Perasaan Terhadap Hidup Kerangka Berpikir

2.5 Remaja

2.5.1 Definisi Remaja

Remaja merupakan fase pertumbuhan dan perkembangan ketika seseorang berada pada rentang usia 11 – 18 tahun hurlock, 1994. Perkembangan adalah proses bertambahnya kematangan seseorang. Senada dengan Papalia, Olds, dan Feldman 2009, masa remaja adalah masa perkembangan antara masa kanak-kanak ke masa dewasa yang meliputi perubahan besar pada aspek fisik, kognitif, dan psikososial.

2.5.2 Ciri-ciri Masa Remaja

Hurlock 1994 menjelasakan masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan dengan periode sebelum dan sesudahnya. Seperti :

1. Periode yang Penting

Perkembangan fisik yang cepat yang disertai perkembangan mental yang cepat, terutama masa awal remaja. Hal tersebut menjadi hal yang penting karena akibat baik jangka pendek ataupun jangka panjang dari perkembangan yang cepat tersebut dapat memberikan dampak yang tidak diduga pada fase selanjutnya. Menjadi penting bagi orangtua dalam mengawasi dan membentuk sikap dan nilai-nilai pada fase ini.

2. Periode Peralihan

Peralihan tahapan masa remaja ini sangat bergantung dari masa sebelumnya, karena peralihan yang disebut disini bukan bersifat putus tetapi menerus dari fase sebelumnya. Seperti dijelaskan Osterrienth dalam Hurlock, 1994 struktur psikis anak remaja berasal dari kanak-kanak, dan banyak ciri umum anak remaja sudah terlihat dari masa kanak-kanak akhir.

3. Periode Perubahan

Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja sejajar dengan tingkat perubahan fisik. Perubahan yang hampir terjadi pada remaja seperti, meningginya emosi, perubahan fisik, minat dan peran dalam kelompok sosial, perubahan nilai dan keinginan untuk lebih bebas.

4. Masa Mencari Identitas

Fase saat remaja berusaha untuk menjelaskan siapa dirinya, apa perannya dalam masyarakat, status dalam keluarga sebagai anak atau orang dewasa. Salah satu cara yang dilakukan oleh remaja dapat dengan menggunakan simbol-simbol status yang ada dalam masyarakat. Seperti, menggunakan mobil, berpakaian, merokok dll.

2.5.3 Perkembangan pada Remaja

Papalia, Olds, dan Feldman 2009 menyebutkan masa remaja ditandai dengan perubahan fisik, kognitif, emosi, dan sosial. Sedangkan Hurlock 1994 perkembangan pada remaja terjadi juga secara moral.

1. Perubahan Fisik

Masa remaja adalah masa peralihan dari ketidakmatangan pada masa anak- anak menuju kematangan pada masa dewasa. Perubahan fisik yang terjadi biasa diikuti dengan perubahan biologis yang biasa disebut pubertas. Masa pubertas ditandai dengan kematangan seksual, perubahan hormonal dan percepatan pertumbuhan secara fisik.

2. Perkembangan Kognitif

Menurut Piaget dalam Papalia, Olds, Feldman, 2009, perkembangan kognitif tertinggi masuk pada fase remaja yang disebut operasional formal. Perubahan yang terjadi seperti, lebih berpikir abstrak, idealis, dan logis. Ketika mereka dalam fase tersebut, mereka akan lebih banyak berpikir secara egosentris, merasa paling hebat dan suka menjadi pusat perhatian teman- temannya. Dalam fase tersebut, sangat dibutuhkan peran orangtua untuk memberikan tanggung jawab pada anak mereka dalam pengambilan keputusan, dengan pengawasan yang cukup. Walaupun remaja dapat memecahkan masalah abstrak dan membayangkan masyarakat yang ideal, dalam beberapa hal cara berpikir remaja masih belum matang. Menurut Elkind dalam Papalia, Olds, Feldman, 2009 ketidakmatangan yang terjadi dapat dipengaruhi beberapa hal : 1. Idealisme dan mudah mengkritik : mereka menjadi sangat sadar akan kemunafikan. Dengan penalaran verbal yang tajam, mereka dapat meyerang tokoh publik dengan satir dan parodi. 2. Sifat argumentatif : saat remaja biasanya individu terus menerus mencari kesempatan untuk mencoba dan memamerkan kemampuan penalaran mereka. Sehingga, remaja menjadi sering berdebat seiring dengan penguasaan fakta dan logika. 3. Sulit dalam memutuskan sesuatu : remaja dapat memikirkan banyak alternatif dalam waktu yang sama, tetapi kurang memiliki strategi yang efektif untuk memilih. 4. Kemunafikan yang tampak nyata 5. Kesadaran diri : remaja yang berada dalam tahap operasinal formal dapat berpikir mengenai berpikir baik dalam diri mereka sendiri atau orang lain. Akan tetapi, karena terlalu fokus pada keadaan mental mereka sendiri, seringkali menggangap bahwa orang lain berpikir hal yang sama dengan mereka. 6. Keistimewaan dan kekuatan yang menunjukkan keyakinan remaja bahwa mereka istimewa.

3. Perkembangan Emosi

Masa remaja telah lama di gambarkan sebagai masa kekacauan emosi. Dalam keadaan yang ekstreem, pandangan tentang masa “strom and stress” Hurlock, 1994. Namun, masa remaja waktu meningkatnya fluktuasi emosi yang kurang stabil. Saat remaja kurang pandai untuk mengekspresikan perasaan mereka secara benar. Mampu mengatur emiosi seseorang merupakan aspek penting dalam perkembangan remaja. Ketika kemampuan kognitif di samakan, remaja yang mengaku mengalami emosi yang lebih negatif memiliki nilai akademis yang lebih rendah dibanding dengan remaja yang mengalami emosi yang baik. Remaja dapat dikatakan sudah mencapai kematangan emosi saat mereka tidak lagi „meledakkan‟ emosinya sesuka hatinya, melainkan dengan cara yang lebih dapat diterima lingkungan. Remaja yang emosinya matang memberikan reaksi emosional yang stabil, tidak berubah-ubah seperti pada fase perkembangan sebelumnya. Untuk mencapai kematangan emosi, remaja harus mengetahusi tentang situasi yang menimbulkan reaksi emosional, dapat berbagi untuk menyelesaikan masalahnya dengan orang lain, atau dapat menggunakan katarsis emosi dalam menyalurkan emosinya, seperti melakukan latihan fisik, bekerja, menangis, tertawa Hurlock, 1994.

4. Perkembangan Sosial

Penyesuaian sosial masa remaja termasuk dalam kategori yang sulit. Remaja menghabiskan lebih banyak waktu dengan teman sebayanya, tetapi harus terus menyesuaikan dengan orang dewasa diluar lingkungan keluarga dan sekolahnya juga. Hal yang menjadi sulit saat penyesuaian diri dengan meningkatnya pengaruh teman sebaya, melibatkan kawanan, serta persahabatan Papalia, Olds, Feldman, 2009.

5. Perkembangan Moral

Kohlberg dalam Hurlock, 1994 membagi tahapan perkembangan moral menjadi tiga tingkatan, seperti :

1. Moralitas Prakonvensional

Perilaku anak mengikuti keadaan lingkungan mereka. Pada tahap pertama, seorang anak menuruti peraturan yang berlaku untuk menghindari hukuman. Pada tahap kedua, anak menyesuaikan terhadap harapan sosial lingkungannya untuk mendapatkan hadiah. Tingkat ini biasa ditemui anak usia 4 – 10 tahun.

2. Moralitas konvensional

Anak sudah menemukan konsep figur otoritas dan telah menginternalisasi standar yang berlaku di lingkungannya. Pada tahap pertama, anak peduli untuk menjadi baik bagi keadaan lingkungan dan mendapat dukungan orang lain dan mempertahankannya. Pada tahap kedua, anak mempertahankan aturan yang berlaku di suatu kelompoknya untuk menghindari kecaman atau ketidaksetujuan sosial. Tingkat ini biasanya dicapai saat usia 10 tahun, banyak yang tidak bergerak naik dari tingkatan ini, bahkan sampai dewasa.

3. Moralitas pascakonvensional

anak sudah mengenali konflik perbedaan antara standar moral yang berlaku di lingkungan dan sudah dapat membuat penilaian mereka sendiri berdasarkan prinsip kebenaran, keadilan dan hukum. Anak biasanya mencapai tingkatan ini pada masa awal remaja atau lebih umum saat memasuki dewasa awal.

