau
93 G1 yang didasarkan pada kepercayaan yang sifatnya turun temurun.
Semua hasil panen tembakau dijual kepada Bah CL dan kadang tidak dibayar langsung dan dengan harga yang nyaris tidak ada tawar
menawar. Harga yang ditetapkan oleh grader seolah menjadi hak prerogatif yang tidak bisa dibantah. Ketika harga tembakau sedang
anjlok
terkadang pembayaran ditunda satu hingga dua minggu kemudian. Namun demikian, grader menjamin harga pasti lebih tinggi
dibandingkan harga lain yang dijual melalui pedagang perantara tengkulak. Meski tembakau memiliki kualitas yang sama atau lebih
jelek dibandingkan dengan tembakau petani lain yang dijual kepada tengkulak karena tidak memiliki akses kepada grader, namun jika yang
menjual swto bisa dipastikan harganya akan lebih tinggi. Pada saat gagal panen, grader tidak segan-segan memberikan hutang kepada petani
tersebut yang akan dibayarkan setelah masa panen melalui potongan tembakau yang dijual kepada grader. Hubungan antara petani dan grader
ini sangat ekslusif dan membutuhkan waktu yang relatif lama bahkan dari satu generasi ke generasi. Hubungan inilah yang disebut sebagai
relasi yang berbasis pada kinship-genealogis, artinya selain didasarkan pada sistem kinship tetapi juga bersifat turun-temurun dari satu generasi
ke generasi berikutnya. Sementara petani lain yang secara turun temurun tidak memiliki hubungan baik dengan grader, akan menjual hasil
panennya kepada pedagang perantara dengan harga yang lebih rendah. Agar bisa mengakses kepada Bah CL, maka petani ini harus
mendapatkan jaminan dari swto, sebagai petani yang telah bertahun- tahun menjalin hubungan baik dengan Bah CL. Swto biasanya akan
percaya dengan petani lain PL karena adanya hubungan kekerabatan atau tetangga dekat. Proses jalinan trust ini tidak mudah karena harus
menjalani “uji kesetiaan” bahwa adanya jaminan kualitas yang baik. Setelah adanya kepercayaan dari Swto, maka petani tersebut akan
direkomendasikan kepada grader untuk menjadi “anggota”-nya. Keanggotaan ini ada yang bersifat non-formal artinya karena saling
mengenal secara dekat dan ada yang bersifat formal dengan menggunakan legalisasi berupa KTA Kartu Tanda Anggota. Sedangkan
bagi petani gurem lahan sempit biasanya agak sulit mengakses Bah CL walaupun memiliki hubungan baik dengan Swto. Ada mekanisme lain
yang dibangun sebagai strategi solidaritas vertikal, yaitu dengan sistem nitip
. Sistem ini dilakukan dengan cara menitipkan hasil panennya kepada Swto, sehingga tembakau miliknya seolah-olah milik Swto.
Harapannya harganya bisa setara dengan tembakau yang dimiliki oleh Swto. Tidak semua petani bisa melakukan sistem nitip ini, hanya kerabat
dan tetangga dekat yang bisa mengaksesnya. Petani penitip biasanya akan menyerahkan tembakaunya kepada swto dan percaya sepenuhnya
dengan harga yang ditetapkan oleh grader. Imbalan atas jasa ini tidak ditetapkan secara pasti melainkan didasarkan pada asas saling
memahami. Apabila harga tinggi, petani akan memberi kira-kira 100 ribu setiap keranjangnya atau terkadang merelakan 2 kg tembakaunya untuk
swto. Melihat kelembagaan nafkah yang dibangun seperti sistem nitip dan kinship-genealogis menunjukkan bahwa nafkah yang dibangun
sangat dipengaruhi oleh peran modal sosial.
94
Strategi ini diterapkan baik pada petani berlahan luas maupun petani lahan sempit guremtunakisma. Hal ini terkait dengan karakteristik yang khas dari
komoditas tembakau. Kualitas tembakau yang bertingkat dan banyak ragamnya “memaksa” petani harus menjalin hubungan baik dengan grader. Setelah musim
panen tiba, semua hasil panen berupa tembakau rajangan di jual ke beberapa gudang pabrik rokok yang bertempat di sekitar Temanggung melalui grader.
Grader akan menentukan totol
24
tembakau yang didasarkan pada warna dan bau tembakau. Kegiatan ini merupakan otoritas tunggal karena kemampuan memilah
kualitas tembakau hanya dimililiki oleh grader. Keputusan apapun mengenai kualitas dan harga tembakau akan diterima oleh petani.
