Potensi Mangrove Analisis Ekonomi Tambak Silvofishery Sebagai Upaya Pemafaatan Ekosistem Mangrove Berkelanjutan (Studi Kasus: Desa Canang Kering, Medan)

ideal berimplikasi pada manfaat ekologis yang dirasakan tambak menjadi kurang optimal. Kendala lain dalam penerapan tambak silvofishery di Desa Canang Kering adalah hilangnya penerimaan selama tiga tahun awal. Pemeliharaan mangrove yang baru ditanam membutuhkan waktu tiga tahun sebelum dapat digunakan sebagai kolam budidaya, apabila kegiatan budidaya perikanan dilakukan sejak tahun pertama akan menghambat pertumbuhan mangrove dan dapat mengakibatkan kegagalan dalam pembuatan tambak silvofishery. Tidak adanya alternatif sumber penerimaan menjadi penyebab mengapa belum semua petani tambak mau menerapkan sistem tambak silvofishery. Petani tambak yang telah menerapkan sistem tambak silvofishery memiliki lebih dari satu kolam tambak sehingga masih memiliki sumber pendapatan lain ketika salah satu kolam tambaknya diubah menjadi tambak silvofishery. Pengalihan dari tambak non- silvofishery menjadi tambak silvofishery dilakukan secara bertahap. Perbedaan operasional kedua sistem tambak dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17 Perbedaan sistem tambak silvofishery dan tambak non-silvofishery per musim panen Uraian Silvofishery Non-silvofishery Pola Tambak dan budidaya mangrove Tambak Jenis Empang parit - Intensitas musim panen per tahun 3 2 Kuantitas Pakan KgHa 15 25 Kuantitas Pupuk KgHa 20 25 Obat-obatan BotolHa 1 2 Berdasarkan Tabel 17 terlihat bahwa intensitas musim panen pada sistem tambak silvofishery adalah tiga kali dalam setahun, sedangkan pada tambak non- silvofishery hanya dua kali dalam setahun. Pada usaha budidaya perikanan tidak selalu sama dari satu musim dengan musim berikutnya. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain kondisi lahan, air, cuaca, serta bibit dan benih komoditas perikanan. Tambak non-silvofishery hanya mengalami dua kali musim panen dikarenakan adanya gagal panen akibat pecah kolam pada saat banjir pasang air laut. Bencana banjir pasang air laut terjadi karena ekosistem mangrove di kawasan pesisir mengalami kerusakan. Penggunaan input seperti pakan, pupuk, dan obat-obatan lebih rendah pada tambak silvofishery, hal ini dikarenakan adanya manfaat ekologis dari keberadaan mangrove di sekitar kawasan tambak. Penggunaan input yang lebih rendah merupakan salah satu keunggulan dari penerapan sistem tambak silvofishery dibandingkan tambak non-silvofishery.

