68
sebagian petani dengan lahan luas mengusahakan cabe dan jagung pada waktu yang bersamaan.
5.8. Kemampuan mengelola tembakau, warisan orang tua
Kemampuan petani dalam melakukan kegiatan usaha tani sifatnya otodidak
yang diperoleh dari orang tuanya. Mereka terbiasa membantu orang tuanya mengolah tanah, menanam, panen, dan memasarkan semenjak kecil.
Setelah menamatkan pendidikan tingkat Sekolah Dasar atau tidak lulus SD atau tidak sekolah menambah waktunya untuk belajar dari orang tuanya. Berbagai
kebiasaan yang diwariskan orang tuanya tersebut, petani dilatih secara mandiri dengan sekaligus mendapatkan warisan berupan lahan pertanian.
Kebiasaan-kebiasaan tersebut disosialisasikan oleh orang tuanya untuk kemudian diadopsi oleh generasi berikutnya hingga sekarang. Rendahnya migrasi
pemuda untuk mencari pekerjaan di luar daerah memaksa mereka harus belajar lebih sehingga menjadi petani sukses seperti generasi sebelumnya. Hasil warisan
ilmu pengetahuan inilah yang membawa petani generasi sekarang bisa melangsungkan kehidupannya.
Ngt 53 tahun mulai belajar mengelola tembakau semenjak umur 12 tahun tahun dengan ikut orang tua. Dan mulai tanam atau bertani
tembakau sendiri dari tahun 1987 dengan luas lahan 1,5 Ha. Lahan itu berasal dari warisan orang tua seluas 0,5 Ha dan yang 1 Ha menyewa per
musimper tahun tanam. Memiliki 2 orang anak yaitu: 1 JL 26 tahun sebagai kepala dusun dan ikut mengelola tanah bengkoknya; 2 BN 22
tahun juga ikut membantu ayahnya mengelola tanah.
Jml 66 tahun adalah salah satu petani kaya di desa Wonotirto. Mendapatkan warisan tanah dari orang tuanya seluas 3 hektar. Memiliki
dua orang anak laki-laki yang dididik untuk menjadi petani tembakau. Lahan seluas 3 hektar tersebut dibagi kepada kedua anaknya, masing-
masing 1,5 hektar. Sekarang kedua anaknya tersebut mengikuti jejak ayahnya menjadi petani tembakau dengan segenap warisan tanah dan
ilmu mengelola tembakau yang telah didapatkan semenjak kecil.
Pola pewarisan tata cara mengelola tembakau secara turun temurun mendarah daging dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Mereka diajarkan
69
mulai dari pembibitan, pemupukan, panen, hingga pemasaran. Hal tersebut terjadi baik pada petani pada golongan miskin maupun kaya.
Untuk meningkatkan kualitas tembakau, pada tahun 2005-2006 PT. Jarum melakukan “kemitraan
18
” dengan menyewa konsultan pendamping untuk memperkenalkan teknologi baru mengenai usaha tani tembakau dengan kualitas
dan harga yang tinggi. yang muncul setelah adanya inisiatif dari salah satu pabrik rokok yang membeli tembakau petani untuk mengenalkan sistem usaha tani yang
berbeda. Konsultan pendamping tersebut kemudian melatih beberapa petani yang ditunjuk oleh beberapa grader. diantaranya adalah: KHD, USB, dan KIT.
Konsultan pendamping tersebut mendampingi petani selama 2 tahun, hingga kemudian dari petani KHD menggantikannya untuk didifusikan kepada petani
lainnya. Keanggotaan “kemitraan” bersifat sukarela dan terbuka. Hingga saat ini tercatat sebanyak ± 400 petani yang telah tergabung dalam anggota kemitraan.
Kegiatan yang dilakukan adalah siapapun yang berminat ikut kemitraan mengikuti penyuluhan mengenai teknologi yang diterapkan. Selain teknik
budidaya, juga diperkenalkan teknologi berupa pupuk KNO
3
dan fertila. Harga Fertila setiap kwintal mencapai ± 800 ribu rupiah sedangkan harga KNO
3
adalah 1,6 juta rupiahkw. Setiap hektarnya dibutuhkan ± 4,5 kw fertila dan 1,5 kw
KNO
3
. Sehingga untuk kedua input tersebut diperlukan sekitar 6 jutahektar. Beberapa kelebihan dari sistem tersebut antara lain: 1 produktifitas: dengan cara
biasa 6-7 kwintalhektar jika menggunakan teknologi ini bisa menjadi 8 kwha; 2 harga, bisa mencapai 200 ribu s.d. 250 ribu per kg dibandingkan dengan cara
tradisional local dengan harga 50 ribu s.d. 100 ribu. Harga tersebut sama dengan kualitas srintil.
