Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

Indonesia ternyata mengalahkan kasus bullying di Amerika Serikat yang menempati posisi ketiga. Ironisnya, kasus bullying di Indonesia lebih banyak dilakukan di jejaring sosial. Sebagai negara dengan jumlah populasi yang banyak di dunia, Indonesia memiliki jumlah pengguna Facebook terbesar keempat di dunia. Selain itu, Indon esia juga „menyumbang‟ 15 tweet setiap hari untuk Twitter. Bahkan, Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik 2012 lebih dari 60 pengakses internet berumur dibawah 7 - 18 tahun. Penelitian yang dilakukan pada siswa SMP dan SMA di beberapa kota di jawa tengah, hasil menunjukkan telah terjadi perilaku cyberbullying sebanyak 28 meski dampak yang ditunjukkan belum begitu serius Rahayu, 2012. Sedangkan dari Data hasil survei yang dilakukan Juwita 2009 menyatakan bahwa Yogyakarta memiliki angka tertinggi mengenai kasus bullying dibanding dengan kota Jakarta dan Surabaya. Tercatat sekitar 70,65 kasus Bullying terjadi di SMP dan SMA di Yogyakarta. Jadi dapat diasumsikan individu yang memiliki kecenderungan lebih besar untuk melakukan cyberbullying pada remaja rentang usia 13 tahun – 18 tahun. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa remaja memiliki kerentanan yang cukup tinggi terhadap cyberbullying. Selain itu, berdasarkan data laporan kasus yang masuk ke KPAI Komisi Perlindungan Anak Indonesia 2014 setidaknya terdapat 98 kasus kekerasan fisik, 108 kekerasan seksual, dan 176 kekerasan psikis pada anak yang terjadi di lingkungan sekolah. Tingginya kasus pada remaja yang terjadi dapat bermacam- macam motifnya, seperti salah satunya untuk menjadi pusat perhatian dan mendapatkan reaksi yang dapat dilakukan dengan cara mengejek atau mengirimkan gambar yang memalukan melalui media elektronik yang bahkan dapat menimbulkan perkelahian di dunia nyata. Perilaku tersebut kadang kurang disadari oleh remaja yang merupakan salah satu perilaku cyberbullying. Seperti yang pernah terjadi pada siswa SMAN 64 Jakarta, dengan alasan tersebut peneliti menjadikan sekolah tersebut tempat penelitian. Kasus nyata yang sering terjadi di Indonesia adalah twitwar atau perang twitter. Beberapa waktu lalu yang terjadi kasus bully pada Bastian salah satu personil grup musik, ada yang mengungah foto Bastian yang mencium seorang gadis yang menjadi banyak komentar cacian karena Bastian yang masih berumur 15 tahun dan menjadi public figure. Selain itu, baru-baru ini terjadi kasus pengungahan video Chelsea Ishan yang sedang berganti baju. Video yang diunggah oleh orang yang tidak diketahui tersebut diduga untuk menjatuhkan Chelsea Ishan yang karirnya sedang „naik daun‟ tersebut, banyak yang akhirnya mem-bully tetapi dengan bijaknya sikap yang ditunjukkan Chealsea Ishan yang tidak menghiraukan video tersebut dan menghimbau dalam kampanye stop bullying . Kasus lainnya yang sempat membuat ramai di media sosial Twitter, kasus Farhat Abbas yang mengejek dan menjelekkan Ahmad Dhani atas kasus yang dialami oleh anak Ahmad Dhani yang akhirnya sampai dengan pelaporan Ahmad Dhani pada pihak kepolisian dan anak Ahmad Dhani yang tersulut emosi hingga ingin membuat pertarungan tinju dengan Farhat Abbas. Dari beberapa kasus tersebut, dapat menjelaskan maraknya kasus cyberbullying yang terjadi di Indonesia. Tindakan cyberbullying ini terjadi tanpa dapat pengawasan baik dari pihak sekolah atupun yang berkepentingan untuk mengawasi tindakan ini. Hal tersebut yang tetap membuat leluasanya pelaku cyberbullying melakukan tindakannya. Cyberbullying merupakan salah satu dampak negatif dari penggunaan teknologi yang tidak dikontrol, dimana seorang anak dapat menulis teks atau menunggah gambar dengan tujuan untuk menjelek-jelekan dan menghina orang lain dengan niat mempermalukan orang lain. Selain itu tulisan dan gambar yang diunduh dapat mengundang komentar dari pihak ketiga untuk ikut berkomentar bystander yang sering mengikuti untuk melecehkan dan mempermalukan korban. Sehingga dapat memperparah dampak bagi korban cyberbullying Camfield, 2006. Sedangkan pelaku bullying menunjukkan rasa empati yang kecil untuk teman sebaya mereka. Menurut Menesini, et.al dalam Dilmac, 2009, pelaku bullying sebenarnya sadar akan perasaan orang lain namun tidak dapat atau tidak mau mengizinkan perasaan itu mempengaruhi mereka dan anak-anak pelaku bullying juga cenderung ingin dapat mengontorol teman-temannya Gourneau, 2012. Penelitian lainnya menemukan bahwa rendahnya respon empati secara utuh berpengaruh pada perilaku cyberbullying. Pada siswa pelaku cyberbullying memiliki respon empati yang rendah dibandingkan siswa yang bukan pelaku cyberbullying Steffgen, Konig, Pfetsch, Melzer, 2011. Pada penelitian lainnya tentang empati dan cyberbullying, dimensi empati dibagi menjadi dua yaitu : 1 afektif empati 2 cognitif empati Baron-Cohen Wheelwright, 2004. Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa rendahnya afektif empati maupun kognitif empati mempengaruhi tingginya perilaku cyberbullying pada remaja perempuan maupun laki-laki Ang Goh, 2010. Menjadi penting untuk mengetahui kecenderungan sikap empati secara afektif maupun kognitif pada remaja untuk upaya lebih lanjut dalam intervensi dalam pengurangan perilaku cyberbullying . Dalam penelitian ini bertujuan melihat peran empati pada cyberbullying . Secara khusus, untuk melihat apakah pelaku cyberbullying memiliki empati yang rendah dibanding dengan yang bukan pelaku cyberbullying. Alasan lain yang membuat lebih banyak lagi pelaku cyberbullying karena pelaku dapat menyembunyikaan identitas atau anonimitas Heirman Walrave, 2008. Penyamaraan atau penyembunyian identitas sebenernya membuat pelaku cyberbullying merasa tidak perlu bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya, sehingga mudah terlibat dalam permusuhan dan perilaku agresif. Menurut Pellegrini dalam Dilmac, 2009, menyebutkan pelaku bullying memiliki emosional tinggi dan kontrol diri rendah, namun hingga saat ini, belum ada jurnal atau penelitian yang menyebutkan secara jelas bahwa tipe kepribadian tertentu menentukan kecenderungan seseorang untuk menjadi pelaku ataupun korban cyberbullying . Sedangkan pada penelitian remaja di Singapura dan Malaysia ditemukan agresivitas sebagai mediator dari perilaku cyberbullying Ang, Tan, Mansor, 2011. Dalam penelitian tersebut, remaja pelaku cyberbullying cenderung memiliki sikap agresivitas yang tinggi yang salah satu faktor pemicunya rendahnya self-control. Hasil penelitian Denson, DeWall, dan Finkel, 2012 yang menyatakan bahwa kegagalan self control dapat memberikan kontribusi untuk tindakan yang paling agresif yang menyertakan kekerasan. Ketika agresi mendesak menjadi aktif, self-control dapat membantu seseorang mengabaikan keinginan untuk berperilaku agresif, dan akan membantu seseorang merespon sesuai dengan standar pribadi atau standar sosial yang dapat menekan perilaku agresif tersebut. Masih sedikit studi yang mengaitkan self-control yang rendah terhadap pelaku dan korban bullying, meskipun fakta bahwa self-control yang rendah telah diidentifikasi sebagai prediktor yang penting dari perilaku penyimpangan dan kejahatan dalam studi empiris yang telah ada Gottfredson Hirschi, 1990. Penelitian sebelumnya juga telah menunjukkan bahwa secara langsung maupun tidak langsung rendahnya self-control mempengaruhi perilaku pelaku maupun korban dalam cyberbullying Vazsonyi, Machackova, Sevcikova et al., 2012. Penelitian Holt, Bossler dan May 2012 tentang tindakan cybercrime dan kenakalan pada remaja, menemukan hasil bahwa pelaku cybercrime dan kenakalan pada remaja dipengaruhi oleh rendahnya self-control dan kelompok teman dengan perilaku yang menyimpang. Rendahnya self-control tidak hanya menentukan perilaku kriminal, tetapi juga menentukan perkembangan ikatan sosial yang terjadi, Self-control yang rendah dapat mengganggu ikatan sosial seseorang Wright, Caspi, Moffitt, Silva, 1999. Dari hasil penelitiannya, Chapple 2005 menyimpulkan bahwa self-control yang rendah menyebabkan penolakan dari rekan sesama peer rejection, hubungan dengan rekan atau kelompok yang menyimpang deviant peer dan kenakalan delinquency. Masa remaja adalah saat ketika perkembangan identitas sangat penting. Selama periode ini, proses pembentukan identitas sebagian besar tergantung pada isyarat dan peraturan dari lingkungan sosial stereotip sosial Hurlock, 1994. Oleh karena itu, remaja cenderung mencari perilaku dan situasi yang membantu mereka menghargai diri mereka sendiri secara positif dan menghindari orang- orang yang membuat mereka merasa buruk tentang siapa diri mereka. Hal ini berhubungan dengan persepsi dan penerimaannya sendiri mengubah anak dan memainkan peran penting dalam mengarahkan pertumbuhan pribadi. Dari literatur sebelumnya menunjukkan bahwa pengalaman dengan cyberbullying memiliki efek negatif pada perkembangan remaja. Salah satunya adalah self-esteem seseorang. Beberapa penelitian menyebutkan rendahnya self- esteem ditemukan pada korban cyberbullying bukan pada pelaku cyberbullying Salmivalli, Kaukiainen, Kaistaniemi, Lagerspetz, 1999. Sedangkan penelitian lainnya menyebutkan baik pelaku ataupun korban cyberbullying sama-sama memiliki self-esteem yang rendah dibandingkan individu yang tidak pernah mengalami cyberbullying Patchin Hinduja, 2010; Fong-Ching et al, 2013. Sementara penelitian terbaru menyebutkan tidak adanya pengaruh self-esteem dengan bullying di sekolah maupun cyberbullying Robson Witenberg, 2013. Dari beberapa hasil penelitian tentang self-esteem tersebut menjadi menarik untuk diteliti pada penelitian ini untuk lebih melihat keadaan self-esteem pada pelaku cyberbullying . Dari data-data dan beberapa hasil penelitian di atas, peneliti menyimpulkan bahwa perilaku cyberbullying pada remaja merupakan permasalahan yang harus mendapatkan perhatian dalam pencegahan dan pemecahan solusi yang tepat. Untuk remaja, dapat dengan memberikan kesadaran atas perilaku yang dilakukan memiliki dampak psikologis bagi orang lain, intervensi sedini mungkin untuk remaja yang menjadi pelaku cyberbullying dengan pendidikan internet sehat bagi setiap anak-anak dan remaja di sekolah. Penelitian ini penting untuk dilakukan karena masih kurangnya penelitian tentang cyberbullying di Indonesia. Dengan demikian, peneliti mengangkat judul penelitian yaitu “Pengaruh empati, self-control dan self-esteem terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta ” 1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah 1.2.1 Pembatasan masalah Agar penelitian ini tidak meluas dan lebih terarah, maka perlu suatu pembatasan masalah. Adapun pokok permasalahan yang menjadi batasan permasalahan dalam penelitian ini adalah perilaku cyberbullying yang dipengaruhi oleh variabel- variabel lain diantaranya empati, self-control, dan self-esteem. Adapun penjelasan mengenai variabel-variabel tersebut sebagai berikut: 1. Cyberbullying dalam penelitian ini dibatasi pada bentuk bullying yang dilakukan melalui media elektronik seperti menghina, mengancam, menfitnah, mempermalukan, atau mengucilkan orang lain baik berupa pesan singkat, gambar atau video dalam sebuah chat room, atau melalui media sosial. 2. Empati adalah merujuk pada kesadaran individu untuk dapat berpikir, merasakan, dan mengerti keadaan orang lain dilihat dari perspektif orang tersebut, sehingga individu tahu dan benar-benar dapat merasakan apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh orang tersebut. 3. Adapun yang dimaksud self-control adalah kemampuan seseorang dalam mengelola stimulus dari luar dirinya untuk menentukan tindakan yang sesuai dengan yang diyakini, dibagi berdasarkan pada aspek behavior control, cognitive control, dan decisional control Averill, 1973. 4. Yang dimaksud dengan Self-esteem adalah sikap individual, baik positif atau negatif terhadap dirinya sendiri sebagai suatu kesatuan yang utuh. 5. Subjek penelitian siswa SMAN 64 Jakarta

