Moralitas Prakonvensional Perkembangan pada Remaja

norma sosial yang berlaku saat berinteraksi secara langsung. Seseorang dapat menjadi siapa saja saat berinteraksi dalam dunia maya. Pada hal ini lah orang mudah untuk melakukan tindakan cyberbullying. Cyberbullying sangat rentan terjadi pada remaja. Kemudahan akses yang ada memberikan peluang yang cukup tinggi para remaja melakukan cyberbullying. Terlebih, masa remaja adalah masa pencarian jati diri dan senang untuk mencoba hal baru. Masa remaja merupakan masa peralihan dan perubahan, seperti emosi, fisik, psikis, minat dan sosial Santrock, 2012. Cyberbullying merupakan tindakan serangkaian komunikasi dimana pelaku melakukan serangan dengan media dunia maya, seperti sosial media, instant messangaing , email, dan telepon genggam. Para pelaku cyberbullying biasanya termotivasi karena marah, perasaan ingin membalas dendam, tetapi ada yang melakukan semata-mata karena ingin mendapat reaksi dari orang tertentu. Motif setiap pelaku dalam tindakan cyberbullying dapat berbeda-beda. Ada tiga hal yang dipredksi menjadi dorongan remaja dapat melakukan tindakan cyberbullying, yaitu kurangnya rasa empati, self-control dan self-esteem. Peneliti menjadikan ketiga hal tersebut independent variabel dalam penelitian ini. Empati umumnya diartikan bagaimana menempatkan diri pada posisi orang lain dimana empati tersebut mengacu pada pemahaman afektif kognitif atau keduanya. Kurangnya respon empati yang dimiliki seseorang remaja dapat menjadikannya pelaku cyberbullying. Remaja pelaku cyberbullying sendiri, dibandingkan dengan teman sebayanya cenderung memiliki empati yang lebih rendah, sejalan dengan penelitian Steffgen, Konig, Pfetsch, dan Melzer, 2011 yang menemukan para pelaku cyberbullying memiliki empati yang rendah dibandingkan dengan remaja yang tidak memiliki pengalaman cyberbullying. Rendahnya self-control pada seseorang dapat memberikan kontribusi yang tinggi dalam tindakan yang agresif yang dapat pula menyertakan kekerasan. Ketika agresivitas mendesak menjadi aktif, self-control dapat membantu seseorang mengabaikan keinginan untuk berperilaku agresif, dan akan membantu seseorang merespon sesuai standar sosial yang dapat menekan perilaku agresifnya Denson, Finkel, DeWall, 2012. Sedangkan pada remaja yang tidak memiliki self-control yang baik cenderung lebih mudah untuk melakukan tindakan agresif, seperti bullying dan melakukan kekerasan fisik. Berdasarkan penelitian sebelumnya, para pelaku cyberbullying ditemukan memiliki self-esteem yang rendah Hinduja Patchin, 2010. Rendahnya self- esteem seseorang dapat menjadikan seorang mencari eksistensi dirinya dari orang diluarnya. Dorongan tersebut dapat membuat seseorang dengan berani melakukan tindakan yang akan membuat dirinya di lihat oleh orang lain. Kerangka berpikir seperti dipaparkan di atas selanjutnya dapat dilihat pada bagan berikut: