VI HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1 Kondisi Perikanan Budidaya di Lokasi Penelitian
Kelurahan Belawan Sicanang merupakan daerah kawasan tambak terbesar di Kecamatan Medan Belawan dengan luas lahan tambak produktif sebesar 310
hektar Dinas Pertanian dan Kelautan Kota Medan 2013. Mayoritas dari perikanan budidaya di Belawan Sicanang adalah budidaya udang windu, ikan nila,
dan kepiting. Terdapat dua sistem budidaya yang diterapkan di Desa Canang Kering, yaitu budidaya tambak silvofishery dan budidaya tambak non-silvofishery.
Kedua sistem tambak tersebut merupakan jenis tambak tradisional. Perbedaan tambak silvofishery dan tambak non-silvofishery di lokasi penelitian dapat dilihat
pada Gambar 4.
a b
Gambar 4 a Tambak silvofishery; b Tambak non-silvofishery Saat pembukaan lahan tambak non-silvofishery petani melakukan
pengalihan fungsi hutan mangrove menjadi tambak komoditas perikanan, hal ini kemudian menyebabkan kerusakan dan hilangnya fungsi ekologis dari ekosistem
mangrove tersebut. Kelompok Tani Suka Karya 6 memiliki kesadaran akan penurunan kualitas lingkungan dan kemudian mengajukan kepada Departemen
Kehutanan untuk dilakukan pelatihan pembuatan tambak silvofishery melalui dempon demonstration ponds. Pada sistem tambak silvofishery, petani tambak
yang tadinya telah melakukan pengalihan fungsi hutan mangrove menjadi tambak
Pintu Air
Tambak Perikanan
Tambak Perikanan
70 Pintu
Air
xxxxxxxx Tanaman
Mangrove 30
non-silvofishery dihimbau untuk melakukan penanaman kembali hutan mangrove
di sekitar tambaknya. Petani tambak diberi penyuluhan tentang manfaat sistem silvofishery
yang dapat menjadi bentuk pemanfaatan mangrove berkelanjutan, yaitu mengusahakan perikanan tambak yang bergantung dengan kelestarian
mangrove sebagai feeding ground dan nursery ground, dimana jika mangrove terganggu maka perikanan tambak juga terganggu. Sistem ini diharapkan dapat
melestarikan mangrove sekaligus meningkatkan produktivitas perikanan tambak. Sistem tambak silvofishery secara teknis hampir sama dengan tambak non-
silvofishery , namun pola silvofishery mengkombinasikan kegiatan kehutanan dan
perikanan dalam suatu luasan tambak, dimana terbagi menjadi lahan efektif untuk pemeliharaan udang atau ikan dan lahan yang ditanami pohon-pohon mangrove.
Silvofishery yang dikembangkan di Indonesia memiliki dua pola, yaitu empang
parit atau lebih dikenal dengan tambak tumpang sari, serta komplangan. Pada lokasi penelitian pola yang diterapkan adalah empang parit.
Pola empang parit merupakan model silvofishery yang umum dikembangkan. Kondisi ini dapat diterapkan pada areal bekas tambak yang akan
direhabilitasi dengan memanfaatkan pelataran tambak bagian tengah untuk ditanami mangrove, sedangkan bagian parit dibiarkan seperti semula untuk tempat
membudidayakan ikan Bengen 2000. Dalam sistem empang parit, tambak yang digunakan untuk budidaya dibuat dalam bentuk parit yang mengelilingi hutan
mangrove, dengan luas parit yang dianjurkan 20 persen dan mangrove 80 persen. Adapun luas tambak berkisar antara 0,3-3 hektar dengan jarak tanam 1×1 meter
sampai 3×3 meter antar individu mangrove Perhutani 1993. Praktik penggunaan pola sistem empang parit yang dilakukan di Desa
Canang Kering diberi kelonggaran oleh Dinas Kehutanan dimana lahan yang ditanami mangrove seluas 30 persen dari luasan tambak, hal ini disebabkan petani
tambak menganggap semakin luas kawasan mangrove akan mengurangi nilai ekonomi dari hasil tambak. Kondisi ini diharapkan dapat terus meningkat hingga
mencapai kondisi ideal yang telah ditetapkan Perhutani namun kendala yang terjadi adalah tidak ada pengawasan lebih lanjut dari dinas terkait sehingga luasan
ekosistem mangrove pada tambak silvofishery di lokasi penelitian belum mengalami peningkatan. Luas ekosistem mangrove tidak sesuai dengan kondisi
ideal berimplikasi pada manfaat ekologis yang dirasakan tambak menjadi kurang optimal.
Kendala lain dalam penerapan tambak silvofishery di Desa Canang Kering adalah hilangnya penerimaan selama tiga tahun awal. Pemeliharaan mangrove
yang baru ditanam membutuhkan waktu tiga tahun sebelum dapat digunakan sebagai kolam budidaya, apabila kegiatan budidaya perikanan dilakukan sejak
tahun pertama akan menghambat pertumbuhan mangrove dan dapat mengakibatkan kegagalan dalam pembuatan tambak silvofishery. Tidak adanya
alternatif sumber penerimaan menjadi penyebab mengapa belum semua petani tambak mau menerapkan sistem tambak silvofishery. Petani tambak yang telah
menerapkan sistem tambak silvofishery memiliki lebih dari satu kolam tambak sehingga masih memiliki sumber pendapatan lain ketika salah satu kolam
tambaknya diubah menjadi tambak silvofishery. Pengalihan dari tambak non- silvofishery
menjadi tambak silvofishery dilakukan secara bertahap. Perbedaan operasional kedua sistem tambak dapat dilihat pada Tabel 17.
Tabel 17 Perbedaan sistem tambak silvofishery dan tambak non-silvofishery per musim panen
Uraian Silvofishery
Non-silvofishery Pola
Tambak dan budidaya mangrove
Tambak Jenis
Empang parit -
Intensitas musim panen per tahun 3
2 Kuantitas Pakan KgHa
15 25
Kuantitas Pupuk KgHa 20
25 Obat-obatan BotolHa
1 2
Berdasarkan Tabel 17 terlihat bahwa intensitas musim panen pada sistem tambak silvofishery adalah tiga kali dalam setahun, sedangkan pada tambak non-
silvofishery hanya dua kali dalam setahun. Pada usaha budidaya perikanan tidak
selalu sama dari satu musim dengan musim berikutnya. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain kondisi lahan, air, cuaca, serta bibit dan benih
komoditas perikanan. Tambak non-silvofishery hanya mengalami dua kali musim panen dikarenakan adanya gagal panen akibat pecah kolam pada saat banjir
pasang air laut. Bencana banjir pasang air laut terjadi karena ekosistem mangrove di kawasan pesisir mengalami kerusakan. Penggunaan input seperti pakan, pupuk,
dan obat-obatan lebih rendah pada tambak silvofishery, hal ini dikarenakan adanya