Tabel 4 Syarat-syarat faktor teknik lingkungan dalam budidaya tambak
No. Tolak UkurDaya
Dukung Tinggi
Sedang Rendah
1. Tipe dasar pantai
Terjal, karang, berpasir, terbuka
Terjal, karang, berpasir atau sedikit lumpur,
terbuka Sangat landai, ber-
lumpur tebal, berupa teluk atau laguna
2. Tipe garis pantai
Konsistensi tanah stabil Konsistensi tanah stabil Konsistensi
tanah sangat stabil
3. Arus perairan
Kuat Sedang
Lemah 4.
Amplitudo pasang surut
11-21 dm 8-11 dm dan 21-29 dm
8 dm dan 29 dm 5.
Elevasi Dapat diairi cukup pada
saat pasang dan dapat dikeringkan total pada
saat surut Dapat
diari cukup
pada saat pasang dan dapat dikeringkat total
pada saat surut Dibawah rataan surut
terendah
6. Mutu tanah
Tekstur sandy
clay, sandy clay loam.
Tidak bergambut, tidak ber-
pirit Tekstur sandy clay,
sandy clay
laom .
Kandungan pirit rendah Tekstur
lumpur berpasir bergambut.
Kandungan pirit tinggi 7.
Air tawar Dekat
sungai dengan
mutu dan jumlah air memadai
Sama dengan kategori tinggi
Dekat sungai
dan bergambut
8. Jalur hijau
Memadai Memadai
Tipistanpa jalur hijau 9.
Curah hujan 2.000 mm
2.000 – 2.500 mm
2.500 mm Sumber: Poernomo 1992
Menurut Dahuri et al. 1996 dalam hal budidaya perikanan tambak faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya produktivitas, ketidakpastian hasil
produksi termasuk kegagalan panen adalah sebagai berikut: 1
Kemampuan teknologi budidaya mencakup pemilihan induk, pemijahan, penetasan pembuahan, pemeliharaan larva, pendederan, pembesaran,
manajemen kualitas air, manajemen pemberian pakan, genetik breeding, manajemen kesehatan ikan dan teknik perkolaman sebagian besar petani ikan
masih rendah. 2
Kompetisi penggunaan ruang lahan perairan antara usaha budidaya perikanan dan kegiatan pembangunan lainnya pemukiman, industri,
pertambangan, dan lainnya pada umumnya selalu mengalahkan usaha budidaya perikanan.
3 Semakin memburuknya kualitas air sumberdaya untuk budidaya perikanan
khususnya di
kawasan padat
penduduk atau
tinggi intensitas
pembangunannya.
2.3 Sistem Tambak Silvofishery
Tambak silvofishery merupakan bentuk dari kebijakan pendekatan perhutanan sosial, yaitu suatu model pengembangan tambak ramah lingkungan
yang memadukan antara hutanpohon sylvo dengan budidaya perikanan fishery. Menurut Balitbang Kehutanan 2013
, sistem tambak silvofishery
merupakan suatu teknik rehabilitasi hutan mangrove yang pada pelaksanaannya areal tersebut juga diusahakan untuk usaha perikanan.
Pola silvofishery merupakan sebuah konsep usaha terpadu antara hutan mangrove dan perikanan budidaya, yaitu budidaya di tambak menjadi alternatif
usaha yang prospektif dan sejalan dengan prinsip blue economy. Pendekatan terpadu terhadap konservasi dan pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove
memberikan kesempatan untuk mempertahankan kondisi kawasan hutan tetap baik dan disamping itu budidaya perairan payau dapat menghasilkan keuntungan
ekonomi. Konsep silvofishery ini menawarkan alternatif teknologi yang aplikatif berdasarkan prinsip keberlanjutan KKP 2013.
Pengelolaan hutan mangrove melalui pendekatan perhutanan sosial dengan sistem tambak silvofishery mempunyai beberapa manfaat yaitu meningkatkan
persentase keberhasilan tanaman mangrove diatas 80 dengan jenis ikan yang diusahakan adalah bandeng, udang, dan kepiting; terbinanya petani penggarap
empang dalam wadah Kelompok Tani Hutan KTH yang melibatkan Dinas Perikanan, Dinas Pertanian, Kantor Kecamatan setempat maupun pihak Perum
Perhutani sendiri; meningkatkan taraf hidup masyarakat khususnya yang tergabung dalam wadah KTH; gangguan terhadap keamanan dan kelestarian
mangrove menurun; serta adanya pengakuan dari dunia internasional terhadap keberhasilan program perhutanan sosial payau Perhutani 1993.
2.4 Konsep Pembangunan Berkelanjutan
Keterbatasan sumberdaya alam merupakan faktor yang membatasi manusiauntuk memenuhi kebutuhannya yang semakin lama semakin kompleks.
Peningkatan jumlah penduduk dunia tentu saja membutuhkan suatu strategi pemanfaatan sumberdaya alam yang efisien agar tidak mengorbankan faktor
lingkungan sehingga keberlanjutan sumberdaya alam untuk generasi mendatang
dapat dipertahankan Suryono 2006. Menurut Palunsu dan Messmer 1997, pengertian pembangunan berkelanjutan merupakan pembangunan yang dapat
memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk mencukupi kebutuhan dan tidak melampaui daya dukung
ekosistem lingkungan. Tujuan pembangunan berkelanjutan menurut Seragaldin 1996 adalah
untuk selalu memperbaiki kualitas hidup manusia atas berbagai aspek kehidupan. Dengan demikian maka konsep pembangunan berkelanjutan adalah upaya untuk
mengintegrasikan tiga aspek kehidupan ekonomi, sosial, dan ekologi dalam satu hubungan yang sinergis. Hubungan tersebut digambarkan sebagai
“A Triangle Framework” dan didefinisikan sebagai keberlanjutan ekonomi, sosial, dan
lingkungan. Dimensi pembangunan berkelanjutan menurut Seragaldin dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Dimensi pembangunan berkelanjutan Seragaldin 1996 Berdasarkan gambar tersebut dapat dilihat bahwa dimensi pembangunan
yang berkelanjutan meliputi aspek ekonomi yang mencakup pertumbuhan yang berkelanjutan dan efisiensi; aspek sosial mencakup keadilan, keterpaduan
kehidupan sosial, partisipasi dan pemberdayaan masyarakat; sedangkan aspek ekologi mencakup keutuhan ekosistem, sumberdaya alam, daya dukung
lingkungan, dan keanekaragaman hayati. Pembangunan berkelanjutan akan tercapai apabila pembangunan sosial budaya dan pembangunan lingkungan hidup
mempunyai bobot yang sama dengan pembangunan ekonomi.
Economics
Social Ecological