1.2.2 Perumusan Masalah

Setelah melalui tahap identifikasi masalah dan tahap seleksi masalah, peneliti merumuskan masalah sebagai berikut : 1. Apakah terdapat pengaruh empati, self-control, dan self-esteem terhadap terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta? 2. Apakah terdapat pengaruh perspective taking dari variabel empati terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta? 3. Apakah terdapat pengaruh fantasy dari variabel empati terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta? 4. Apakah terdapat pengaruh empathic concern dari variabel empati terhadap terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta? 5. Apaka terdapat pengaruh personal distress dari variabel empati terhadap terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta? 6. Apakah terdapat pengaruh behavior control dari variabel self-control terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta? 7. Apakah terdapat pengaruh cognitive control dari variabel self-control terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta? 8. Apakah terdapat pengaruh decisional control dari variabel self-control terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta? 9. Apakah terdapat pengaruh self-esteem terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta?

1.3 Tujuan dan Manfaat

1.3.1 Tujuan penelitian ini ialah :

a. Untuk menguji pengaruh empati, self-control, dan self-esteem terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta. b. Untuk menguji pengaruh perspective taking dari variabel empati terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta. c. Untuk menguji pengaruh fantasy dari variabel empati terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta. d. Untuk menguji pengaruh empathic concern dari variabel empati terhadap perilaku cyberbullying pada siswa SMAN 64 Jakarta.