6.2 Analisis Perbandingan Pendapatan Tambak Silvofishery dan Tambak

Non-silvofishery Masyarakat pesisir memiliki mayoritas mata pencaharian sebagai nelayan dan petani tambak pada perikanan budidaya. Sejalan dengan otonomi daerah maka percepatan perkembangan perikanan budidaya diarahkan untuk menciptakan komoditas unggulan melalui pembangunan sistem budidaya dengan melibatkan pelaku usaha di daerah dan pembinaan yang terus menerus dengan mengedepankan konsep pemberdayaan dan partisipasi masyarakat budidaya. Potensi lahan tambak di wilayah kota Medan disajikan pada Tabel 18. Tabel 18 Potensi lahan tambak Kota Medan Potensi Lahan Tambak Kota Medan Luas Lahan Tambak Produktif Kecamatan Medan Labuhan Kecamatan Medan Belawan Kecamatan Medan Marelan 1.470 hektar 770 hektar 310 hektar 390 hektar Total Produksi 1.249,50 ton Jumlah Pembudidaya 314 rumah tangga Sumber: Dinas Pertanian dan Kelautan 2013 Analisis pendapatan dilakukan terhadap kedua sistem tambak yang terdapat pada Desa Canang Kering, yaitu tambak silvofishery dan tambak non-silvofishery. Analisis pendapatan merupakan perbandingan pendapatan rata-rata petani tambak silvofishery dan petani tambak non-silvofishery per satuan hektar per tahun. Pendapatan pada petani tambak merupakan manfaat langsung dari budidaya tambak. Petani tambak yang menerapkan sistem tambak silvofishery memiliki tingkat pendapatan yang berbeda dengan petani tambak non-silvofishery. Perhitungan perbandingan pendapatan per tahun petani tambak silvofishery dan non-silvofishery dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19 Perbandingan pendapatan rata-rata per tahun petani tambak silvofishery dan non-silvofishery Uraian Petani Tambak Silvofishery Petani Tambak Non- silvofishery Penerimaan RpHatahun 16.888.445,00 9.282.792,50 Biaya Tunai RpHatahun 6.149.346,43 4.267.515,38 Biaya Non Tunai RpHatahun 202.525,00 202.525,00 Total Biaya RpHatahun 6.351.871,43 4.470.040,38 Pendapatan Atas Biaya Tunai RpHatahun 10.739.098,57 5.015.277,12 Pendapatan Atas Biaya Total RpHatahun 10.536.573,57 4.812.752,12 RC ratio Atas Biaya Tunai 2,75 2,18 RC ratio Atas Biaya Total 2,66 2,08 Penerimaan adalah hasil penjumlahan dari penerimaan penjualan udang, ikan, dan kepiting selama setahun. Berdasarkan Tabel 19 dapat dilihat bahwa pada tambak silvofishery hasil perikanan yang didapat lebih banyak dibandingkan pada tambak non-silvofishery. Output pada tambak silvofishery lebih banyak dikarenakan terdapat tiga kali musim panen dalam setahun, selisih persentase output per tahun kedua sistem tambak menunjukkan bahwa output tambak silvofishery lebih tinggi 45 dibanding tambak non-silvofishery Lampiran 2. Jika dilihat dari penerimaan per panen, output yang dihasilkan tambak silvofishery juga lebih tinggi dibandingkan tambak non-silvofishery. Penerimaan pada petani tambak silvofishery jauh lebih besar dikarenakan adanya peningkatan produktivitas perikanan budidaya yang didukung oleh keberadaan mangrove, hal ini disebabkan mangrove berperan sebagai detritus organik yang merupakan sumber pakan alami bagi semua biota Bengen 2002. Petani tambak silvofishery yang melakukan budidaya kepiting lebih sedikit dibandingkan pada tambak non- silvofishery , hal ini disebabkan petani tambak silvofishery lebih memilih untuk membudidayakan komoditas udang karena dinilai mampu beradaptasi dengan habibat mangrove, cepat tumbuh, dan relatif tahan terhadap kondisi kurang baik sehingga dapat meningkatkan efisiensi produksi dari tambak silvofishery Lampiran 2. Selisih persentase pengeluaran per tahun menunjukkan bahwa pengeluaran pada tambak silvofishery lebih tinggi 17 dibandingkan tambak non- silvofishery, hal ini disebabkan tiga kali musim panen dalam setahun yang mengakibatkan penggunaan input lebih banyak sehingga biaya variabel yang dikeluarkan lebih tinggi dan juga terdapat tambahan biaya pemeliharaan mangrove Lampiran 2. Jika dilihat dari biaya per musim tanam input yang digunakan pada tambak silvofishery lebih rendah, selisih persentase pengeluaran tambak silvofishery per musim tanam lebih rendah 3 dibandingkan tambak non- silvofishery Lampiran 2. Pada Lampiran 2 dapat dilihat bahwa selisih persentase kuantitas pemberian pakan pada tambak silvofishery menjadi berkurang sebanyak 9 dibandingkan tambak non-silvofishery karena mendapat manfaat ekologis tambahan dari mangrove sebagai feeding ground. Terdapat beberapa responden yang tetap menggunakan pakan tambahan selain dari pakan alami yang dihasilkan mangrove karena petani tambak masih terbiasa menggunakan pakan tambahan untuk meningkatkan produktivitas perikanan dan fungsi feeding ground mangrove belum mampu menutupi seluruh kebutuhan pakan komoditas perikanan tambak. Meskipun biaya pada tambak silvofishery lebih tinggi namun hal ini diimbangi dengan penerimaan yang jauh lebih besar sehingga perbandingan pendapatan menunjukkan bahwa pendapatan petani tambak silvofishery lebih besar dibandingkan petani tambak non-silvofishery. Berdasarkan nilai RC rasio yang diperoleh kedua sistem tambak memiliki nilai lebih dari satu sehingga kedua sistem tambak tersebut menguntungkan. Nilai RC rasio tambak silvofishery lebih besar dibandingkan RC rasio tambak non-silvofishery, hal ini menunjukkan bahwa tambak silvofishery lebih menguntungkan untuk diusahakan dibanding tambak non-silvofishery. Rincinan perhitungan analisis pendapatan dapat dilihat pada Lampiran 2.