Sifat pasrah dan fatalis pasrah dengan keputusan grader ini juga
didorong adanya keyakinan akan adanya “pulung”
25
. Melalui pulung inilah, petani akan beruntung atau tidak dengan ditandai harga yang tinggi atau rendah
pada hasil tembakaunya. Siapapun yang memperoleh harga tinggi, maka diyakini bahwa mereka mendapatkan anugerah berupa pulung. Keyakinan ini menjadikan
mereka saling menerima harga tembakau walaupun jauh berbeda nilainya. Mereka tidak akan saling menuntut, walaupun harga tembakaunya jauh lebih rendah
dibandingkan yang lainnya. Harga yang rendah menandakan bahwa pada musim tanam ini mereka belum mendapatkan pulung tersebut. Berikut ini adalah
pernyataan petani mengenai peran pulung dan pengaruhnya terhadap keberuntungan petani:
“kulo nate sumerep pulung wonten tempat imbon. Lan leres, mbako kulo luwih pajeng dibanding kalian mbako tanggi”.
“saya pernah melihat pulung yang jatuh disekitar tempat mengeramkan tembakau. Dan terbukti benar, tembakau saya lebih laku dibandingkan
tembakau tetangga di sekitar”.
24
Totol adalah istilah untuk menyebut kualitas tembakau, biasanya menggunakan symbol huruf. Misalnya: totol A: menunjukkan kualitas paling rendah sehingga harganya paling murah. Totol yang paling bagus
adalah F,G,H. Harganya bervariasi tergantung kepada letak tanam tembakau. daerah tanam yang paling bagus adalah Lamuk dan Lamsi.
25
Pulung adalah semacam keberuntungan yang dianugerahkan oleh Tuhan kepada petani tembakau. Petani yang akan mendapatkan pulung biasanya ditandai dengan adanya sinar yang akan jatuh ke lahan tegal,
rumah, atau disekitarnya. Sinar tersebut biasanya dengan bermacam-macam bentuk, ada yang berbentuk rigen
warna hijau ada yang berwarna kuning. Pulung yang jatuh di lahan tempat menanam tembakau dipercaya akan memberikan anugerah yang luar biasa.
95 “ten ngandap mriko, mbakonipun ditebas grader namung mboten sedoyo
dipendhet. Wonten wolulas wit sing dijebol langsung dibeto wangsul diregani 22 juta. Lajeng turahanipun ditinggal mboten dipendhet lan
diparingaken ingkang gadhah sabin. Wonten daerah mbako lamuk, pulung dhawah wonten sumur. Lajeng sumuripun ditutup, kersane pulungipun
mboten pindah. Anehipun, sedoyo mbako ingkang dipunkeringaken sekitar sumur hasilipun mesti sae”
di bawah sana-maksudnya tembakau yang ditanam di lahan sawah-, tembakaunya dijual secara ijon. Tetapi tembakaunya tidak diambil semua.
Dari tembakau yang ada hanya diambil 18 pohon dengan cara dicabut hingga akarnya dengan harga 22 juta. Sementara yang lainnya ditinggal
dan diberikan kepada yang memiliki lahan. Cerita lain, di daerah tembakau lamuk, pulungnya jatuh di dalam sumur, lalu sumurnya ditutup agar
pulung-
nya tidak berpindah tempat. Anehnya semua tembakau yang dijemur di sekitar sumur tersebut hasilnya pasti bagus.
Hubungan petani
dengan grader
dimulai sejak tembakau ada di Temanggung. Pada mulanya grader mendatangi petani untuk membeli hasil
tembakaunya, sementara petani berkumpul di suatu tempat di desanya. Kemudian petani dan grader melakukan transaksi di tempat. Relasi tersebut dibangun atas
dasar pondasi trust diantara satu dengan lainnya. Hubungan tersebut berlangsung dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Pada saat ini, untuk transaksi ekonomi dilakukan dengan cara petani mendatangi grader. Apakah semua petani bisa melakukan hubungan dengan
grader ?. Hanya beberapa petani yang dipercaya oleh grader yang bisa langsung
menjual hasil tembakaunya kepada grader. Petani tersebut biasanya telah menjalin hubungan dengan grader pada waktu yang relatif lama bahkan berbeda
generasi. Apabila orang tua atau generasi sebelumnya telah menjadi kepercayaan grader
, maka secara otomatis keturunannya juga dipercaya oleh grader lihat gambar 6.2.. Sementara bagi petani yang tidak memiliki hubungan genealogis
dengan orang yang pernah menjadi kepercayaan grader, strategi yang dilakukan adalah dengan membangun trust dari petani yang sudah memiliki hubungan baik
dengan grader. Beberapa grader memberikan bukti keanggotaan berupa Kartu Tanda Anggota KTA. Keistimewaan menjadi kepercayaan grader adalah: 1
bisa menjual hasil panennya tanpa melalui pedagang perantara; 2 harga yang ditetapkan biasanya lebih tinggi; dan 3 memiliki akses permodalan.