2.6 Kerangka Berpikir

Pesatnya perkembangan teknologi di era digital ini tidak lepas dengan kemudahan akses internet. Penggunaan internet sudah menjadi kebutuhan yang penting bagi kehidupan seseorang. Kemudahan akses internet saat ini sangat memungkinkan seseorang dapat mengekspresikan dirinya tanpa harus ada norma- norma sosial yang berlaku saat berinteraksi secara langsung. Seseorang dapat menjadi siapa saja saat berinteraksi dalam dunia maya. Pada hal ini lah orang mudah untuk melakukan tindakan cyberbullying. Cyberbullying sangat rentan terjadi pada remaja. Kemudahan akses yang ada memberikan peluang yang cukup tinggi para remaja melakukan cyberbullying. Terlebih, masa remaja adalah masa pencarian jati diri dan senang untuk mencoba hal baru. Masa remaja merupakan masa peralihan dan perubahan, seperti emosi, fisik, psikis, minat dan sosial Santrock, 2012. Cyberbullying merupakan tindakan serangkaian komunikasi dimana pelaku melakukan serangan dengan media dunia maya, seperti sosial media, instant messangaing , email, dan telepon genggam. Para pelaku cyberbullying biasanya termotivasi karena marah, perasaan ingin membalas dendam, tetapi ada yang melakukan semata-mata karena ingin mendapat reaksi dari orang tertentu. Motif setiap pelaku dalam tindakan cyberbullying dapat berbeda-beda. Ada tiga hal yang dipredksi menjadi dorongan remaja dapat melakukan tindakan cyberbullying, yaitu kurangnya rasa empati, self-control dan self-esteem. Peneliti menjadikan ketiga hal tersebut independent variabel dalam penelitian ini. Empati umumnya diartikan bagaimana menempatkan diri pada posisi orang lain dimana empati tersebut mengacu pada pemahaman afektif kognitif atau keduanya. Kurangnya respon empati yang dimiliki seseorang remaja dapat menjadikannya pelaku cyberbullying. Remaja pelaku cyberbullying sendiri, dibandingkan dengan teman sebayanya cenderung memiliki empati yang lebih rendah, sejalan dengan penelitian Steffgen, Konig, Pfetsch, dan Melzer, 2011 yang menemukan para pelaku cyberbullying memiliki empati yang rendah dibandingkan dengan remaja yang tidak memiliki pengalaman cyberbullying. Rendahnya self-control pada seseorang dapat memberikan kontribusi yang tinggi dalam tindakan yang agresif yang dapat pula menyertakan kekerasan. Ketika agresivitas mendesak menjadi aktif, self-control dapat membantu seseorang mengabaikan keinginan untuk berperilaku agresif, dan akan membantu seseorang merespon sesuai standar sosial yang dapat menekan perilaku agresifnya Denson, Finkel, DeWall, 2012. Sedangkan pada remaja yang tidak memiliki self-control yang baik cenderung lebih mudah untuk melakukan tindakan agresif, seperti bullying dan melakukan kekerasan fisik. Berdasarkan penelitian sebelumnya, para pelaku cyberbullying ditemukan memiliki self-esteem yang rendah Hinduja Patchin, 2010. Rendahnya self- esteem seseorang dapat menjadikan seorang mencari eksistensi dirinya dari orang diluarnya. Dorongan tersebut dapat membuat seseorang dengan berani melakukan tindakan yang akan membuat dirinya di lihat oleh orang lain. Kerangka berpikir seperti dipaparkan di atas selanjutnya dapat dilihat pada bagan berikut: Berikut skema kerangka berpikir : Gambar 2.1 Kerangka Berpikir 2.7 Hipotesis Penelitian Dalam penelitian ini peneliti ingin melihat pengaruh IV terhadap DV. DV dalam penelitiann ini yaitu cyberbullying, sedangkan variabel yang diteorikan peneliti sebagai IV berdasarkan teori dan penelitian sebelumnya yaitu, empati, self-control dan self-esteem. Hipotesis mayornya adalah “ada pengaruh yang signifikan dari empati, self-control dan self-esteem terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta ” SELF-CONTROL EMPATI Personal Distress Perspective Taking Fantasy Empathic Concern Behavior Control Cognitive Control Desicional Control SELF-ESTEEM Perilaku Cyberbullying Hipotesis Minor H 1 : Ada pengaruh perspective taking pada variabel empati terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta. H 2 : Ada pengaruh fantacy pada variabel empati terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta. H 3 : Ada pengaruh empathic concern pada variabel empati terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta. H 4 : Ada pengaruh personal distress pada variabel empati terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta. H 5 : Ada pengaruh behavior control pada variabel self-control terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta. H 6 : Ada pengaruh cognitive control pada variabel self-control terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta. H 7 : Ada pengaruh decisional control pada variabel self-control terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta. H 8 : Ada pengaruh self-esteem terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta. Hipotesis Nihil Karena adanya analisis statistik, maka hipotesis mayor dibalik menjadi hipotesis nihil, yang berbunyi bahwa “Tidak ada pengaruh yang signifikan dari empati, self-control dan self-esteem terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta ” 49