6.3 Analisis Kelayakan Finansial dan Ekonomi Tambak Silvofishery

Penerapan sistem tambak silvofishery akan memberikan manfaat ekologis dalam jangka panjang sehingga perlu dilakukan analisis kelayakan untuk melihat apakah sistem tambak silvofishery layak, baik secara finansial maupun ekonomi. Aspek yang perlu diperhatikan dalam studi kelayakan terbagi menjadi dua kelompok yaitu aspek finansial dan aspek non finansial. Analisis kelayakan menggunakan arus kas untuk mengetahui besarnya manfaat dan biaya yang dikeluarkan selama periode tertentu.

6.3.1 Analisis Aspek Non-finansial pada Tambak Silvofishery

Aspek-aspek non-finansial yang perlu dilakukan pembahasan diantaranya yaitu aspek teknis, manajemen, sosial, lingkungan, pasar, dan ekonomi. Hal ini dilakukan untuk mengetahui efektifitas suatu usaha dengan mempertimbangkan aspek-aspek yang secara bersamaan menentukan bagaimana keuntungan yang diperoleh dari usaha yang dijalankan. Aspek Teknis Analisis secara teknis meliputi analisis tentang input dan output berupa barang dan jasa yang diperlukan dan dihasilkan dalam suatu usaha. Usaha tambak silvofishery memerlukan ketersediaan input berupa alat-alat konstruksi untuk membuat kolam, benih mangrove, benih ikan yang akan dibudidayakan, pakan ikan, dan tenaga kerja. 1. Pembuatan Kolam Kolam merupakan bagian penting sebagai sarana produksi dalam usaha tambak. Standar yang harus dipenuhi petani tambak dalam membuat kolam adalah kolam dengan ukuran 100×100 meter. Setiap unit kolam tambak harus memiliki pintu air dan petakan tunggal. Pintu air digunakan sebagai sarana pengairan kolam. Petakan tunggal digunakan untuk pertumbuhan benih ikan atau benur udang. Petani tambak pada awalnya mengkonversi hutan mangrove menjadi tambak non-silvofishery yang kemudian ditanami mangrove kembali sehingga menjadi tambak silvofishery. Total luasan kolam tambak silvofishery di Desa Canang Kering adalah 29 hektar dengan rata-rata luas area kolam dua hektar per petani tambak. Tiap kolam umumnya memiliki rumah jaga dan Surat Izin Usaha Perikanan SIUP. Berdasarkan hasil dari kuesioner responden, modal yang dibutuhkan untuk pembuatan kolam rata-rata senilai Rp 33.357.142,86ha. 2. Benih Mangrove Benih mangrove digunakan sebagai tanaman yang mendukung dan melengkapi tambak silvofishery. Tanaman mangrove dalam kolam tambak ini memiliki banyak fungsi ekologis seperti sebagai nursery ground dan feeding ground sehingga meningkatkan produktivitas dari kolam tambak.