96
Beberapa petani berlahan sempit, pada umumnya tidak memiliki hubungan khusus dengan grader sehingga mereka membawa hasil panennya kepada
pedagang perantara bakul. Strategi yang digunakan adalah dengan menitipkan hasil panen tembakaunya kepada petani lain yang telah memiliki hubungan baik
dengan grader. Harapannya adalah dia akan memperoleh harga yang tinggi karena tembakaunya dijual oleh petani yang telah dipercaya.
Sistem nitip dibangun atas dasar saling percaya dan adanya moral
ekonomi untuk membantu petani lain. Oleh karena itu, tidak ada perhitungan yang pasti antara hak dan kwajiban yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak.
Apabila harganya tinggi, maka petani yang menitipkan tembakau akan memberikan uang pengganti transportasi dan kuli angkut sebesar ±Rp.
100.000,00keranjang atau merelakan 2 kg tembakaunya untuk diberikan kepada petani yang membantu menjual. Sementara pada saat harga anjlok, biasanya
mereka tidak memberikan apapun melainkan adanya hubungan sosial yang baik antara petani yang satu dengan petani lainnya.
Woolcock dalam Bebbington et al 2006 membedakan tipe modal sosial
menjadi tiga yaitu: pertama; bounding social capital, dicirikan adanya ikatan
yang kuat diantara anggota atau diantara anggota keluarga dalam kelompok etnik
tertentu. Kedua, Social Bridging, dicirikan oleh adanya hubungan yang inklusif dengan kelompok dari luar komunitas atau etnik. Ketiga; Social linking, modal
sosial dibangun pada tataran yang lebih luas, misalnya: hubungan dengan status sosial yang berbeda.
Mendasarkan diri pada pemikiran Woolcock tersebut, dapat dilihat bahwa salah satu strategi yang dibangun oleh petani tembakau dalam upaya melakukan
keberlanjutan sistem nafkahnya adalah tidak hanya mengandalkan bounding social capital
tetapi juga social bridging. Berjalannya solidaritas vertikal menunjukkan bahwa kesempatan mengakses
social bridging atau social linking tidak serta merta meninggalkan hubungan pada level
yang lebih kecil. Ikatan yang kuat pada level etnik yang lebih sempit memberikan kesempatan kepada petani yang tidak mampu mengakses modal sosial pada level yang
lebih luas. Strategi solidaritas vertikal mampu menerobos struktur yang menghambat akses petani kepada grader.
97
6.1.1.4.Strategi Solidaritas Horizontal
Strategi solidaritas vertikal menunjukkan bagaimana sistem kinship yang dibangun pada struktur sosial yang berbeda. Sedangkan strategi solidaritas
horizontal lebih menekankan bagaimana modal sosial dibangun pada tataran
social bounding . Bangunan solidaritas tersebut terjadi diantara petani lahan sempit
atau petani gurem. Sempitnya kepemilikan lahan membuat aset alami, aset finansial, aset sumberdaya manusia yang rendah. Untuk menyiasati kondisi
tersebut maka petani lahan sempit membangun sosial capital diantara petani sehingga memberikan kapabilitas dalam merespon berbagai shock dan tekanan.
Luas lahan 0,3 ha adalah salah satu prasyarat bagi petani untuk mendapatkan rajangan tembakau sebanyak satu keranjang, dengan asumsi kualitas
tembakau baik. Kisaran untuk memperoleh rajangan tembakau satu keranjang antara 3000-4000 m
2
. Hal ini adalah salah satu keunikan dari mengusahakan tanaman tembakau. Apabila tidak memenuhi satu keranjang 30-40 kg rajangan
kering maka petani berusaha membeli kepada petani lain, membeli dipasar, atau impor.
