Mengidentifikasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Petani Tambak

Tabel 14 Karakteristik responden Karakteristik Responden Jumlah Total Persentase Silvofishery Non- Silvofishery 1. Jenis Kelamin a. Laki-laki 14 25 39 97,50 b. Perempuan 1 1 2,50 2. Struktur Usia a. 20-35 3 8 11 27,50 b. 36-50 7 13 20 50,00 c. 51-65 4 5 9 22,50 3. Tingkat Pendidikan a. Tidak Sekolah 3 3 7,50 b. SD 12 12 30,00 c. SMP 7 7 14 35,00 d. SMA 6 4 10 25,00 e. Perguruan Tinggi 1 1 2,50 4. Status Kepemilikan Tambak a. Milik Sendiri 9 21 30 75,00 b. Sewa 5 5 10 25,00 5. Pengalaman Bertambak a. 5-15 6 13 19 47,50 b. 16-25 6 9 15 37,50 c. 26-35 2 4 6 15,00 6. Luas Areal Tambak a. 1000 0,00 b. 1000-5000 8 31 39 97,50 c. 5000 1 1 2,50 Berdasarkan tabel di atas, jumlah responden berjenis kelamin laki-laki sebanyak 39 responden 97,50 dan perempuan 1 responden 2,50. Perbedaan jumlah responden laki-laki dan perempuan yang cukup besar ini menunjukkan bahwa jumlah pekerjaan petani tambak lebih banyak dilakukan oleh laki-laki di Kelurahan Belawan Sicanang dan cukup berat untuk dijalankan oleh perempuan. Responden memiliki tingkat usia yang bervariasi yaitu dari usia 20 hingga 60 tahun. Mayoritas responden yang paling banyak dengan kisaran usia 36-50 tahun sebanyak 20 responden 50,00, sedangkan usia terendah kisaran 51-65 tahun sebanyak 9 responden 22,50. Responen dengan kisaran usia 20-35 sebanyak 11 responden 27,50. Data tersebut menjelaskan pada Kelurahan Belawan Sicanang usaha tambak dijalankan oleh usia produktif. Tingkat pendidikan responden akan memengaruhi pengetahuan petani tentang pemilihan jenis sistem tambak. Sebagian besar responden yaitu sebanyak 14 responden 35,00 tingkat pendidikannya adalah lulusan Sekolah Menengah Pertama SMP. Responden yang tidak sekolah sebanyak 3 responden 7,50, responden dengan tingkat pendidikan lulusan Sekolah Dasar sebanyak 12 responden 30,00, tingkat pendidikan lulusan Sekolah Menengah Atas SMA sebanyak 10 responden 25,00 dan yang lulus hingga perguruan tinggi sebanyak 1 responden 2,50. Rendahnya tingkat pendidikan ini dipengaruhi oleh pola pikir responden yang masih beranggapan bahwa pendidikan bukan hal utama dan tidak terlalu berpengaruh terhadap pekerjaan yang sudah dilakukan secara turun temurun. Responden yang diwawancarai umumnya memiliki lahan dengan status kepemilikan sendiri sebanyak 30 orang 75,00, dan sewa tambak sebanyak 10 responden 25,00. Kepemilikan tambak di Kelurahan Sicanang paling banyak milik pribadi sehingga kolam tambak digarap sendiri oleh petani tambak tersebut. Pengalaman bertambak ditandai dengan lamanya waktu bertambak yang telah dijalankan oleh responden. Jumlah responden pada kisaran 5-15 tahun sebanyak 19 responden 47,50, sedangkan pengalaman bertani pada kisaran 16- 25 tahun sebanyak 15 responden 37,50, dan pada kisaran 26-35 tahun sebanyak 6 responden 15,00. Bertambak merupakan usaha budidaya yang telah dijalankan secara turun temurun sehingga pengalaman dalam budidaya diperoleh sejak membantu orang tua dan keluarga. Mayoritas responden memiliki luas areal tambak dengan luas 1000-5000 m 2 yaitu sebanyak 39 responden 97,50. Berdasarkan data responden tentang luas tambak di Kelurahan Sicanang, luas tambak yang dimiliki oleh seluruh responden hampir sama karena kondisi perekonomian petani tambak di lokasi penelitian sama.

5.3 Potensi Mangrove

Berdasarkan data yang didapat oleh Dinas Pertanian dan Kelautan Kota Medan dalam Dokumentasi Kondisi Wilayah Pesisir Kota Medan, diketahui bahwa luas mangrove Kecamatan Medan Belawan adalah 384,14 hektar. Ditemukan 12 spesies mangrove di wilayah Medan Belawan, yaitu Rhizophora mucronata, Avicennia marina, Sonneratia alba, Burguiera cylindrical, Excoearia agalocha, Avicennia officinalis, Avicennia alba, Rizhophora stylosa, Rizhophora apiculata, Lumnitetzera littorea, Bruguiera gymnorhiza, dan Xylocarpus granatum. Hampir semua jenis mangrove sejati terdapat di lokasi ini, mulai dari jenis api-api Avicennia spp. yang umumnya merupakan jenis pada zonasi terdepan dalam hutan mangrove, bakau Rhizophora spp., dan teruntum Lumnitzera sp. yang sering ditemukan pada zonasi belakang. Nilai keanekaragaman spesies diwujudkan melalui indeks keanekaragaman Shannon-Wienner yang merupakan suatu gambaran mengenai struktur vegetasi berupa persekutuan assemblages spesies dalam komunitas. Nilai keanekaragaman diperoleh berdasarkan data jumlah total individu seluruh spesies yang ada pada suatu lokasi. Menurut Barbour et al. 1987, nilai indeks keanekaragaman Shannon Wienner H berkisar antara 0-7 dengan kriteria a nilai 0-2 tergolong rendah b nilai 2-3 tergolong sedang dan c nilai 3 atau lebih tergolong tinggi. Data nilai indeks keanekaragaman dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Nilai indeks keanekaragaman Shannon Wienner untuk masing-masing fase perkembangan vegetasi mangrove No Fase Perkembangan Nilai Indeks Keanekaragaman 1 Semai 1,56 2 Pancang 1,73 3 Pohon 1,70 Sumber: Dinas Pertanian dan Kelautan Kota Medan 2013 Data indeks keanekaragaman yang diperoleh baik pada fase semai, pancang, dan pohon tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan atau variasinya kecil. Jika dikaitkan dengan kriteria yang disusun oleh Barbour et al. 1987 bahwa keanekaragaman vegetasi mangrove yang ada masuk kelompok rendah. Semakin kecil nilai indeks keanekaragaman maka semakin sedikit jumlah individu setiap jenis yang ditemukan. Di Medan Belawan untuk fase pohon jumlah spesies tertinggi ada pada jenis kayu buta-buta Excoeceria agalocha sebanyak 89 individu dan terendah pada jenis bakau Rhizophora apiculata dan teruntum Lumnitzera littorea 1 individu. Variasi yang sangat besar ini diduga menyebabkan rendahnya indeks keanekaragaman yang diperoleh Dinas Pertanian dan Kelautan Kota Medan 2013.