tersebut anak-anak diberikan seperangkat tes yang menunjukkan anak laki- laki atau anak perempuan sebagai karakter utama.
2. QMEE dan BEES
Alat tes lainnya QMEE. Alat tes ini dibuat oleh Merhabian dan Epstein pada tahun 1971, yang mengukur tanggapan-tanggapan emosional, alat ini
dianggap berhasil dalam mengungkap beberapa kasus psikoterapi. The QMEE secara luas banyak digunakan untuk mengukur empati pada orang
tua. Alat ini terdiri atas 33 pernyataan yang merefleksikan reaksi mereka terhadap perilaku-perilaku emosional orang lain dan situasi-situasi
emosional yang beragam. Respon jawaban terhadap anat ini dilakukan dengan menjawab skala 1-9 diberi angka 0 hingga +4, 0 hingga -4. Item-
item negatif diskor terbalik dan semua item ditotal.
3. IRI
Pada tahun 1980, Davis membuat alat ukur empati yang diberi nama Interpersonal Reactivity Index
IRI yaitu pengukuran yang mengarah pada pengukuran multidimensional dan disposisional. Alat ukur ini memiliki alat
ukur yang terpisah dari aspek-aspek keahlian sosial, namun kntraknya saling berkaitan. Instrumen ini terdiri dari empat sub-skala item, dengan jumlah 28
item. Adapun kecenderungan respon dari responden berdasarkan bentuk skala likert. Empat subskala yang ada pada alat ukur ini, yaitu : 1
perspective taking, 2 fantasy, 3 empathic concern,dan 4 personal distress.
4. Empathy Questionnaire EQ
Baron-Cohen dan Wheelwright 2004, membuat alat ukur empati setelah memberikan kritikannya terhadap skala IRI, mereka membuat alat ukur
empati baru dari penggabyngan alat ukur sebelumnya, diaplikasikan dalam bidang klinis dan sangat sensitif dalam mengukur individu yang kurang
empatik yang disebut Empathy Questionnaire EQ. EQ berhasil mengidentifikasi beberapa kelompok orang-orang yang didiagnosa memiliki
kecenderungan autis dan psikopat.
Dalam penelitian ini, skala yang digunakan adalah Interpersonal Reactivity Index IRI. Skala baku empati dari Davis 1980 dengan melihat empati dari
empat aspek : perspective taking, fantasy, empathic concern,dan personal distress.
Jumlah skala 28 item baku dan dengan model skala likert.
2.3 Self-control
2.3.1 Definisi Self-control
Dalam pengertian yang umum self-control lebih menekankan pada pilihan tindakan yang akan memberikan manfaat dan keuntungan yang lebih luas, tidak
melakukan perbuatan yang akan merugikan dirinya di masa kini maupun masa yang akan datang dengan cara menunda kepuasan sesaat. Dalam kamus psikologi
Chaplin, 2006, definisi kontrol diri atau self control adalah kemampuan individu untuk mengarahkan tingkah lakunya sendiri dan kemampuan untuk menekan atau
menghambat dorongan yang ada.
Calhoun dan Acocella 1990, mengemukakan dua alasan yang mengaruskan individu untuk mengontrol diri secara kontinyu. Pertama, Individu
hidup bersama kelompok sehingga dalam memuaskan keinginannya individu harus mengontrol perilakunya agar tidak mengganggu kenyamanan orang lain.
Kedua, Masyarakat mendorong individu untuk secara konstan menyusun standar yang lebih baik bagi dirinya, sehingga dalam rangka memenuhi tuntutan tersebut
dibuatkan pengontrolan diri agar dalam proses pencapaian standar tersebut individu tidak melakukan hal-hal yang menyimpang. Disamping itu kontrol diri
memiliki makna sebagai suatu kecakapan individu dalam kepekaan membaca situasi diri dan lingkungannya serta kemampuan untuk mengontrol dan mengelola
faktor-faktor perilaku sesuai dengan situasi dan kondisi untuk menampilkan diri dalam melakukan sosialisasi Calhoun Acocela, 1990.
Menurut Hurlock 1994 mengatakan bahwa kontrol diri muncul karena adanya perbedaan dalam mengelola emosi, cara mengatasi masalah, motivasi, dan
kemampuan mengelola potensi dan pengembangannyaa. Self-control berkaitan dengan bagaimana individu mampu mengendalikan emosi serta dorongan-
dorongan dalam dirinya. Menurut konsep ilmiah pengendalian emosi berarti mengarahkan energi emosi ke saluran ekspresi yang bermanfaat dan dapat di
terima secara sosial. Memang konsep ilmiah menitik beratkan pada pengendalian, tetapi tidak sama artinya dengan penekanan. Mengontrol emosi berarti mendekati
suatu situasi dengan menggunakan sikap yang rasional untuk merespon situasi tersebut dan mencegah munculnya reaksi yang berlebihan.
Menurut Rothbaum dalam Tangney, Baumiester, Boone, 2004 menyatakan bahwa self-control secara luas dianggap sebagai kapasitas untuk
berubah dan beradaptasi sehingga menghasilkan sesuatu lebih baik secara optimal antara diri dan dunia. Individu dengan kontrol diri tinggi sangat memperhatikan
cara-cara yang tepat untuk berperilaku dalam situasi yang bervariasi. Individu cenderung akan mengubah perilakunya sesuai dengan permintaan situasi sosial
yang kemudian dapat mengatur kesan yang dibuat perilakunya lebih responsif terhadap petunjuk situasional, lebih fleksibel, berusaha untuk memperlancar
interaksi sosial, bersikap hangat dan terbuka. Dari berbagai pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa self control adalah
kemampuan seseorang dalam mengelola stimulus dari luar dirinya untuk menentukan tindakan yang sesuai dengan yang diyakini, sehingga dapat menekan
kecenderungan perilaku yang tidak diinginkan. Pada masa-masa remaja ditandai dengan emosi yang mudah meletup atau cenderung untuk tidak dapat mengkontrol
dirinya sendiri, akan tetapi tidak semua remaja mudah tersulut emosinya atau tidak mampu untuk mengkontrol dirinya, pada remaja tertentu juga ada yang
sudah matang dalam artian mampu mengkontrol setiap tindakan yang dilakukannya.
2.3.2 Aspek-Aspek Self Control
Berdasarkan konsep Averill 1973, terdapat tiga aspek :
1. Behavior Control
Merupakan kesiapan tersedianya suatu respon yang dapat secara langsung mempengaruhi atau memodifikasi suatu keadaan yang tidak
menyenangkan. Kemampuan mengontrol perilaku ini diperinci menjadi dua komponen, yaitu mengatur pelaksanaan regulated administration
dan kemampuan memodifikasi stimulus. Kemampuan mengatur pelaksanaan merupakan kemampuan individu untuk menentukan siapa
yang mengendalikan situasi atau keadaan, dirinya sendiri atau aturan perilaku dengan menggunakan kemampuan dirinya dan bila tidak mampu
individu akan menggunakan sumber eksternal, kemampuan mengatur stimulus merupakan kemampuan untuk mengetahui bagaimana dan kapan
suatu stimulus yang tidak dikehendaki dihadapi. Ada beberapa cara yang dapat digunakan, yaitu mencegah atau menjauhi stimulus, menempatkan
tenggang waktu di antara rangkaian stimulus yang sedang berlangsung, menghentikan stimulus sebelum waktunya berakhir dan membatasi
intensitasnya.
2. Cognitive Control
Merupakan kemampuan individu dalam mengolah informasi yang tidak diinginkan dengan cara menginterprestasi, menilai, atau menghubungkan
suatu kejadian dalam suatu kerangka kognitif sebagai adaptasi psikologis atau mengurangi tekanan. Aspek ini terdiri atas dua komponen, yaitu
memperoleh informasi information gain dan melakukan penilaian appraisal. Dengan informasi yang dimiliki oleh individu mengenai suatu
keadaan yang tidak menyenangkan, individu dapat mengantisipasi keadaan tersebut dengan berbagai pertimbangan. Melakukan penilaian berarti
individu berusaha menilai dan menafsirkan suatu keadaan atau peristiwa dengan cara memperhatikan segi-segi positif secara subjektif.
3. Decesional Control
Merupakan kemampuan seseorang untuk memilih hasil atau suatu tindakan berdasarkan pada sesuatu yang diyakini atau disetujuinya, kontrol
diri dalam menentukan pilihan akan berfungsi baik dengan adanya suatu kesempatan, kebebasan atau kemungkinan pada diri individu untuk
memilih berbagai kemungkinan tindakan. Aspek ini terdiri dari dua komponen, yaitu : mengantisipasi peristiwa dan menafsirkan peristiwa,
dimana individu dapat menahan dirinya. Kemampuan mengontrol diri tergantung dari ketiga aspek tersebut, kontrol
diri ditentukan dengan sejauh mana salah satu aspek tersebut mendominasi atau terdapat kombinasi dari beberapa aspek dalam mengontrol dirinya.