“Wsn 38 tahun, memiliki luas lahan 5 Ha milik sendiri ditambah tanah bengkok
seluas 2 Ha. Lahan tersebut tidak dikerjakan sendiri melainkan disakapkan
kepada 17 rumahtangga petani yang memiliki lahan kurang dari 0,1 Ha atau tidak memiliki lahan sama sekali. Masing-masing
rumahtangga mendapatkan 3000-4000 m
2
. Alasan praktisnya adalah untuk menghasilkan satu keranjang tembakau kering setiap kali petik dibutuhkan
kurang lebih 3000-4000 m
2
. Ke-17 rumahtangga petani yang menyakap kepada Wsn adalah Mly 4000 m
2
, Kmr 4000 m
2
, Wrsd 3000 m
2
, Gn 3000 m
2
, Asryd 3000 m
2
, Srs 3000 m
2
, Pno3000 m
2
, Msrt 3500 m
2
, Hrn 3000 m
2
, Tg 3000 m
2
, Atm 3500 m
2
, Mkt 3500 m
2
, No 3000 m
2
, Ktg 3000 m
2
, Msd 3000 m
2
, Sbr 3000 m
2
, dan Yd 3000 m
2
”.
Selain angka luas lahan 0,3 ha, luasan minimal untuk menghasilkan satu keranjang rajangan tembakau kering maka hal yang penting lainnya adalah
dengan lahan seluas itu maka petani mampu mengerjakan sendiri tanpa membutuhkan tenaga kerja dari luar keluarga kecuali kegiatan mencangkul.
Lantas pertanyaannya bagaimana dengan petani lahan luas? Hal inilah yang secara sosiologis menarik untuk dikaji.
98
Pada kelompok petani lahan luas 1 hektar pada umumnya tidak akan mampu mengerjakan lahannya sendiri apalagi membantu tetangga untuk
melakukan usaha taninya. Bahkan mereka cenderung memerlukan tenaga kerja yang banyak. Sehingga kegiatan royongan sangat sulit dan tidak berlaku pada
kelompok petani kelas atas. Sedangkan pada petani kelompok kelas bawah gurem- luas lahan 0,5 hektar masih memungkinkan bagi mereka untuk saling
membantu dengan tetangga dekat.
Gambar 6.3. Kelembagaan royongan sebagai strategi solidaritas horizontal
Pada komunitas petani tembakau padi sawah, dalam melakukan kegiatan produksi pada mulanya secara bergantian saling membantu kepada semua
tetangga. Bahkan ketika ada salah satu dari pejabat desa ada yang sedang menggarap sawahnya, maka hampir seluruh warga di desa Campursari berkumpul
untuk membantunya. Mereka tidak diupah, melaksanakan tradisi secara sukarela. Warga masyarakat diberi hidangan sekedarnya untuk suguhan makan siang dan
dilakukan secara bersama-sama. Sementara untuk antar warga, pada umumnya mereka saling membantu
secara bergiliran. Lima atau enam warga yang berdekatan bergantian mengerjakan sawah dibantu kerabat dekat. Setelah yang satu selesai, kemudian berpindah
kepada tetangga yang lain. Mereka tidak diberi upah dengan uang, hanya kebutuhan konsumsi yang dipenuhi dengan kondisi sekedarnya. Tradisi inilah
yang mereka sebut dengan royongan, yaitu kebiasaan saling tolong-menolong tanpa meminta imbalan.
Petani D Petani A
Petani B
Petani C Royongan
: adanya resiprositas
sebanding dalam beberapa aktifitas
usahatani tembakau seperti: menanam,
memetik, merajang, nganjang yang
dilaksanakan secara bergantian tanpa
adanya upah
99
Pada saat ini, budaya saling membantu tersebut masih berjalan. Namun demikian, kecenderungan mengarah upah telah kelihatan secara nyata. Apa dan
kapan sistem royongan tersebut mulai pudar tidak ada jawaban pasti. Beberapa pendapat menyatakan karena krisis ekonomi 1998-1999, harga kebutuhan yang
semakin melambung tinggi sehingga warga semakin komersial dan setiap perilakunya mengarah pada upaya mendapatkan uang. Ada juga pendapat lain
yang menyatakan bahwa pudarnya tradisi royongan ini karena adanya fenomena impor
tembakau. Alasan kuatnya adalah dengan melakukan impor akhirnya mereka sibuk dengan urusannya sendiri sehingga tidak memiliki waktu untuk
membantu tetangga. Tradisi saling membantu antar tetangga sebenarnya masih ada. Bedanya
dengan sistem royongan adalah setiap orang yang membantu diberi uang dan tidak ada ikatan untuk melakukan hal yang sama pada orang yang telah
membantunya. Bahkan terkadang karena masing-masing sibuk dengan lahannya masing-masing, petani mencari tenaga kerja di luar RT bahkan di luar desa.
