Strategi Nafkah Rumahtangga: Sebuah Tinjauan Konseptual

14 mempertahankan suatu keseimbangan antara tuntutan-tuntutan orang-orang luar dan akan mengalami ketegangan-ketegangan yang ditimbulkan oleh perjuangan untuk mempertahankan keseimbangan itu. Orang luar pertama-tama memandang petani pedesaan sebagai suatu sumber tenaga kerja dan barang yang dapat menambah dana kekuasaannya fund of power. Akan tetapi petani adalah juga pelaku ekonomi economic agent dan kepala rumahtangga. Tanahnya adalah satu unit ekonomi dan rumahtangga. Secara lebih rinci, Shanin 1966 mencirikan petani dengan beberapa karakteristik, yaitu: 1 Ciri-ciri ekonomi petani ditentukan oleh keterkaitan petani dengan lahan dan karakteristik produksi pertanian yang khas; 2 usahatani keluarga adalah unit dasar dari kepemilikan petani, produksi, konsumsi, dan kehidupan social; 3 dalam kegiatan ekonomi usahatani, tidak terlalu memperhatikan spesialisasi kerja; 4 budaya tradisional petani sangat berkaitan dengan kehidupan masyarakat desa; dan 5 didominasi oleh pihak luar melalui: land-tenure, penyalahgunaan dalam kekuatan pasar. Berdasarkan berbagai pemikiran beberapa ahli Wolf, 1983; Redfield, 1985; Chayanov, 1986; Ellis, 1993; dan Shanin,1966 memiliki pandangan yang sama bahwa basis ekonomi petani adalah pada level rumahtangga. Ortiz dalam Carrier 2005 menyatakan bahwa pada masyarakat non-Barat basis sumberdaya dikelola pada unit rumahtangga dan komunitas yang berbasis kekerabatan. Keputusan dalam kegiatan produksi dan investasi lebih cenderung dilakukan oleh rumahtangga dibandingkan pada level individu.