Para petani anggota kemitraan tersebut kemudian membentuk semacam koperasi untuk penyediaan pupuk tersebut. Setiap anggota koperasi difasilitasi
untuk mendapatkan fertile dan KNO3 dengan sistem pembayaran di belakang. Pada saat pembayaran, anggota koperasi membayar harga pupuk dan bunganya
uang jasa membayarkan.
18
Bagi sebagian petani, istilah kemitraan ini tidak tepat karena tidak ada ikatan antara petani dengan grader atau perusahaan. Mereka hanya diberi pelatihan mengenai sistem budidaya tanaman. Sedangkan harga jual
tergantung dari kualitas tembakau yang dihasilkan.
70
Teknik yang diperkenalkan tersebut merubah berbagai kebiasaan petani yang diperoleh secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Salah satunya
adalah sistem tumpang sari tidak diperbolehkan karena akan mengganggu perkembangan daun tembakau. Sistem ini telah diterapkan sebagai upaya
memberikan penghasilan alternative ketika tembakau mengalami kegagalan.
5.9.Pertanian tembakau dan daya serap tenaga kerja pedesaan
Mengusahakan tembakau memiliki karakteristik yang unik, diantaranya adalah perlunya masa tanam, panen, dan penjemuran yang tepat waktu. Berbagai
aktivitas tersebut tidak bisa ditunda karena akan menyebabkan gagal panen, misalnya masa tanam yang terlambat akan menyebabkan tanaman tidak
berkembang dengan baik karena kebutuhan air tidak tercukupi. Masa petik yang tidak tepat akan menyebabkan kualitas tembakau akan menurun atau bahkan tidak
bisa dijual. Sementara menjemur pada saat hujan tiba akan menyebabkan kualitas tembakau menurun.
Hal ini menyebabkan diperlukannya tenaga kerja yang banyak pada musim tembakau. Bulan Pebruari-maret adalah aktifitas pertama yang dimulai dengan
mencangkul lahan. Banyak petani berlahan sempit menuai pendapatan tambahan pada kegiatan ini, karena banyak petani berlahan sedang dan luas memerlukan
tenaga mereka. Kurang lebih 1-2 bulan mereka berkecimpung dalam aktifitas mencangkul.
Menanam dan menyiangi juga memerlukan tenaga kerja yang relative banyak, tetapi tahap ini hanya berlangsung beberapa hari saja. Tenaga kerja yang
banyak akan dibutuhkan kembali pada bulan Agustus-September. Bulan Agustus adalah masa petik pertama, yang kemudian dilanjutkan aktifitas mengeram dan
merajang. Siklus ini berlangsung kurang lebih dua bulan. Saat merajang dan menjemur paling tidak dibutuhkan tenaga kerja 7 orang, 3 orang merajang dan 4
orang menjemur. Fenomena “impor” berdampak semakin banyaknya tenaga kerja yang dibutuhkan.
71 Sebagai ilustrasi berapa banyak tenaga kerja yang dibutuhkan oleh Swto
58 tahun dengan lahan 3 hektar:
Aktifitas Jumlah tenaga
kerja Waktu
yang dibutuhkan
Mencangkul 10 orang
1,5 bulan
Menanam 10 orang
2 hari
Menyiangi 50 orang
2 hari
Munggel 1 orang
5 hari
Mrithili 10 orang
5 hari
Memetik daun 10 orang
Sekali petik Merajang 5
orang Sekali
rajang Menjemur 6
orang Sekali
menjemur Melinting 6
orang Sekali
melinting
Aktifitas tersebut dilakukan selama enam bulan yaitu April s.d. September. Pada tahap mencangkul hingga mrithili biasanya dikerjakan oleh petani di sekitar
desa. Akibat kurangnya tenaga kerja dari wilayah desa sendiri, buruh tani diambil dari beberapa wilayah lain seperti Wonosobo dan Banjarnegara. Untuk kebutuhan
Memetik, merajang, menjemur, dan melinting tembakau, Swto 58 tahun memiliki buruh tani sebanyak 15-20 orang yang menginap dirumahnya selama
kurang lebih 2 bulan. Beberapa masyarakat desa juga ikut menikmati keuntungan dibalik hiruk-
pikuknya pertembakauan di Wonotirto dan Campursari walaupun secara tidak langsung. Untuk menjemur, petani memerlukan rigen; sementara pada saat
menjual, petani membutuhkan keranjang. Peluang ini dimanfaatkan oleh warga masyarakat untuk mensuplai barang-barang tersebut dan bagi mereka aktifitas ini
mampu memberikan pendapatan tersendiri walaupun sifatnya musiman.
5.10. Perilaku Konsumtif