Banyak petani dari desa, kecamatan, atau kabupaten teangga yang menjadi tenaga kerja upah di desa Campursari.
Secara tidak dilembagakan formal, ada kelompok orang baik laki-laki maupun perempuan yang seringkali menerima borongan dari petani. Ada group
borongan yang siap mengerjakan lahan apabila diperlukan. Dalam kelompok tersebut juga tidak ada aturan formal untuk terus bersama dan menerima pekerjaan
bersama, tetapi secara tidak tertulis semacam ada kecocokan sehingga tiap-tiap group tersebut sering bekerja bersama.
Kelompok laki-laki, biasanya mengerjakan lahan terutama pada saat mencangkul. Sedangkan kelompok perempuan biasanya pada saat menyiangi dan
memetik baik untuk komoditas padi maupun tembakau. Pembagian kerja ini tidak kaku, tidak jarang laki-laki melakukan kegiatan menyiangi, dan sebaliknya
perempuan menangkul. Bagi masyarakat Campursati tidak ada hal yang aneh dengan peran yang bergantian antara laki-laki dan perempuan.
Ada juga kelompok-kelompok tertentu di dalam masyarakat yang biasa memborong pekerjaan di lahan pertanian. Kelompok tersebut bekerja untuk
100
menghidupi kelangsungan kelompoknya. Hasil yang diperoleh tidak untuk masing-masing orang tetapi untuk kemaslahatan kelompok. Misalnya: kelompok
yasinan, yang melakukan pekerjaan adalah anggota kelompok yasinan tersebut. Kemudian hasil yang didapatkan digunakan untuk kegiatan rutin kelompok
yasinan tersebut dan sisanya disimpan sebagai kas. Ketergantungan petani terhadap tembakau pada masyarakat lahan sawah
dan pegunungan tentunya lebih tinggi di pegunungan. Salah satu penyebabnya adalah karena pada masyarakat di bawah sawah memiliki pilihan yang lebih
banyak terhadap komoditas yang dipilih karena air yang tersedia secara kontinyu. Sementara pada lahan pegunungan, pada saat musim kemarau tidak ada pilihan
lain kecuali tanaman tembakau. Sedangkan, dari sisi historis petani di pegunungan lebih merasakan lebih mendalam bagaimana dinamika pertembakauan yang
terjadi mengingat bahwa tembakau masih menjadi prioritas petani untuk menunjang kehidupannya.
Pada komunitas petani tembakau lahan tegal, terjadi pola yang unik. Secara nyata bahwa fenomena impor memang membuat setiap petani semakin
sibuk dengan urusannya sendiri. Namun demikian kalau dilihat pada level petani menengah ke bawah, rasa gotong royong dalam kegiatan hubungan produksi
masih tinggi. Sementara kelompok petani menengah ke atas relatif lebih renggang. Lahan yang semakin luas membuat petani sibuk untuk menyelesaikan
tembakaunya sendiri, mengingat masa petik, masa rajang, dan masa jemur tembakau tidak bisa ditunda. Namun demikian, masih ada satu dusun di desa
Wonotirto yang masih kental dengan gotong royong baik dalam mencangkul, menanam, petik, ngrajang, nganjang, dan menjemur. Mereka bahu membahu satu
sama lain untuk saling membantu dengan tetangga yang lain. Luasan lahan yang dimiliki masih memungkinkan untuk saling membantu.
Mengingat bahwa tenaga kerja diperlukan pada saat bersamaa, terkadang untuk mencari tenaga kerja dari lingkungan sekitar sangat sulit. Akibatnya
beberapa buruh tani diambil dari daerah lain. Terkadang kegiatan usahatani dilakukan secara borongan, baik dilakukan oleh perorangan maupun kelompok.