2.1.3. Strategi Nafkah Rumahtangga: Sebuah Tinjauan Konseptual

Konsep strategi bertahan hidup di kalangan ilmuwan barat pertama kali digunakan oleh Duque dan Pastrana 1973 dalam studi mereka mengenai keluarga miskin di Santiago, Chili. Semenjak itu, konsep tersebut menjadi sangat popular dan digunakan di dalam referensi untuk rasionalitas strategi dalam meminimalkan resiko di dalam ekonomi yang tidak menentu Crow, 1989. Strategi nafkah rumahtangga di kalangan ilmuwan Barat berkembang dalam kegiatan semua study Amerika Latin dan Afrika dimana ekonomi informal paling 15 tidak sama pentingnya dengan ekonomi formal dalam pemahaman perilaku ekonomi sehari-hari diantara masyarakat miskin di dalam upaya bertahan hidup akibat lingkungan yang semakin berisiko Portes, 1994; Crow, 1989; Owusu; 2007. Namun demikian, sector informal di Afrika masih menjadi perdebatan paling tidak pihak-pihak yang menganut pandangan reformist, institutionalist, dan neo-marxist. Kaum reformist memandang bahwa sector informal adalah solusi bagi pengangguran di Afrika dan mendorong pemerintah untuk mendukungnya. Secara umum kaum institutionalist tidak setuju dengan pandangan kaum reformis. Mereka menyalahkan intervensi pemerintah untuk pengembangan sector informal dan melihat spontanitas orang dan tanggapan kreatif terlalu berlebihan dan tidak perlu diatur dalam regulasi oleh Negara de soto, 1989; World Bank 1989 yang dikutip oleh Owusu, 2007. Kaum neo-marxis tidak setuju akan pendapat pandangan kaum reformis dan institutionalis perihal pentingnya pemerintah dalam memberikan manfaat kepada kaum miskin. Mereka lebih memandang bahwa kemiskinan pada sector informal merupakan hasil dari hubungan yang eksploitatif dengan produksi dan distribusi kapitalis. Menurut Redclift 1986 orang-orang dalam posisi yang termarginalkan seperti petani, kelompok usaha kecil dan keluarga petani dikatakan memiliki strategi di dalam bertahan hidup yang sering disebut sebagai “strategi survival” atau “strategi coping”. Menurut Meert, Mistiaen, dan Kesteloot 1997 yang dikutip oleh Owusu 2007 Secara umum, strategi bertahan hidup survival strategy didefinisikan sebagai tindakan ekonomi yang disengaja oleh rumahtangga dengan motivasi yang tinggi untuk memuaskan sebagian besar kebutuhan dasar manusia, paling tidak pada level yang minimum, sesuai dengan norma social dan budaya masyarakat. Dalam khasanah penelitian mengenai strategi nafkah, Dharmawan 2007 membandingkan dua kelompok studi yang concern terhadap kajian sistem penghidupan, yaitu Mazhab Bogor dan Mazhab Sussex. Mazhab Bogor dikembangkan oleh Sajogyo, White, Dharmawan, dan ilmuwan sosial dari IPB. Sedangkan mazhab Sussex dipelopori oleh Chambers dan Conway, de Haan, 16 Bebbington dan Batterbury, Scoones, Ellis, dan lainnya. Secara kesejarahan mazhab Bogor muncul sebagai respon-aktif atas keprihatinannya pada persoalan kemiskinan dan kemunduran ekonomi pedesaan yang disebabkan oleh ketidakmampuan petani kecil dalam menyelaraskan diri pada proses-proses modernisasi pertanian berteknologi padat modal via pembangunan di Indonesia dan Jawa. Sementara pada mazhab Sussex, studi livelihood dilatarbelakangi adanya keprihatinan terhadap kehancuran yang menghempaskan komunitas lokal pada derajad ketidakpastian nafkah yang sangat dalam. Mazhab Bogor menggunakan tradisi pemikiran strukturalisme-Marxian dimana faktor-faktor sosial-ekonomi seperti lahan, kapital, jumlah tenaga kerja, struktur rumahtangga menjadi determinan penting atas munculnya beragam tipe strategi nafkah di pedesaan. Sementara mazhab Sussex kebih banyak menggunakan pendekatan sosio-ekologis dalam menjelaskan fenomena kemiskinan dan sistem penghidupan. Secara metotodologi, kedua mazhab menganut aliran pendekatan yang mirip, yaitu: kualitatif-konstruktuf-reflektif, dimana obyektifitas dibangun melalui apresiasi pemahaman subyektif dari orang miskin yang diamati di lapangan Dharmawan, 2007 Kajian White yang dikutip Sajogyo 1990 telah melihat bahwa kondisi lahan yang semakin sempit, rumah tangga petani berusaha untuk melakukan kegiatan nafkah di luar pertanian. Beberapa tesis White adalah: 1 terjadi sebagian proses “orang terdorong ke luar pertanian, imbalan di luar pertanian lebih rendah, orang menjalaninya karena terpaksa; dan 2 sebagian lain proses “orang tertarik ke dalam nafkah bukan pertanian”, dimana imbalan di luar pertanian yang lebih baik. Ada kecenderungan rumahtangga di lapisan bawah miskin yang terkena proses “terdorong keluar” sebagai suatu strategi bertahan hidup. Ide pemikiran Sajogyo tentang studi nafkah non pertanian yang seringkali diberi merupakan spesifik untuk kondisi petani di Indonesia terutama di Jawa. Berbagai penelitian ini dilatarbelakangi adanya keprihatinan atas gejala perubahan social terutama perubahan struktur agraria yang mendorong adanya upaya diversifikasi pekerjaan yang disebut sebagai nafkah ganda. Melihat fenomena 17 tersebut, akhirnya muncul ide dan pemikiran industrialisasi pedesaan. Ide tersebut dipublikasikan melalui “symposium industrialisasi pedesaan” yang diselenggarakan atas kerjasama Pusat Studi Pembangunan Lembaga Penelitian IPB dengan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia Cabang Jakarta pada tanggal 18 Desember 1989. Industrialisasi pedesaan tersebut muncul paling tidak dengan beberapa alasan, yaitu: 1 masih banyaknya jumlah penduduk yang menggantungkan diri pada sector pertanian, 2 sebagian besar berpenghasilan dari skala usaha yang kecil, dan 3 menurunnya dasa absorbsi sector pertanian terhadap tenaga kerja. Melalui industrialisasi pedesaan tersebut paling tidak berfungsi untuk: 1 mendorong pertumbuhan pedesaan dengan mendiversifikasi sumber pendapatan; 2 meningkatkan dampak pertumbuhan permintaan di dalam atau di luar suatu daerah; 3 meningkatkan kesempatan kerja baru; 4 mendekatkan hubungan fungsional antara pertanian dengan sector urbanindustry; 5 meningkatkan produktivitas tenaga kerja dan penerimaan industry; dan 6 mengurangi kemiskinan pedesaan, ekonomi uang, dan pasar Usman dalam Sajogyo, 1990. Dalam ranah penelitian, strategi rumahtangga dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu: 1 sebagai konsep; 2 sebagai metode analisis; dan 3 sebagai unit analisis Wallace, 2002. Pertama: Sebagai konsep, strategi rumahtangga dapat didefinisikan dalam dua pengertian: 1 bahwa rumahtangga benar-benar duduk dan merencanakan aktivitas mereka dalam menghadapi ketidakpastian-“strong definition”; 2 rumahtangga mengorganisasikan berbagai sumber nafkah baik formal, non formal, dan tenaga kerja rumahtangga untuk bertahan hidup baik direncanakan maupun tidak “weak definition” Warde, 1990 yang dikutip Wallace, 2002. Kedua: Sebagai metode analisis, terutama dipergunakan untuk memahami kombinasi formal, non-formal, dan pekerjaan rumahtangga dan pembagian kerja diantara mereka. Kombinasi ini biasanya hanya terbatas pada aktivitas yang tidak diatur oleh Negara dan kadang-kadang berbentuk resiprositas atau pertukaran yang tidak dibayar diantara rumahtangga. Ketiga: sebagai unit analisis, digunakan untuk memahami perilaku ekonomi pada level rumahtangga. Menurut White 1980 alasan rumahtangga menjadi dasar unit 18 analisis adalah bahwa rumahtangga adalah dasar unit produksi, reproduksi, konsumsi, seremonial, dan interaksi politik. Hal ini senada dengan pernyataan Chayanov 1966 bahwa pangkal tolak untuk memahami perilaku ekonomi petani adalah melihat rumahtangga petani sebagai unit produksi sekaligus sebagai unit konsumsi.