2.3.3 Pengukuran Self-control
Ada beberapa alat ukur yang dapat mengukur self-control, diantaranya : 1. Kendall Wilcox dalam Wang, 2002 membuat skala pengukuran baku
yang diberi nama Self-control Rating Scale SCRS yang terangkum kedalam 33 item baku.
2. Self-control Scale Tangney, Baumiester, Boone, 2004 yang terdiri dari 10 item baku yang mengukur self-control secara keseluruhan.
3. Self-control Questionnaire oleh Brandon sebagai skala sifat kontrol diri. Brandon menekankan pada perilaku kesehatan, dan memiliki cakupan item
yang luas.
Pada penelitian ini membuat skala sendiri yang mengacu pada teori dari Averill 1973, yang memiliki aspek: Behavior Control, Cognitive Control, dan
Decesional Control yang terangkum dalam 23 item.
2.4 Self-esteem
2.4.1 Pengertian Self-esteem
Menurut Rosenberg dalam Hinduja Patchin, 2010, self-esteem adalah sikap individual baik positif atau negatif terhadap dirinya sebagai suatu totalitas.
Mruk 2006 menjelaskan bahwa Rosenberg telah menjelaskan cara lain dalam mendefinisikan self-esteem adalah suatu rangkaian sikap individu tentang apa
yang dipikirkan mengenai persepsi perasaan, yaitu perasaan tentang “keberhargaan” dirinya.
Sedangkan menurut Coopersmith dalam Heatherton Wyland, 2003 menjelaskan self-esteem sebuah penilaian pribadi terhadap keberhargaan dirinya
yang diekspresikan dalam sikap yang berpegangan teguh pada prinsip pribadi. Self-esteem
merupakan sikap penerimaan atau penolakan yang mengidinkasikan tingkat kepercayaan terhadap dirinya akan kapasitas, signifikansi, dan kesuksesan.
Menurut Powell, Newgent, dan Le 2006 juga berpendapat bahwa self-esteem adalah penilaian dan merasakan mengenai diri individu itu sendiri. Sedangkan
menurut Since Berk dalam Powel, Newgent, Le, 2006 penilaian yang dibuat tentang nilai diri sendiri dan perasaan yang terkait dengan penilaian tersebut.
Dari beberapa pengertian diatas, peneliti menyimpulkan self-esteem adalah sikap individu dalam melihat diri sendiri baik positif ataupun negatif mengenai
dirinya sendiri dalam kapasitasnya sendiri. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan teori Rosenberg dalam Mruk, 2006.
2.4.2 Karakteristik Self-esteem
Beberapa pandangan Rosenberg tentang karakteristik self-esteem dalam Mruk, 2006 :
1. Menunjukkan bahwa pemahaman self-esteem sebagai fenomena suatu sikap diciptakan dengan kekuatan sosial dan kebudayaan.
2. Study tentang self-esteem ini diharapkan pada masalah-masalah tersendiri. Salah satunya yaitu refleksitas self, yang mengandung arti bahwa evaluasi
diri lebih kompleks daripada evaluasi objek eksternal. 3. Self-esteem ini merupakan sikap yang menyangkut keberhargaan individu
sebagai seseorang yang dilihat sebagai suatu variabel yang penting dalam berperilaku karena self-esteem sendiri bekerja untuk atau melawan dalam
situasi tertentu. Sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Rosenberg, Minchiton 1995
menjabarkan self-esteem bukanlah sifat atau aspek tunggal, melainkan sebuah kombinasi dari beragam sifat dan perilaku individu. Tiga aspek self-esteem, yaitu :
a. Perasaan Mengenai Diri Sendiri
Menerima diri sendiri, individu dapat menerima dirinya secara nyata dan penuh. Dapat menghormati diri sendiri, individu memiliki keyakinan
dirinya penting. Menghargai keberhargaan dirinya sendiri, dengan memaafkan atau memaklumi diri sendiri atas ketidaksempurnaan dirinya
dan juga atas kesalahan yang telah dibuatnya.dan dapat memegang kendali atas emosi diri sendiri. Individu yang mempunyai self-esteem rendah tidak
dapat atau sulit untuk dapat menerima dirinya sendiri.
b. Perasaan Terhadap Hidup
Dapat menerima kenyataan dan tanggung jawab atas setiap perjalanan hidup yang dialaminya. Harapan dan realitas dimana seseorang yang
memiliki self-esteem yang tinggi akan membangun harapan atau cita-cita berdasarkan realitas yang berkaitan dengan kemampuan yang dimilikinya.