Secara perorangan di lakukan dengan cara menghubungi salah satu dari anggota
101
kelompok borong yang dibentuk secara tidak formal untuk menggarap lahannya. Anggota kelompok ini tidak terikat satu sama lain, namun secara tidak sadar
mereka memiliki tindakan terpola untuk secara bersama memborong lahan milik orang lain. Sedangkan secara kelompok, misalnya: dalam mencangkul dikerjakan
oleh kelompok pengajian. Uang borongan tersebut diberikan kepada kelompok untuk kegiatan kelompok dan bukan untuk kepentingan individu. Pada Wonotirto
ada beberapa kelompok kesenian yang juga sering memborong, dimana uang borongan untuk menjamin keberlangsungan kelompok seni tersebut.
Ditengah kondisi melemahnya etika sosial-kolektif yang digantikan dengan sistem uang, Dusun Tritis yang merupakan bagian wilayah di Desa
Wonotirto dimana mayoritas masyarakatnya memiliki lahan 1 hektar masih
tampak budaya royongan mulai mencangkul, menanam, memetik, merajang,
hingga nganjang. Hal yang unik lainnya adalah ketika pada saat petik tidak memenuhi syarat penjualan 1 keranjang, maka daun tembakau yang belum
dirajang dari beberapa petani digabungkan dan dirajang bersama. Untuk kemudian hasilnya dibagi pada saat penjualan sesuai dengan perkiraan banyaknya yang
digabung. Pada saat melakukan kegiatan perajangan biasaya mereka saling membantu dengan cara membawa alat perajang masing-masing kepada tetangga
yang membutuhkan. Kemudian mereka merajang tembakau dengan alat rajangnya masing-masing.
Gambar 6.4. Kelembagaan ”menggabungkan hasil panen” sebagai strategi
solidaritas horizontal
Terjadi pada petani lahan sempit, dimana hasil
panen yang tidak mencapai satu keranjang
digabung dan dirajang menjadi satu sehingga
memenuhi satu keranjang. Kemudian
hasilnya dibagi pada saat penjualan sesuai dengan
perkiraan banyaknya yang digabung.
Petani A
Petani B
Menggabung kan hasil
panen
Dijual bersama
Trust
102
Rasa percaya trust ini sangat sulit ditemukan pada 3 tiga dusun lainnya, mengingat bahwa daun tembakau sifatnya unik dimana pada lahan yang sama
harga tembakaunya bisa berbeda. Apalagi ketika daun dari beberapa petani digabung, maka boleh jadi harga tembakau tersebut tidak sama antara satu petani
dengan petani lainnya apabila dijual secara terpisah. Trust yang tinggal ini adalah modal sosial penting bagi petani. Sedangkan pada daerah yang trust-nya menurun,
mereka akan berusaha menggenapi menjadi satu keranjang tembakaunya dengan cara membeli atau impor.
6.1.1.5.Strategi Berhutang
Menurut Bomgaard dalam Li 2002, bahwa pada masyarakat pegunungan ada lima kombinasi penting yang menciptakan sistem yang berkelanjutan bagi
kehidupan petani, yaitu: 1 jagung; 2 kacang-kacangan; 3 ternak; 4 tembakau; dan 5 kredit. Unsur kredit penting, mengingat tembakau merupakan
jenis tanaman yang berisiko, banyak penanam tembakau di dataran tinggi di Jawa tidak dapat hidup terus tanpa adanya sistem perlindungan patronase yang
melibatkan pedagang dan penyalur Cina. Ada kemungkinan para pedagang ini tidak membiarkan para penanam tembakau mengumpulkan modal, tetapi mereka
melindungi para petani dari pengaruh negative karena partisipasi mereka di pasaran perdagangan dunia.
Strategi berhutang berkaitan akses petani terhadap modal finansial.
Kerentanan terhadap perubahan cuaca dan musim menyebabkan rumahtangga petani tembakau memililiki risiko terhadap gagal panen, bahkan terkadang
peristiwa ini berlangsung secara berturut-turut. Bagi petani berlahan sempit persoalannya bukan hanya modal finansial semata tetapi juga modal alami yang
terbatas. Akibatnya modal finansial sebagai aspek penting dalam kegiatan usaha tani tembakau diperoleh melalui strategi berhutang. Keterbatasan modal finansial
ini “memaksa” petani untuk “memainkan” modal sosial untuk mereproduksi
modal finansial.
103
Berhutang merupakan sebuah tindakan yang sudah menjadi kebiasaan rumahtangga petani tembakau bahkan hampir semua petani telah merasakan
bagaimana merasakan hutang. Pada kondisi normal, hutang ditujukan untuk melakukan kegiatan reproduksi atau sebagai modal kegiatan usahatani tembakau.