2.1.4. Basis Strategi Nafkah Rumahtangga Petani

Dokumen yang terkait

Perubahan Desa Menjadi Kota (Studi Deskriptif di Desa Tembung, Kecamatan Percut SeiTuan, Kabupaten Deli Serdang)

22 218 93

STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI MISKIN DI DESA SUKORAHAYU KECAMATAN LABUHAN MARINGGAI KABUPATEN LAMPUNG TIMUR

0 16 9

Strategi Nafkah Rumahtangga Nelayan (Studi Kasus di Dua Desa Nelayan Tangkap Kabupaten Lamongan Jawa Timur)

0 6 208

Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Lahan Kering (Kasus Komunitas Petani Lahan Kering Di Desa Lolisang, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan)

0 10 188

Dampak Krisis Ekologi terhadap Strategi Nafkah Rumahtangga Petani di Desa Ciganjeng, Kecamatan Padaherang, Kabupaten Pangandaran

1 18 99

Strategi Dan Struktur Nafkah Rumahtangga Petani Sekitar Hutan Desa Seputih Kecamatan Mayang Kabupaten Jember

2 21 89

Strategi Dan Kelentingan Nafkah Rumahtangga Petani Di Daerah Rawan Bencana (Kasus Rumahtangga Petani Desa Tunggilis, Kecamatan Kalipucang, Kabupaten Pangandaran, Provinsi Jawa Barat)

4 10 138

Kelentingan Nafkah Rumahtangga Petani Di Wilayah Rentan Banjir: Studi Kasus Dua Desa Di Kabupaten Kudus

0 7 133

DINAMIKA NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI PEDESAAN DENGAN PENDEKATAN SUSTAINABLE LIVELIHOD APPROACH (SLA) (Kasus Petani Tembakau di Lereng Gunung Merapi-Merbabu, Propinsi Jawa Tengah).

0 0 9

POLA HUBUNGAN ANTARA TENGKULAK DAN PETANI TEMBAKAU DI LERENG GUNUNG SINDORO SUMBING (Studi Kasus Desa Pagergunung Kecamatan Bulu dan Desa Gentingsari Kecamatan Bansari Kabupaten Temanggung) - UNS Institutional Repository

1 1 14