Dapat memegang kendali atas dirinya sendiri. Individu dengan self-esteem yang tinggi tidak berusaha mengendalikan orang lain. Sebaliknya, ia akan
dengan mudah menyesuaikan dengan keadaan yang dihadapinya.
c. Perasaan dalam Kaitannya dengan Orang Lain
Individu dapat menghormati orang lain dan memiliki toleransi terhadap orang lain. Seorang yang memeiliki self-esteem tinggi akan mudah
menerima kekurangan orang lain, fleksibel dan tidak memaksakan nilai- nilai atau keyakinan pada orang lain, ia percaya bahwa setiaap orang,
termasuk dirinya mempunyai hak yang sama dan patut dihormati. Bijaksana dalam melakukan hubungan dengan orang lain dimana
seseorang dengan self-esteem tinggi akan menjadi orang yang memiliki sikap asertif, sikap dapat “meraangkul” yang didalamnya terdapat unsur
melindungi. Ia menghormati kebutuhan dirinya sendiri tetapi juga
sekaligus mengakui kebutuhan orang lain. Ia mengetahui apa yang diinginkan dan tidak takut mewujudkannya.
Penelitian yang dilakukan oleh Psikolog Universitas California terhadap sejumlah responden dalam rentang usia 6 sampai 83 tahun, diperoleh hasil bahwa
secara umum perkembangan self-esteem seseorang mengikuti pola yang sama, yaitu, stabilitas self-esteem masa anak-anak adalah rendah, kemudian
menunjukkan peningkatan selama masa remaja dan dewasa awal, kemudian menurun pada paruh baya dan lanjut usia Trzesniewski, 2003.
2.4.3 Pengukuran Self-esteem
Alat ukur untuk mengukur self-esteem telah banyak digunakan oleh penelitian terdahulu. Heatherton dan Wyland 2003 menyebutkan beberpa alat ukur
diantaranya Janis-Field Feelings of Indequancy Scale, The Rosenberg Self-esteem scale
, The State Self-esteem Scale SSES: Heatherton Polivy, 1991, Self- esteem Inventory
Minchiton, 1995. Setiap alat ukur memiliki fungsi berbeda, sehingga digunakan dalam situasi dan usia yang berbeda pula.
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan alat ukur yang dikembangkan oleh Rosenberg. Peneliti mengadaptasi terlebih dahulu alat ukur The Rosenberg
Self-esteem scale dalam penelitian cyberbullying oleh Hinduja dan Patchin 2010
ke dalam bahasa indonesia.
2.5 Remaja
2.5.1 Definisi Remaja
Remaja merupakan fase pertumbuhan dan perkembangan ketika seseorang berada pada rentang usia 11
– 18 tahun hurlock, 1994. Perkembangan adalah proses bertambahnya kematangan seseorang. Senada dengan Papalia, Olds, dan Feldman
2009, masa remaja adalah masa perkembangan antara masa kanak-kanak ke masa dewasa yang meliputi perubahan besar pada aspek fisik, kognitif, dan
psikososial.
2.5.2 Ciri-ciri Masa Remaja
Hurlock 1994 menjelasakan masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan dengan periode sebelum dan sesudahnya. Seperti :
1. Periode yang Penting
Perkembangan fisik yang cepat yang disertai perkembangan mental yang cepat, terutama masa awal remaja. Hal tersebut menjadi hal yang penting
karena akibat baik jangka pendek ataupun jangka panjang dari perkembangan yang cepat tersebut dapat memberikan dampak yang tidak
diduga pada fase selanjutnya. Menjadi penting bagi orangtua dalam mengawasi dan membentuk sikap dan nilai-nilai pada fase ini.
2. Periode Peralihan
Peralihan tahapan masa remaja ini sangat bergantung dari masa sebelumnya, karena peralihan yang disebut disini bukan bersifat putus
tetapi menerus dari fase sebelumnya. Seperti dijelaskan Osterrienth dalam