Ada beraneka bentuk hutang dan mekanismenya yaitu: pertama; hutang kepada
pedagang. Model ini didasarkan atas trust kepercayaan karena tidak adanya agunan baik berbentuk sertifikat tanah, BPKB, dan lainnya. Berbagai kesepakatan
dibangun tanpa adanya bukti tertulis. Beberapa kesepakatan yang umum dipakai adalah adanya sistem nglimolasi, ketika berhutang 1 juta rupiah maka dalam
kurun waktu satu musim tanam akan mengembalikan 1,5 juta rupiah. Apabila terjadi gagal panen yang beruntunberurutan, maka pembayaran hutang bisa
ditunda dengan tidak ada perubahan terhadap jumlah bunga. Pada umumnya pada panen tiba, petani menjual kepada pedagang yang telah memberi hutangan sebagai
rasa terima kasih dan sekaligus dapat menutup hutang-hutangnya.
Gambar 6.5. Strategi berhutang petani kepada pedagangtengkulak Petani
Pedagang tengkulak
Petani berhutang kepada pedagangtengkulan dengan jaminan
trust dengan sistem pembayaran
nglimolasi Petani menjual hasil panen sebagai
balas budi dan menjaga trust sehingga bisa meminjam pada waktu
yang lain
104
Kedua , hutang kepada grader, model ini hanya bisa diakses oleh petani
yang telah ikut dalam keanggotaan grader tersebut. Bukti keanggotaan dapat berwujud informal didasarkan pada kebiasaan selama ini hingga berbentuk kartu
keanggotaan yang mereka sebut dengan KTA Kartu Tanda Anggota. Salah satu keistimewaan dari keikutsertaan menjadi anggota adalah bisa mengakses modal
dari grader tersebut. Karena keanggotaannya mutlak ditentukan oleh grader, maka tidak semua rumahtangga petani mampu mengakses hutang dari grader.
Grader tidak memungut bunga dari uang yang telah diberikan kepada petani, jadi
apabila petani hutang 1 juta rupiah maka dia mengembalikan 1 juta rupiah. Sebagai ganti dari bunga tersebut, biasanya grader memotong atau mengurangi
harga tembakau yang dijual kepadanya. Ketika petani mengalami gagal panen, hutang ditangguhkan hingga musim tanam berikutnya dan seterusnya sehingga
terkadang hutang terakumulasi menjadi banyak. Beberapa grader tidak mengambil bunga dari petani, tetapi hasil tembakaunya harus di jual ke grader
tersebut. Konsekuensi lainnya adalah harga yang ditetapkan dibawah harga pasaran. Misalnya: seandainya harga tembakau per kg Rp. 35.000,00 maka hanya
dihargai Rp. 32.500,00.
WW 29 tahun Awal mula tanam tembakau tahun 1998 sampai sekarang. Tanah yang diolah dari warisan orang tua sebesar 1 ¼ Ha,
mengolah sawah bengkok kakaknya ¼ Ha dari tahun 2006. Total sawah yang digarap 1,5 Ha. Bengkok yang disewa per tahun sebesar 1,5 juta ¼
Ha. Masa tanam dalam satu tahun cabe, tembakau, jagung, bawang merah. Hasil tembakau dijual ke pengutang grader “Swbn” dari PT.
Dj, harga ditetapkan oleh pembeli. Modal awal tanam tembakau meminjam dari Swbn. Masa kejayaan tanam tembakau tahun 2006, 2007,
2008 dengan harga 200 ribukg. kegagalan dari menanam tembakau tahun 2003 dan 2005 dikarenakan cuaca basah. Pemasukan rendah
hutang tidak terlunasi, untuk melunasi hutang menggunakan hasil panen dari tahun depan. Terkadang hutang bertumpuk-tumpuk sehingga
seringkali mengalami kesulitan dalam melunasinya. Pada saat panen tembakau bagus, maka sebagian besar hasilnya digunakan untuk
membayar hutang-hutangnya dan sebagian lainnya digunakan untuk kehidupan sehari-hari. Proses pelunasan hutang tersebut tidak dilakukan
pada satu musim tanam, bahkan pernah sampai 2 dua musim tanam belum lunas. Berhutang adalah satu-satunya cara yang dapat ditempuh
sehingga usata tani tembakau dan kehidupan dapat berlangsung. Kepercayaan dari pedagang kepada WW merupakan bukti bahwa modal
sosial telah ikut “bermain” dalam sistem nafkah petani.