BAB 3 METODE PENELITIAN

Pada bab ini dipaparkan tentang populasi dan sampel, teknik sampling, variabel penelitian, instrumen pengumpulan data, uji validitas kontruk, teknik analisis data, dan prosedur penelitian.

3.1 Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh siswa yang bersekolah di SMAN 64 Jakarta kelas X, XI, dan XII yang berjumlah 770 siswa. Peneliti menetapkan sekolah tersebut karena sekolah memfasilitasi hotspot untuk seluruh siswa di sekolah dan pernah terjadi bullying yang terjadi di sekolah. Sedangkan subjek penelitian pada penelitian ini memiliki kriteria sebagai berikut : 1. Responden merupakan siswa SMA 64 Jakarta 2. Responden merupakan pengguna internet aktif 6 bulan terakhir baik komputer, smartphone, laptop, ataupun telepon genggam. 3. Responden melakukan setidaknya sekali tindakan cyberbullying seperti membajak, mengirimkan kata-kata kasar, atau mengirimkan gambar yang membuat malu orang lain. Selanjutnya, Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik non-probability sampling, dimana tidak semua populasi memiliki kesempatan yang sama untuk ditetapkan sebagai sampel. Sampel yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 200 siswa, karena disesuaikan dengan kemampuan peneliti berdasarkan pertimbangan waktu dan dana sampel dalam penelitian.

3.2 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

Dependent Variable : Cyberbullying adalah bentuk bullying yang dilakukan melalui media elektronik yang berisi hal menghina, mengancam, menfitnah, mempermalukan, atau mengucilkan orang lain yang berupa pesan singkat, gambar atau video dalam sebuah chat room, atau melalui media online. Independent Variable : 1. Empati adalah merujuk pada kesadaran individu untuk dapat berpikir, merasakan, dan mengerti keadaan orang lain dilihat dari perspektif orang tersebut, sehingga individu tahu dan benar-benar dapat merasakan apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh orang tersebut. 2. Self-control adalah kemampuan seseorang dalam mengelola stimulus dari luar dirinya untuk menentukan suatu tindakan sesuai yang diyakini, berdasarkan pada aspek behavior control, cognitive control, dan decisional control . 3. Self-esteem adalah sikap individual, baik positif atau negatif terhadap dirinya sebagai suatu totalitas. 3.3 Instrumen Penelitian 3.3.1 Instrumen Pengumpulan Data Instrumen pengumpulan data dalam penelitian ini terdiri atas empat bagian. Bagian pertama terdiri dari identitas responden. Bagian kedua terdiri dari instrumen berisi pertanyaan elisitasi untuk mendapatkan gambaran umum pelaku cyberbullying. Bagian ketiga berisi tentang skala mengenai cyberbullying. Bagian keempat instrumen merupakan alat ukur dari empati, self-control dan self-esteem. Untuk model skala, peneliti menggunakan model skala likert, dimana variabel penelitian dijadikan sebagai titik tolak penyusunan item instrumen. Jawaban dari setiap instrumen memiliki empat pilihan, yaitu “Selalu” SL, “Sering” S, “Hampir Tidak Pernah” HTP, “Tidak Pernah” TP. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya pemusatan atau menghindari jumlah respon yang bersifat netral. Model instrumen terdiri dari pernyataan positif favourable dan pernyataan negatif unfavorurable. Penskoran tertinggi diberikan pilihan selalu dan terendah pada pernyataan tidak pernah dalam pernyataan favourable. Sedangkan dalam pernyataan unfavourable penskoran dibalik seperti pada tabel 3.1. Tabel 3.1 Penilaian Skala Likert Instrumen pengumpulan data dalam penelitian ini terdiri dari empat alat ukur, yaitu : alat ukur perilaku cyberbullying, alat ukur empati, alat ukur self-control dan alat ukur self-esteem. Pilihan Pernyataan Favorable Unfavorable Selalu 4 4 Sering 3 3 Hampir Tidak Pernah 2 2 Tidak Pernah 1 1