105 Sbyh 60 tahun memiliki memiliki dua orang anak perempuan, merantau
di Jakarta dan Surabaya. Sekarang dia tinggal bersama dua cucunya yang berumur 17 dan 12 tahun. Untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dia
menggantungkan diri pada lahan yang dia miliki. Untuk mengerjakan lahannya, dia dibantu oleh kerabat dekatnya. Terkadang dia mendapat
kiriman dari kedua anaknya yang merantau tetapi dengan jumlah nominal yang tidak pasti. Untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sehari-
hari makanan pokok, setelah musim tanam tembakau dia menanam jagung. Selain sebagai bahan pangan penting dalam kehidupan
rumahtangganya, untuk membudidayakan tanaman jagung tidak membutuhkan banyak biaya dan risiko kegagalannya relatif rendah.
Sebenarnya memiliki keinginan seperti tetangga-tetangganya untuk membudidayakan cabe, namun mengingat biaya yang dikeluarkan relatif
besar dan risiko kegagalannya tinggi maka akhirnya dia memilih jagung sebagai komoditas yang diusahakan. Pada mulanya Sbyh tidak memiliki
lahan pertanian dan bekerja sebagai buruh tani dengan mendapatkan upah Rp. 20.000,00hari. Akibat gagal panen yang berturut-turut dia
harus “memainkan” modal sosial dengan cara berhutang kepada tengkulak untuk kebutuhan usaha tani dan kerabat dan tetangga dekat
untuk kebutuhan sehari-hari. Sehingga pada posisi tersebut dia menanggung double hutang sekaligus, yaitu kepada juragantengkulak
dan kepada tetangga. Hasil upah buruh tani tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Pada akhirnya karena kondisi yang
terpaksa, dia menjual lahan pekarangan yang dimilikinya untuk kemudian sebagian hasil penjualan tersebut dipergunakan untuk
membayar hutang, sisanya untuk membeli lahan pertanian seluas 0,25 hektar.
Rkyh 70 tahun, memiliki lahan seluas 0,25 hektar dan menanam tembakau semenjak 25 tahun lalu bersama almarhum suaminya yang
meninggal 8 tahun lalu. Dia menyatakan tidak pernah mengalami masa jaya tembakau karena hasil panenannya sedikit bahkan seringkali setiap
panen tembakau tidak mampu memenuhi satu keranjang. Modal awal menanam dengan membangun trust dengan cara berhutang kepada
pedagang Cina. Dia akan menjual hasil panennya kepada pedagang tersebut dan uang yang dibawa pulang adalah setelah dikurangi dengan
hutang-hutangnya. Untuk menunjang pemenuhan kebutuhan hidupnya, dia juga melibatkan empat orang anaknya dalam kegiatan pertanian
sehingga mengurangi biaya tenaga kerja. Selain mengelola usaha taninya, anggota rumahtangga juga menjadi buruh tani dengan upah Rp.
15.000,00 s.d. Rp. 20.000,00. Untuk mendukung perekonomian keluarganya satu anak perempuannya membuka warung kecil di
rumahnya. Sehingga untuk menjamin keberlangsungan hidupnya Rkyh selain memanfaatkan modal sosial dengan membangun hubungan baik
dengan pedagang tetapi juga memanfaatkan modal finansial dengan membuka usaha warungan.
Pada saat gagal panen berturut-turut, maka hutang tidak hanya diperuntukkan sebagai penunjang kegiatan reproduksi usaha tani melainkan lebih
106
pada untuk bertahan hidup. Pada peristiwa gagal panen satu atau dua musim tanam mungkin akses hutang kepada pedagang atau grader masih terbuka luas.
Namun apabila mengalami gagal panen untuk musim berikutnya, kemungkinan akses tersebut mulai berkurang dan rumahtangga petani harus menyusun strategi
yang lainnya. Umumnya petani di Campursari dan Wonotirto telah memiliki akses kredit
di perbankan. Sistem angsuran yang dipakai adalah musiman. Mereka berhutang pada saat musim tanam tiba dan membayar penuh beserta bunganya setelah enam
bulan kemudian. Kelemahan di perbankan adalah masalah agunan. Kelompok petani dengan luas lahan sempit biasanya sulit untuk mengakses bank karena tidak
memiliki agunan dan dirasakan lebih rumit. Snd 50 tahun meminjam kepada bank sebesar Rp. 10 juta dengan agunan sertifikat tanah. Dalam kurun waktu 6
bulan dia harus mengembalikan Rp. 12.028.500,00.